REOG AND ROLL

Reportase Maiyah Dusun Ambengan

Setelah hujan lebat pada Sabtu, 16 Januari 2016 siang hingga sore. Malamnya, tidak hujan, namun sangat atis. Kabut benar-benar serasa menembus tulang sum-sum. Cuaca dingin itu, tak menghalangi orang-orang Maiyah Dusun Ambengan, mendatangi Rumah Hati di Desa Margototo, Metrokibang, Lampung Timur.

Setelah menderas Alquran Surat At-Taubah, bada Isya, jam 20.00 jamaah mulai duduk membentuk lingkaran. Para awak Jamus Kalimosodo menghadap jamaah dan mulai memainkan tembang-tembang pembuka. Lagu pertama menyapa dan menghangatkan jamaah diadaptasi dari Kiai Kanjeng, Wahdana.

Syamsul Arifien atau yang akrab disapa Cak Sul, memberi pengantar terkait mukadimah tema Reog and Roll dan kenapa Ambengan yang rutin digelar Sabtu malam, pada minggu kedua setiap bulan mulai edisi Januari 2016 ini.

Suasana Maiyah Dusun Ambengan, kali ini terasa berbeda. Bukan saja terkait tema Reog and Roll, para penggiat kesenian tradisi di pedalaman Lampung itu juga banyak yang mengenakan pakaian khas Ponorogo, Jawa Timur. Terlihat hadir group reog dari Metro Selatan, Mudo Menggolo Sakti dan group Reog Margototo, Liman Singo Budoyo.

Ruang diskusi yang egaliter mampu dihadirkan Cak Sul. Jamah fokus menbedah makna dan bagaimana para pelaku memaknai eksistensi sebagai pemain Reog. Selain tukang njatil, bujang ganong, warok dan pengasuh Reog, hadir juga Kyai Mus, bersama sejumlah santri yang ikut menyumbangkan shalawat diiringi musik Jamus Kalimosodo. Diantaranya, membawa Si’ir Tanpo Waton.

Kehadiran Kyai Mus, menjadi puncak permenungan. Selain memberi tausiah pamungkas, membawakan tembang Tombo Ati dan Lir-ilir, khidmat doa yang dipimpin pengasuh Ponpes Al-Mutaqien Pancasila Sakti, Bandar Lampung itu benar-benar menyisakan rasa dingin yang lain. Semacam tentram dan ketenangan. Puncak acara yang aneh, setelah semua jamaah menghentakkan Wirid Al-Wabal dan musikalisasi Doa Tahlukah 2016, lampu dipadamkan, ketenangan dan isak lembut doa-doa Kyai Mus melantun, serasa menyejukkan batin. Berbagai permohonan dalam bahasa Arab dan bahasa Indonesia, khusyu diimami Kyai Mus. Lamat dan khidmat, jamaah mengatakan, “Amien.”

Kyai Mus yang bernama lengkap Musthofa Wagianto, sesepuh Maiyah yang sangat dekat dengan Cak Nun, Sabrang “Noe” itu akrab juga disapa Pakde Mus. Selama ini beliau juga terlihat sering membersamai Kenduri Cinta. Pergulatan mencari defenisi berkesenian, mengurai makna dan mengkaji sejarah Reog, termasuk gerai tawa selama sesi diskusi dan paparan kisah, pengalaman menggeluti seni Reog oleh Pak Slamet, Mas Fitri dan atraksi warok yang dipadupadan dengan Gamelan Jamus Kalimosodo serasa sublim.

Salah satu lagu yang mengiringi atraksi Warok, Balada Negeri Pandir ciptaan Cak Sul. Liriknya cukup menggugah dan syarat kritik.

balada negeri orang pandir

otaknya bebal bermental kerdil

yang berkuasa tak berbuat adil

rakyatnya susah tak juga dipikir

ganti berganti yang berkuasa

hanya bergiliran orang pelupa

pandai bicara pandai beretorika

pandai berjanji yang tak bisa nyata

gawat darurat sekarat ini negara

yang dikendalikan para mafia

gawat darurat ini negara

yang pemimpinnya semau gua

heee tragisnya balada negeri pandir

Menurut Mas Saiful Munir, yang memandu pembacaan Wirid Al Wabal yang baru diluncurkan Cak Nun malam sebelumnya di Kenduri Cinta, Jakarta. “Zikir ini semoga mampu menjadi suara kolosal yang membumbung ke langit, menggoncang arsy,” katanya yang dilanjutkan agar ketika sampai pada kalimat Ya Dzal Wabal, dihentakkan lafadz-nya.

Jamaah Maiyah Dusun Ambengan kali ini juga terasa lebih ramai, selain pelataran Rumah Hati yang diampar terpal dan tikar dipadati jamaah, ruang tamu rumah Cak Sul juga banyak dijadikan tempat duduk, selain masih banyak beberapa warga desa yang jagongan di pinggir jalan. Terlihat beberapa aparat dari TNI juga ikut duduk di belakang. Mengikuti dengan tenang.

Upaya nguri-nguri budaya menurut Mas Roko Suyitno menjadi tugas berat Ambengan. Mas Roko yang sebenarnya sebagai peserta diskusi itu tiba-tiba mengajukan pertanyaan. “Ngomong-ngomong ini, acara Ambengan ini dikasih makan tidak?” sontak, semua jamaah tertawa. Setelah dijawab “Ada” oleh Cak Sul, dia melanjutkan, “Alhamdulillah kalau dikasih makan, karena soal kesenian itu tidak akan hidup kalau tidak ada koordinasi, tahukan apa itu koordinasi,” kata Mas Roko yang kemudian menjawab sendiri, koordinasi itu kepanjangan dari kopi, rokok dan nasi.

Kesenian, sepanjang masih ada koordinasi itu dipastikan hidup. Banyak jamaah yang terpingkal-pingkal mendengar kalimat-kalimat Mas Roko. Terutama ketika menyatakan, “Asu kabeh, eh jangan marah. Asu itu kepanjangannya, anak sukses. Amin,” katanya.

Mas Roko kemudian mendedah makna gemblak dalam tradisi Warok. Dia menjelaskan, sejarah pertarungan antara Warok Suromenggolo dengan Warok Siman. Setelah diadu domba Surobangsat tidak bisa, mereka kemudian bertarung hidup mati hanya karena memperebutkan gemblakGemblak, dalam tradisi warok itu, jelas Mas Roko, bukan soal pasangan homoseksual. “Itu pandangan kuno, kasar, sebenarnya gemblak itu adalah simbol penopang ekonomi dan keberlangsungan hidup Warok yang paling dasar,” katanya. Karena, lanjut dia, gemblak itu ya yang memelihara ternak, yang memasak, yang mengurus rumah tangga dan sampai yang mencuci kolor. Artinya, kalau hak dasar ekonomi direbut, Warok bisa mati kelaparan dan tanpa kehormatan. “Itu arti gemblak menurut saya, aslinya ya saya tidak tahu, wong banyak versi ceritanya,” kata dia yang dengan fasih menyebut nama-nama seputar tradisi Warok. Termasuk senjata bebet Suromenggolo dan Warok Siman.

Pak Slamet, sesepuh Reog di Lampung Timur lebih detil menjelaskan makna setiap pemain, arti dari kendang, kenong dan gong. Termasuk menjelaskan sanipan-sanipan atau kiasan seputar Dadak Merak. Bukan hanya sebagai simbol merak yang mengangkangi harimau, lebih dari itu. Sanipan Dadak Merak adalah potret alam semesta. Bulu burung merak itu diumpamakan sebagai sebuah perkampungan yang terlihat dari kejauhan. Hanya hijau dedaunan. Namun setelah didekati, bukan sekadar ada pepohonan melainkan ada berbagai macam makhluk hidup. Selain pohon, ada rumah, ada masjid, ada manusia, ada binatang dan sebagainya.

Lalu namanya Barongan atau Dadak Merak, pasti hanya dimainkan oleh satu orang. Itu artinya, manunggal. Ada Yang Satu yang serba maha yang mengurus alam semesta ini. “Tidak ada Barongan Reog kok dimainkan orang dua, pasti sendirian, itulah kemanunggalan yang serba maha. Yaitu sanipan dari makna keesaan Allah SWT,” kata dia. Menurut Pak Slamet, tidak ada pemain Reog yang tidak taat beragama. “Kalau pun ada yang urakan, itu berarti kesalahan orangnya, dia berarti belum paham makna Reog.”

Sementara Mas Fitri, sebagai seniman Reog yang sudah malang melintang hingga ke pentas nasional, salah satunya mewakili Lampung dalam karnaval Reog di Jawa Timur, menjelaskan pentingnya nguri-nguri budaya nan adiluhung. Anak-anak muda yang jadi pemain Reog atau berkesenian apa pun, tidak perlu minder atau rendah diri. “Saya ini dari kecil ya kerjaannya main Reog, njanger, nyatanya bisa jadi pegawai. Termasuk istri saya itu penari njatilan, bisa tuh jadi PNS,” kata dia.

Mas Fitri banyak berkisah suka duka menggeluti kesenian tradisi yang sebenarnya, banyak dukanya dibanding sukanya. Namun karena kecintaan pada seni budaya leluhur, dia menekuni dan mendapat berkat Ambengan. “Kalau ambengan kan yang kita ingat dibagi ingkung, dagingnya disuir-suir, kyai yang membagi dapat dodomentoke,” katanya.

Kemudian selain mendedah Reog dan berkisah pengalamannya menggeluti dunia seni, Mas Fitri menjelaskan arti Roll dalam tradisi Janger. Jadi bukan sebatas makna musik rock and roll yang salah satu nomornya dibawakan miusik Jamus Kalimosodo malam itu, tarian Reog di-medley dengan All About That Bass. Menurut Cak Sul, sengaja, lagu bernuansa saru dan jorok itu dipilih dan disesuaikan dengan iklim Reog.

Beberapa jamah terlihat tertawa, termasuk Mbak Desi terlihat malu-malu mendedangkan lirik: She says, boys they like a little more booty to hold at night. Namun, terlihat sepertinya banyak warga yang tak mengerti dan hanya mengangguk-angguk, menikmati alunan musik gamelan dengan gayeng.

Menurut Mas Fitri, Roll itu bermakna pemain utama dalam panggung Janger. “Artinya, reog and roll bisa dimaknai siapa pemain utama dalam melestarikan kesenian Reog.” Bukan sebatas musik rock and roll yang kebanyakan liriknya saru. Dia menjelaskan dari data, ada 27 kelompok kesenian Reog se-Lampung, dan 14 diantaranya ada di Lampung Timur. “Jadi sangat tepat kalau upaya membangkitkan kesenian Reog, dimulai dari sini (Maiyah Dusun Ambengan),” kata dia.

Hadir memberikan wejangan seputar pentingnya melestarikan seni budaya, Pak Sony Sumarsono. Mantan anggota DPR RI itu, banyak bercerita tentang mengakrabi Reog di Lampung. Terutama ketika masih aktif duduk di legislatif periode lalu.

Acara itu cukup memberi warna lain dari sebuah pengajian yang lazim digelar di perdesaan. Ditutup dengan santap nasi goreng besama diiringi lagu Hati Matahari. Jamaah pulang ketika waktu sudah menunjukkan pukul 02.12 dini hari. Tanpa komando, anak-anak muda yang hadir menggulung tikar, melipat terpal, memasukkan gamelan dan alat musik lain ke gudang. Jok-jok sepeda motor, basah embun. Masing-masing orang bersalaman. Ibu-ibu terlihat masih sibuk mencuci piring.

Teks : Redaksi Maiyah Dusun Ambengan/Endri Kalianda