SUMPAH BERBISIK

reportase kenduri cinta mei 2013

Ada apa dibalik pemilihan tema Sumpah Berbisik? Rusdianto selaku perwakilan penggiat acara menceritakan munculnya tema diawali dengan pemikiran mengenai kondisi rakyat Indonesia saat ini yang sudah tak mampu berkata-kata lagi. Rakyat sudah sampai pada titik nadir dalam memahami perilaku para pemimpin dan elit politik hingga kehabisan kata-kata. Sumpahan-sumpahan berdiam diantara relung hati rakyat yang terzolimi.

Erik Supit selaku desainer tema visual mengaku sempat kebingungan saat mendapat kabar mengenai judul tema. “Kalau dilihat dari konstruksi kata-katanya, Sumpah Berbisik bukan lagi merupakan paradoks melainkan oksimoron. Sumpah menggambarkan tindakan manusia mengeluarkan runtun verbal yang kentara sehingga orang lain mendengar. Sumpah juga biasanya dilakukan dengan berteriak. Pengiring dari bersumpah adalah bersaksi. Bersaksi itu belum tentu melihat, tapi mengalami. Sementara itu berbisik melibatkan suara yang mengecil,” Erik melanjutkan uraiannya, “Sewaktu mendiskusikan tema ini di Reading Room—sebuah perpustakaan di bilangan daerah Kemang—saya berargumentasi bahwa klausa ini kan bisa hanya merupakan paradoks. Bisa saja seseorang bersumpah tapi dilakukan sambil berbisik. Tapi Richard Oh—pemilik Reading Room—mengkritisi habis-habisan. Ini oksimoron, bukan paradoks, katanya.

“Tapi mari kita lebarkan pemaknaan. Saya ingat cerita dari seorang teman yang pada tahun ’90-an baru pulang dari Ethiopia. Katanya, orang-orang Ethiopia punya cara untuk menghormati pemimpin yang mereka punya sakit hati padanya, yakni dengan menundukkan badan di depannya sambil kentut. Ini merupakan satu hal yang ironi. Pada saat yang sama seseorang bisa menghormati sekaligus mengejek. Jangan-jangan begitulah karakter dasar manusia.

“Hal yang sama terjadi pada para pemimpin kita. Awalnya kita sanjung-sanjung mereka, tapi dua atau tiga bulan kemudian kita cela habis-habisan. Kalau dalam bahasa Jawa ada konsep misuh, yaitu satu kata yang kemudian ditransformasi ke dalam bahasa Indonesia menjadi mengumpat. Saya kurang setuju dengan ini, karena misuh itu kata dasarnya wisuh, yang artinya mencuciMisuh merupakan tempat orang meletakkan segala kebencian dan uneg-uneg-nya pada tempat yang benar. Dan tempat yang benar untuk kebencian adalah tempat yang kotor atau tempat sampah. Sayang sekali, bahasa Indonesia terlalu miskin sehingga misuh ditransliterasi menjadi mengumpat. Misuh itu bisa dimetaforkan sebagai Sumpah Berbisik, di mana seorang yang tak punya kekuasaan seperti kita, rakyat Indonesia, yang ditindas secara mental, secara intelektual, secara hak-hak politik sosial budaya dan sebagainya. Kita tak punya kekuatan apapun untuk melawan. Cara melawan paling sederhana ya lewat misuh itu tadi. Kalau dalam prokem bahasa Indonesia kita bisa bicara nyumpahin orang.

“Coba cari arti kata twit di kamus-kamus. Artinya negatif semua: mengejek, mengumpat. Kalau kita lihat, isi timeline itu ya mencibir, menggugat, memprotes. Itulah Sumpah Berbisik, tak terdengar tapi terbaca. Bukankah twitter dan internet adalah paradoks dalam kehidupan kita? Maka dia menjadi laris di kota-kota. Di desa, ketika persentuhan-persentuhan personal lekat dan utuh, menghadirkan fisik, suara, dan ekspresi, twitter tak laku. Konon, metropolitan selalu menghadirkan orang-orang yang paradoks, yang sepi dalam keramaian.

“Aplikasi dari Sumpah Berbisik itu sering kita lihat, termasuk kita lakukan. Kita menggugat tapi tak bersuara, kita menolak tapi tidak bisa keras, kita misuh-nya bisik-bisik. Maka gambar yang saya hasilkan menjadi seperti ini. Ini pemaknaan versi saya.”

Adi Pudjo lalu ikut menambahkan padangannya: “Memang meskipun rutinitas kehidupan kita seperti tak ada masalah, tapi kelihatan sekali bahwa aktivitas ekonomi maupun sosial-politik kita stagnan, tidak ada perubahan nyata. Maka kita mengangkat tema ini. Ketidaknyamanan di masyarakat akibat proses-proses politik menyebabkan kita sumpek. Politik saat ini tidak ada asal dan usulnya. Kita cuma muter-muter dan hasilnya terbatas pada: siapa yang naik, siapa yang menjadi apa,” tambah Adi Pujo, “Masyarakat misuh atau bersumpah tapi dia tidak menyampaikan dengan lantang. Ada dua kemungkinan untuk ini: takut atau apatis.”

“Manusia harus terus belajar karena pemahaman yang kita dapatkan sekarang harus kita konstruksi ulang sesuai dengan pengalaman-pengalaman baru.”

Erik Supit

MANUSIA PERINTIS, MANUSIA PEMELIHARA, MANUSIA PENDOBRAK

Coba Anda cari organisasi yang bisa bertahan lebih dari sepuluh tahun yang di dalamnya tidak ada kepentingan, tidak ada iuran, tidak ada tujuan, tak peduli siapa yang bicara, dan tidak ada kesimpulan apapun. Ini organisasi macam apa?” lanjut Erik, “Saya ketemu Halim HD, seorang kawan lama Cak Nun. Beliau seorang networker kesenian yang tinggal di pelosok Solo. Beliau mengatakan bahwa kelemahan organisasi-organisasi yang menguntit atau mengekor atau terinspirasi jejak Cak Nun adalah ketiadaan organisasi yang matang. Katanya begitu. Saya sederhana saja menjawab ini: Maiyah memang bukan organisasi. Maiyah itu satu bentuk yang tanpa bentuk, satu organ tanpa organ, satu pola tanpa pola. Ia bisa jadi cair, padat, gas, itu kontekstual secara ruang dan waktu. Jadi susah sekali untuk didefinisikan dalam bentuk apapun. Saya kira yang selamat dari kungkungan politik dan kepentingan-kepentingan apapun yang menjadikan Indonesia ruwet belakangan ini ya: Maiyah.

“Cak Nun pernah mengatakan dalam beberapa diskusi dan dalam tulisan beliau di buku Dari Podjok Sejarah bahwa manusia itu ada tiga macam: manusia perintis, manusia pemelihara dan manusia pendobrak. Ada sirkulasi fase-fase yang dilalui setiap manusia dalam konsep-konsep itu. Kita merintis sesuatu, memeliharanya, dan kemudian mendobraknya. Dinamika kehidupan harus kita lanjutkan. Masing-masing manusia harus terus belajar karena pemahaman yang kita dapatkan sekarang harus kita konstruksi ulang sesuai dengan pengalaman-pengalaman baru. Jadi kita harus memutar. Kita tahu A, merintisnya, mengamalkannya, setelah tuntas kita harus tahu A+, begitu seterusnya.

“Kadang-kadang sampean bisa jadi pembebek, pengekor, tapi kadang-kadang juga harus bisa jadi pendobrak, pemikir. Setelah mendobrak, kita harus merintis sesuatu yang baru, jangan kemudian meninggalkan begitu saja. Diterapkan pada tema Sumpah Berbisik, jangan-jangan karena ketidakmampuan kita melawan sistem yang sangat besar ini kita hanya mampu menggugat, maka media manapun hanya berisi gugatan. Sumpah Berbisik paling tidak adalah mendobrak, merintis dan memelihara dalam irama yang lebih halus dan tersembunyi karena yang gaduh-gaduh biasanya akan mengganggu banyak orang.”

PARAMETER KEMANDIRIAN

Erik Supit melanjutkan, “Belakangan saya terheran-heran dengan cara televisi mengangkat seseorang. Untuk menjadi trending topic jaman, televisi membombardir kita dengan informasi yang serba ideal, bahwa si A itu baik, kaya, sukses, terus seperti itu tiap hari sampai kemudian tanpa sadar kita menjadikannya idola. Kita dibombardir dengan dramatisasi informasi, hal ini karena karakter dasar manusia adalah memiliki kerinduan akan situasi yang ideal.

“Tentang manusia, sebenarnya saya juga ragu apakah kita ini manusia atau jangan-jangan baru makhluk yang sedang berusaha menjadi manusia. Akhlak kita bidik terus-menerus, kita mengatur presisi. Manusia punya rasa kangen atas sesuatu yang sangat ideal. Ini diterapkannya dalam mencari pacar, suami, atau istri. Karakter dicocokkan—bahwa hidungnya harus bagaimana, rambutnya, tingginya dan hartanya—dan hal ini kita dapat dari pengalaman-pengalaman sebelumnya. Nah, media mengerti bahwa psikologi manusia punya titik lemah paling lemah yang disebut dengan keterpesonaan ideal.

“Ini sebenarnya ilmu lama yang telah dipraktekkan oleh para dukun untuk bisa memukau orang-orang di sekitarnya. Ingat, Firaun sebagaimana dukun-dukunnya sangat bisa memukau masyarakat karena titik lemah ketakjuban orang-orang di situ titik tembaknya. Sesuatu yang dipikir tidak mungkin oleh orang-orang ditunjukkannya, maka semua orang takjub dan terpesona. Media membombardir kita secara terus-menerus, sampai akhirnya idola-idola baru tumbuh sehingga ekspektasi kesuksesan kita menjadi tak jauh-jauh dari itu. Kesuksesan didefinisikan sebagai orang yang ganteng atau cantik, kemudian bersekolah di sekolah tertentu. Kita menjadi gampang histeris—ketika misalnya Fatin dieliminasi pada sebuah acara televisi—padahal orang tua kita, nenek moyang kita, sudah lama berpesan melalui satu ujaran ojo gumunan. Ini ternyata adalah penyeimbang dari keterpesonaan yang sangat bisa membuat kita mabuk. Sekarang semua orang bisa mabuk ketika mengkonsumi media, dan media menggunakan ini untuk kepentingan industrinya.”


Menambahkan uraian Erik, Rusdianto bercerita bahwa ia meninggalkan jabatannya di sebuah bank agar rekannya yang lain bisa naik jabatan. “Ketika ada orang yang mau jabatan saya, saya kasih ke dia. Saya tidak akan umroh kalau di lingkaran saya masih ada orang yang kesusahan, yang kesulitan bayar uang sekolah anak-anaknya.” Rusdianto menggambarkan bagaimana ia rela melepaskan jabatan dan pekerjaanya untuk tetap setia memegang nilai-nilai kemuliaan.

Erik merespon, “Benar apa yang dilakukan Mas Rusdi, tapi itu tidak mudah,” ujarnya, “Mengapa semua orang mendambakan jabatan itu? Parameter dan tujuan banyak orang disatukan. Ketika masuk kantor, cita-citanya adalah menjadi direktur, manager, supervisor. Itu massal, maka akhirnya orang-orang berebut—kecuali kalau masing-masing orang punya parameter sendiri. Tapi kan modernitas menawarkan iming-iming yang dinamakan jenjang karier yang seakan-akan luar biasa, sebagai tuhan dan sebagainya. Parameter yang saya maksudkan parameter sendiri ini berupa kemandirian. Misalnya anda supervisor, tapi mencukupkan diri atau meng-qanaah-kan diri.

“Kita akan diserang dengan iming-iming lain, misalnya dalam bentuk penghasilan dan sebagainya. Disinilah indahnya Islam yang punya garis nilai innamal amalu binniyat. Ini parameter atau ukuran anda bahwa apapun itu selalu dimulai dari sebuah itikad, diakhiri dengan alasan. Maka kalau ada orang yang bilang melakukan sesuatu tanpa alasan, itu bohong. Pasti ada alasan, tapi dia tidak bisa merumuskannya.

“Kita terdidik dari kecil untuk selalu menunggu jawaban, tidak terdidik untuk membuat pertanyaan sehingga kita tak pernah punya prinsip analisis atau riset. Katanya Al-Quran itu petunjuk hidup, maka seluruh jawaban persoalan pasti ada di dalamnya. Lalu kenapa kita cari jawaban sampai sekarang? Jangan-jangan kita salah bikin pertanyaan? Kemandirian adalah ketika kita punya parameter terhadap diri kita sendiri, termasuk untuk menerapkan nilai-nilai yang kita pahami di KC.”

Sumpah Berbisik paling tidak adalah mendobrak, merintis, dan memelihara dalam irama yang lebih halus dan tersembunyi karena yang gaduh-gaduh biasanya akan mengganggu banyak orang.”

Erik Supit

TRISAKTI, TRIMURTI, TRISULA

Berikutnya Dr. Ali Mahsun, Ketua Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia. Menanggapi tema, Dr. Ali Mahsun memberikan komentar bahwa yang membahayakan adalah ketika bisikan-bisikan memuat niat jahat. Pada posisi tertentu, Sumpah Berbisik lebih berbahaya daripada demonstrasi. Tentang pedagang kaki lima, Dr. Ali Mahsun menyayangkan stigma-stigma negatif yang selama ini dilekatkan dengan pedagang kaki lima. Sebagian besar masyarakat bahkan pemerintah, menilai PKL mengganggu pembangunan, merusak indahnya kota, menyebabkan kemacetan dan ketidaktertiban lalu-lintas dan sebagainya.

“Paradigma ini seharusnya digeser. PKL itu sangat tangguh, mandiri, dan nggak minta-minta kebijakan atau pelicin dari pemerintah. Kalau tidak ada PKL, ekonomi Indonesia sudah kolaps dihantam krisis ’97-‘98. Jumlah PKL naik drastis pada waktu itu dan sampai saat ini mencapai 25 juta. Saat terpilih—menjadi Ketua APKLI—pada Maret 2011, saya menuntut pemerintah untuk menjadikan PKL sebagai mitra sinergis. Selama ini mereka selalu ditakut-takuti Satpol PP.

“Saya mendesak semua perusahaan swasta untuk tidak membohongi PKL dengan dalih apapun. Bahkan kalau ada perusahaan rokok yang tidak mengeluarkan CSR-nya, saya suruh para PKL mogok jualan. Delapan puluh persen transaksi ritel ada di lapak PKL, maka sangat tidak adil kalau kemudian mereka dianaktirikan. Kami berharap hasil pemilu 2014 berupa payung hukum yang lebih kuat untuk para PKL, berupa undang-undang. Negara harus berterima kasih sama PKL karena PKL telah menyediakan lapangan tidak kurang dari 80 juta. Tapi Indonesia memang unik, 25 juta PKL tidak menikmati fasilitas negara. KUR dikucurkan sejumlah 32-37 trilyun per tahun untuk pemberdayaan ekonomi mikro sektor informal. Namun KUR tanpa jaminan sampai 20 juta di lapangan itu jarang terjadi kecuali ada pejabat datang langsung. Perbankan terikat aturan internasional bahwa kredit harus ada jaminan. Retorika kebijakan pemerintah harus dijadikan kenyataan. Sebanyak 70% potensi ekonomi Indonesia dikuasai hanya oleh 2% pemilik usaha. Ini ketidakadian ekonomi. Tidak ada ekonomi kerakyatan. Adanya ekonomi kapitalis.”

“Negara harus berterima kasih sama pedagang kaki lima, karena PKL telah menyediakan lapangan tidak kurang dari 80 juta.”

Ali Mahsun


Untuk beristirahat sejenak dari informasi-informasi yang disuguhkan sejak tadi, Beben membawakan dua lagu bersama Raras dan Inna Kamarie, melantunkan Fly Me to The Moon dan The Girl From Ipanema. 

Menyambung uraian Dr. Ali Mahsun, hadir sebagai pembicara M. Arif Rosyid Hasan, Ketua Umum PB HMI. Ia sampaikan, “Kita terdidik sebagai mahasiswa yang terbiasa dengan sumpah berteriak. Ketika kita ambil peran itu, siapa yang mampu menjembatani bisikan-bisikan rakyat? Seperti yang Cak Nun bilang, rakyat kita tak bermasalah di tengah masalah-masalah yang ruwet. Mereka sangat rajin dan tangguh.”

Andre Wiyono menyambung dengan menyampaikan beberapa konsep mengenai Trisakti, Trimurti, dan Trisula. Dalam bahasa Soekarno, Trisakti mencakup kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan kepribadian yang berkebudayaan. Dua yang pertama sudah bukan milik kita, sementara yang ketiga pun sudah dipolitisasi dan dikapitalisasi. Mengenai Trimurti, ada tiga subyek didalamnya, yakni Syiwa, Brahma, dan Wisnu—yang dalam Podjok Sejarah oleh Cak Nun disebutkan sebagai peran-peran pendobrak, perintis, dan pemelihara—maka harus ada simbolisasi yang dinamakan Trisula, yang meliputi: jujur, tegas, dan benar.

Pembicara berikutnya adalah Richard Oh, tuan rumah Reading Room dan penggagas Khatulistiwa Literary Award. “Saya ke sini atas undangan teman-teman yang selama ini saya sudah bergaul dengan mereka. Bagi saya Cak Nun adalah orang yang sangat menarik, terutama dimensi humanitasnya. Kita hidup di negara dimana siapa yang memegang corong ini seakan-akan punya predikat untuk bicara dan berkualifikasi mengatakan apa saja. Maka saya mohon maaf untuk itu. Saya tertarik ke sini karena subyeknya oksimoron, Sumpah Berbisik. Sumpah itu kegiatan yang dilakukan sendiri, sementara berbisik itu melibatkan orang lain.

“Subyek ini di satu sisi punya intensi tinggi sekali, di mana kita punya ikrar pada diri. Ada obyek yang ingin kita capai. Tapi ketika berbisik, kita mendekat ke orang yang kita bisiki kemudian membagi sesuatu dengannya. Kalau kita belajar dari abad dulu, di Katolik ada yang namanya katarsis. Katarsis sekarang dipahami semacam pelampiasan atau pelepasan. Padahal dahulu tidak demikian. Katarsis itu ketika ada dialog yang berbicara tidak lebih tinggi dan tidak lebih rendah daripada yang mendengar. Ketika saya bicara, silahkan mau apa saja. Interaksinya yang membuat saya nyaman.

“Ada beberapa hal yang membuat saya tertarik. Kalau dikatakan tentang iman, saya ini sangat buta. Saya ingin tahu semuanya, baik itu fisika, filsafat, sastra. Semua saya telurusi. Saya belajar dari siapapun, dari yang saya dapat semoga membuat diri saya tak punya predikat. Berbisik menjadi menarik karena kita hidup di era socmed, reklame, pidato, dan semacamnya yang membuat kita gerah. Di dunia hingar-bingar, akhirnya kita lupa berbisik. Banyak konotasi negatif untuk berbisik ini. Kadang kata-kata yang kita bisikkan itu tidak penting, tapi gesture kita ketika berbisik adalah mendekat ke yang lain.

“Yang paling bahaya dari identitas adalah kesalahan kita berpikir bahwa kita dilahirkan di satu kampung, beragama apa, pendidikan apa, suku apa. Karena kita adalah singular dan sekaligus plural. Saya memang cuma saya, tapi ada juga yang seperti saya, suka musik, suka belajar. Kita sangat takut menempuh hidup yang sulit. Di mana ada kesulitan, di sana ada kesempatan kita menjadikan yang baru dari diri kita. Imposibilitas adalah jalan hidup yang mutlak.”

STRING THEORY

“Ada adegan dimana seorang ibu menimang anaknya. Ketika hendak menidurkan, dia bersenandung dengan berbisik, dengan irama yang berbeda dengan tatanan verbal ala obrolan. Jangan-jangan ada sebuah gaya, ketika suara itu melambat, justru ia menguat?” tanya Erik kepada Richard Oh.

Richard menjawab, “Ini satu hal yang menarik. Teori fisika paling mutakhir, string theory, merupakan teori senandung. Meskipun secara matematika belum ketemu, belum ada quantum mechanic yang benar-benar bisa menemukan persamaan matematis untuk membuat teori itu sah. Terakhir ada juga teori higgs-boson. Partikel paling kecil, boson, ketika dihancurkan sampai hancur, yang tersisa adalah gelombang.

“Jangan anggap kita ini merupakan tonggak-tonggak. Kita ini sebenarnya sudah membuat satu bengkokan atau tiruan. String theory menyebutkan bahwa ketika kita duduk di sini, di galaksi lain ada orang-orang yang sama dengan kita, hanya saja mereka berada di dunia yang berbeda, istilahnya multiverse.

“Perjalanan harus kita syukuri dan nikmati dalam kesukaran dan kegembiraan. Perjalanan itu banyak keberanian dan kecemerlangan untuk melihat bukan dari satu sudut saja. Dan buat yang punya keyakinan, tidak dibutuhkan perdebatan, karena kalau kata Kierkegaard, keyakinan merupakan sebuah loncatan. Maka buat apa ada pembelaan-pembelaan kalau sudah yakin? Buat apa ada perdebatan antar keyakinan? Loncatan keyakinan adalah keputusan mutlak baginya.”

Dini hari, forum ditutup dengan doa bersama. [FA]