TIJI TIBEH

reportase kenduri cinta juli 2011

Tiji Tibeh, itulah tema Kenduri Cinta yang diadakan pada hari Jumat, 22 Juli 2011. Apakah Tiji Tibeh itu? Sebelum menguraikan makna kata tersebut, ada baiknya menuliskan terlebih dahulu rangkaian acara Kenduri Cinta malam itu. Pembacaan Surat Yaasin untuk almarhum Pakdhe Zaenuri yang telah berpulang tiga hari lalu, menjadi awal pembuka acara ini. Pembacaan dipimpin oleh saudara Ibrahim yang diikuti oleh semua jamaah yang telah hadir. Pakdhe, begitu sapaan akrab almarhum di kalangan Jamaah Maiyah, adalah sahabat sekaligus sesepuh KiaiKanjeng, teman yang selalu mendampingi Cak Nun sejak tahun 70-an silam.

Sebelum memasuki sesi pertama diskusi, Band Kido dan Band KTP ikut memeriahkan jalannya majelis ilmu malam itu. Masing-masing menyumbangkan dua buah lagu secara sukarela. Sesi pertama diskusi dimoderatori oleh Arya Palguna, dan hadir sebagai pembicara antara lain Bapak Priono (Kepala BP Migas), Thoriq (pengusaha), dan Aaron, remaja Indonesia yang sedang mengambil kuliah Bachelornya di salah satu universitas di Belanda.

Moderator memancing diskusi dengan menguraikan sedikit tentang jenis-jenis sumber daya; sumber daya yang dapat diperbaharui dan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui. Sumber daya tersebut yang menjadi bahan perebutan untuk dikuasai, dengan metode yang menyimpang dari etika dan moral, dengan cara dikorupsi. Kenapa hal itu bisa terjadi? Apakah karena kesalahan sistem? Kesalahan pengambilan kebijakan? Atau budaya orang-orang Indonesia?Bapak Priono menguraikan pemahamannya tentang Tiji Tibeh, bahwa fenomena Tiji Tibeh muncul saat perjuangan, Rakyat tidak puas pada penguasa. Ksatria tidak akan kalah walau sedikit. Dalam konteks kebersamaan, Tiji Tibeh artinya tidak boleh ada yang mati, harus saling melindungi dan saling berbagi. Istilah lain dari Tiji Tibeh adalah Tebu Sauyun, tebu yang manis dinikmati bareng, serumpun.

Bapak Priono menjelaskan bahwa proses pembersihan dalam tubuh birokrasi terus dilakukan dan merupakan proses yang panjang. Kalau ini tidak dilakukan, maka yang terjadi justru sebaliknya, yaitu proses pembusukan dari dalam, yang tidak benar akan saling membunuh di dalam, inilah kemudian menjadi Tiji Tibeh, mati siji mati kabeh, seperti yang diberitakan terjadi akhir-akhir ini (baca: kasus Nazaruddin). Bapak Priono menjelaskan pilihannya terjun dalam dunia birokrasi adalah sebagai langkah menyelamatkan apa yang bisa ia diselamatkan. “Selamatkanlah dirimu dan keluargamu terlebih dahulu dari siksa api neraka.”


Dalam kesempatannya, Thoriq menyampaikan bahwa Indonesia adalah negara yang sangat kaya akan sumber daya alam, namun yang menyedihkan adalah fakta bahwa mayoritas rakyat miskin. Ini indikator bahwa pemerintah gagal. “Ayolah pemuda-pemuda bangsa, apa cita-cita kalian? Ayolah maju.”

Selanjutnya Aaron, pembicara termuda dalam diskusi ini, menjawab pertanyaan Thoriq: “Cita-cita saya adalah benerin diri sendiri dulu, selanjutnya semua hal akan mengikuti benar layaknya sistem.” Dalam presentasi slide-nya, Aaron memancing jamaah tentang makna kata satu dalam kata Tiji Tibeh, “Satu itu me-refer apa? Kelompok? Orang? Benda? Sifat? Ideologi? Sistem? Kejadian?” Salah satu jamaah, Amir, menjawab bahwa satu itu me-refer pada manusia. “Allah menciptakan manusia sudah sangat super dimensional, melingkupi seluruh alam semesta, karena itulah manusia dilemparkan Allah ke dunia untuk menjadi khalifah.”

Jamaah yang lain, Lubis, seorang aktivis, menjawab bahwa satu me-refer pada kelompok. “Bumi hangus karena kesepakatan-kesepakatan kelompok yang berniat jahat.” Slide berikutnya, Aaron memancing pertanyaan lagi, “Tiji Tibeh itu baik atau buruk?” Amir menjawab lagi, “Baik dan buruk adalah sesuatu yang abstraksi, dua kamar yang akan dihuni oleh kebenaran. Ukuran baik dan buruk tidak dapat diambil dari otak manusia. Otak manusia adalah produk dari yang maha menciptakan, Allah. Sehingga yang dapat mengukur sesuatu baik atau buruk sejatinya hanya Allah.” Selanjutnya dalam diskusi itu, berkembang pembahasan pada thogut. Thogut adalah menyeberang dari kebenaran, Tuhan wanna be, absolute palsu, awale enak ujunge sengsoro, menyembah kepada selain Allah. Uang, kekuasaan, bisa menjadikan manusia thogut.

Memasuki malam, acara Kenduri Cinta dimeriahkan oleh beberapa perform musik, salah satunya Elis dan Bang Dash, kawan dari komunitas Kandank Jurank Doank.

“Allah lah yang primer, usaha manusia adalah sekunder. Berupayalah, dan biarlah Allah yang menentukan hasilnya.”

Emha Ainun Nadjib

Tiji-Tibeh3

Sesi kedua diskusi dimulai saat waktu sudah menginjak dini hari, hadir Cak Nun yang telah dirindukan kehadirannya oleh jamaah. Sebagai pembukanya, Cak Nun mengungkapkan bahwa semua yang tampil di Kenduri Cinta itu bisa jadi ilmu, “Jangankan musik, taek aja jadi ilmu di Kenduri Cinta. Syaratnya kita harus menerapkan ilmu tawaf, melihat segala sesuatu dari berbagai sisi, mengelilingi. Tapi jangan lupa sama ngajinya. Dalam setiap berkegiatan, Allah menempati pihak keberapa di hidupmu? Allah bisa menjadi pihak ke-1, ke-2, atau ke-3 dalam hidup seseorang, tergantung kesadaran orang itu akan setiap posisi diri. La ila ha ila anta à Allah di hadapanmu. La ila ha illa ana à Allah dalam diri. Dengan wirid, terdapat kesadaran penuh atas posisi diri dan Allah.”

Dalam menanggapi tema, Cak Nun mengajak jamaah untuk melihat segala keburukan dengan pandangan kebaikan. “Bagi orang yang terlalu lama hidup dalam penderitaan, kebusukan bisa menjadi kematangan (nikmat), air kencing bisa jadi menyegarkan.

“Rakyat Indonesia itu un-identifikasi. Susah untuk meneliti rakyat Indonesia itu, baru pendataan saja sudah salah, padahal belum sampe analisis, apalagi kesimpulan. Coba kita lihat sekarang ini, apakah kita punya presiden? SBY itu presiden ya? Presiden kok kerjaannya ngeluh, kerjaannya kok menghimbau. Presiden itu tugasnya bukan menghimbau, tapi memerintah. Itulah amar ma’ruf dalam konteks pemerintahan, memerintah kebaikan yang sudah dirumuskan menjadi hukum (aturan).

“Orang yang belum mendalam butuh mulut untuk memuji Allah, sedangkan yang sudah mendalam, detak jantungnya pun sudah memuji Allah. Islam itu letaknya di dapur, yang disuguhkan di meja makan adalah output-nya, kebaikannya. Hari ini yang terjadi malah sebaliknya, segala sesuatu dilabeli islami, ada unsur daya jual. Contoh, sering kita dengar lagu religi, padahal mungkin maksudnya religiusitas. Religiusitas adalah setiap segala sesuatu yang sifatnya bottom up, cara manusia mengungkapkan cintanya kepada Allah, misal salawatan, maulidan. Sedangkan religius itu sifatnya top-down, misalnya perintah salat, puasa, bayar zakat. Religiusitas itu kreasi manusia atas cintanya kepada Allah, kalau religius tidak bisa dikreasikan, salat ya begitu gerakan dan bacaannya, tidak boleh dirubah-rubah.”

“Islam itu letaknya di dapur, yang disuguhkan di meja makan adalah output-nya, kebaikannya.”

Emha Ainun Nadjib

Tiji-Tibeh4

Cak Nun menjelaskan lebih lanjut, seharusnya ada 4 bidang yang tidak boleh dikapitalisasi, yaitu: kesehatan, pendidikan, keagamaan, dan kebudayaan. Misal pada bidang kesehatan, dokter membutuhkan alat suntik untuk mengobati pasien, alat suntiknya bayar, maka pasien dikenakan biaya. Tapi dokter nyuntik pasien harusnya tidak bayar. Ini peradaban yang benar, akhlak moral. Menyembuhkan orang sakit. Pada bidang pendidikan: bangku sekolah, gedung sekolah, waktu mengajar dan transportasi guru, ini yang harus dibayar. Murid ditarik biaya untuk ini. Tapi guru mengajar jangan dibayar, habis pahalanya.

Dalam melihat fenomena Indonesia saat ini, Cak Nun mengungkapkan bahwa ada dua opsi perubahan, dari usaha manusia sendiri, dan kehendak Allah. Nah, mana yang primer dan sekunder? Kehendak Allah itu primer atau sekunder? Usaha manusia itu yang primer atau yang sekunder? Analoginya, siapa yang menghamili istri anda? Apakah anda bisa menghamili istri anda? Anda hanya bisa meniduri istri anda, hamil atau tidak, itu kehendak Allah. Sesungguhnya anda tidak bisa menghamili istri anda. Analogi lain menurut Cak Nun: “Siapa yang bisa memanen padi? Apakah manusia bisa memanen padi? Yang bisa manusia lakukan cuma menanam padi, tumbuh atau tidak, panen atau tidak, itu kehendak Allah.” Jadi Allah-lah yang primer, usaha manusia adalah sekunder. Berupayalah, dan biarlah Allah yang menentukan hasilnya.

“Kejadian seburuk apapun, sikapilah dengan baik, karena kita ini semua khalifah, tugas kita mengkhalifahi hidup.”

Emha Ainun Nadjib

Menanggapi apa yang Cak Nun paparkan, seorang jamaah bertanya: “Kalau begitu, bagaimana memahami takdir? Apa ada hubungan dengan takdir? Takdir itu usaha manusia atau usaha Allah?” Cak Nun menjawab: “Lebih baik jangan menggunakan kata takdir, karena takdir itu bahasa Indonesia yang bahasa arabnya nggak jelas, sebaiknya sunah dan qudrah. Sunah itu merupakan apa yang secara logis harus terjadi, contoh: kertas ketemu api akan terbakar. Qudrah adalah hak preogratif Allah untuk mengubah atau tidak mengubah segala sesuatu, misal; jalan hidup anda. Nah, untuk kasus Indonesia ini, perubahan-perubahan tidak cukup hanya sunnah, membutuhkan qudrah Allah.”

Cak Nun juga sampaikan: “Orang hidup itu milih, kalau sudah milih, jangan ngeluh. Sama seperti memilih calon pendamping, kita ngga bisa icip-icip dulu, kalau meyakini dia jodohmu, ya pilih. Tapi ya kalau sudah nikah jangan ngeluh… Sesungguhnya yang paling essensial dalam hidup itu adalah berumah tangga, ngga bisa diilmiahkan hidup berumahtangga itu. Kalau semua bisa diilmiahkan, ya modar peradaban. Maksudnya gini, hidup itu harus nekat, jangan takut. Kejadian seburuk apapun disikapilah dengan baik, karena kita ini semua khalifah, tugas kita mengkhalifahi hidup.

“Hiduplah seperti Al-Fatehah, karena Al-Fatehah adalah induk Al-Quran. Ayat 1 berbicara tentang pengakuan, ayat 2 tentang pujian, ayat 3 tentang pengakuan, ayat 4 tentang pernyataan cinta/kerajaan Allah, ayat 5 tentang pernyataan kesetiaan, tidak selingkuh dari-Nya, ayat 6 tentang petunjuk, dan ayat 7 tentang hak meminta.

“Hidup itu tidak ada hubungannya dengan mati. Hidup itu tugasmu, mati itu urusan Allah. Pekerjaan utama manusia hidup di dunia itu à Ihdina sirotol mustaqim. Berjalan di jalan yang benar dengan cara yang benar.

“Sebenarnya lebih tinggi negara berdasarkan moral dari pada negara berdasarkan hukum. Hukum berjalan kalau ada aparat/pelakunya. kalau moral itu akhlak, tanpa hukum, dia sudah tahu dan menjalankan mana yang benar dan mana yang salah.” Cak Nun memakai analogi: “Tinggi mana zakat atau infaq? Kalau zakat itu wajib, kalau infaq itu kesadaran moral.” Setelah menguraikan itu, Cak Nun mengajak jamaah: “Tingkatkanlah diri menjadi manusia akhlak, lebih tinggi lagi menjadi manusia taqwa, jangan jadi manusia hukum.”

Pada sesi tanya jawab, ada jamaah yang bertanya: “Apakah dosa saya diampuni Allah, sedangkan dosa saya begitu besar? Saya takut Allah tidak mengampuni dosa saya.” Cak Nun menjawab, “Sesungguhnya kasih sayang Allah lebih besar dari tumpukan-tumpukan dosa manusia. Bagaimana supaya Allah mengampuni dosa kita? Pengampunan Allah itu bukan berdasarkan besar kecilnya dosa, tapi tobatan nasuha-nya manusia itu sendiri.”

Sebelum acara ditutup, Cak Nun membacakan surat Ar-Rahman, jamaah khusuk menyimak. Sebagai pamungkas, Ustaz Rusdi memimpin doa menutup acara. Wassalam.