Silaturahmi Ikatan Dokter Indonesia bersama Cak Nun

PhotoGrid_1373938523521

Sebelum maiyahan di Kenduri Cinta pada Jumat malam 12 Juli 2013, sore harinya Cak Nun diundang untuk turut mengisi acara silaturahmi sekaligus buka bersama di kantor Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Menolak ditempatkan sebagai penceramah, Cak Nun menegaskan bahwa pertemuan pada kesempatan kali ini kalau bisa merupakan liqoun adzim yaitu pertemuan yang memiliki keagungan. Keagungan bukanlah kehebatan, melainkan sesuatu yang mendalam atau mendasar. Supaya itu tercapai, harus ada mitsaqan ghalida, sebuah kesepakatan batin diam-diam di antara semua yang hadir, yang sifatnya universal dan substansial.

Monggo saja. Saya nggak tahu karena saya bukan penceramah dan selalu menolak kalau diminta untuk memberikan tausyiah, sebab tausyiah itu artinya omongan orang yang akan meninggal dunia. Saya aslinya tidak mau diundang untuk acara Ramadan, apalagi kalau itu sebelum Magrib. Kata Tuhan: Bulan ini adalah untuk-Ku, jangan diomongkan ke siapa-siapa, jangan diraya-rayakan, jangan dispanduk-spandukkan. Puasa ya puasa saja. Sudah jelas kalau selama puasa mulut kita lebih busuk baunya daripada biasanya, ini kok malah disuruh ngomong. Kalau ngomong ya nanti setelah buka, setelah tarawih,” jelas Cak Nun.

Indonesia memang tidak pernah naik kelas. Setiap pengajian diadakan dengan tujuan untuk “meningkatkan iman dan takwa” sehingga kita tidak pernah sampai ke tingkat yang tidak perlu ditingkatkan lagi. “Sejak tahun ’60-an sampai sekarang, pengajian kita begini-begini saja. Buka puasa bersama sepertinya hanya ada di Indonesia, atau orang Indonesia di Amerika. Buka bersama ini mengandung ancaman-ancaman. Bagaimana kita bisa mengundang orang-orang untuk ikut buka bersama tanpa memverifikasi dulu apakah mereka puasa beneran atau tidak? Tapi mudah-mudahan seluruh niat baik itu meskipun keliru-keliru diterima oleh Allah sebagai ketulusan,” Cak Nun melengkapi sore itu dengan tasfirnya yang selalu out-of-the-box.

Ibadah mahdhah itu sifatnya take it or leave it, tidak boleh dibantah-bantah. Itu urusan cinta kita kepada Allah.
Emha Ainun Nadjib

RELIGI DAN RELIGIUSITAS

Jika diketegorisasikan, acara “buka puasa bersama” bukan agama melainkan budaya, meskipun berangkatnya dari peristiwa agama. Buka bersama posisinya sama dengan tahlilan, shalawatan, peringatan Maulid Nabi, peringatan Isra Mikraj, dan majelis-majelis pengajian lainnya. Peristiwa hidup bisa kita bagi menjadi dua: peristiwa dari langit ke bumi dan dari bumi ke langit. Yang pertama dinamakan agama atau religi atau ibadah mahdhah, sementara yang kedua merupakan usaha keagamaan manusia untuk mendekat kepada Tuhan atau disebut juga religiusitas atau ibadah muamalah.

Religi rumusnya: jangan kau lakukan apapun kecuali yang Allah perintahkan. Kalau religiusitas rumusnya: lakukan apa saja kecuali yang Allah larang atau yang melanggar ketentuan-ketentuan syariat. Misalkan salat, kita harus melaksanakannya tepat sesuai ketentuan, baik dalam waktu-waktu pelaksanaannya maupun dalam teknis pelaksanaannya.

Religi itu ide, aplikasi, redaksional, dan eksekusinya oleh Tuhan sendiri. Kalau ide dan perumusan kalimatnya dari Tuhan, itu namanya: quran. Kalau ide dan kalimatnya oleh Muhammad, namanya: hadits. Kalau idenya oleh Tuhan tapi kalimatnya oleh Muhammad, namanya: hadits qudsi.

Kategorisasi ini sudah hilang di tengah masyarakat kita sehingga orang sibuk bertengkar untuk hal-hal yang tidak mereka pahami. Sekarang banyak bertebaran tuduhan bidah dan syirik di antara sesama muslim. Padahal rumusnya sudah jelas. Kalau dalam salat, dari takbiratul ihram sampai salam, semua harus sama dan sesuai dengan tuntunan. Tapi sebelum dan sesudah itu, kita boleh melakukan kreativitas-kreativitas.

Cak Nun menjelaskan lebih lanjut, “Misalkan sekarang orang ribut memperdebatkan apakah salaman setelah salat itu boleh atau tidak, karena menurut mereka Rasulullah tidak pernah melakukannya. Ketika saya ditanya, saya bilang: jangankan salaman, beol saja boleh, asal jangan di masjid. Di luar rukun Islam, manusia boleh bikin salawatan, band, dangdutan, bikin IDI, pakai mobil, bikin parpol, ngadain buka bersama, Twitter-an – asalkan tidak melanggar syariat. Kalau bikin Twitter untuk merendahkan orang lain atau dangdutan untuk buka aurat, itu yang nggak boleh.

“Acara kita sore ini kalau nggak ada ya nggak masalah. Ini bukan agama kok, ini muamalah supaya kita saling bertemu, saling bersilaturahmi. Kalau salawatan dilarang karena tidak ada tuntunan syar’i atas itu, maka membentuk NKRI pun juga semestinya dilarang. Kalau semua memang harus taat seratus persen kepada Rasul di semua wilayah, berarti kita harus naik haji dengan unta, tidak boleh mengadakan buka bersama, tidak boleh pakai peci, tidak boleh pakai sandal atau sepatu, bahkan karpet dan bantal pun harus dipertanyakan apakah persis sama dengan yang digunakan di jaman Rasulullah atau tidak.

“Sekarang orang-orang melarang sesamanya untuk tidak melakukan apa-apa yang tidak dilakukan, tidak diperintahkan, atau tidak disarankan oleh Rasulullah, tapi tanpa menentukan berapa skalanya dan di wilayah apa larangan itu berlangsung. Larangan itu hanya berlaku di wilayah ibadah mahdhah. Di wilayah muamalah, tidak ada masalah bagaimana orang mendekat kepada-Nya.

“Ibadah mahdhah itu sifatnya take it or leave it, tidak boleh dibantah-bantah. Itu urusan cinta kita kepada Allah. Ranah ini termuat dalam 3,5% ayat-ayat Al-Quran. Sisanya sebesar 96,5% merupakan ayat-ayat pergaulan, muamalah, kebudayaan, cocok tanam, kesehatan, dll.

Antum a’lamu bi umuri dunyakum, kata Rasulullah. Kamu lebih tahu tentang urusan-urusanmu. Rasulullah tidak akan berfatwa mengenai pertanian. Meskipun sangat banyak sabda beliau tentang kesehatan, beliau tidak berpotensi sebagai tabib atau dokter.

“Di wilayah muamalah tidak ada bidah. Mana ada Nabi bikin KTP? Termasuk juga dakwah menggunakan microphone, atau penggunaan TOA di masjid-masjid. Waktu itu Hitler memerintahkan para teknolognya untuk menciptakan sound system yang jangkauannya jauh dan tajam untuk memobilisasi para Yahudi pada tahun ’40-an, maka terciptalah TOA.”

Justru karena engkau tidak menyukainya tapi engkau ikhlas melakukannya, maka nilaimu tinggi. Sebab di atas kebenaran, kebaikan, dan keindahan, ada yang lebih tinggi yaitu kemuliaan.
Emha Ainun Nadjib

MENAHAN DIRI DAN KEMULIAAN

Kalau kita hubungkan puasa dengan menahan diri, kita bisa kembangkan dengan konsep menahan diri atau hak dan kewajiban, sebab orang yang berpuasa adalah orang yang tidak berkewajiban melakukan sesuatu tetapi mau melakukannya. Atau bisa dimengerti juga sebagai orang yang berhak atas sesuatu tapi rela untuk tidak mengambilnya. Kita berhak makan tapi kita mau untuk tidak makan.

“Hakikat puasa bisa terjadi di mana-mana,” terang Cak Nun. “Kalau dipakai untuk pendidikan kedewasaan, tandanya anak kecil adalah dia lakukan apa yang dia inginkan dan dia ambil apa yang dia suka. Sementara itu, orang dewasa belum tentu mengambil apa-apa yang disukainya karena dia punya pertimbangan lain: benar atau tidak, baik atau tidak, sehat atau tidak. Orang dewasa punya kesadaran berpuasa.

Cak Nun kemudian bertanya kepada semua yang hadir, “Aslinya anda seneng nggak berpuasa gini? Sangat manusiawi dan natural kalau manusia tidak suka untuk tidak makan dari pagi sampai sore. Kalau anda suka berpuasa dan kemudian melakukannya, apa hebatnya? Kalau anda suka sesuatu dan kemudian memakannya, apa yang istimewa? Orang yang sudah tahu bahwa pil itu pahit tapi tetap memakannya supaya sehat, lebih tinggi mana derajatnya dengan orang yang makan gethuk karena dia suka gethuk? Kalau anda senang berpuasa kemudian berpuasa, Tuhan nggak kagum sama anda.

“Kalau ada artis cantik kemudian anda nikahi, apa hebatnya? Tapi kalau orangnya tidak begitu cantik, punya beban berat, kemudian dia tolong kehidupan dia dan keluarganya, itu baru hebat. Rasulullah pada suatu hari datang ke sebuah desa (yang penduduknya) negro, yang pada waktu itu digunakan sebagai pasar budak oleh orang-orang dari jazirah Arab dan Eropa. Mereka senang sekali didatangi Rasulullah. Kemudian Muhammad memandang salah satu perempuan di antara orang hitam itu dan beberapa hari kemudian menikahinya, Perempuan itu merupakan perempuan paling jelek, umurnya 59, badannya gemuk, hidungnya pesek, anaknya 9. Ini baru poligaminya bernilai puasa, baru bernilai kemuliaan.

“Orang yang berpuasa karena dia senang berpuasa tidaklah mengherankan. Tapi kalau orang tidak suka puasa, dia mangkel sama datangnya bulan Ramadan, tapi dia berjuang melawan dirinya sendiri sampai bisa benar-benar ikhlas, Allah menjunjung-junjung dia karena dia melakukan yang tidak disukainya secara ikhlas. Itulah puasa yang sesungguhnya.

“Justru karena engkau tidak menyukainya tapi engkau ikhlas melakukannya, maka nilaimu tinggi. Sebab di atas kebenaran, kebaikan, dan keindahan, ada yang lebih tinggi yaitu kemuliaan. Itulah mengapa salat malam nilanya sangat tinggi, karena dia sangat berat untuk ditunaikan,” tutur Cak Nun.

Sami’un bashir tidak bisa dibalik menjadi bashirun sami’. Ilmu kedokteran sudah mengenali bahwa pendengaran jauh lebih dini dan lebih penting dibanding penglihatan. Allah selalu menyebut diri-Nya Maha Mendengar Lagi Maha Melihat, bukan sebaliknya. Rahman dulu baru Rahim, selalu begitu dan tak boleh dibalik, sebab cinta yang meluas (rahman) harus didahulukan dari cinta yang mendalam atau meninggi (rahim).
Emha Ainun Nadjib

MENGEMBARA MENUJU KEMULIAAN

Pangeran Mangkubumi, atas supervisi dari Pangeran Sambernyowo yang juga seorang filosof, plus hikmah-hikmah dari Ronggowarsito dan pujangga-pujangga lain, mengatur tata ruang Jogja dari Merapi ke arah selatan. Di Kauman, keraton terletak di sebelah selatan, masjid di barat, pasar di utara, penjara dan kebudayaan (Purawisata) di timur. Ada tatanan dialektis. Otoritas politik dan pasar dikontrol oleh hikmah agama. Di sebelah timur ada kebudayaan, tapi ada juga hukum. Di tengah-tengahnya ada alun-alun. Ini merupakan satu laboratorium bagaimana kita membangun kehidupan bernegara yang baik, dan Jogja menawarkan konsep ini.

Tata ruang yang lain berupa nama jalan dari Tugu sampai ke Kantor Pos. Jalan merupakan satu idiom yang sangat spiritual teologis meskipun lahirnya dari kebudayaan. Di dalam ajaran Islam, semua dasar aturan memakai nama jalan. Syari’, siroth (jalan dalam pengertian jalur), dan thoriq (jalan dalam pengertian level lajur). Semua dasar nilai selalu memakai idiom jalan.

Dari Tugu sampai ke rel, dulu namanya Margo Utomo, sekarang menjadi Jalan Mangkubumi. Margo Utomo ini artinya jalan utama. Yang pertama harus dilakukan manusia adalah mengambil keputusan untuk mencari jalan utama. Utama ini bisa bersifat moral, intelektual, atau spiritual. Orang memilih masuk kedokteran, kandungan moralnya supaya bisa menolong orang lain, kandungan spiritualnya supaya selalu dekat dengan Tuhan melalui pertemuan dengan macam-macam penyakit yang belum ada obatnya, maka menjadi dokter bisa bermacam-macam dimensinya.

“Sampai S3, anda harus bener-bener lulus Margo Utomo. Kalau sudah selesai S3, barulah anda memasuki jalan dari rel ke perempatan Toko Terangbulan, yaitu Malioboro (wali sing ngumboro). Wali adalah orang yang ditransfer oleh Allah mandat ilmu dan mandat eksplorasi untuk inovasi dan invensi, yang oleh Allah disuruh mengembara. Jadilah wali yang mengembara. Di disiplin kebudayaan, kebatinan, dan agama, ini berlaku. Tidak mungkin anda mengembara secara spiritual sebelum memilih jalan utama,” Cak Nun melanjutkan, “Tapi kalau anda hanya memilih jalan utama tanpa pengembaraan ilmu dan spiritual, anda tidak akan sampai pada tahap berikutnya yang tercermin pada jalan dari Toko Terangbulan sampai Kantor Pos: Jalan Margo Mulyo. Kalau anda sudah S3, anda terjun ke masyarakat, mengembarai bermacam-macam penyakit plus dilema-dilema, misalnya ketiadaan biaya baik dari pasien maupun Pemda. Dokter banyak mengalami tantangan batin seperti ini. Itulah malioboro. Kalau anda lulus, barulah anda mendapat margo mulyo, jalan kemuliaan.”

Puasa adalah cara spiritual untuk meningkatkan software kita supaya tingkat kompatibilitasnya meningkat.
Emha Ainun Nadjib

Karena sudah menjelang Maghrib, ketika sesi tanya-jawab dibuka, salah satu peserta menanyakan apakah kemuliaan bisa ditempuh tanpa orang itu berpengetahuan.

Cak Nun merespon, “Kemuliaan bisa ditempuh melalui anak tangga apa saja. Bisa dengan bertani secara tekun, melukis, menggunakan ilmu secara penuh kesetiaan. Bisa juga dengan bertapa. Kemuliaan itu bukan sekadar benar, baik, atau indah. Kalau di dalam Islam namanya karomah.

“Allah memberikan semuanya secara sekaligus, kun fayakun. Sesaat-Nya Tuhan itu bagi kita sekian ratus milyar tahun. Petunjuk bertebaran, tinggal software anda seberapa kompatibel untuk men-download. Nabi disebut ‘memperoleh wahyu’ karena software-nya memenuhi untuk men-download semuanya. Wali, satu tingkat di bawah Nabi, memperoleh karomah. Anda kagum sama mukjizat karena anda bisanya cuma membuka .doc dan .rtf, sementara mukjizat itu .cdr. Software-mu tidak mencukupi untuk itu. Menurut saya, puasa adalah cara spiritual untuk meningkatkan software kita supaya tingkat kompatibilitasnya meningkat.”

Azan Magrib terdengar. Cak Nun mengajak semuanya berdoa supaya Allah mempekerjakan kita semua dalam kerjasama yang baik di masa yang akan datang.

[Teks: Ratri Dian Ariani]