Agama Api

KRITERIA PERTAMA orang bertakwa sebelum melaksanakan shalat (ibadah mahdhoh, vertikal) dan membayar zakat (ibadah muammalah, horizontal), adalah percaya kepada yang ghaib. Allah berfirman tentang orang bertakwa, yaitu, “Mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka” (Al-Baqarah, ayat 3).

Percaya kepada yang ghaib berarti percaya bahwa ada hal lain di luar sesuatu yang bisa dirasakan oleh pancaindera. Berarti juga mengakui dimensi spiritual dari segala sesuatu. Kalau kita sudah benar-benar percaya pada yang ghaib, barulah kita punya landasan yang kokoh untuk menghayati dan memaknai dua ibadah berikutnya.

Akan tetapi, rasanya kita jauh sekali dari kriteria itu. Jangankan tentang Yang Maha Ghaib Allah SWT yang tidak terjangkau oleh pikiran – tan kena kinaya ngapa, hal-hal ghaib lain yang dikabarkan di Al Qur’an dan disampaikan dalam Hadits, seringkali terasa seperti kisah dan dongeng orang-orang jaman dahulu, dan yang kita diam-diam dalam hati meragukannya.

Tentang kabar bahwa ada malaikat penjaga yang ditugaskan kepada masing-masing diri, tidak sungguh-sungguh kita meyakininya. Jika percaya benar-benar pada malaikat pencatat amal Raqib dan Atid, bagaimana mungkin kita masih bisa diam-diam melakukan dosa dan merasa aman darinya?

Tentang ke-Maha Kuasa-an Allah dalam menentukan segala sesuatu, kita juga diam-diam tidak meyakininya. Kalau kita sudah sungguh-sungguh beriman kepada Qadha’ dan Qadar maka kita tidak akan bersedih hati dan khawatir. Yang lalu tidak bisa diubah, yang akan datang sudah ditentukan. Jadi apa lagi yang perlu disedihkan dan dikhawatirkan? Yang harus kita lakukan hanyalah memastikan bahwa kita seutuhnya -saat ini- hadir dan melakukan kebaikan.

Berita tentang surga dan neraka, berikut kenikmatan dan penderitaan yang diceritakan di dalamnya tidak bisa kita rasakan dan karena itu tidak membekas dalam hati, dan tidak pernah betul-betul menjadi motivasi untuk menggapai atau menghindarinya.

Kisah Nabi Sulaiman dengan segala pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologinya yang jauh melampaui pencapaian peradaban ‘modern’ saat ini, jelas dianggap dongeng pengantar tidur anak kecil belaka. Sehingga manusia modern dengan sombongnya menyangka saat ini adalah puncak kemajuan peradaban umat manusia. Padahal jelas sekali dalam Al Qur’an disebutkan beberapa pencapaian teknologi di jaman Nabi Sulaiman yang saat ini malah dianggap masih sebagai science fiction saja. Dikisahkan Nabi Sulaiman meminta bawahannya memindahkan singgasana Ratu Balqis dari negeri yang sangat jauh. Jin Ifrit menyanggupi untuk memindahkan sebelum Nabi Sulaiman beranjak dari singgasannya. Lalu ada seorang ahli ilmu yang mampu untuk melakukan tugas itu sebelum Nabi Sulaiman mengedipkan matanya. Bukankah itu teknologi teleportasi? Yang saat ini manusia modern baru mampu melakukannya di level atom, itu pun baru sebatas percobaan di laboratorium. Dikisahkan juga tentang adanya piring terbang, ‘piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku)’, sebagai sumber energinya.

Oh iya, tidak sepenuhnya kita tidak percaya dengan yang ghaib. Ada hal ghaib yang sangat dipercaya dan terasa sangat nyata dalam kehidupan masyarakat: tuyul, pocong, gendruwo, keris sakti, cincin akik bertuah, dan sebagainya. Tahayul dan khurafat yang tidak memberikan manfaat dan mudharat apapun!

Kebanyakan kita adalah penganut materialisme, cara pandang hidup yang melihat segala sesuatu di dunia dari sudut pandang lahiriahnya saja. Yang sungguh-sungguh kita percaya sekarang adalah materi, dalam bentuk yang paling populer yaitu uang.

Kita semua adalah anak didik peradaban yang dibangun di atas filosofi bahwa segala sesuatu yang ada adalah terdiri dari materi atau tergantung pada materi untuk keberadaannya. Percaya kepada yang ghaib berlawanan secara sempurna dengan paham materialisme ini. Materialis percaya bahwa satu-satunya hal yang nyata adalah hal-hal yang dapat dirasakan melalui panca indera dan bahwa semua peristiwa di alam semesta dapat dijelaskan oleh hukum ilmiah. Konsekuensinya adalah penolakan keberadaan Tuhan yang menggubah alam semesta dan keabadian jiwa.

Peradaban modern diawali dengan Renaissance yang mulai tumbuh seiring dengan paham humanisme, yang meletakkan manusia sebagai pusat dari eksistensi. Seolah-olah manusia itu ada begitu saja di muka bumi tanpa ada penggagas dan penciptanya, sehingga yang diperjuangkan hanyalah ‘hak asasi’, dan bukan ‘kewajiban asasi’. Humanisme adalah anak kandung materialisme, karena melihat manusia hanya sebagai organisme biologis yang terbentuk dari hasil evolusi alam. Humanisme secara eksplisit menafikan dimensi spiritual dari manusia.

Jadi jangan heran kalau yang dilakukan kebanyakan manusia sekarang adalah dalam rangka mengejar kepemilikan materi untuk memuaskan nafsu. Hasrat tunggal yang menyatukan kebanyakan manusia saat ini adalah bagaimana menjadi kaya. Mungkin ada hasrat lain yaitu ketenaran dan kepopuleran. Tetapi Itu pun ujungnya satu, yaitu bagaimana mengekploitasi ketenaran dan kepopuleran itu supaya menjadi lebih kaya. Kebanyakan kita adalah penganut agama api, menyembah dan mencintai api hawa nafsu kita, berduyun-duyun dan khusyu’ beribadah di kuil-kuil kantor modern, dipimpin oleh pendeta-pendeta kapitalisme global.

Bahkan dalam bidang yang seharusnya steril dari semangat dagang pun tidak terlepas dari itu. Orang mendirikan sekolah dan rumah sakit tujuan utamanya bukan lagi untuk menyelenggarakan tugas pendidikan dan pelayanan kesehatan, tetapi untuk mendapatkan laba. Demikian juga dengan kegiatan dan institusi keagamaan. Ustadz menjadi profesi yang diburu karena menjanjikan kepopuleran dan kemudian akses ke pengumpulan pundi-pundi uang.

Kita hidup dalam peradaban Dajjal yang seperti sabda Rasul,‘… bersamanya ada surga dan neraka. Padahal sesungguhnya nerakanya adalah surga dan surganya adalah neraka’. Siapa yang mengikuti Dajjal akan mendapatkan surga dunia yang sesungguhnya menuntun pada neraka. Dan siapa yang menentang Dajjal akan mengalami tantangan dalam kehidupan ekonominya karena tidak mau ikut masuk terseret dalam industri mainstream.

Jadi apakah kita sudah bisa disebut orang yang bertakwa?