UNITED NATIONS OF NUSANTARA

Reportase Kenduri Cinta september 2014

Malam pukul delapan, tampak kerumunan di sekitaran plasa Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat. Seperti waktu-waktu sebelumnya, malam itu adalah Jumat kedua, waktu diadakannya forum rutin maiyahan Kenduri Cinta. Sebagian dari kerumunan itu kemudian tampak maju ke depan forum, mengajak orang-orang lainnya untuk menata diri agar mendekati panggung. Tak lama, kerumunan tampak mulai memadati bibir panggung, kemudian terdengar pembacaan Alquran. Malam itu dipilih surat Al-Hujurat. Pembacaan dilakukan bersama-sama secara tartil dan terpimpin dalam format tadarus, yang kemudian dicungkupi dengan tiga wirid; Hasbunallah, Padhangmbulan dan Sohibu Baiti.

PERBEDAAN SEBAGAI SUATU KEKUATAN

Sebagai moderator, Ibrahim menyampaikan bahwa Maiyah itu bersama, seperti saat tadi membaca (Alquran), bukan yang lain membaca di depan dan yang lain mendengar saja di belakang, namun membaca bersama-sama. Ibrahim selanjutnya “memancing” jamaah yang hadir untuk memaparkan tentang apa yang terlintas pertama kali di pikirannya ketika membaca tema Kenduri Cinta kali ini: Ia mendatangi satu per satu kerumunan jamaah yang mengacungkan jarinya, menyodorkan mic yang ada di tangannya dan memberi waktu seluasnya kepada jamaah untuk berpendapat.

Seorang jamaah dari Aceh, Adi Al Kautsar, berpendapat bahwa dengan mengganti nama indonesia menjadi nusantara bisa menjadi salah satu solusi untuk menghapus hutang Indonesia yang semakin tahun semakin bertambah. Menanggapi soal hutang luar negeri tersebut, Eko Tan, jamaah asal Jakarta menyambung dengan sampaikan bahwa Indonesia memiliki simpanan uang dan emas batangan yang sangat banyak di Swiss, konon dulu dipersiapkan oleh Soekarno saat masih memimpin Indonesia. Sehingga logis koruptor di Indonesia semakin banyak, karena mereka tahu betapa banyaknya kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia.  Lain dengan Ali, jamaah dari Pasar Minggu, yang menanggapi tema dengan mengatakan bahwa solusi yang bisa dilakukan adalah masyarakat yang tidak setuju dengan pemerintah saat ini berkumpul di sebuah pulau yang masih berada di wilayah territorial yang sama di Indonesia, untuk kemudian membangun sebuah negara kecil yang baru, dengan sistem yang baru.

“Indonesia sudah sangat plural, apabila ada yang berpikir untuk menolak untuk menjadi berbeda, maka ia menolak untuk menjadi dirinya sendiri.”

Menyambung diskusi, Hesti, salah seorang jamaah yang mengaku baru datang pertama kali ke Kenduri Cinta, menyampaikan bahwa Indonesia ini sudah sangat plural, sehingga menurutnya apabila ada yang berpikir untuk menolak untuk menjadi berbeda, maka dirinya menolak untuk menjadi dirinya sendiri. Karena sejatinya bangsa Indonesia ini memang berbeda-beda sehingga tidak semestinya kita menolak sebuah perbedaan satu sama lain.

Berikutnya Saiful Anwar dari Gunung Kidul, katakan bahwa masalah perbedaan memang harus kita terima. Seperti dalam ilmu kelistrikan, ada namanya beda potensial dimana justru perbedaan-perbedaan itu justru menjadi kekuatan. Yang kita butuhkan saat ini adalah bagaimana cara kita menyikapi perbedaan itu sendiri.

Adi Pujo kemudian ikut urun pendapat tentang tema United Nations of Nusantara. Ia lebih memfokuskan pada term united dengan melempar pertanyaan, “Apakah dari dulu kita sudah bersatu atau belum? Atau memang dari dulu kita terpecah belah sehingga sekarang kita membutuhkan formula baru agar kita bersatu?” Menurut Adi, sejak dulu bangsa kita sudah bersatu, rasa toleransi lah yang dinilainya menjadi alat pemersatu. Toleransi itu sedemikian besarnya, sehingga jarang sekali kita melihat ada perpecahan. Toleransi ini yang kini makin lama makin hilang, tanpa adanya rasa toleransi antar satu dan yang lain tidak mungkin bangsa ini dipersatukan. Kita makin sulit melihat perbedaan-perbedaan yang sebenarnya perbedaan itu sudah ada sejak dulu. Adi mencontohkan proses lahirnya sumpah pemuda tahun 1928 yang terjadi jauh sebelum proklamasi kemerdekaan. Saat itu bangsa ini justru dalam keadaan terjajah. Dengan mengingat kembali momen sumpah pemuda tahun 1928, kita bisa mengidentifikasi bahwa sejatinya bangsa ini sudah bersatu sejak dulu.

UNITED NATIONS OF NUSANTARA — Kenduri Cinta

DISKUSI antara jamaah yang sekilas tampak seperti saling tumpang tindih pada awal acara Kenduri Cinta malam itu, menunjukkan perilaku komunikasi partisipatoris yang telah terbentuk pada komunitas Kenduri Cinta. Dalam pengelolaan acara, jamaah dan panitia harus terlibat aktif dalam keseluruhan proses diskusi. Setiap jamaah diberikan ruang seluas-luasnya untuk menyampaikan pendapatnya, karena setiap jamaah adalah subjek yang memiliki persepsi, pengetahuan, dan pengalaman yang berbeda. Disinilah kemauan untuk saling percaya dalam membangun pemahaman-pemahaman baru. Dalam pengelolaan acara, moderator/panitia juga tidak bisa bertindak atas dasar kemauannya sendiri. Kenduri Cinta adalah sarana untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam menganalisis masalah dan mengidentifikasinya.

Acara dilanjutkan dengan tampilnya Farid, putra Mbah Surip, yang tampil esentrik di atas panggung membawakan nomer-nomer lagu beraliran Reggae. Tidak sama dengan pembicara atau narasumber yang menyampaikan pendapatnya melalui lisan, beberapa orang memilih kesenian sebagai alat untuk menyampaikan pendapat dan pandangannya, maka apapun bentuk kesenian, baik itu berupa lagu, puisi dan lainnya, harus dihargai sebagai bentuk pencurahan pikiran, gagasan dan emosi dari seseorang dalam menyikapi.

“Indonesia dibangun bukan berdasarkan prinsip semua untuk satu dan satu untuk semua, melainkan Indonesia dibangun berdasarkan semua berfikir untuk semua dan semua bekerja untuk semua.”

SEMUA BERFIKIR UNTUK SEMUA, SEMUA BEKERJA UNTUK SEMUA

SESI diskusi berikutnya dipandu oleh Mathar Kamal, menghadirkan pembicara dari PP IPNU, PB HMI dan KASUM (Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir). Khoirul Anam dari PP IPNU (Ikatan Pelajar Nahdhlatul Ulama) merespon tema United Nations of Nusantara sebagai bentuk konsolidasi nasional setelah bangsa ini melalui proses panjang dalam berdemokrasi. Proses tersebut menjadikan bangsa ini membutuhkan ruang untuk bermusyawarah mengenai bagaimana langkah-langkah selanjutnya. Untuk mengatasi persoalan kompleks bangsa, membutuhkan peran dari seluruh rakyat Indonesia. Terlebih setelah proses pemilihan presiden lalu, yang dianggapnya telah menciptakan jarak lebar antara kelompok satu dan yang lain.

Peran pemuda dinilai Anam sangat penting dalam menyelesaikan persoalan bangsa. Sayangnya, pemuda yang direpresentasikan oleh pelajar dan mahasiswa ternyata masih sedikit yang berminat untuk berkecimpung di dunia organisasi kepemudaan. Anam mencatat, hanya sekitar 3 hingga 4% dari pemuda yang aktif mengikuti organisasi. Padahal keberadaan organisasi-organisasi kepemudaan adalah garda terdepan dari kaderisasi kepemimpinan. Organisasi kepemudaan juga efektif dalam meredam paham-paham radikalisme. Di Indonesia terdapat kurang lebih 4.000 organisasi. Semua organisasi itu memiliki peran penting dalam mengedukasi masyarakat di bidang politik, budaya, agama, pendidikan, kesehatan, sosial dan kemasyarakatan lainnya. Secara khusus, Anam juga mengatakan bahwa forum Kenduri Cinta ini juga memiliki peran penting, dimana konsistensinya setiap bulan dalam menyediakan wadah bagi masyarakat, mampu memberikan ilmu yang sangat luas cakupannya di kehidupan sehari-hari.

Pembicara selanjutnya dari PB HMI, M. Arif Rosyid. Pada kehadirannya yang kedua kali di Kenduri Cinta malam itu, ia memaparkan bahwa Indonesia dibangun bukan berdasarkan prinsip “semua untuk satu dan satu untuk semua”, melainkan Indonesia dibangun berdasarkan “semua berpikir untuk semua dan semua bekerja untuk semua”, sehingga keberadaan semua elemen bangsa memiliki peran sama dalam membangun masa depan Indonesia. Kehancuran bangsa diawali dari sekelompok orang yang berpikir pragmatis, mencari keuntungan bagi kelompoknya sendiri. Apabila seluruh elemen bangsa ini mengedepankan prinsip “semua bekerja untuk semua dan semua berpikir untuk semua”, maka kesenjangan sosial yang terjadi di Indonesia saat ini tidak akan terjadi di masa yang akan datang. Terlebih saat ini mayoritas penduduk Indonesia adalah mereka yang berada dalam usia-usia produktif. Keadaan yang banyak disebut dengan istilah “bonus demografi” ini justru harus membuat Indonesia lebih berhati-hati dalam menentukan kebijakannya, karena dapat menjadi window of opportunity namun juga bisa menjadi window of disaster, menjadi peluang atau justru menjadi jendela menuju kehancuran. Dan pilihan itu tidak hanya ada di tangan pemerintah saja, melainkan ada pada para pemuda, yang tersebar di berbagai organisasi maupun yang tidak berorganisasi.

Khairul Anam dari KASUM (Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir) selanjutnya mendapat waktu untuk berbicara. Tema Kenduri Cinta kali ini menurutnya terkorelasi dengan lagu Dari Sabang Sampai Merauke. Lagu itu merefleksikan wilayah teritorial Indonesia, dimana Indonesia hanya diperkenalkan hanya dalam nama “berjajar pulau-pulau”, sehingga konstruksi berpikir kita saat ini hanyalah Indonesia sebagai wilayah teritorial, bukan manusianya. Akhirnya, manusia Indonesia tidak menjadi Indonesia karena hanya berpikir teritorial saja, tidak berpikir secara substansi sebenarnya. Relasi kebangsaan yang terbentuk di negara ini adalah relasi teritorial, bukan relasi kemanusiaan.

“Bangsa adalah ciptaan Tuhan sedangkan negara adalah bentukan manusia-manusia yang berkumpul dalam sebuah bangsa. Indonesia bukan bangsa,melainkan sebuah negara.”

INDONESIA BUKAN BANGSA

Setelah pembicara dari kelompok organisasi kepemudaan, moderator kemudian memberikan waktu kepada Nanang Hape, seorang dalang dan budayawan muda. Nanang mengawali diskusi dengan aksen jawa kentalnya, “Karena saya seorang dalang, maka tentu saya akan menyampaikan dari sudut pewayangan. Dalam kesenian wayang, wayang itu baru hidup jika dalangnya silam. Artinya, penonton tidak melihat dalangnya, melainkan wayangnya. Apabila wayangnya bagus, maka dalangnya akan menjadi bagus. Kini tinggal kita lihat seperti apa pemimpin kita sekarang, apakah rakyat melihat pemimpinnya atau siapa? Wayang adalah refleksi kehidupan sehari-hari.”

Nanang mengingatkan jamaah untuk tidak melupakan akar, karena sejak awal para pembicara hampir semua berbicara tentang masa depan yang direpresentasikan sebagai berseminya buah dalam sebuah pohon. Ia mencoba menarik jamaah untuk berbicara tentang akar, agar semua yang hadir tidak melupakan sejatinya diri dari setiap manusia.

“Indonesia ini terbangun dari berbagai suku. Suku dalam bahasa Jawa artinya adalah kaki atau sikil,” sambung Nanang. “Apabila Indonesia ingin melihat dirinya 50 tahun ke depan, maka salah satu saratnya adalah melihat bagaimana 50 tahun ke belakang,” tutur Nanang. Ia mengibaratkan sebuah jangka (red: alat untuk membuat gambar lingkaran) karena menggunakannya harus berputar maka Indonesia juga harus menggunakan cara yang sama. Sejauh itu kita melihat ke depan, sejauh itu pula yang kita bisa melihat ke belakang. —Wayang bisa menjadi juru warta, yaitu sumber cerita jangka ke belakang yang kemudian bisa digunakan untuk menjangka Indonesia ke depan, utamanya bagi generasi saat ini.

Sebagai seorang seniman, ia berusaha menyampaikan gagasan-gagasan melalui kesenian dalam kerangka Indonesia. Nanang menceritakan pengamatannya saat mempelajari jenis-jenis nada azan di tiap-tiap daerah di Indonesia yang ternyata memiliki banyak jenis nada dalam cengkoknya. Azan di Aceh sangat berbeda dengan azan di Jogja. Bagi seorang seniman, penggalian hal-hal demikian haruslah mendalam sehingga seniman menemukan hal-hal yang baru dalam memahaminya.

“Dalam kesenian wayang, wayang itu baru hidup jika dalangnya silam. Artinya, penonton tidak melihat dalangnya, melainkan wayangnya. Apabila wayangnya bagus, maka dalangnya akan menjadi bagus.”

Pembicara selanjutnya adalah Wardi, malam itu ia memaparkan ilmu yang disebutnya dengan trifalak tunggalistik. Ilmu ini mengedepankan ilmu yang ada dalam diri manusia sendiri, sebab apapun yang ada di dunia, teknologi apapun saat ini, sudah ada dalam diri manusia. Menurut Wardi, bangsa adalah ciptaan Tuhan sedangkan negara adalah bentukan manusia-manusia yang berkumpul dalam sebuah bangsa. Indonesia bukan bangsa, melainkan sebuah negara yang dibentuk oleh BPUPKI yang merupakan representasi bangsa nusantara saat itu.

Selepas presentasi dari Wardi, Mathar Kamal yang juga berperan sebagai moderator acara, memancing beberapa jamaah untuk merespon semua yang sudah dipaparkan oleh narasumber.

Ahmad Dhuha, jamaah dari Pemalang yang mengaku hanya bersekolah hingga SMP, mempertanyakan mengapa tidak menggunakan bahasa Indonesia saja? Hal ini sejalan dengan fenomena yang terjadi di masyarakat, menyatakan cinta Indonesia namun dengan bahasa Inggris, I Love Indonesia. Sepintas memang fenomena ini mengagumkan, mencerminkan bahwa masyarakat Indonesia sudah semakin maju karena bisa berbahasa Inggris, namun jika dilihat dari sisi yang lain, hal ini membuat mental bangsa ini semakin mundur karena tidak merasa bangga dengan bahasanya sendiri.

Diaz, jamaah dari Jakarta mengungkapkan responnya kepada perwakilan organisasi kepemudaan yang sebelumnya berbicara di forum. Menurut Diaz, mayoritas dari pejabat di pemerintahan saat ini pernah merasakan kehidupan organisasi kepemudaan sebelumnya. Tidak sedikit bahkan dari mereka yang dulunya merupakan aktivis mahasiswa. Menurut Diaz, semakin banyaknya organisasi kepemudaan saat ini, justru bertolak belakang dengan tema United Nations of Nusantara. Pemuda kini justru mengkotak-kotakkan diri berdasar kelompok organisasinya masing-masing, imbasnya ketika menjabat suatu jabatan kemudian mereka seperti menjadi representasi dari organisasi mereka.

Sayangnya, elit pejabat itu (mantan aktivis organisasi pemuda) sangat berbeda dengan dirinya saat dulu menjadi aktivis mahasiswa. Sehingga yang terjadi adalah hilangnya kepercayaan rakyat terhadap para pemimpinnya. Diaz mencontohkan dalam proses pemilihan legislatif, para calon legislatif mengemis suara kepada rakyat, namun ketika mereka menjabat sebagai wakil rakyat di parlemen sama sekali tidak merepresentasikan dirinya sebagai wakil rakyat. Karena frame yang terbentuk dalam alam pikiran mereka adalah sebuah kompetisi. Ketika sudah duduk di kursi parlemen, mereka sudah tidak berpikir lagi tentang rakyat, yang mereka pikirkan adalah bagaimana agar mereka bisa kembali menduduki kursi tersebut di pemilihan yang akan datang.

Umam, jamaah asal Madura, ikut menyampaikan pendapatnya. Tentang nama Indonesia, Umam menyarankan agar nama indonesia diganti menjadi nusantara. “Orang tua jaman dulu saja apabila anaknya sakit-sakitan, namanya diganti,” ujarnya. Ia mencontohkan alm. Gus Dur yang merubah nama Irian Jaya menjadi Papua. Menyambung Umam, Ulya, jamaah perempuan asal Karawang, lebih mengajak kepada bagaimana kita mengembalikan identitas bangsa Indonesia dan mempertegas kembali identitas tersebut.

MAIYAH ADALAH PERISTIWA SHODAQOH

MENJELANG tengah malam, Cak Nun kemudian ikut duduk ditengah pembicara dan jamaah, setelah sebelumnya beliau duduk menyimak dari samping panggung layaknya jamaah. Sambil membereskan mic-nya, beliau menanyakan ke jamaah, “Mic mana yang menurut anda paling enak di dengar oleh semua? Yang ini? Atau yang ini?” Jamaah menunjuk mic sebelah kanan tangan Cak Nun. Membuka forum sesi berikutnya, Cak Nun, “Teman-teman sekalian, saya sangat gembira, sangat bahagia, sangat mendapatkan harapan.” Cak Nun menghimbau moderator dan pembicara yang berada di depan untuk tak perlu tergesa-gesa merespon apa yang disampaikan oleh jamaah, akan lebih indah apabila para pembicara mampu membangun ruang baru untuk kemudian menemukan pintu-pintu baru dalam merespon apa yang disampaikan jamaah. “Bangsa yang sangat kaya budayanya ini, sangat beragam suku dan bahasanya ini, tidak akan bisa diurus oleh pemerintahan yang kaya kacang goreng seperti sekarang. Sudah lahir sebuah peradaban baru, bukan hanya negara yang baru,” sambung Cak Nun.

“Maiyah adalah peristiwa shodaqoh. Karena sejatinya Maiyah tidak memiliki hak dan kewajiban apa-apa terhadap jamaah yang hadir di setiap forum maiyahan.”

UNITED NATIONS OF NUSANTARA — Kenduri Cinta

“Melihat fakta, jika kita menggunakan analogi hukum agama maka keberadaan negara ini sudah batal. Dalam perspektif hukum, seorang pencopet dengan koruptor itu berbeda hukumannya, namun jika kita berbicara soal konstitusi yaitu substansi dari pelanggaran norma antara pencopet dan koruptor maka pencopet dan koruptor harus dijatuhi hukuman yang sama.”

Cak Nun memberikan perumpamaan lainnya, yaitu dalam proses pelaksanaan solat. Seseorang dinyatakan batal solatnya tidak tergantung pada jumlah kentut atau air kencing yang keluar dari kemaluannya. Sedikit atau banyak ia kentut atau kencing ketika salat, maka solatnya dinyatakan batal secara hukum agama. Sehingga dalam prinsip dasar dalam sebuah moral, tidak peduli seseorang mencuri uang sedikit atau banyak, karena pada prinsip nilainya adalah pencurian. “Nah, seharusnya Mahkamah Konstitusi itu seharusnya seperti itu, jika Mahkamah Konstitusi tidak berani berbicara konstitusi secara substansi, jangan menganggap dirinya sebagai Mahkamah Konstitusi,” tegas Cak Nun.

Secara spontan, Cak Nun menawarkan ke jamaah untuk diskusi langsung dengannya perihal tema hak dan kewajiban. Hendra salah seorang jamaah yang berprofesi sebagai pengacara, kemudian berinisiatif untuk berdiskusi. Cak Nun memintanya untuk menjelaskan prinsip dasar tentang hak dan kewajiban. Menurut Hendra, hak merupakan sesuatu yang dibawa dan dimiliki oleh seseorang, sedangkan kewajiban merupakan sebuah bentuk dari tanggung jawab yang ditanggung oleh seseorang terhadap pelaksanaan haknya.


Cak Nun mengerucutkan pertanyaan, “Pada posisi seperti apa seseorang memiliki hak?” Cak Nun kemudian menjelaskan dengan perumpamaan proses terbentuknya janin dalam kandungan seorang perempuan, bahwa hubungan intim antara suami dengan istri hanya merupakan sebuah proses awal. Yang dilakukan sang suami adalah menanam sperma di dalam ovum istrinya, yang memiliki kemampuan menjadikan sperma itu menjadi bayi adalah Allah.

Dari proses ini kita diajarkan tentang hak dan kewajiban. Ketika suami istri tadi mendapatkan haknya yaitu bayi yang dikandung oleh sang istri, maka kewajiban mereka adalah menjaga kandungan sang istri agar tetap sehat hingga bayinya lahir. Ketika bayi lahir, kewajiban pasangan suami istri tersebut akan lebih besar lagi, mulai dari memberi nama, aqiqah, mendidiknya dan seterusnya.

Tingkatan selanjutnya, si anak yang lahir tadi memiliki kewajiban menaati kedua orang tuanya dan juga kepada Allah, karena ia merupakan produk dari pekerjaan yang melibatkan kedua orang tuanya dan Allah beserta para malaikat-Nya. Seperti halnya Allah memiliki hak memberikan perintah salat kepada manusia karena Allah yang menciptakan manusia.

“Saya tidak percaya bahwa forum yang dahsyat ini, yang Allah memberi hidayah ini, tidak akan melahirkan masa depan bangsa yang bercahaya.”

UNITED NATIONS OF NUSANTARA — Kenduri Cinta

Cak Nun menegaskan bahwa semua yang hadir di Kenduri Cinta ini pada dasarnya tidak memiliki hak dan kewajiban satu sama lain. Para pembicara tidak punya kewajiban mencerahkan jamaah dan jamaah tidak punya hak untuk dicerahkan. Pada forum Kenduri Cinta, jamaah secara sadar atau tidak sadar, pada dasarnya telah mendapatkan pendidikan politik, pemahaman-pemahaman baru tentang demokrasi, kebebasan berpendapat, pluralisme dan saling menghargai. Juga ada pendidikan tafsir agama, pendidikan kesenian, budaya, hukum dan tata negara, bahkan teknologi. Hal-hal yang seharusnya menjadi kewajiban negara, kewajiban ulama/ustaz, dll.

Yang terjadi dalam (forum-forum) Maiyah adalah peristiwa shodaqoh. Karena sejatinya Maiyah tidak memiliki hak dan kewajiban apa-apa terhadap jamaah yang hadir di setiap forum maiyahan di berbagai tempat. Tetapi dalam Maiyah semua hal itu justru dibahas secara murni berdasar nilai-nilai, mulai dari politik, agama, budaya, hukum, teknologi dan sebagainya. Forum Maiyah hingga saat ini melakukan kewajiban yang seharusnya dilakukan oleh pihak lain yang berkewajiban melakukannya, maka nilainya adalah shodaqoh.

Dalam Islam, kedudukan shodaqoh (sedekah) tidak sama dengan jenis-jenis ibadah yang diwajibkan dalam rukun Islam, sehingga sedekah memiliki aturan khusus dan juga memiliki imbalan yang juga khusus dipersiapkan oleh Allah bagi yang melakukannya. Tidak ada kewajiban bersedekah, namun Allah menjanjikan balasan berlipat-lipat bagi yang bersedekah. Meski demikian, bukan imbalan tersebut yang kita harapkan dari Allah, karena kita sudah harus meyakini bahwa Allah akan melaksanakan kewajibannya sebagai Tuhan disaat hambanya sudah melakukan kewajibannya terhadap ketentuan-Nya.

Dalam perspektif nilai, sedekah bisa memiliki posisi yang lebih tinggi dari zakat yang merupakan salah satu kewajiban dalam Islam. Orang berzakat ada aturannya, berapa jumlah yang ia zakatkan, berapa ambang batas harta yang harus dizakati dan sebagainya. Tetapi berbeda dengan sedekah, ia merupakan peristiwa menunaikan “kewajiban” dalam dimensi yang lain. Tidak ada aturannya berapa yang harus disedekahkan, tidak ada aturannya kapan harus bersedekah. Namun yang terjadi saat ini, kebanyakan manusia bersedekah bertujuan agar Allah melipatgandakan apa yang ia sedekahkan, hal tersebut bukanlah sedekah melainkan berdagang kepada Tuhan. Sedekah tidak boleh dipaksakan peristiwanya.

“Tidak ada kewajiban bersedekah, namun Allah menjanjikan balasan berlipat-lipat bagi yang bersedekah.”

Disampaikan kembali oleh Cak Nun, bahwa Kenduri Cinta tidak memiliki kewajiban apa-apa kepada jamaah dan bangsa Indonesia terkait pendidikan politik, agama, budaya, hukum, teknologi dan sebagainya tadi. Tetapi di forum Kenduri Cinta semuanya saling bersinergi untuk memberikan informasi satu sama lain. Jamaah hadir dengan ikhlas tanpa pamrih, begitu juga Cak Nun hadir di forum Kenduri Cinta tanpa kepentingan apa-apa, tanpa menuntut apa-apa. Forum Kenduri Cinta menyediakan media pertemuannya. Dan ini bukanlah sebuah kewajiban bagi Kenduri Cinta kepada jamaah yang sudah hadir, karena seandainya pada suatu hari Kenduri Cinta ditiadakan, maka jamaah pun tidak memiliki hak untuk menuntut kepada Forum Kenduri Cinta untuk diadakan.

Beliau juga mengingatkan, manusia hanya memiliki hak dalam wilayah menanam dan menjaga tanaman yang ia tanam, namun ia tidak bisa menentukan tanaman itu pasti berbuah atau tidak. Karena yang memiliki hak penuh atas tumbuh dan berbuahnya tanaman tersebut adalah Allah. “Jadi saya tidak percaya bahwa forum yang dahsyat ini, yang Allah memberi hidayah ini, tidak akan melahirkan masa depan bangsa yang bercahaya,” lanjut Cak Nun.

Kembali Cak Nun memberikan perumpamaan, “Apabila Indonesia ini sebuah gadget perangkat elektronik, yang dibutuhkan itu soft reset, hard reset atau total reset? Jika soft reset, yang terjadi hanya penghapusan data-data sementara, sementara aplikasinya masih sama, sistem operasinya masih sama, perangkat kerasnya juga masih sama. Begitu juga apabila yang dilakukan adalah hard reset, mungkin aplikasi dan sistem operasinya berubah, namun perangkat kerasnya masih sama, hard disk-nya masih sama, prosesornya masih sama. Bila memang yang diperlukan adalah total reset, maka ini harus kita cari formulanya bersama-sama. Karena total reset bukan hanya menghapus data yang ada didalam memori penyimpanannya, bukan hanya mengganti sistem operasinya, namun juga mengganti perangkat kerasnya.”

“Disini tidak ada pencitraan, tidak ada hiasan sedikitpun, dan kita datang kesini tidak untuk berhias-hias. Kita disini justru membuka jiwa kita selebar-lebarnya dan setulus-tulusnya. Dan saya tidak yakin, saya tidak percaya kalau ketulusan dan kesucian anda itu tidak dilahirkan oleh Tuhan menjadi kejayaan masa depan bangsamu,” pungkas Cak Nun.

Cak Nun lalu mengajak seluruh jamaah untuk berdiri bersama dan memasuki ruang “sunyi”, bersama melantunkan Sohibu Baiti. Sekejap nuansa forum yang sebelumnya sangat kental akan warna intelektualitas, kini menjadi syahdu, hening dan spiritual.

“Disini tidak ada pencitraan, tidak ada hiasan sedikitpun, dan kita datang kesini tidak untuk berhias-hias. Kita disini justru membuka jiwa kita selebar-lebarnya dan setulus-tulusnya.”

UNITED NATIONS OF NUSANTARA — Kenduri Cinta

PERBEDAAN YANG MENJADI MANFAAT

FORUM kemudian dikembalikan kepada Mathar Kamal sebagai moderator acara. Moderator memberikan kesempatan kepada para narasumber untuk merespon apa-apa yang sudah disampaikan oleh jamaah sebelumnya. Narasumber perwakilan dari IPNU, HMI dan KASUM bergiliran memberikan responnya. Khoirul Anam dari IPNU menjelaskan, bahwa organisasi kepemudaan memiliki peran masing-masing. Terkait tentang banyaknya politikus yang terjerembab pada kasus-kasus korupsi, yang ternyata memiliki latar belakang dari organisasi kepemudaan, tidak bisa dikatakan bahwa itu merupakan produk 100% dari organisasi kepemudaan. Menurut Anam, koruptor harus diselidiki juga bagaimana keadaan keluarganya. Apakah keluarganya mendukung proses pemberantasan korupsi atau justru keluarganya yang menjadi motivasi utamanya dalam melakukan tindak pidana korupsi. Mengenai apa yang sudah dilakukan oleh IPNU, Khoirul Anam menjelaskan bahwa sudah banyak kader-kader IPNU yang saat ini menempuh studi S2 atas bea siswa yang diberikan oleh IPNU, ini merupakan salah satu kerja nyata IPNU dalam rangka membangun masa depan bangsa, khususnya generasi muda.

M. Arif Rosyid dari HMI menanggapi, apa yang terjadi di Indonesia adalah krisis keteladanan dan krisis integritas. Organisasi kepemudaan hanyalah satu dari sekian cara untuk mengantarkan Indonesia untuk menjadi lebih baik lagi. Semua elemen bangsa memiliki peran sama dalam proses perubahan Indonesia menjadi lebih baik. Semangat persatuan harus dimiliki oleh kita bersama.

Khoirul Anam dari KASUM ikut memperkuat dengan mengatakan bahwa kita mesti meninggalkan paradigma yang mengatakan bahwa pemuda tidak memiliki hak untuk memimpin bangsa. Yang harus diutamakan dalam menentukan siapa yang memimpin adalah apakah dia orang baik atau tidak, bukan soal usia muda atau tua. Soal siapa yang akan berkuasa juga tidak harus tergantung pada latar belakang organisasi kepemudaannya, karena kesempatan untuk memimpin bangsa ini bukan soal latar belakang organisasi, melainkan soal nilai, apakah dia memiliki nilai untuk memimpin atau tidak? Maka yang harus diubah adalah cara berpikir kita. Anam menegaskan, apapun konsep dari suatu bangsa atau negara, ketika pikiran manusianya terpenjara atau terkekang, maka peradaban yang diharapkan tidak akan tumbuh.

“Seharusnya, tidak ada lagi kebencian antar suku dan ras di muka bumi ini, karena perbedaan itu adalah sunatullah. Setiap manusia tidak bisa memilih dia akan lahir menjadi Jawa atau Sunda.”

Lain hal dengan tema yang disampaikan pembicara lainnya, Iswan menyoroti isu rasial yang kini tengah terjadi di Amerika Utara, dimana banyak orang-orang ‘bule’ kulit putih seringkali meledek orang-orang kulit hitam sebagai keturunan Afrika. Ia juga menceritakan bagaimana bangsa Tamil di Srilanka yang saat ini sedang mengobati luka sejarah mereka sendiri, juga akibat isu rasialisme. Di Philadelphia, seorang keturunan Tamil justru menjadi salah satu orang yang berpengaruh dalam penyebaran Islam di Amerika. Iswan kemudian mengorelasikan peristiwa rasialis di Amerika dengan di Indonesia. Yang terjadi di Indonesia adalah perbedaan suku bangsa seperti: Jawa, Sunda, Batak, Bugis dsb. Pada saatnya nanti perbedaan tersebut bukan menjadi hal yang primer lagi untuk diperdebatkan di Indonesia. Iswan menambahkan, seandainya sosok Ahok itu muncul di tahun 80-an, sangat tidak mungkin dia bisa menjadi seorang gubernur di Indonesia. Seharusnya, tidak ada lagi kebencian antar suku dan ras di muka bumi ini, karena perbedaan itu adalah sunatullah. Setiap manusia tidak bisa memilih dia akan lahir menjadi Jawa atau Sunda. Yang kini seharusnya dibicarakan bersama adalah bagaimana agar perbedaan-perbedaan itu memberikan manfaat bagi manusia yang lainnya.

Menurut Iswan, peran organisasi kepemudaan sangat penting dalam rangka pemberantasan perasaan berbeda antar suku dan ras. Ia mengingatkan para aktivis agar jangan terlalu idealis dalam berbicara, karena sudah banyak sekali contohnya dimana apa yang sudah diucapkan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Sudah banyak sekali contoh politisi yang mengatakan “berantas korupsi” namun justru saat ini mereka menjadi salah satu tahanan KPK.

Iswan memberikan masukan kepada para pemuda agar membangun kompetensi, “Jangan terbuai berlama-lama aktif di organisasi kepemudaan atau LSM, kecuali anda memiliki rasa kecintaan yang sama seperti seorang seniman mencintai kesenian.”

UNITED NATIONS OF NUSANTARA — Kenduri Cinta

GADO-GADO INDONESIA NUSANTARA

TUHAN itu menciptakan jodoh, jadi kalau anda berbuat baik jodohnya adalah berkah, kalau anda berbuat zalim jodohnya adalah azab. Jangan gampang melakukan keburukan karena nanti akan ketemu jodohnya. Anda juga jangan pernah merasa sombong, merasa menang, jangan merasa sudah beres, karena setiap yang anda alami setiap hari akan ketemu jodohnya. Jadi mari kita detil dalam setiap yang kita lakukan karena dia akan berjodoh. Karena jodoh adalah perimbangan atau penyeimbang,” kata Cak Nun.

Dalam Alquran terdapat ayat waman ya’mal mitsqolla dzarrotin khoiron yaroohu, waman ya’mal mitsqolla dzarrotin sarron yaroohu. Dalam istilah Jawa terdapat analogi ngunduh wohing pakarti atau jer basuki mawa bea. Dan ada banyak lagi istilah-istilah serupa dalam bahasa lain. Apabila menggunakan istilah Jawa: jer basuki mawa bea, Cak Nun menjelaskan bahwa yang terjadi di Kenduri Cinta ini adalah mawa bea jer basuki. Karena jamaah yang datang di forum Kenduri Cinta sudah membayar kepada Allah dengan keikhlasan, datang ke Kenduri Cinta untuk kerinduan yang sama.

“Maka apabila menggunakan prinsip jodoh tadi maka yang harus kita pupuk sekarang adalah keyakinan bahwa semua pengorbanan ini akan dipertemukan jodohnya. Bisa saja jodohnya adalah kemudahan dalam hidup, menemukan solusi ketika dipertemukan dengan sebuah masalah. Namun jangan mencari kemudahan di Kenduri Cinta, karena kemudahan itu merupakan imbalan yang merupakan hak prerogatif Allah kepada kita. Jadi, janjinya Tuhan jangan dijanjikan janjinya manusia,” lanjut Cak Nun.

“Dalam kehidupan manusia, kita diajari bagaimana menyusun kepingan-kepingan puzzle kenikmatan dan penderitaan. Apabila detik ini kita mendapatkan uang 100 ribu, maka kita harus mampu mengolahnya untuk menimati uang tersebut. Meskipun pada detik selanjutnya kita boleh bercita-cita untuk mendapatkan uang sebanyak 1 juta. Tetapi pada saat kita mendapatkan 100 ribu, kita jangan memaksakan diri untuk berkhayal menikmati uang satu juta, karena yang akan terjadi adalah justru keburukan. Uang 100 ribu rasanya tidak enak dan uang 1 juta tidak dapat dirasakan karena uang yang dimiliki memang hanya 100 ribu. Jika sedang menikmati tempe jangan berkhayal sedang menikmati sop buntut. Bahwa semua yang dirasakan oleh manusia, sejatinya manusia memiliki sedikit hak untuk menentukan, Allah lah yang memiliki hak yang lebih banyak. Semakin kita sering mengeluh, semakin kita akrab dengan penderitaan,” tutur Cak Nun.

“Kita harus mampu merubah cara berpikir kita. Setiap orang memiliki kebenarannya masing-masing sepanjang ia tidak dibenturkan dengan kebenaran orang lain. Orang Jawa harus jadi orang Jawa, orang Sunda harus jadi orang Sunda. Jangan menjadi orang lain,” tegas Cak Nun.

Seperti halnya dalam makanan gado-gado, semua elemen dalam makanan tersebut penting dan harus menjadi dirinya sendiri. Tidak akan enak gado-gado yang dibikin dari kacang yang bukan kacang asli. Begitu juga kubis, lontong, toge dsb. Apabila yang digunakan bukan yang sebenarnya maka gado-gado menjadi tidak enak. Begitu juga dengan Indonesia, bahwa ada Jawa, Sunda, Batak, Betawi, Bugis dan sebagainya itu merupakan elemen yang saling melengkapi satu sama lain. Jangan sampai ada konflik antara satu dengan yang lainnya, merasa lebih unggul antara satu dan yang lainnya.

Tuhan menciptakan jodoh, jadi kalau anda berbuat baik jodohnya adalah berkah, kalau anda berbuat zalim jodohnya adalah azab. Jangan gampang melakukan keburukan karena nanti akan ketemu jodohnya.”

MENCAPAI KEMENANGAN SEJATI

Cak Nun mengajak jamaah untuk lebih memaknai azan dalam setiap waktu salat. Allahu Akbar merupakan kalimat representasi kekaguman manusia atas semua ciptaan Allah. Karena apabila kita sudah menemukan ketakjuban atas Allah, maka kita akan mengalami hidup yang berbeda, dan kita tidak akan kagum atas hal-hal yang sekunder di dunia ini. Maka ketika mendengar azan, sebaiknya kita memanfaatkannya untuk memasuki ruang ketakjuban atas semua yang Allah ciptakan di dunia ini. Ketika mendengar muazin mengucapkan Allahu Akbar, maka sebaiknya kita ikut melafalkannya, minimal dalam hati kita, sembari mensyukuri ketakjuban-ketakjuban yang sudah Allah perlihatkan kepada kita.

Kalimat syahadat dalam azan itu sendiri merupakan penegasan ketakjuban diri kita kepada Allah. Dan kita harus memahami bahwa syahadat merupakan persyaratan administrasi kita dalam persaksian terhadap Allah, karena kita hidup setelah zaman Nabi Muhammad SAW maka syahadat yang harus kita ucapkan merupakan kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah (Rasulullah).

Setelah kita melegitimasi ketakjuban dan kesaksian kepada Allah, maka kalimat Hayya ‘ala-s-h-sholat merupakan kalimat resepsi percintaan antara manusia dengan Allah. Setelah itu manusia memiliki hak untuk menuju kemenangan seperti yang tersirat dalam kalimat Hayya ‘ala-l-falaah. Karena manusia sudah melaksanakan kewajibannya sebagai hamba Allah dengan melaksanakan salat, maka haknya sebagai hamba adalah kemenangan. Pada dimensi selanjutnya, manusia menyambut ketakjuban kedua dengan kalimat Allahu Akbar setelah manusia itu mencapai kemenangan yang sejati.

“Maiyah sendiri merupakan sebuah elemen yang sangat cair dimana setiap jamaah berhak mengambil keputusan sendiri, karena sejatinya manusia lahir sendiri dan akan mati juga dalam keadaan sendiri.”

UNITED NATIONS OF NUSANTARA — Kenduri Cinta

EPILOG

KALAU kepada Allah itu 100%, tetapi kepada ilmu yang baru anda temukan, anda tidak boleh 100%. Seluruh yang saya ketahui mengenai apa yang saya yakini benar itu belum tentu benar. Jadi saya tidak akan mempertahankan apa yang saya yakini benar, karena saya mungkin akan mendapatkan kebenaran yang lebih tinggi lagi,” ucap Cak Nun.

Cak Nun mengingatkan agar jamaah jangan terlalu keras mempertahankan apapun khususnya dalam ilmu pengetahuan. Karena sejatinya hanya Allah yang memiliki hak 100% untuk menentukan kebenaran suatu ilmu. Cak Nun juga menegaskan bahwa apa yang sudah dipaparkan oleh para narasumber tidak harus disepakati bersama. “Saya ingin tegaskan kepada anda, bukan hanya anda tidak harus taat, kalau perlu anda tidak boleh taat kepada saya,” tegas Cak Nun.

Menurut Cak Nun, pertentangan itu boleh didramatisisasi, karena pada saatnya nanti kita akan menemukan kesepakatan-kesepakatan yang baru. Dan terkait ilmu apapun, setiap orang boleh memiliki tafsiran masing-masing karena itu merupakan hasil dari ijtihad pribadi masing-masing dan merupakan kebenaran pribadi masing-masing.

Di penghujung acara, Cak Nun mengingatkan jamaah untuk tidak taat kepada Cak Nun. Bahwa yang harus ditaati di dunia ini adalah Allah. Soal mentaati Allah melalui wacana yang diberikan olehnya, itu merupakan sebuah pilihan masing-masing setiap jamaah sendiri. Karena Maiyah hanyalah salah satu jalan untuk mencapai ketaatan kepada Tuhan. Dan Maiyah sendiri merupakan sebuah elemen yang sangat cair dimana setiap jamaah berhak mengambil keputusan sendiri, karena sejatinya manusia lahir sendiri dan akan mati juga dalam keadaan sendiri.

Kenduri Cinta edisi September 2014 dipuncaki dengan menyanyikan bersama lagu Padamu Negeri dan doa bersama yang dipimpin oleh Cak Nun.