TAHUN-TAHUN DUKA, TAHUN-TAHUN BUTA

Reportase Kenduri Cinta Juli 2015

Langit kota Jakarta sore hari itu cerah. Riuhnya suasana Ramadan sepertinya tidak begitu mempengaruhi kemacetan kota Jakarta. Bahkan pada banyak ruas jalan, kemacetan justru makin terasa dibandingkan dengan akhir minggu pada bulan-bulan lainnya.

Bertepatan dengan bulan Ramadan, untuk memberi cukup waktu untuk berbuka puasa dan salat tarawih, Kenduri Cinta edisi Juli 2015 dimulai pukul sembilan malam. Mengawali acara, para penggiat Kenduri Cinta mengajak jamaah bersama membaca Alquran Surat Al-Qhosos, dilanjutkan dengan melantunkan wirid Hasbunallah, Padhangmbulan dan Shohibu Baity.

Sesi mukadimah menandai dimulainya forum Kenduri Cinta. Luqman, Fahmi dan Adi Pudjo mewakili penggiat komunitas tampil menyampaikan landasan berpikir mengapa pada kali itu Kenduri Cinta mengangkat tema Tahun-tahun Duka, Tahun-tahun Buta. Seperti sudah banyak diketahui, tema selalu berangkat dari diskusi Reboan serta masukan-masukan dari Cak Nun. Terkait tema kali ini, dalam khasanah tarikh Islam, Rasulullah SAW pernah mengalami masa “tahun-tahun duka” yang dikenal dengan ‘aamul huzni. Pada masa itu, Allah memanggil orang-orang yang dicintai Rasulullah; Abu Thalib dan istri tercinta beliau Khadijah RA. Momentum ‘aamul huzni inilah yang kemudian dalam sejarah Islam tercatat sebagai momentum pijakan hijrah Rasulullah.

Keluarga Besar Maiyah pada beberapa bulan terakhir juga mengalami ‘aamul huzni. Beberapa kerabat Maiyah dipanggil oleh Allah SWT; Ibu Risnalty Adenan (Ibunda Mbak Via), Pak Burhan, Mas Zainul Arifin (Kiai Kanjeng) dan Mas Syaiful (Kiai Kanjeng). Hal itu juga menjadi salah satu landasan tema “Tahun-Tahun Duka”. Sementara “Tahun-Tahun Buta” merupakan kelanjutan dari pembahasan tema Kenduri Cinta bulan sebelumnya. Mencuplik sebuah ungkapan: seorang yang bermata satu bisa menjadi raja di negeri orang buta. Buta dalam hal ini bukan kehilangan kemampuan indera penglihatan, tetapi juga kebutaan pikiran, kebutaan akal, kebutaan hati. Istilah lainnya bisa berarti tuli, mati rasa dan lain sebagainya.

Tahun Duka, Tahun Buta

PROPAGANDA BUTA

Agung, jamaah asal Matraman, Jakarta, merespon tema dengan sebuah pertanyaan: Apakah Pancasila sudah final atau belum untuk umat Islam di Indonesia? Jamaah lainnya, Nur dari Kedoya, sampaikan bahwa peristiwa dipanggilnya orang-orang yang kita cintai oleh Allah SWT jangan sampai menjadi alasan utama untuk berduka.

Sementara Narimo, jamaah asal Kediri, merespon tema dengan pendekatan situasi ekonomi di Indonesia yang semakin kapitalistis, salah satu tandanya adalah masuknya minimarket-minimarket moderen hingga ke pelosok desa, hal ini secara perlahan membunuh nadi perekonomian desa yang bertumpu pada warung-warung tradisional. Ia juga menambahkan, secara kultural keberadaan warung-warung tradisional memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh minimarket moderen.

Menambahkan pendapat Narimo, Luqman katakan bahwasanya kita memang berada ditengah situasi duka, sehingga secara bertahap kita berada dalam situasi buta. Kita berduka dengan beberapa peristiwa-peristiwa yang terjadi, pada saat yang bersamaan kita juga berada pada situasi buta terhadap peristiwa-peristiwa yang mungkin bisa saja seharusnya lebih menjadi perhatian kita. Isu-isu agama juga seringkali digunakan sebagai alat propaganda dalam membutakan bangsa Indonesia.

Adi Pudjo ikut menambahkan, bahwa persoalan ekonomi memang menjadi persoalan mendasar bagi bangsa Indonesia sejak dulu hingga sekarang. Dengan banyaknya para ahli ekonomi, Adi Pudjo mempertanyakan mengapa perekonomian bangsa kita tidak pernah maju.

“Situasi kedukaan jangan sampai kemudian membutakan mata batin dan pikiran kita terhadap situasi yang terjadi di sekeliling kita,” demikian yang dikatakan Mulyani, jamaah dari Depok, “Mungkin kita berduka ketika mengalami musibah, tetapi kita harus mampu mengatur irama hati kita agar kita tetap fokus terhadap persoalan bangsa yang semakin pelik.

Sejalan, Luqman menambahkan bahwa kekalahan seorang petarung dalam sebuah pertandingan seringkali diakibatkan oleh emosi yang terlalu meluap, semakin tinggi emosi seseorang semakin ia dibutakan dengan situasi di sekitarnya, sehingga ia justru tidak fokus terhadap serangan-serangan yang dilancarkan oleh lawannya yang kemudian justru berakibat fatal, yaitu kekalahan.

Menutup sesi Mukaddimah, kelompok hadrah Syifaa’ul Qulub kembali hadir di Kenduri Cinta untuk berselawat bersama jamaah.

Tahun Duka, Tahun Buta

“Apa saja yang membuat anda lebih dekat kepada Tuhan, itulah kebaikan. Dan apapun yang menjauhkan kita dari Tuhan, itulah keburukan.”

Emha Ainun Nadjib

DUKA KARENA BUTA

Menjelang pukul sepuluh malam, Cak Nun hadir menyapa jamaah, “Alhamdulillah, kita bisa bertemu kembali dan ber-muwajjahah satu sama lain, face to face. Karena peran internet dan media sosial saat ini mengurangi hingga 70% makna silaturahmi yang langsung seperti ini. Dengan pertemuan langsung seperti ini, kita belajar tanggung jawab, karena ngomong apapun ada resikonya secara langsung.“

Malam itu hadir Taufik Ismail, Kivlan Zein dan Jose Rizal Manua. Cak Nun terlihat gembira menyambut kehadiran ketiganya. Sambutan hangat disampaikan Cak Nun membuat suasana Kenduri Cinta semakin nyaman, jamaah terlihat sibuk mengatur posisi duduknya antara kanan dan kirinya, sebagian mengisi ruang-ruang kosong yang ada di bagian depan, agar lebih fokus menyimak forum.

Secara khusus Cak Nun meminta Taufik Ismail untuk menjelaskan sejarah Indonesia, hal ini karena anak muda sekarang buta terhadap sejarah. Anak-anak muda saat ini hanya merasa faham dan mengerti tentang sejarah Indonesia, padahal menghirup baunya dan merasakan senang dan susahnya saja tidak pernah.

Namun sebelum itu, Cak Nun mengajak untuk bersama membaca Alquran Surat Ar-Rahman. Landasan tema pada Kenduri Cinta adalah ‘aamul huzni yang dialami oleh Rasululah SAW. Keluarga besar Maiyah yang akhir-akhir ini juga merasakan hal yang sama, beberapa kerabat dipanggil oleh Allah SWT.

“Orang yang buta dan mengerti bahwa dia buta, mungkin dia berduka. Tetapi kalau dia tidak mengerti bahwa dia buta, dia tidak akan berduka apa-apa. Duka itu karena buta dan buta itu karena dusta,” sambung Cak Nun, “Orang yang tidak mengerti warna merah, dia tidak mengerti bahwa dia didustai soal warna. Kalau orang tidak mengerti tentang nada, dia didustai soal nada,” lanjut Cak Nun.

Malam itu, Cak Nun menegaskan bahwa prinsip dasar forum maiyahan adalah bahwa masih lebih banyak hal yang tidak kita ketahui dibandingkan hal yang kita ketahui. Kehadiran Taufik Ismail dan Kivlan Zein malam itu dalam rangka menambah pengetahuan tentang sejarah Indonesia, khususnya pada medio 30-40 tahun lalu.

“Supaya anda mengerti, kapan anda sedih, kapan merasa bangga, kapan merasa terhina. Kalau anda tidak mengerti kenyataan, anda didustai terus menerus dan anda tidak mengerti bahwa anda sedang didustai maka anda tidak akan pernah merasakan berduka. Bahkan anda tidak akan merasa gembira,” lanjut Cak Nun, “Maghdlub dan Ad-Dhollin itu urusannya adalah tahu dan mau. Maghdlub itu adalah orang yang mau tetapi tidak tahu, sedangkan orang yang Ad-Dhollin itu orang yang tahu tetapi tidak mau.”

Tahun Duka, Tahun Buta

BENCANA IDEOLOGI

Setelah bersama membaca surat Ar-Rahman, Cak Nun mempersilakan Bapak Taufik Ismail untuk berbagi. Taufik Ismail malam itu terlihat bugar, meski usianya sudah menginjak 80 tahun. Dengan antusias beliau menyapa jamaah, mengucapkan salam, kemudian dilanjutkan dengan menceritakan peristiwa-peristiwa sejarah dimana beliau mengalaminya langsung.

“Sesuai dengan tema Tahun-Tahun Duka Tahun-Tahun Buta, sebuah tema yang sangat menggetarkan perasaan saya, maka mari kita bersama melihat sebuah bencana besar yang sedang mengancam dunia, pada abad 19 sampai 20, yaitu sebuah bencana dari marxisme, leninisme atau komunisme,” Taufik Ismail memaparkan, “Secara singkatnya, ada sebuah ideologi yang diperkenalkan oleh Marx dan Engels dan kemudian dilaksanakan oleh Stalin dan Lenin. Ideologi ini selama 74 tahun dalam pelaksanaannya telah menjagal 120 juta manusia di 76 negara. Artinya, dalam waktu 74 tahun, setiap hari, 3.500 manusia dibunuh oleh ideologi yang kita kenal dengan komunisme. Tujuan dari ideologi ini adalah merebut kekuasaan dengan cara kekerasan. Fakta ini jelas tertulis dalam buku Manifesto Komunis.”

Taufik Ismail menambahkan, gagasan utama (merebut kekuasaan) ditutup-tutupi dengan propaganda-propaganda yang menyuarakan kemakmuran bagi petani dan buruh. Dalam sejarahnya, peristiwa pemberontakan untuk merebut kekuasaan oleh orang-orang yang mengatasnamakan dirinya dalam gerakan komunisme ini terjadi sebanyak tiga kali; 1926, 1948 dan 1965. Biasanya di negara-negara lain, gerakan komunis melakukan pemberontakan sebanyak satu kali, tetapi di Indonesia mereka telah melakukannya sebanyak tiga kali dan semuanya gagal.

“Ideologi yang hampir mirip dengan komunisme adalah nazisme Hitler yang telah membunuh 36 juta manusia. Paham komunisme telah dilaksanakan di 24 negara, namun semuanya gagal memakmurkan buruh dan petani seperti yang mereka gembar-gemborkan di awal. Boris Yeltsin adalah orang yang pertama membubarkan partai komunis di dunia karena kegagalannya dalam menjalankan ideologi komunis di Uni Soviet. Dari 120 juta korban yang mati akibat ideologi ini, mayoritas bukan karena eksekusi pembunuhan melainkan karena kelaparan yang melanda akibat kegagalan pertanian,” jelas Pak Taufik.

Beliau kembali menambahkan, pada tahun 1991 mestinya ideologi komunisme sudah selesai secara global, bahkan bisa dikategorikan tidak layak dijalankan. Namun dalam rentang 10 tahun terakhir, beliau merasakan ideologi komunisme mulai kembali diperkenalkan di Indonesia, dan anak-anak muda yang tidak tahu tentang sejarah komunisme di Indonesia lalu merasa terkagum-kagum.

Menyambung ke tema, Taufik Ismail berharap bahwa “tahun-tahun duka” ini segera berlalu dan tahun-tahun duka yang sudah pernah terjadi di Indonesia jangan sampai terulang kembali hanya akibat dari kebutaan kita terhadap sejarah. Menanggapi beredarnya isu di masyarakat bahwa ada rencana pemerintah untuk meminta maaf kepada PKI, menurut beliau rencana tersebut merupakan suatu hal yang tidak masuk akal dan melukai, jika benar terjadi.

Tahun Duka, Tahun Buta

“Tahun-tahun duka yang sudah pernah terjadi di Indonesia jangan sampai terulang kembali hanya akibat dari kebutaan kita terhadap sejarah.”
Taufik Ismail

MEMBUNUH ATAU TERBUNUH

Forum kemudian diserahkan kepada narasumber berikutnya, Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zen, lahir di Aceh, 69 tahun lalu. Kivlan Zein adalah seorang tokoh militer Indonesia pada masa Orde Baru, pernah memegang jabatan Kepala Staf Kostrad ABRI.

Pak Kivlan secara ringkas dan kronologis menceritakan sejarah 3 periode pemberontakan Komunis di Indonesia. Pemberontakan pertama terjadi pada tahun 1926, dimana saat itu Sneevliet berhasil menyusup kedalam Sarekat Islam (SI), SI kemudian terpecah menjadi SI merah dan SI putih. Semaoen dan Darsono menjadi aktor utama munculnya SI merah yang berlandaskan asas sosialisme-komunisme. Pada tahun 1948, pemberontakan kedua terjadi di Madiun, bahkan mereka secara terang-terangan mendirikan Republik Soviet Indonesia. Muso sebagai aktor utamanya kali itu.

Ulama-ulama NU (Nahdlatul Ulama) yang tergabung dalam Masyumi banyak yang menjadi korban pemberontakan ini, bahkan peristiwa yang kemudian dikenal sebagai Madiun Affair ini melebar hingga ke daerah Blitar. Penumpasan pemberontakan tahun 1948 tidak tuntas, karena pada saat itu Indonesia juga menghadapi agresi militer yang dilancarkan oleh Belanda. Pada tahun 1952, sepulang dari Singapura, D.N. Aidit membawa ideologi komunisme kembali masuk ke Indonesia. Melalui sebuah bukunya, Aidit menggelorakan kembali kemakmuran bagi petani dan buruh. Propaganda, agitasi dan sabotase digalakkan oleh gerakan asuhan Aidit saat itu untuk mencoba merebut kekuasaan di Indonesia. Pada pemilu 1955, PKI berhasil menembus 4 besar perolehan suara, disinyalir kekuatannya berjumlah 3 juta kader.

Tahun 1952 disebut oleh Pak Kivlan sebagai awal mula pemberontakan yang di kemudian meletus pada tahun 1965. Pada masa itu, fitnah-fitnah dilancarkan ke seluruh elemen masyarakat dengan tujuan utama menyulut keributan. Kemudian muncul Dwikora, dimana isu utamanya adalah melawan Malaysia.

Kivlan Zein menceritakan, dia sendiri termasuk salah satu prajurit yang ketika itu diperintahkan menggali lubang yang direncanakan sebagai salah satu media pertahanan militer, namun diketahui lubang-lubang tersebut kelak digunakan untuk mengubur prajurit-prajurit militer Indonesia yang akan dibunuh PKI. Skenario tersebut siap dijalankan apabila pada Pemilu 1965 PKI berhasil memenangkan Pemilihan Umum. Pada saat itu, terdapat 100.000 senapan seri AK dimasukkan dari Cina dengan tujuan untuk memperkuat angkatan ke-5, yaitu buruh dan petani yang dipersenjatai. Seluruh senjata tersebut sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya, pasca kegagalan pemberontakan G-30-S PKI.

Informasi yang beredar dan diterima oleh Kivlan Zein adalah bahwa gerakan komunis ini sudah mulai dihidupkan kembali di Indonesia dan ditengarai akan melakukan aksi balas dendam. Salah satu informasi yang memperkuat dugaan tersebut adalah adanya rencana dari pemerintah Indonesia untuk melakukan permohonan maaf terhadap PKI.

Selain 6 jenderal yang dibunuh dalam peristiwa pemberontakan tahun 1965, di Jember setidaknya 60 anggota Banser juga menjadi korban. Peristiwa terbunuhnya 6 jenderal menyulut kemarahan masyarakat di hampir seluruh pulau Jawa, sehingga yang terjadi kemudian adalah pembunuhan terhadap orang-orang yang terindikasi merupakan anggota dari PKI. Ratusan ribu anggota PKI dibunuh, mayatnya bertebaran di sungai-sungai di Jawa. Keadaan pada saat itu memunculkan situasi dimana apabila kita tidak membunuh, maka kita yang akan terbunuh.

Tahun Duka, Tahun Buta

“Keadaan pada saat itu memunculkan situasi dimana apabila kita tidak membunuh, maka kita yang akan terbunuh.”

Kivlan Zein

Merespon wacana yang dilontarkan oleh Taufik Ismail dan Kivlan Zein, Cak Nun ikut berbagi pengalamannya (saat itu Cak Nun berusia 12 tahun) merasakan langsung dampak sosial peristiwa pemberontakan PKI tahun 1965, “Saya ini sederhana mengambil kesimpulannya, saya tidak ingin generasi sekarang mengalami kembali apa yang sudah saya alami pada tahun 1965. Ayah saya adalah pemimpin di desa meskipun kedudukannya bukan lurah. Ketika resesi ekonomi tahun 1965, kita makan bulgur, sembako sangat mahal dan langka, sehingga ayah saya membikin koperasi yang menyediakan sembako murah, bernama Koperasi Setia Usaha. Ayah saya mengangkat ketua koperasi yang juga Ketua PKI di desa saya, namanya Durasa, dan bendahara koperasinya Ketua PNI. Pada saat itu kita tidak memiliki trauma terhadap peristiwa pemberontakan, seperti (pasca) G-30-S.”

Cak Nun melanjutkan, “Sampai suatu hari ayah saya menemukan sebuah catatan di saku Cak Durasa, ketua koperasi binaan ayah saya itu, dalam catatan itu tertulis bahwa akan ada eksekusi kepada tokoh-tokoh Islam, termasuk ayah saya. Ayah saya tidak bereaksi, sampai suatu hari terjadi peristiwa di Lubang Buaya. Peristiwa itu menjadi penyulut emosi masyarakat terhadap PKI dan menjadikan situasi dalam kondisi siaga perang.”

Diceritakan ketika itu (tahun 1965) keadaan begitu mencekam, orang membunuh orang lain karena ia takut dibunuh. Peristiwa pembunuhan pada saat itu tidak bisa dikategorikan dalam tindak kejahatan, karena yang terjadi adalah target-target tokoh Islam yang akan dibunuh sudah dirilis sebelumnya oleh pihak PKI, sehingga apabila tidak dilakukan pembunuhan terhadap orang-orang PKI, mereka yang akan membunuh tokoh-tokoh Islam.

Pada masa kecilnya, Cak Nun sering mendapat tugas dari ayahnya untuk melihat dan mengkonfirmasi setiap mayat yang terbunuh di sekitar desa, untuk memastikan mayat-mayat itu adalah orang Islam atau orang PKI. Dan Cak Nun membenarkan apa yang diceritakan Kivlan Zein sebelumnya, bahwa hampir di setiap sungai di pulau Jawa penuh dengan mayat-mayat. Di tingkat bawah (rakyat) yang dirasakan bukanlah urusan ideologi seperti yang terjadi di Jakarta. Urusannya pada saat itu adalah apabila kita tidak membunuh, maka kita yang akan dibunuh. Cak Nun berkali-kali menegaskan bahwa beliau tidak ingin generasi sekarang kembali mengalami apa yang ia alami pada masa itu.

“Apapun keputusan pemerintah, apabila menimbulkan peristiwa seperti itu (tahun 1965), akan menimbulkan seperti balon ini,” lanjut Cak Nun sambil menunjuk poster tema Kenduri Cinta yang menggambarkan meletusnya balon berwarna hijau. Cak Nun menjelaskan bahwa hijau adalah lambang dari masyarakat Islam di Indonesia, dan hijau juga merupakan gambaran kekuatan militer di Indonesia. “Jangan dibikin meletus lagi balon hijau ini!” tegas Cak Nun, “Dan saya tidak mau bangsa Indonesia terutama anak-anak muda masuk ke dalam situasi yang sama (tahun 1965). Pemimpin-pemimpin bangsa, hati-hati dalam mengambil keputusan.”

Tahun Duka, Tahun Buta

Saya tidak ingin generasi sekarang mengalami kembali apa yang sudah saya alami pada tahun 1965.”
Emha Ainun Nadjib

KAHAR YANG LEMBUT

Cak Nun menyinggung alasan “pelanggaran HAM” yang selau digunakan untuk pembelaan terhadap upaya dilakukannya rekonsiliasi kepada PKI terkait peristiwa 1965. Ia sampaikan apabila memang peristiwa 1965 tersebut adalah pelanggaran HAM, maka peristiwa PRRI dan DI/TII juga seharusnya dianggap sebagai pelanggaran HAM.

“Kahar Muzakkar bukan pemberontak. Kartosoewiryo bukan pemberontak. Beda dengan PKI. Kahar Muzakkar itu berbeda pendapat, tetapi tegas. Kahar Muzakkar adalah seorang sufi yang sangat lembut! Aku mengenal beliau, aku mengenal imam-imam dan syeikh-syeikh di Sulawesi. Aku mengerti benar peristiwa yang terjadi sebenarnya,” Cak Nun sampaikan, “Ini kita buka bukan untuk melawan siapapun. Untuk apa kita melawan siapa? Kita tidak mencari siapa yang salah. Kita bersama-sama mencari apa yang benar! Apanya, bukan siapanya! Semua orang bisa salah, bisa benar. Kita tidak menyalahkan dan tidak membenarkan, tapi kita bersama-sama menyatakan inilah yang benar, mari kita jalani bersama-sama.”

Menanggapi Cak Nun yang mengatakan Kahar Muzakkar adalah seorang yang sangat lembut, Taufik Ismail terlihat emosional dan tampak berkaca-kaca. Beliau mengiyakan sosok Kahar yang penuh kelembutan dan terharu mendengar Cak Nun mempunyai pandangan sama.

Taufik Ismail bercerita bagaimana ayah beliau diminta oleh perdana menteri saat itu, M. Natsir, untuk membujuk Kahar Muzakkar agar tidak melanjutkan aksinya melawan pemerintah pusat di Sulawesi Selatan. Ayah Taufik Ismail, Bapak Gaffar Ismail merupakan guru dari Kahar Muzakkar. Sehingga ketika informasi tersebut sampai kepada Perdana Menteri M. Natsir, ayah beliau diminta untuk membujuk Kahar Muzakkar untuk “turun gunung”, karena bahaya besar yang bernama PKI sudah berada di depan mata. Pak Taufik juga bercerita tentang situasi tahun 1948, bahkan Kahar Muzakkar sempat tinggal bersama keluarga Taufik Ismail di Yogyakarta.

Pak Gaffar Ismail berhasil membujuk Kahar Muzakkar untuk menghentikan pemberontakan yang dilakukan di Sulawesi Selatan, dan bersedia turun gunung untuk bergabung bersama pemerintah pusat melawan PKI. Namun, PNI yang pada saat itu tidak menyukai Kahar Muzakkar kemudian menghadang Kahar Muzakkar dan kemudian menembak mati Kahar Muzakkar. Taufik Ismail kemudian secara khusus mengajak jamaah Kenduri Cinta membaca Al-Fatihah bersama untuk Kahar Muzakkar.

Melanjutkan diskusi, Taufik Ismail menjelaskan tentang Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Beliau menjelaskan bahwa apa yang dilakukan oleh Lekra merupakan sebuah pendahuluan sebelum meletusnya pemberontakan PKI pada tahun 1965 dengan melancarkan aksi terror terhadap seniman-seniman yang anti kepada PKI pada medio 1963-1965. Bukan hanya teror, buku-buku karya seniman yang anti PKI juga dilarang beredar. Bahkan mereka kemudian juga menggeruduk beberapa perpustakaan di Jakarta — salah satunya di UI Salemba — kemudian dibakar. Mereka juga melakukan aksi penculikan dan pembunuhan. Sejalan dengan harapan yang diungkapkan oleh Cak Nun, Taufik Ismail pun berharap agar sejarah kelam tersebut tidak terulang kembali.

Melewati tengah malam, stamina Pak Taufik Ismail masih terlihat bugar. Sebelum mengakhiri paparannya, beliau membacakan puisi yang berjudul Ketika El Maut Disembelih.

Tahun Duka, Tahun Buta

DEWAN JENDERAL DAN PRAMOEDYA

Jamaah kemudian diberi waktu untuk bertanya atau merespon narasumber. Ada dua pertanyaan yang direspon langsung oleh Taufik Ismail, tentang Dewan Jenderal dan tentang Pramoedya Ananta Toer. Menanggapi Dewan Jenderal, Pak Taufik menjawab, “Dewan Jenderal itu tidak ada. PKI mengarang tentang adanya institusi Dewan Jenderal yang kemudian difitnah akan merebut kekuasaan. Dalam hal ini, kalau kita pelajari ideologi ini (komunisme), praktek-praktek yang terjadi dalam sejarahnya, itu tidak mengherankan. Membunuh 7 jenderal, yang berhasil 6, itu tidak orisinil Aidit. Itu ditiru dari Stalin, dan Stalin berhasil membunuh 217 jenderal anti komunis dalam kurun waktu 3 tahun. Aidit melihat gelagat yang sama di Indonesia, melihat ada 7 jenderal anti komunis, 6 diantaranya berhasil dibunuh. Jadi kalau kita melihat sejarah, itu semua adalah tiruan, itu semua jiplakan dari negara lain yang merupakan pusat dari ideologi itu. Begitulah kebenaran sejarahnya.”

Tentang pembakaran buku, Taufik Ismail katakan bahwa dalam sejarah Indonesia peristiwa pembakaran buku-buku hanya dilakukan oleh PKI dan dilakukan sebanyak 2 kali. Yang pertama dilakukan di Perpustakaan UI di Salemba dan yang kedua di Perpustakaan USIS di Jalan Segara. “Massa PKI datang, geruduk kesana (perpustakaan), dengan paksa mengambil buku-buku, diletakkan di luar perpustakaan. Awalnya mereka menuntut buku-buku anti PKI untuk dikeluarkan, tetapi kemudian mereka tidak puas, sehingga semua buku yang ada di perpustakaan juga mereka keluarkan dan dibakar. Foto dari peristiwa itu dapat dibaca di majalah Horison bulan ini,” cerita Pak Taufik.

“Kemudian, Pram (red: Pramoedya Ananta Toer) dicalonkan sebagai penerima Nobel Perdamaian dan kemudian muncul isu penolakan dari beberapa penulis. Anda harus membaca sejarah secara komprehensif, karena hal ini (penolakan terhadap pencalonan Pramoedya) tidak dilakukan oleh orang yang difitnahkan,” lanjut Pak Taufik. Beliau ceritakan, Pramoedya yang saat itu adalah seorang pengarang besar, yang telah melahirkan lebih dari 60 judul buku dimana 40 diantaranya sudah diterjemahkan ke 40 bahasa. Pram pernah ditahan sebanyak 3 kali. Sebelum masuk ke tahanan, Pramoedya didekati oleh PKI melalui Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), karena Lekra tidak memiliki seniman yang memiliki nama besar, maka PKI mendekati Pramoedya Ananta Toer. Dua seniman lain yang didekati oleh PKI adalah Utuy Tatang Sontani dan Rifa’i Apin. Mereka bertiga dicukupi ekonominya, bahkan rumah Utuy Tatang Sontani diperbaiki pintunya dan mereka bertiga ditawari pergi ke luar negeri, terutama ke negara-negara blok sosialis.

“Mereka sama sekali bukan marxis leninis, bukan komunis. Mereka diberi brosur-brosur, kemudian dibujuk untuk membela Lekra dan membesarkan Lekra. Dan itu mereka lakukan. Tapi, pada suatu kali, Utuy berteori tentang marxisme mengenai sastra. Dengan sangat mudah dipatahkan oleh Ayip Rosyidi,” lanjut Pak Taufik.

Pak Taufik bercerita juga bagaimana Rifa’i Apin merasakan kerisauan terhadap ideologi ini (komunis), kerisauan tersebut dituliskan dalam beberapa puisi. Kerisauannya itu juga sempat disampaikan kepada Asrul Sani. Sementara Pramoedya, menurut Pak Taufik Ismail, diberi ruang di media massa Bintang Timur, melalui media tersebut Pramoedya menyerang semua seniman-seniman yang anti komunis. Bahkan pada sebuah kesempatan, Buya Hamka difitnah akan membunuh menteri agama dan Presiden Sukarno. Akibat fitnah tersebut, Buya Hamka kemudian ditahan selama 2,5 tahun, Gestapu adalah peristiwa yang kemudian membebaskan Buya Hamka dari tahanan.

Tahun Duka, Tahun Buta

“Kita telah dibelah oleh ideologi komunisme, membelit kita dan mengungkung kita. Rantai ini mesti kita putuskan, kita tidak mau oleh ideologi ini kita menjadi terkungkung.”
Taufik Ismail

Setelah bebas, Buya Hamka diminta berceramah di Taman Ismail Marzuki, dan pada kesempatan itu Buya Hamka memaafkan semua perlakuan yang dilakukan oleh Pramoedya Ananta Toer terhadap beliau. Ketika buku-buku beliau dilarang beredar bahkan dibakar, Buya Hamka mengakui bahwa Pramoedya ada di belakang peristiwa tersebut, tetapi Buya Hamka memilih untuk memaafkan. Taufik Ismail menceritakan, Iwan Simatupang yang saat itu menyimak ceramah Buya Hamka meneteskan air mata. Pak Taufik mengakui bahwa Pramoedya adalah seniman yang sangat produktif, meskipun sedang dalam masa tahanan, ia berhasil menulis banyak sekali karya sastra.

Paska Gestapu, ketika kondisi Indonesia sudah kembali normal, mahasiswa UI (Universitas Indonesia) mengadakan sebuah forum diskusi terbuka yang mempertemukan Asrul Sani dan Taufik Ismail berhadapan dengan Pramoedya Ananta Toer dan Putu Oke Sukanta.

Taufik Ismail menceritakan suasana ketika itu, “Teater Arena TIM penuh dengan mahasiswa, kami akan berdebat. Sehari sebelum perdebatan berlangsung, Asrul Sani sakit diganti oleh Imam Prasojo. Putu Oke sakit diganti oleh Martin Aleyda. Saya sudah siap, saya sudah mempelajari kembali tentang marxisme leninisme dari buku-buku yang ada pada saya. Dan saya merasa sangat siap untuk menghadapi Pramoedya untuk berdebat. Kemudian Pramoedya tampil, dan apa yang dibicarakan ternyata sangat dangkal sekali tentang marxisme leninisme, dia tidak mempunyai pengetahuan tentang komunisme tetapi dia dibesar-besarkan oleh Lekra sebagai seorang pengarang komunis yang hebat.”

Pak Taufik bahkan berseloroh, bahwa seandainya PKI berhasil merebut kekuasaan di Indonesia pada saat itu, dan Pramoedya diberi posisi jabatan, Pramoedya justru diduga akan melawan pemerintahan PKI. Hal ini berdasarkan sebuah peristiwa ketika Lekra menjadi tuan rumah pertemuan penulis-penulis Asia Afrika di Bali, dan Pramoedya ditunjuk untuk menyampaikan sebuah pidato. Nyoto, Sekretaris PKI saat itu meminta kepada Pramoedya untuk menyerahkan terlebih dahulu naskah pidato yang akan disampaikan, tetapi Pramoedya menolak untuk menyerahkan naskah pidatonya.

Kembali ke peristiwa diskusi di Teater Arena TIM, Taufik Ismail akhirnya justru merasa kasihan kepada Pramoedya karena dia telah dieksploitasi oleh PKI atas ketidaktahuannya tentang ideologi komunisme. Pada saat itu Pak Taufik berucap, “Ini, sekarang kita telah dibelah oleh ideologi komunisme ini. Ada 2 orang dari kuburannya itu rantai besi itu terjela-jela hingga ke tanah air, yang satu dari Marx di Berlin yang kedua dari makamnya Lenin di Moskow, dan rantai itu membelit kita semuanya dan mengungkung kita semuanya. Rantai ini mesti kita putuskan, kita tidak mau oleh ideologi ini kita menjadi terkungkung.”

Pak Taufik kemudian bercerita bagaimana setelah ucapan beliau itu, beliau menyalami Pramoedya dan merasakan jabat tangan yang sangat berbeda. Dari peristiwa ini Pak Taufik memaknainya dengan sebuah kesimpulan bahwa kita harus melupakan konflik di masa silam, dan kemudian melihat Indonesia di masa depan dengan cara bersama-sama membangun Indonesia menjadi yang lebih baik.

Tahun Duka, Tahun Buta

“Maiyah bukan merupakan golongan dengan ideologi dan padatan-padatan kelompok tertentu. Kita disini untuk belajar bersama-sama.”
Emha Ainun Nadjib

Tentang Pramoedya Ananta Toer, Cak Nun sampaikan, “Mas Taufik, saya sangat senang dengan penjelasan mengenai Pram tadi. Karena saya semasa hidup saya, membaca dikit-dikit karya Pram, saya tidak bisa menemukan bahwa dia adalah seorang PKI, seorang komunis. Mungkin dia (Pram) humanis sosialistik, tetapi dia bukan sosialis. Harus detail kita, sama dengan sekularisasi dan sekularisme, sama sekali berbeda. Sosialis itu berbeda dengan sosialistik. Kalau sosialis itu ideologi sedangkan sosialistik adalah kata sifat.”

Cak Nun bercerita pengalamannya ketika di Berlin dan Amerika mengikuti beberapa seminar dan pelatihan yang membahas berbagai ideologi yang ada di dunia. “Saya tidak pernah mendapati Pram berada disana (komunis),” tambah Cak Nun.

“Soal benar atau salah, sependapat atau tidak sependapat itu tidak masalah. Anda tidak harus sependapat dengan saya, dengan Pak Taufik atau dengan Pak Kivlan. Cuma kita jangan mempertahankan diri, yang kita pertahankan adalah yang benar. Nah kalau yang benar menurut saya itu belum tentu benar menurut anda, ayo kita cari bersama-sama mana yang benar,” kata Cak Nun.

Menambahkan penjelasan Taufik Ismail tentang Dewan Jenderal, Kivlan Zein sampaikan bahwa yang ada dalam TNI adalah Wanjakti, Dewan Jabatan Kepangkatan Tinggi yang bertugas untuk mengangkat jabatan stuktural di TNI. Tetapi pada saat itu Aidit, mengetahui kondisi Presiden Soekarno yang sedang sakit, khawatir TNI akan mengkudeta pemerintahan, dihembuskanlah isu dan fitnah terkait adanya Dewan Jenderal yang ingin merebut kekuasaan.

Tentang ideologi yang berkembang di Tiongkok/Cina. Ideologi mereka adalah komunis, tetapi sistem perekonomian mereka kapitalis. Cak Nun menyambungkan dengan pernyataan Rasulullah SAW: Uthlubi-l-‘ilma walau bi-s-shiin; carilah ilmu sampai ke negeri Cina. “Mereka (Cina), ndak penting komunis atau kapitalis, tetapi mereka akan mempertimbangkan sing mbatheni (yang menguntungkan) itulah yang dipilih,” Cak Nun melanjutkan, “Ciri negara sosialis dan komunis itu rakyatnya tidak banyak omong, dan pemerintah memberikan semua fasilitas yang dbutuhkan oleh rakyatnya. Kalau sistem kapitalis, rakyatnya dibebaskan untuk mengungkapkan pendapat apapun saja, tetapi mereka harus cari makan sendiri-sendiri. Kalau Indonesia gabungan; kamu jangan banyak omong dan cari makan sendiri-sendiri!” kemudian disambut gelak tawa jamaah.

“Ini semua kita kembalikan kepada kejernihan, Maiyah bukan merupakan golongan dengan ideologi dan padatan-padatan kelompok tertentu. Kita disini untuk belajar bersama-sama,” tutur Cak Nun.

Mengantar pamitnya Taufik Ismail dan Kivlan Zein, Cak Nun mengajak jamaah untuk melantunkan selawat bersama. Andrean, selaku perwakilan dari Kenduri Cinta kemudian memberikan cindera mata kepada Bapak Taufik Ismail yang beberapa waktu lalu baru saja merayakan ulang tahun yang ke-80. “Mudah-mudahan Kenduri Cinta bertahan sampai akhir zaman. Mudah-mudahan kita semuanya dibukakan pintu gerbang jannatu na’iim, begitu juga keluarga kita di rumah dan seluruh umat Islam di dunia. Saya ucapkan terima kasih, terima kasih dan terima kasih,” ucap Taufik Ismail setelah menerima cindera mata dari Kenduri Cinta.

Kelompok Hadroh Syifa’ul Quluub kemudian melantunkan selawat mengantarkan pamitnya Pak Taufik Ismail dan Pak Kivlan Zein.

Tahun Duka, Tahun Buta

“Saya hanya akan bergembira kalau anda semua bermaiyah satu sama lain dan betul-betul menyerbu semua kebusukan-kebusukan dengan aroma yang sewangi mungkin dan seharum mungkin dimanapun anda berada.”
Emha Ainun Nadjib

ORGANISASI ORGANISME

Jose Rizal Manua kemudian mempersembahkan dua buah puisinya malam itu Kenduri Cinta, dilanjutkan persembahan lagu-lagu akustik oleh Annisa Arumingtyas. Setelahnya, Cak Nun bersama Ust. Noorshofa dan Erik Supit tampil. Sebelum Erik menyampaikan pointer-nya, Cak Nun memberi landasan, khususnya terkait maraknya penyebaran nilai-nilai Maiyah yang cenderung makin liar akhir-akhir ini.

“Pohon tumbuh, hujan turun, banjir adalah air yang mengalir yang taat kepada hukum gravitasi. Jadi ada aturan yang diorganisir yang merupakan konsepnya Allah yang kemudian oleh Allah dijadikan sunnah, yang kemudian kita terjemahkan sebagai hukum alam. Manusia bergaul dengan sunnatullah dan manusia harus menyesuaikan dengan sunnatullah,” Cak Nun menjelaskan secara metafor, “Maiyah ini organisasi atau organisme? Maiyah itu bukan lembaga, Kenduri Cinta ini bukan lembaga. Ada pengurusnya supaya jelas batas sawahnya, bagaimana mengatur siapa yag mencabut rumput-rumputnya, bagaimana mengatur siapa yang mengendalikan sapi untuk nyingkal tanah-tanahnya.”

Bahwa sebenarnya tidak ada dikotomi antara organisme dan organisasi. Organisme yang diciptakan Allah adalah puncak kesempurnaan organisasi. Manusia sebagai khalifah melakukan kerjasama dengan Allah untuk mengatur organisasi di dunia sehingga menikmati organisme yang disiapkan oleh Allah. Tetapi, bahwa sebagai khalifah di muka bumi kita memerlukan organisasi untuk menuju kesempurnaan organisme yang sudah disusun sedemikian rupa oleh Allah. Cak Nun memaksudkan organisasi bukan lembaga yang terstruktur, melainkan sebuah manajemen atau penataan langkah-langkah.

Dalam lingkup Maiyah, Padhang mBulan, Mocopat Syafaat, Bangbang Wetan, Kenduri Cinta dan lain sebagainya, sejak awal sudah memutuskan untuk tidak akan menjadi sebuah organisasi masyarakat apalagi sebuah partai politik. Tetapi meskipun tidak melembaga bukan berarti anti terhadap struktur kelembagaan pengorganisasian.

“Tidak mentang-mentang Maiyah itu terbuka, cair dan bebas maka anda boleh yang satu menghadap kesana, yang lain menghadap kesana. Wong Tuhan saja mengatur arah kiblat itu sebenarnya merupakan hasil dari organisasi agar salat yang didirikan oleh umat Islam tertata dengan rapi,” lanjut Cak Nun, “Anda tahu Maiyah ini begitu bebasnya, tidak ada security, tidak ada iuran. Sekalipun ada iuran (kotak kencleng yang diedarkan pada saat Kenduri Cinta bulanan -red) itu pun dalam rangka agar membantu bisa mbayar sound, biar ada panggungnya, biar ada lampunya, agar lebih tertata rapi.”

Sebagai catatan, Kenduri Cinta sudah berlangsung selama 15 tahun, berjalan natural tanpa bergantung ada atau tidaknya organisasi yang bersifat kelembagaan, tetapi bukan kemudian Kenduri Cinta anti terhadap pengorganisasian. Setiap tamu yang datang harus terkoordinir dengan baik, siapa yang menyambutnya, siapa yang menyambungkannya dan harus diposisikan seperti apa dan seterusnya, itu merupakan dalam rangka pengaturan dan pengkondisian agar acara Kenduri Cinta berjalan sesuai dengan rencana yang sudah disusun sebelumnya.

Tahun Duka, Tahun Buta

“Ramadan ini adalah bulan yang sangat mulia, tetapi ketika engkau yang berpuasa di bulan Ramadan, maka mudah-mudahan Ramadan menjadi lebih mulia dengan puasa yang engkau lakukan.”
Ust. Noorshofa

Cak Nun sampaikan, “Saya itu harus berjalan diatas jembatan yang bernama Salaamatu-l-insaani fii khifdzi-l-lisaani, bahwa keselamatan manusia itu terletak dalam menjaga lisannya.” Seandainya boleh memilih, Cak Nun lebih memilih untuk diam dan tidak menyampaikan apa-apa. Karena Cak Nun menyadari bahwa bahaya yang ada dalam diri beliau adalah justru apa yang beliau ucapkan dalam setiap forum maiyahan.

Cak Nun menjelaskan betapa nilai-nilai Maiyah disampaikan dalam bentuk yang liar dan provokatif akhir-akhir ini. Sebagai salah satu contoh, sebuah penggalan kalimat dari Cak Nun: Surga itu tidak penting. Penggalan kalimat ini cukup membahayakan jika disalahpahami oleh orang-orang yang tidak mengerti konteks. Masih banyak lagi contoh pemenggalan kalimat-kalimat yang kemudian disebarluaskan secara liar. Di YouTube saat ini banyak sekali video-video maiyahan yang disematkan dengan judul-judul yang bertujuan untuk narsisme pribadi pemilik akun atau hanya untuk mengejar jumlah viewer.

Cak Nun sendiri secara tegas menyatakan bahwa beliau tidak begitu mementingkan hal tersebut, tetapi Cak Nun mengingatkan bahwa kita (Maiyah) akan bunuh diri bersama kalau kita tidak bisa mengontrolnya, sehingga Cak Nun menawarkan metode rembug kepada siapapun saja yang ingin menyebarkan nilai-nilai Maiyah. Di Maiyah ada pasukan-pasukan yang bersifat infantri, ada berposisi kavaleri dan ada yang pada posisi artileri. Kesemuanya ini tentu dibutuhkan silaturahmi satu sama lain, ridhlo bi ridhlo, agar terjadi keseimbangan dalam setiap proses pengambilan langkah-langkah demi kebaikan.

Cak Nun mengingatkan, kalau masih tidak bisa saling mengalah satu sama lain, maka urusannya nanti bukan kepada Cak Nun secara pribadi atau kepada Maiyah, melainkan kepada yang menciptakan organisme hidup, yang menciptakan sunnah yaitu Allah. “Dan kalau anda sudah berurusan dengan Allah nanti pilihannya adalah berkah, azab, istidraj atau tarkun,” tegas Cak Nun.

Fenomena lain yang terjadi kemudian adalah penggunaan nama Cak Nun untuk nama-nama akun di media sosial, Cak Nun sendiri mengakui bahwa beliau tidak memiliki akun media sosial. “Dari itu semua jangan berpikir bahwa saya marah, tidak sama sekali. Cuma kalau kita menginginkan masa depan bersama, ayo kita mengorganisir dan menata bareng-bareng itu semua. Saya tidak rugi apa-apa dan saya juga tidak laba apa-apa. Saya hanya akan bergembira kalau anda semua bermaiyah satu sama lain dan betul-betul menyerbu semua kebusukan-kebusukan dengan aroma-aroma yang sewangi mungkin dan seharum mungkin dimanapun anda berada,” ajak Cak Nun.

Erik melengkapi dengan memberikan solusi, apapun alasannya terkait penyebaran nilai-nilai Maiyah di internet, maka yang harus dilakukan adalah bersilaturahmi dengan para penggiat Maiyah di masing-masing kantung Maiyah. Jika memang yang disebarkan adalah nilai-nilai Maiyah, maka sudah sepantasnya konten yang disebarkan itu harus terlebih dahulu dikonfirmasi dengan pihak yang terkait secara langsung.

“Untuk itu, kita sebaiknya sudah mulai menata diri untuk menuju organisme yang sudah disebutkan oleh Cak Nun tadi dengan cara bergabung dengan para penggiat Maiyah di setiap regional. Kalau anda di Jakarta, anda bisa bergabung dengan penggiat Kenduri Cinta, sehingga fenomena ‘sop buntut’ tidak terjadi, karena pada akhirnya hal tersebut justru membahayakan diri kita sendiri,” lanjut Erik.

Erik juga menegaskan, bahwa asumsi yang terjadi di beberapa pihak yang menyatakan bahwa Kenduri Cinta secara lembaga terkesan mendikte, tidak benar adanya. Yang dilakukan oleh Kenduri Cinta adalah proses penataan organisasi agar dapat bersama-sama menuju organisme Maiyah. Ketika ada pihak-pihak yang menolak untuk bertemu secara tatap muka langsung, maka yang terjadi adalah munculnya asumsi-asumsi yang cenderung justru menambah polemik yang seharusnya tidak terjadi.

Tahun Duka, Tahun Buta

“Kalau anda mencintai Maiyah, mari kawinkan kecintaan itu dengan kebenaran. Kalau anda mencintai kebenaran Maiyah, mari kita kawinkan kebenaran itu dengan kebaikan. Supaya kalau benar dan indah dan baik ini berjodoh, maka anda akan mendapatkan sesuatu yang lebih tinggi lagi yaitu kemuliaan.”
Emha Ainun Nadjib

Ust. Noorshofa melengkapi, “Bahwa semua orang merasa ketika dia berkuasa, dia merasa menjadi mulia. Tetapi bagaimana engkau berkuasa, kekuasaan itu yang menjadi mulia. Jadi, seluruh ibadah yang kita lakukan itu adalah mulia, tetapi bagaimana ketika engkau beribadah kemudian kemuliaan itu menjadi lebih mulia, inilah yang luar biasa. Ramadan ini adalah bulan yang sangat mulia, tetapi ketika engkau yang berpuasa di bulan Ramadan, maka mudah-mudahan Ramadan menjadi lebih mulia dengan puasa yang engkau lakukan.”

Ust. Noorshofa menjelaskan bahwa pilihan untuk diam adalah pilihan kedua setelah pilihan mengucapkan perkataan yang baik, man kaana yu’minu billahi wal yaumil aakhir falyaqul khoiron aw liyasmuth; barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka berkatalah yang baik atau diam.

Mengutip tafsir yang pernah disampaikan oleh Syeikh Nursamad Kamba, Cak Nun menjelaskan ketika rombongan Rasulullah SAW dikejar oleh pasukan Abu Sufyan, Allah memerintahkan untuk bersembunyi di Gua Tsur, kemudian Abu Bakar tampak ketakutan dan kebingungan, kemudian Rasulullah SAW mengatakan: Laa takhof walaa tahzan, innallaha ma’anaa; Jangan takut dan jangan bersedih karena Allah bersama kita.

“Selama ini tafsir-tafsir yang sampai kepada kita (dalam peristiwa tersebut) adalah bahwa Abu Bakar takut kepada pasukan Abu Sofyan. Demikian juga sering disimbolkan bahwasanya Rasulullah SAW sendiri sembunyi dari kejaran Abu Sofyan. Ust. Nursamad, beberapa tahun yang lalu pernah menafsirkan bahwa masalahnya bukan itu (ketakutan terhadap Abu Sofyan), yang ditakutkan adalah; kalau sampai Kekasih Allah, Muhammad SAW ini sampai terluka, terus Allah marah, maka akibatnya bisa (mengenai) ke seluruh Mekkah dan Madinah. Kalau Allah murka karena kekasih-Nya dilukai, maka murka Allah ini yang ditakutkan oleh Rasulullah SAW. Oleh karena itu, dalam setiap keterdesakan yang dialami, Rasulullah SAW tidak pernah mau menuruti usul-usul yang disampaikan oleh gunung-gunung, angin dan laut serta yang lainnya untuk membela Rasulullah SAW. Rasulullah SAW selalu mengatakan: Jangan,” tutur Cak Nun.

“Jadi, laa takhof walaa tahzan innallaha ma’anaa itu maksudnya adalah: jangan sampai kalau Allah mencintai seseorang itu engkau sakiti, engkau rugikan, engkau aniaya. Karena urusanmu nanti itu dengan Allah, tidak dengan saya,” Cak Nun memungkasi.

Kenduri Cinta edisi Juli 2015 dipuncaki dengan selawat dan doa bersama yang dipimpin oleh Ust. Noorshofa.