Terjemah, Tafsir, dan Tadabbur

DI MASJID kompleks perumahan saya, setiap kali sehabis shalat shubuh berjamaah, ada rutinitas pembacaan ‘terjemah’ Al Qur’an. Ada salah satu jamaah yang dalam kata pengantarnya selalu mengatakan, “jama’ah yang dirahmatin Allah SWT, marilah kita dengarkan ‘tafsir’ Al Qur’an…”

Karena gaya bicaranya yang seperti ‘qari yang kagum dengan suaranya sendiri’, dalam hati saya selalu mbatin (mungkin lebih tepatnya nggerundel), “ini orang ngerti nggak sih, itu yang dibacakan ‘terjemah’ bukan ‘tafsir’!”. Dan saya selalu merasa bersalah karena telah diam-diam berprasangka buruk dan mencela orang tersebut.

Setelah saya pikir-pikir lagi -dengan niat berprasangka baik dan mencari yang baiknya dari setiap orang- saya jadi tersadar. Sesungguhnya benar Bapak itu, yang dibaca itu penafsiran departemen agama terhadap teks Al Qur’an. Yang disebut terjemahan itu sesungguhnya adalah upaya pengalihbahasaan teks Al Qur’an ke bahasa Indonesia, yang tidak terlepas dari pemaknaan pribadi para penerjemahnya.

Menerjemahkan dengan ‘obyektif’ itu sesuatu yang sangat sulit, karena masing-masing penerjemah harus berkonsultasi dengan opininya sendiri dan mempertimbangkan rasa estetika dalam upaya menggambarkan nuansa makna dalam bahasa lain. Ini pasti sedikit banyak mengubah makna yang dimaksudkan dalam teks asli.

Jangankan teks yang rumit, bahkan bunyi binatang yang elementer dan universal pun ‘diterjemahkan’ berbeda-beda ke dalam berbagai bahasa.

Sangat sulit untuk mengekspresikan suatu kata dari satu bahasa secara pasti ke dalam bahasa lain, karena ada perbedaan kultur dan aturan bahasa. Bahkan ada kata atau ekspresi yang di dalam satu bahasa tidak ada padanannya dalam bahasa lain. Contohnya kata ‘adil’ dalam bahasa Arab, tidak ada padanannya dalam bahasa Indonésia. Jadi yang bisa dilakukan oleh penerjemah adalah dengan memilih alternatif kata yang terbaik, atau menyerap kata dari bahasa yang akan diterjemahkan tersebut.

Ada juga peradaban yang mempunyai beragam kata untuk mendeskripsikan sesuatu secara detail, sedangkan kebudayaan lain yang lebih muda hanya punya satu kata saja. Misalnya dalam bahasa Jawa terdapat begitu banyak kata untuk menggambarkan peristiwa jatuh. Jatuh ke belakang (nggeblak), jatuh dari atas (ceblok), jatuh ke depan (nyungsep), jatuh terlepas (njungkel), jatuh tersandung (njlungup), jatuh meluncur (ndlosor). Dalam bahasa Indonesia hanya ada satu kata ‘jatuh’, demikian juga bahasa Inggris (fall).

Itu semua menambah komplikasi dalam penerjemahan dari satu bahasa ke bahasa lain, dan membuka kemungkinan arti sebenarnya terdistorsi.

Jadi selalu akan ada jarak antara apa yang dimaksudkan Allah di dalam Al Qur’an dengan pemahaman kita. Makna sesungguhnya mungkin kita tidak akan pernah tahu. Itu makanya kita disuruh meminta petunjuk minimal 17 kali dalam sehari dalam shalat.

Kita disuruh selalu meminta petunjuk, karena kita sangat berpotensi sesat. Kita berada di titik pusat salib. Kita mohon ditunjuki jalan menanjak vertikal ke atas menuju Ilahi, jalan orang-orang yang sudah diberikan nikmat. Bukan jalan orang yang menurun ke bawah menuju kebinasaan dan dimurkai. Dan juga bukan jalan orang-orang yang mengembara tanpa arah tujuan dalam garis horizontal kehidupan, jalan orang-orang yang tersesat.

Jadi jangan berhenti mencari kebenaran. Dan jangan merasa paling benar. Walaupun sesungguhnya merasa paling benar itu ok-ok saja, sepanjang outputnya adalah rasa kasihan dengan orang-orang yang kita anggap belum benar atau tersesat. Bukan malah membencinya (sungguh aneh, wong orang tersesat kok malah dibenci).

Para Nabi yang berhak merasa paling benar, karena memang mendapatkan kebenaran dari Allah SWT, tidak pernah membenci orang sesat. Bahkan ciri utama mereka adalah berat hati dengan penderitaan kaumnya dan penderitaan kaumnya di akhirat karena kesesatan mereka.

Betapapun itu, Qur’an adalah petunjuk hidup yang harus kita ikuti. Dan untuk bisa mengikutinya, jarak Qur’an dengan kita harus dijembatani. Bisa dengan tafsir, atau ‘mempelajari’ . Bisa juga dijembatani dengan tadabbur, atau ‘belajar dari’.

Tafsir itu mempelajari secara detail dan ilmiah dan untuk melakukannya diperlukan prasyarat keilmuan yang tinggi. Tafsir bersifat intelektual dan akademis, sehingga lebih untuk konsumsi pikiran. Mufassir harus menguasai bahasa Arab, Ushul Fiqh, ilmu hadits, Asbabun Nuzul dan Ilmu-ilmu lainnya. Sehingga hanya sangat sedikit orang yang bisa melakukannya. Kitab-kitab tafsir yang terkenal seperti Al Jalalain, Ibnu Katsir, al-Maraghi, al-Kasyaf, dan Al-Ahzab, berisi penjelasan panjang lebar tentang makna ayat-ayat Qur’an. Tetapi itu pun tidak menutup kemungkinan kesalahan penafsiran karena keterbatasan penafsir yang juga tidak bisa lepas dari pengaruh zaman dan budaya di mana mufassir itu hidup.

Bagi kebanyakan orang, interaksi dengan Qur’an itu yang penting bukan memahaminya dengan detail (tafsir), tapi apakah kita mendapatkan manfaat sesuai konteksnya dari yang kita akrabi (tadabbur). Allah SWT berfirman, “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka men-tadabburi ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran. (QS. Shad [38]: 29)”.

Tadabbur adalah merenungkan secara mendalam tentang sesuatu dan sebab akibatnya serta kesudahannya. Men-tadabburi Qur’an adalah merenungkan ayat-ayat nya, merefleksikannya ke dalam kehidupan kita sehari-hari, untuk dapat kita jadikan pedoman hidup yang nyata.

Dengan tadabbur, kita belajar dari Al Qur’an untuk mendapatkan ilmu dan hikmah yang bermanfaat secara batin. Hasil tadabbur bisa sangat relatif dan personal, tergantung kebersihan jiwa, pengalaman hidup, tingkat intelektual, dan konteks masing-masing orang yang melakukan tadabbur. Itu semua sah-sah saja, sepanjang kesudahannya adalah meningkatnya rasa kedekatan dan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, dan membawa maslahat bagi orang banyak.

Syarat terpenting tadabbur adalah niat bersih dan kecintaan kita kepada Qur’an. Mengakrabi Qur’an bahkan bisa dilakukan tanpa membacanya. Dengan menghormatinya, mengakui bahwa itu adalah firman Tuhan bisa jadi sudah cukup menjadi alasan untuk kita diberikan anugerah hikmah oleh Allah Swt. Itu mungkin makanya Rasulullah mengajarkan kepada kita bahwa membaca satu huruf Qur’an pun sangat besar keutamaannya.

“Siapa yang membaca satu huruf dari Qur’an ia akan mendapatkan satu kebaikan yang nilainya sama dengan 10 kali ganjaran (pahala). Aku tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf.”

Lain waktu mungkin saya akan sarankan Bapak itu untuk mengubah kata pengantarnya menjadi, “jamaah yang dirahmatin Allah SWT, marilah kita tadabbur-i ayat-ayat Al Qur’an berikut…”