Secangkir Kopi Untuk Idul Fitri

Untuk hari raya, keterlaluan kalau hanya saya suguhkan secangkir kopi seperti biasanya. Mesti saya kasih gelas yang besar, atau silakan ngejog. Kalau ndak nanti saya dirasani. Kalau toh tak dirasani, dan hanya dibatin saja sebagai seorang bakhil, kikir, ‘akik yaman’, ya tugas saya untuk ngrasani diri saya sendiri.

Idul Fitri juga kita sebut Hari Raya. Semacam Hari Pesta, atau Yaumul Haflah. Memang salah satu fitrah manusia ialah daerah yang hangat dan daging yang ingin gemuk. Kan dietnya sudah sebulan penuh.

Fitrah manusia itu dua sisi mata uang: wadag dan ruh. Ingin benda-benda, tapi juga ingin makna. Kalau makna thok kan kecut.Tapi kalau benda thok, kaya thok, nanti jadi panjenenganipun kewan. Berhariraya itu gampang. Tapi beridulfitri susah bukan main!

Berhariraya; mencari benda, menikmati benda, pokoknya yang sifatnya memenuhi wadagiyah, itu gampang. Allah menyediakan alam yang kaya raya, tinggal wasyrabu, asal laa tasrifuu. Kalau ada yang miskin apalagi faqir, berarti ada dua kemungkinan. Pertama, kita memang pilih zuhud, pilih menjadi zahid, acuh beibeh terhadap segala keduniaan. Kedua, ini yang gawat; ada sistem pengaturan kekayaan Allah yang tidak adil. Jadi kalau ada milyaran manusia di bawah garis kemiskinan, bisa dipastikan bahwa para manajer sejarah ini terdiri dari binatang-binatang yang kerasukan syaithanirrajiim.

Lha, yang susah itu beridulfitri. Besok pagi kita akan sibuk minta maaf. Apa saja sih kesalahan kita? Apa saja dosa kita sebagai pribadi, sebagai pejabat, sebagai seniman, sebagai tukang becak, sebagai bagian dari organisasi sosialitas antar manusia? Mungkinkah kita menginventarisir semua itu, untuk kita ajukan dan mohonkan ‘grasi’ dari segenap manusia yang kita salahi; agar benar-benar kita peroleh idul fitri?

Jangan-jangan kita pernah dengki kepada orang lain; apa benar kita akan akui itu dan menjamin lusa tak kita ulangi lagi? Jangan-jangan kita pernah memperbudak orang lain; kita egois, hanya tahu kepentingan kita, hanya ingat kebutuhan kita sendiri. Jangan-jangan kita terbiasa merampok orang, mem-faitaccompli orang lain sebagai ‘hostes’ belaka, sebagai ‘tukang pijat’ dari klangenan kita, bahkan menjadi lintah yang menghisap, menyerap, menggerogoti tenaga darah kehidupan orang lain. Apa betul itu semua akan kita insyafi demi memperoleh idul fitri?

Untunglah orang-orang di sekitar kita terbiasa hidup dengan pola Nabi Isa: “Kalau pipi kananmu ditempeleng, kasih pipi kirimu!” Nanti makin lama orang makin akan memakai model Nabi Muhammad, yang sudah mengevolusi, sudah mengalamai akmaltu lakum dinakum, sudah menyempurna akidah kekhalifahannya. Kalau pipi kananmu ditempeleng, jangan kasih pipi kirimu, itu namanya nahiy munkar. Pembebasan. Kenapa?

Mungkin anda sudah kebal, sehingga tak bergeming oleh seribu tempelengan di pipi anda. Mungkin anda sudah sakti mandraguna. Berkat fatwa-fatwa para ulama mengenai iman, takwa, dan kesabaran, sehingga anda tak pusing oleh pukulan-pukulan. Tapi kalau kita membiarkan pipi kita ditampar hanya karena kita sudah punya kekebalan ‘aji lembu sekilan spiritual’; itu namanya show of force, pamer kekuatan. Kita menunjukkan betapa hebatnya ketabahan kita, dan itu tak mustahil mengandung potensi riya atau takabbur.

Membiarkan pipi ditempeleng, berarti membiarkan orang menempeleng. Dan kalau kita membiarkan orang lain membuat salah, itu namanya egoistis. Kita terlalu berkonsentrasi untuk menghimpun ‘pahala memaafkan’ sambil membiarkan orang lain menumpuk ‘dosa menempeleng’. Nggak bener dong!

Jadi, tindakan memaafkan itu dilandasi oleh tugas untuk quu anfusikum wa ahlikum naara. Lain soal kalau kita sukar memaafkan disebabkan oleh watak pendendam dalam diri kita. Dalam mekanisme psikologisnya, kecenderungan yang biasanya malah justru mendorong orang ‘ngintip’ kita dari balik pohon, menunggu kita melanggar lalu lintas. Makin banyak kita melanggar, makin punya kesempatan pula me-nahiy munkar kita.

Jadi, ia mengkapitalisir dosa-dosa kita demi akumulasi pahala-pahala dia, untuk credit point dan sogokan. Polisi yang baik ialah berjuang sedemikian rupa sehingga kemungkinan kita berbuat salah ditekan serendah mungkin. Bukan malah dijebak dan di ‘makan.’ Dengan kata lain, kita tidak berburu ‘pahala memaafkan. Yang diusahakan oleh setiap muslim ialah keadaan dimana tak ada kesalahan.

Nah, kalau persyaratan- persyaratan maknawi dan proses maaf-memafkan itu sudah lumayan dipenuhi, maka kebangetan-lah kita kalau lantas kita masih juga tak mau memaafkan. Lha, wong Tuhan saja punya banyak nama dan sifat memaafkan: Al Afuw, Al Ghafur dan lain-lain.

Pernah ada seorang Sufi yang ditempeleng oleh serdadu gara-gara dia menunjuk kuburan, ketika ditanya: “Dimana tempat ramai di sekitar sini?” Tatkala datang seseorang yang menjelaskan bahwa lelaki itu adalah tokoh spiritual penasehat Sang Khalifah, serdadu itu lantas menyembah-nyembah memohon ampun. Sang Sufi berkata: “Aku sudah memaafkanmu sejak sebelum engkau memukulku.”

Di dalam Al Qur’an, konsep mengenai negeri yang baik (adil makmur) dipaparkan bersamaan (terkait, kontekstual) dengan rabbun ghafur. Tidak baldatun thayyibatun, thok, tapi pakai ‘Allah mengampuni’ segala. Memang kitab pamungkas itu diturunkan tidak untuk iseng. Coba, apakah kira-kira Allah mengampuni Amerika Serikat yang terus menerus memveto resolusi yang menyangkut kezaliman Israel atas Palestina. Beranikah anda menjamin bahwa Allah memaafkan histeria individualisme, materialisme dan liberalisme di negeri-negeri makmur yang dewasa ini kita makin mabuk menirunya.

Tetapi kita memang punya hobi mengeksploitir watak pengampun Allah. Kita tumpuk dosa setinggi-tingginya karena toh Allah Maha Pengampun. Kita terapkan theology of balance, bikin pelanggaran sebanyak-banyaknya dan bikin pahala untuk mengimbanginya. Kita terlalu ber-‘jualbeli’ secara kampungan dengan Allah. Padahal, sekali lagi, tujuan setiap muslim ialah bagaimana mencapai kepribadian yang tak lagi perlu mohon maaf; justru karena memang sudah tak punya kesalahan dan dosa lagi. Juga terhadap sesama manusia kita semoga akan pernah amat sedikit saja butuh saling memaafkan, karena saking sedikitnya kesalahan yang kita bikin. Insya Allah, filsafat permaafan bukanlah alat ‘penghapus dosa’ (sehingga dosa perlu dibikin dulu), melainkan metode agar kita tak lagi menyelenggarakan dosa.

Cakrawala perjalanan muslim ialah keadaan bebas maaf. Keadaan dimana maaf tak diperlukan, karena relatif tak kita lakukan hal-hal yang perlu dimintakan maaf dan dimaafkan. Jadi, idul fitri bukanlah penghapus kesalahan yang kita adakan dulu, melainkan berusaha tidak melakukan kesalahan.

Tapi namanya juga cakrawala. Kita tak akan pernah sampai ke sana. Kita sekedar mengarahkan diri ke sana. Bukankah bahwa ‘manusia itu tempat kesalahan’ termasuk sunatullah atau hukum alam? Dan itu bisa kita eksploitir: “Mari korupsi sebanyak-banyaknya,” lantas kita bilang: “al insaanu mahallul-khatha’ wan-nis-yaaan!” Manusia itu tempat persemayaman kesalahan dan lupa!

Asal ingat bahwa malaikat Munkar dan Nakir memiliki aji bajra geni yang amat nggegirisi. Bahkan ‘wa man ya’mal mitsqala dzarratin syarran yarah‘ (barangsipa memperbuat sedebu keburukan, he’ll see… kata Allah) bisa berlaku detik ini juga. Demikianlah saya ancam diri saya sendiri.

Saya ucapkan Minal ‘Aidin Wal Faizin; semoga kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang kembali ke fitrah dan orang-orang yang beruntung. Siapakah yang beruntung? Laa yastawii ash-habun-naari wa ash-habul-jannah, ash-habul-jannati humul-faaizun. Tidak sama sekabat neraka dengan sekabat surga. Sekabat surga ialah orang-orang yang beruntung.