QIYAM MU LALI

reportase kenduri cinta desember 2012

Desember tahun ini menjadi bulan yang kedatangannya sudah sejak jauh hari disambut dengan beragam tafsir ramalan akan datangnya hari kiamat. Ramalan itu sendiri ada dua versi. Versi pertama mengatakan bahwa kiamat akan terjadi pada tanggal 12, bulan 12, tahun 2012, sementara versi kedua, ditafsirkan dari berakhirnya sistem penanggalan suku Maya yaitu tanggal 21 Desember. Suku Maya melakukan penghitungan dengan melihat pergerakan planet-planet. Karena planet merupakan benda alam yang sangat massif, ketika bumi berada sejajar dengan planet-planet lain diyakini akan menghasilkan energi yang dampaknya akan sangat dahsyat.

Dari segi bahasa, qiyam, akar kata kiamat, memiliki arti kebangkitan. Kalaupun ada kehancuran dalam prosesnya, itu terjadi dalam rangka kebangkitan. Seperti yang terjadi pada gunung merapi; kehancuran-kehancuran yang terjadi ternyata justru yang mendatangkan manfaat. Tuhan menghidupkan, mematikan dan lalu menghidupkannya kembali. Kita dimusnahkan untuk dibangkitkan kembali. Seperti surat Al-Mudassir yang menyapa orang berselimut. Jangan lupa—lali—untuk selalu bangun dari tidur, karena di dalam tidur kita tidak berbuat apa-apa melainkan hanya bermimpi. Kalau memang kiamat sudah kita pahami sebagai kebangkitan, namun kita tak melakukan apa-apa, posisi kita sama dengan “orang berselimut” yang disebut dalam surah Al-Mudassir itu.

“Judul ini diharapkan mampu menstimulasi perubahan-perubahan menuju kebaikan dari lingkup yang paling kecil. Paling tidak kita meniatkannya untuk besok; syukur-syukur untuk lusa dan seterusnya,” ujar Mathar membuka acara maiyahan Kenduri Cinta edisi Desember 2013 malam itu. “Kepingan-kepingan kebangkitan ini semoga menjadi satu menjadi kebangkitan Indonesia,” tambahnya.

Ya ayyuhal muzzammil, qumillayla illa qolila…. Ya ayyuhal mudassir, qum fa andzir wa Robbaka fa kabbir…

Tiga dari jamaah yang hadir kemudian memberikan tanggapan. Setiawan dari Bekasi, yang pada tahun 2004 pernah mengundang Kiai Kanjeng ke Trisakti, ketiga kalinya malam ini ia menghadiri Kenduri Cinta. Ia berharap Kenduri Cinta terus berjalan di tahun-tahun berikutnya dengan tema-tema yang lebih menarik, publikasi yang lebih meluas, dan pengetahuan yang lebih beragam. “Pengajian ini telah memberikan pembelajaran, untuk kemudian saya terapkan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari.”

Jamaah kedua, Atmaja dari Solo, merasakan “sakti”-nya Kenduri Cinta, dari pemikiran-pemikiran nakalnya yang enak diserap. Judul-judul tiap bulannya sangat menarik dan pengalaman-pengalaman narasumber dan jamaah lainnya banyak yang bisa diambil hikmahnya.

Tanggapan ketiga datang dari vokalis grup musik komunitas underground Es Coret, yang sempat beberapa kali mengisi di Kenduri Cinta. “Saya merasa curang kalau saya hanya datang hanya untuk menghibur, maka saya berkomitmen untuk terus datang ke sini, dengan tetap menjadi diri saya sebagai orang underground.”

Atas tanggapan-tanggapan dari jamaah tersebut, Rusdianto memberikan komentar, “Dengan adanya forum Kenduri Cinta masyarakat bisa menyerap hal-hal yang tak terpikir. Sepulang dari sini mereka menjadi pendekar-pendekar di masyarakat, di tempat kerja, dan di lingkaran manapun mereka terlibat. Sebagai feedback atas itu, kami mempersilahkan teman-teman semua untuk urun rembug karena nanti kita akan berubah format lagi.

“Kenduri Cinta yang diadakan di arena terbuka ini dihadiri oleh beragam tipe jamaah. Ada yang ikut setahun, dua tahun, atau tiga tahun tapi nyicil tiga bulan sekali dan ada pula yang sekadar numpang lewat. Kenduri Cinta juga memilih untuk tidak melakukan publikasi yang lebih luas dari yang biasanya kita lakukan, cukup dalam bentuk baliho dan pemberitahuan melalui media-media sosial. Karena tingkat kesuksesan acara ditandai dengan semakin sedikit publikasi tapi banyak yang datang.”

“Maa fil aba fil abna—apa yang diakukan oleh bapak akan juga dilakukan anaknya.”

Faray

154968_10200206948126251_45742405_n

GENERASI KORUPSI

Narasumber yang hadir di sesi awal diskusi; Haji Uncu Natsir (ketua grup diskusi independen Kosgoro), Ferly, Faray, Nanang Hape (dalang muda yang mengusung konsep wayang urban) dan Andri Dwi.

Uncu Natsir membahas lupanya para pemimpin bangsa ini terhadap jati diri kita sendiri yang tertuang dalam pancasila. Pancasila bukan dari luar, melainkan digali dan dirumuskan oleh founding fathers kita. Setelah era reformasi kita cenderung untuk melupakannya akibat sejarah kelam orba yang menggunakan pancasila sebagai tameng atas setiap langkah yang diambil pemerintah. Sekarang ini bukan hanya siswa-siswa SMA atau mahasiswa yang tidak hapal, apalagi memahami pancasila, tapi parahnya juga anggota-anggota DPR dan duta besar yang mewakili Indonesia di negara-negara lain.

Sementara itu, Ferly menyoroti isu pemberantasan korupsi. Tujuan dari lembaga yang didirikannya ialah mampu mengantisipasi kejadian bencana secara mandiri, tidak perlu lagi menunggu bantuan dari pihak-pihak luar. Sekarang ini ada aturan yang tidak memperbolehkan partai politik untuk mendirikan posko banjir, sebab orang-orang yang menjadi korban bencana sedang berada dalam kerawanan psikologis karena telah dimiskinkan secara paksa. Hal ini dikhawatirkan akan dijadikan ladang untuk memperoleh nama dan suara. Ferly kemudian berbagi tentang fakta-fakta di lapangan terkait penyaluran bantuan kepada korban-korban bencana. Sebagian distop, ditimbun, bahkan bisa sampai berbulan-bulan sampai mendekati masa kadaluwarsa. Laporan-laporan mengenai hal ini kepada KPK tidak pernah ditindaklanjuti.

“Makanya kami sepakat untuk membuat lembaga pendidikan anti korupsi untuk membenahi moral bangsa mulai dari anak-anak sekolah. Kami ingin menjadikan anti korupsi sebagai mata pelajaran. Target kami adalah membangun image koruptor sebagai sosok yang menakutkan. Kalau bisa, penjara untuk para koruptor disatukan dengan kebun binatang. Saya ingin menghimpun donasi dari kawan-kawan sesama relawan untuk merealisasikan pembelajaran anti korupsi ini dari jenjang pendidikan paling rendah sampai yang tinggi.”

“Semua boleh bermimpi, tapi hanya yang bangun yang mendapatkan mimpinya.”

Nanang Hape

Faray dari Tanah Abang tampil berikutnya mengemukakan pemikirannya. Ia bercerita tentang dalamnya kearifan budaya Jawa. Beliau juga berharap tidak ada lagi korupsi yang kita lakukan sehingga anak-anak kita pun tak akan melakukannya; karena konon sebuah pepatah arab; maa fil aba fil abna—apa yang diakukan oleh bapak akan juga dilakukan anaknya.

Berikutnya, Nanang Hape, ia flashback pada masa-masa saat ia ngenger (berguru) pada seorang dalang senior di Ponorogo, Ki Gondo Suyatno. Mbah Gondo pernah berkata, “Semua itu disaring. Semua boleh bermimpi, tapi hanya yang bangun yang mendapatkan mimpinya.” Mengutip ajaran dari Ki Gondo, Nanang mengatakan bahwa kondisi paling murni ada pada anak-anak, sampai ia jatuh cinta. Di Jawa tidak ada istilah jatuh cinta yang ada justru mbangun tresno. Karena kalau kita jatuh, kita tak akan bangun lagi. Kalau pun bangun, nanti akan jatuh lagi di tempat lain.

Andri Dwi mencoba mengawinkan harmoni antara keempat pembicara. Solusinya adalah dengan kearifan lokal, metodologinya dengan mengubah kiblat ke pedesaan yang masih memiliki sistem tradisi dan tata nilai. Ini bukanlah kemunduran. Ia mencontohkan Jepang yang instrumen-instrumennya modern tapi nilai-nilainya tradisional. Dulu pernah ada kata-kata; ono dino ono tresno. Pada waktu itu masih ada pertanyaan; Apakah cinta itu tumbuh atau mengalir? Kalau cinta itu tumbuh, ada kemungkinan dia bercabang. Kalau cinta itu mengalir, pastilah ke samudera. Cinta itu dibangun adanya. Ono dino ono tresno; kleru. Ono dino ono upo. Ono upo ono doyo. Ono doyo ono bejo. Ono tresno yen ono dunyo. Ono dino tanpo tresno.

“Tanpa memahami apa yang kamu buat, itu bukan berkreasi namanya.”

Sabrang

481627_10200206950166302_2046944046_n

AKSI – REAKSI

Sabrang mengawali sesi kedua diskusi dengan mengajak semua yang hadir untuk terlebih dulu memahami dasar dari segala sesuatu yang selama ini kita ributkan.

Kebangkitan, kreativitas, korupsi; menurut saya terhadap kata ini kita sudah salah persepsi. Inti salah paham kita bisa ditelusur menggunakan konsep dasar sebab-akibat. Kalau ada sebab pasti ada akibat, kalau ada aksi pasti ada reaksi. Korupsi itu aksi atau reaksi? Kalau dia reaksi, aksinya berupa apa? Kreativitas itu aksi atau reaksi? Pilihan itu aksi atau reaksi?”

Sabrang mengajak jamaah untuk mendefinisikan korupsi secara tepat terlebih dahulu. Korupsi adalah pencurian terhadap uang rakyat yang dikelola pemerintah. Korupsi murni reaksi. Aksinya adalah pandangan kita terhadap posisi dalam pemerintahan. Ketika yang ada di dalam persepsi kita adalah bahwa posisi atau jabatan merupakan peluang, bukannya tanggung jawab, maka ia melakukan korupsi.

Aksi adalah sikap di mana kita menyerap informasi. Ia masih berada di dalam pikiran. Ada prioritas di dalam cara berpikir kita tentang mana yang lebih penting. Ketika kita sudah melakukannya, itulah reaksi. Kreativitas pun murni reaksi; aksi-nya adalah pemahaman kita terhadap sesuatu (atau sering disebut sebagai gagasan). “Tanpa memahami apa yang kamu buat, itu bukan berkreasi namanya.”

Demikian halnya dengan kebangkitan. Ia merupakan reaksi. Tanpa tahu atas apa kita terpuruk, tanpa tahu untuk apa, tak akan sampai kita pada kemampuan untuk bangkit. “Kita ribut-ribut membahas akibat; tapi kalau sebab-nya tak diurut dari awal, ya tak akan pernah selesai. Nek mbok-mbokane ra dipateni yo ra rampung.

Di dalam Al-Quran surah Ar-Ra’d (13) ayat ke-11, Tuhan berfirman, “Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” Dalam hal ini, apakah Tuhan meminta kita untuk ber-aksi, yaitu untuk berubah. Apanya yang mesti kita ubah? Kalau kita mengubah kerja kita menjadi lebih keras, yang sedang kita ubah adalah reaksi-nya. Aksi yang harus kita ubah adalah persepsi kita terhadap segala sesuatu.

Ambil contoh peristiwa: anda digampar orang. Silahkan ganti kata digampar dalam konteks yang lebih luas. Bagaimana untuk tidak digampar lagi? Selama ini mungkin anda meletakkan gamparan selalu sebagai sesuatu yang negatif. Di sinilah kita diminta untuk menata kembali persepsi. Oh, mungkin ini saya sedang diingatkan akan sesuatu. Kanjeng Nabi telah mengajarkan bagaimana cara tercepat untuk membalikkan persepsi negatif ini menjadi positif, yakni dengan bersyukur.

Allah Maha Memberi, tidak pernah disebutkan bahwa Ia Maha Mengambil. Apa yang Dia berikan kepada hamba-hamba-Nya? Dia melipatgandakan apa-apa yang kita persepsikan. Ketika kita mempersepsikan baik terhadap segala sesuatu (bersyukur), Tuhan akan melipatgandakannya. Begitu pula sebaliknya.

“Rumus sugih adalah kamu melakukan aksi berupa kamu siap nggak sugih. Begitu siklikalnya.”

Sabrang

Ada satu komponen yang dapat memperjelas proses panjang aksi-reaksi. Semua yang ada di luar diri yang menempa kita, yang kita sebut indera—sebut saja itu katalis. Penyerapan terhadap katalis inilah yang kita namakan aksi. Tindakan yang keluar dari hasil penyerapan terhadap katalis inilah yang kita sebut reaksi.

“Mesin aksi anda sudah dibuat oleh bentuk pola di depan, sehingga anda sudah tidak independen dalam reaksi anda. Yang kebanyakan anda proses adalah informasi visual. Anda seringkali abai terhadap informasi yang ditangkap telinga. Kalau anda sudah tidak independen di dalam aksi anda, reaksi anda juga tidak akan bebas. Lalu bagaimana untuk sampai pada kejelian mengukur positif atau negatifnya reaksi-reaksi kita? Ada satu pertanyaan mendasar yang mesti kita pertanyakan, karena ini akarnya, yakni: apakah tindakan kita itu dalam rangka melayani orang lain ataukah melayani diri sendiri?

“Kalau di wayang katanya masalah-masalah dipicu oleh masalah cinta. Begitu pula di Indonesia. Di sini orang-orang terlampau mencintai dirinya sendiri sampai lupa pada orang lain,” tutup Sabrang.

“Dengan berposisi sebagai sutradara dalam hidup anda, anda menciptakan belief system yang baru.”

Sabrang

AKSI KEBANGKITAN DIRI

Tentang hubungan kausalitas, Arya Palguna menambahkan satu lagi variabel yang terlibat di dalamnya, yakni waktu. Aksi pasti terjadi sebelum reaksi. Merupakan kecenderungan manusia untuk mencari kebenaran, untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya. Didalam pencarian ini, manusia akan bertemu dengan berbagai tipe kebenaran.

Ada kebenaran absolut. Kebenaran jenis ini datang dari Tuhan berupa wahyu. Kebenaran-kebenaran yang berasal dari manusia selalu sifatnya relatif, sesuai dengan perkembangan pengetahuannya terhadap sesuatu. Ada satu lagi jenis kebenaran, yakni kebenaran manipulatif, yang diafirmasi oleh publik sebagai benar. Korupsi sudah salah semenjak titik awalnya yakni sistem pendidikan. Proses pencetakan generasi terdidiknya sudah korup sehingga hasil (akibat) yang dilahirkan pun juga korup.

Salah satu jamaah, Jaya, ikut urun bicara dan menanyakan beberapa hal, “Analogi aksi-reaksi bisa pula didekati dengan rangkaian input-proses-output. Output kita sangat bisa menjadi input bagi orang lain. Apakah memang reaksi berantai seperti ini yang terjadi? Poin kedua, kalau negara, desa, kampung, itu kita anggap sebagai organisme, lalu kita sepakat bahwa pemimpin itu kepalanya, kan nggak mungkin kalau kepalanya cacing tapi badannya bukan cacing. Menurut saya sangat tepat yang sudah dilakukan Mbah Nun selama puluhan tahun berkeliling ndandani ummat.”

Iwan, salah satu pengurus komunitas, ikut bertanya dan mengemukakan pendapatnya, “Tadi dikatakan bahwa aksi letaknya selalu di awal, tapi akhir-akhir ini kita lebih cepat be-reaksi daripada ber-aksi. Dulu, Cak Nun pernah berkata begini; Jika orang telanjang masih butuh hukum untuk mengetahui itu benar atau tidak, berarti kita gagal sebagai sebuah negara. Semua kejadian-kejadia yang terjadi, apakah ada campur tangan Tuhan di situ? Mengenai kebenaran absolut, bukankah itu hanya pemaksaan saja, karena pada dasarnya setiap orang memiliki pengalaman yang berbeda-beda?”

Florence, salah satu jamaah, maju kedepan mendekat ke panggung, memberi komentar, “Pada sidang paripurna tentang isu kenaikan BBM pada April lalu, saya nonton dari awal sampai habis, dan cuma bisa tertawa pahit. Saya yang berlatar belakang fakultas hukum tidak merasa heran atas tindakan-tindakan memalukan dengan interupsi-interupsi yang terjadi di sepanjang sidang karena sejak di dalam kelas pun sudah seperti itu suasananya.”

“Tentang qiyamulali, yang saya pahami adalah rekonstruksi diri. Saya khawatir ini akan menjadi individualis. Dalam konteks perenungan, dalam tataran aksi, saya khawatir akan lahir kemunafikan. Individualitas ini lahir dari sistem. Apakah ini lahir dari kita-kita atau dari umara? Kebenaran yang mutlak itu yang mana?” tanya Aldi, jamaah lainnya.

“Dia akan mengubah hanya ketika anda mengubah diri anda sendiri. Maka, carilah alasan pada setiap tindakan anda untuk melayani Tuhan dengan cara melayani hamba-hamba-Nya.”

Sabrang

15629_10200206945366182_1560751961_n

Sabrang terlebih dahulu menggapi pertanyaan pertama, “Iya! Itu tidak pernah berhenti. Bahkan dalam suatu aksi, terjadi pula aksi-reaksi yang lebih halus. Kalau mau ngurut sampai yang lebih halus lagi, ada, tinggal seberapa detil tingkat penglihatan kita. Reaksi orang lain tidak akan menjadi aksi kita kecuali kita mengizinkannya. Di luar diri kita tidak ada yang bernilai positif dan negatif. Sesuatu baru menjadi positif atau negatif karena kita mempunyai aksi memahami hal tersebut. Ketika kita menyikapi reaksi orang lain, masuknya ke kategori katalis yang membuat kita harus be-reaksi terhadapnya.

“Tadi ada yang ngomong kalau kita terbiasa be-reaksi dulu tanpa ber-aksi; di situlah letak kebangkitannya. Nggak usah ngomong bagaimana mengubah manusia. PR pertama kita adalah kebangkitan diri. Pada aksi, ada perenungan dan pengalaman, ada aktor dan sutradara. Ketika kita mendapatkan katalis atau impuls dari luar, kita langsung reaktif marah – misalnya ketika ada orang yang menertawakan kita karena kita pendek. Nah, itu reaksi dari aktor. Dalam hal ini kita sama sekali tidak sedang be-reaksi. Kita menggunakan aksi yang lama menjadi kepercayaan yang diyakini benar. Kalau menjadi sutradara, anda serap dulu. Lho kenapa harus marah? Emang pendek itu jelek? Oh, saya dulu percaya bahwa pendek itu jelek karena begini, begini. Anda punya kesempatan untuk nggak marah. Dengan berposisi sebagai sutradara dalam hidup anda, anda menciptakan belief system yang baru. Kita mengalami untuk memberi kesempatan kita merenungi. Menjadi sutradara sama dengan menganalisa kembali.

“Saya tidak percaya bahwa ada persepsi yang sama. Misal seperti cerita satu gajah dan 50 orang yang mengelilinginya; dengan tiap-tiap orang disuruh menggambar gajah tersebut, tak akan ada satupun gambar yang sama. Gambar mana yang paling benar? Benar semua! Esensinya adalah mereka menggambar gajah. Dalam perbedaan, kita bisa mentoleransi. Dengan kesamaan dalam rangka melayani siapa (orang lain atau diri sendiri), pandangan yang berbeda bisa menjadi satu. Justru kekayaan itu yang kita buat menjadi gerakan bersama.

“Tentang ada atau tidaknya campur tangan Tuhan, kita bisa menggunakan ilustrasi “sopir taksi”. Selisih dua menit terlambat atau terlalu cepat, sopir taksi bisa mendapatkan atau tidak mendapatkan penumpang. Siapa yang menentukan? Sederhananya: Tuhan. Tapi Tuhan dalam menentukannya juga melihat pada diri anda. karena Dia akan mengubah hanya ketika anda mengubah diri anda sendiri. Maka, carilah alasan pada setiap tindakan anda untuk melayani Tuhan dengan cara melayani hamba-hamba-Nya.”

Melanjutkan paparan Sabrang, Andri Dwi ikut sampaikan pandangannya dengan menekankan bahwa di samping sudut pandang, jarak pandang, cara pandang, juga perlu diperhatikan fokus pandang dan instrumen pandang. Jika kita kembali menengok sejarah, Iskandar Muda mempunyai staf ahli yang bernama Jalaludin Tursani, seorang filsuf yang ketika itu memiliki kemampuan dalam meruwat sistem nilai. Bahwa untuk menguasai Indonesia, pintunya dari Barat (Aceh). Di situlah terjadi tragedi di mana Habib Rahman menjual nilai-nilai internal untuk diperdagangkan kepada Snouck Hurgronje.

Mengenai aksi-reaksi berantai, Arya Palguna menjelaskan adanya variabel antara, yang namanya motivasi. Mengenai kebenaran mutlak, itu adalah kebenaran yang datangnya dari Allah.

“Kalau saya percaya pada mas Iwan misalnya, saya tak akan membuat aturan main antara kami. Kepercayaan menimbulkan kepastian. Sistem demokrasi yang kita anut bertolak dari distrust antara legislatif dengan yudikatif sehingga muncul bermacam ragam aturan. Pejabat yang profesional adalah pejabat yang dalam menunaikan tugasnya memiliki knowledge, skill, dan yang paling penting dia memiliki attitude yang memadai.”

Acara forum maiyahan Kenduri Cinta malam itu kemudian diakhiri. [FA]