To Be Idul Fitri

Rasanya situasi kehidupan bangsa kita sedang cenderung berbalik arah dari koordinat Idul Fitri. Kita sedang diliputi ketidak-ridhaan, kebencian, bahkan pelecehan dan penghinaan di antara sesama kita. Mungkin ini interval rohani terjauh dari Idul Fitri.

Padahal Idul Fitri masih tahap ‘statis’: ayam menemukan kembali keayamannya setelah diburung-burungkan bahkan dimusang-musangkan oleh proses-proses sosial, persaingan politik atau hedonisme kebudayaan.

Pada Idul Fitri, tuntutan Allah sederhana, tidak perlu kreativitas atau kehebatan: cukup idul fitri, kembali menjadi dzat-sifat-wujud sebagaimana yang Allah dulu ‘install’. Dengan kata lain: sesudah mem’puasai’ dunia (egosentrisme, khayal, hedonisme, gugon-tuhon dst), soft-reset menuju atau menjadi titik-0.

Maka Idul Fitri bukan hari raya besar. Yang Idul Akbar adalah Idul Qurban/Adlha nanti.

Kalau Idul Fitri cukup “to be“, Idul Qurban harus “to do“, perlu pergerakan menuju atau mencapai sesuatu sesudah titik-0.

Qurban, atau yang spesifik disebut Taqorruban (taqorrub), artinya “bergerak mendekat ke Allah” dengan rela kehilangan atau meninggalkan sesuatu (terutama yang dicintai dalam semangat keduniaan).

Mendekati Allah demi Allah, bukan demi kita. Bukan mendekat ke Allah untuk mengekploitasi-Nya agar memenuhi kepentingan pribadinya.

Tetapi, di atas semua itu – Allah tidak se”rewel” yang kita cemaskan. Ia selalu menegaskan “mudahkan, jangan dipersulit”.

Bahkan, “Wahai hamba-Ku, datanglah minta ampun kepada-Ku, meskipun dosamu sebesar gunung, karena ampunan-Ku mampu menelan beribu-ribu gunung.”

Kuala Lumpur – Busan, Korea Selatan, 22.09
Hari proklamasi PDIP 27 Juli 2014
– Muhammad Ainun Nadjib