Tasyakuran dan Salawat Lingkungan

Sesudah maiyahan di Baturan Colomadu, kini Allah kembali memperjalankan Cak Nun dan Kiai Kanjeng (CNKK) ke Dusun Kapurejo, Pagu, Kediri, untuk maiyahan di kompleks Pondok Pesantren Salafiyah. Yang mengundang CNKK untuk maiyahan malam ini adalah KAPAL Jatim yang dikomandani Cak Parto. Acara dalam rangka Tasyakuran 4 tahun KAPAL Jatim, sebuah komunitas yang concern dalam kegiatan-kegiatan lingkungan hidup.

Acara digelar di komplek Pondok Pesantren Salafiyah, panggung mengambil tempat di jalan dusun, dan audiens memanjang memenuhi jalan dusun, selain juga yang berada kanan kiri panggung. Masyarakat sudah memadati lokasi sejak usai magrib.

Orang-orang yang berjualan pun tampak di beberapa tempat di kanan kiri jalan yang mendapatkan penerangan tambahan dengan lampu-lampu TL berukuran besar. Demikian pun dengan umbul-umbul mewarnai beberapa ruas jalan.

Begitu Cak Nun tiba di lokasi, sekelompok santri mengenakan jaket warna hijau menyambut kedatangan beliau dengan terbangan ala ISHARI melantunkan salawat Nabi. Menuju lokasi, Cak Nun dinaikkan kereta kelinci yang berjalan pelan di belakang pasukan terbang. Gerbong kedua kereta ditumpangi para warga, ibu-ibu, anak-anak, dan beberapa bapak-bapak. Mereka senang bisa mengiringi kedatangan Cak Nun. Sepanjang jalan, masyarakat menyapa Cak Nun, melambaikan tangan, memandang dengan penuh perhatian, sebagian berusaha merebut tangan Cak Nun untuk bersalaman. Pasukan banser mengawal kereta ini. Sangat meriah, dan penuh genderang terbang penyambutan Cak Nun ini. Kepada saya Cak Nun berkata, “Aku iki sopo, kok disambut seperti ini, kudune kan ini sambutan kepada pemimpin ormas resmi mereka. Aku dudu sopo-sopo.” (red: Aku ini siapa, kok mendapat sambutan seperti ini. Mestinya ini sambutan kepada pemimpin resmi ormas mereka. Aku ini bukan siapa-siapa).

Ketika CNKK tiba, para personel Kiai Kanjeng segera menempati posisi masing-masing. Sementara Cak Nun berjalan dari ruang transit di rumah pengasuh ponpes lagi-lagi dikawal pasukan terbang hijau, dan para jamaah menyapa dan menyebut nama Cak Nun. Setelah itu, Cak Nun segera memulai maiyahan ini dengan pembukaan berupa pembacaan maulid dan beberapa salawat di antaranya Sholatun Minallah wa alfa salam, yang malam ini Mas Zainul, Mbak Nia, dan Mbak Yuli hadir bersama Kiai Kanjeng.

Kedatangan Cak Nun tadi disambut dengan salawat Ya Nabi Salam Alaika, yang berarti Duhai Nabi salam untukmu. Cak Nun sangat menekankan pemahaman ayat salawat ini. Alaika yang berarti Kepadamu wahai Nabi pasti diucapkan pada posisi kita ada di depan Kanjeng Nabi. Berhadapan. Nabi tidak sebelah kanan atau kiri kita. Tapi di depan kita. Maka melantunkan salawat itu sangat serius karena kita benar-benar menghadap kepada Rasulullah. Inilah pelajaran penting. Sebab selama ini kita tidak pernah fokus dalam berbicara, melakukan sesuatu, atau mengerjakan apa saja, kecuali mungkin keuntungan, keuntungan, dan hanya keuntungan diri kita pribadi. Bahkan dalam beragama pun, keuntungan pribadi itu yang menjadi fokus.

Tetapi ini tidak pernah dipelajari, karena tidak pernah ada yang menyampaikan kepada umat. Kita tidak punya pemimpin. Kita tidak punya orangtua. Demikian pun dengan negara, tidak punya orangtua. Celakanya lagi, kalau diberitahu, malah marah-marah, dan tidak terima. Itulah gambaran masyarakat kita saat ini.

Kalau kita sudah fokus kepada Allah dan Rasulullah, maka hidup kita akan ringan, dan tidak perlu terlalu pusing dengan berbagai hal yang nggak perlu dimasukkan ke dalam hati dan pikiran, tidak perlu mikir yang enggak-enggak. Karena kita sudah punya fokus yang jelas. Itulah beberapa poin awal yang disampaikan Cak Nun.

Area di depan panggung sangat padat oleh jamaah yang sangat antusias menyimak uraian-uraian Cak Nun yang selalu hadir dalam komunikasi yang kuat, segar, penuh semangat dan menyemangati. Orang-orang desa ini sangat gembira dengan kehadiran Cak Nun dan Kiai Kanjeng yg membawakan pesan-pesan pencerahan dg cara yang istimewa. “Seharusnya yang dilakukan Kiai Kanjeng ini semestinya dilakukan majelis ulama,” tegas Cak Nun.

Kalau kita sudah fokus kepada Allah dan Rasulullah, maka hidup kita akan ringan, dan tidak perlu terlalu pusing dengan berbagai hal yang nggak perlu.
Emha Ainun Nadjib

Terhadap kegiatan KAPAL Jatim ini yang mengusahakan terciptanya desa yang memiliki hutan dan danau, dan program-program lain yang mengolah secara kreatif misalnya sampah dll, Cak Nun memuji dan mengingatkan masyarakat tentang khalifah. Yakni tugas yang diamanatkan kepada manusia, untuk mengolah secara kreatif apa saja yang ada di muka bumi ini. Dan orang Jawa ini adalah pakar kreativitas hidup, mulai soal menu makanan dengan segala detail penciptaan menu dan rasa, sampai adanya gagasan bikin huleg-huleg untuk menumbuk kacang, lombok, dll. “Di sini di semua tempat selalu ada kreativitas,” tegas Cak Nun.

Melihat begitu banyaknya orang-orang yang datang di acara di dusun ini, mengingatkan pada kecenderungan bahwa desa identik dengan “pop culture” yang dicirikan oleh banyaknya orang yg datang dan menikmati, tetapi apa yang dinikmati dan disuguhkan kerap merupakan sesuatu yang dianggap berselera rendah. Tetapi kehadiran CNKK membalik semua itu. Orang yang berkumpul banyak ini, dengan kehadiran CNKK, dapat dan memperoleh suguhan yang mencerahkan, mencerdaskan, menghibur secara intelek tapi penuh rasa gembira, mengajarkan kepada publik untuk memiliki selera yang berkualitas, mulai dari musik, komunikasi, wacana-wacana, dan sikap-sikap hidup yang cerdas. Begitulah mereka mengikuti dan menikmati shalawatan yang dilantunkan para vokalis Kiai Kanjeng: Mas Islam, Mas Zainul, Mbak Nia dan kawan-kawan, di antaranya melalui nomor Ajineng Urip.

Dengan kata lain, kemanapun pergi CNKK selalu menyuguhkan high and good culture, di tengah media dan lain-lain kekuatan sejarah menawarkan sajian-sajian tak bermutu di hampir semua bidang kehidupan. Nomor-nomor salawat dan lagu mungkin sudah sering mereka dengar, tetapi di tangan Kiai Kanjeng lirik yang sama dibawakan dengan lagu/nada yang sama sekali baru, menjadikan mereka menikmati lagu-lagu dengan sentuhan yang lebih kreatif, apalagi dengan kekuatan yang diberikan oleh gamelan Kiai Kanjeng. Ini bisa mereka nikmati seperti pada nomor Ya Nabi Salam Alaika yang dibawakan mbak Yuli dan Amemuji/Ilahi lastu yang dibawakan oleh mas Zainul.

Salah satu ciri maiyahan adalah apabila ditanyakan kepada jamaah, “Ini mau sampai jam berapa?” selalu jawabannya adalah: “Terusss.” Bisa dipahami keinginan mereka. Mana bisa kita ingin segera mengakhiri indahnya menyimak lagu Ya Imamar Rusli ya Sanadi oleh Mas Zainul, lagu dangdut melayu Beban Kasih Asmara oleh mas Imam Fatawi.

Apa yang disampaikan Cak Nun jika dilihat sebagai upaya dekonstruksi atas kemapanan-kemapanan yang kurang maka memang banyak hal yang didekonstruksi oleh maiyahan ini. Sebut saja satu contoh yang tadi diilustrasikan oleh beliau mengenai kecenderungan qari atau pembaca Al-Quran terlalu asik menikmati suaranya sendiri atau menikmati mempertontonkan suara, dan memaksa yang mendengarkan untuk ikut keinginan mereka. “Membaca Al-Quran itu bukan untuk orang lain, tetapi sejatinya untuk Allah. Jadi keikhlasan itu untuk Allah, bukan yang lain,” tegas Cak Nun.‎

[Teks: Helmi Mustofa]