PadhangmBulan Juli 2013

Malam purnama 23 Juli 2013, kembali digelar Padhang Mbulan di Menturo Sumobito, Jombang. Cak Nas mengawalinya dengan bercerita mengenai majalah Sastra Sabana, majalah yang memuat karya para sastrawan senior Jogja ini, membuktikan bahwa karya sastra tanpa komunitas tidak ada artinya. Cak Nun yang memiliki komunitas akhirnya menjadi muara bagi mereka, memberikan wadah untuk betul-betul menyadari kemanusiaannya secara lebih utuh.

“Majalah Sastra Sabana ini merupakan salah satu implementasi Rumah Budaya EAN di Kadipiro. Seperti ponsel, Sabana hanyalah alat, yang utama adalah komunikasi yang terjalin. Di Rumah Budaya, Cak Nun memfasilitasi semua yang mau difasilitasi. Sifatnya memberdayakan, bukan memperdayakan. Sifatnya memampukan, bukan memampuskan. Selama ini mungkin yang dibayangkan sebagai karya sastra adalah novel, cerpen, puisi. Banyak orang yang lupa bahwa dongengpun merupakan bentuk karya sastra.”

Cak Yus menambahkan bahwa majalah Sastra Sabana ini sangat penting untuk seluruh jamaah Maiyah se-Indonesia supaya memiliki sisi lain. Tambah lagi, kita semua bisa lebih menemukan diri masing-masing dengan membaca hulunya, yakni Cak Nun. “Anda akan menemukan diri anda sendiri atas ramuan dari diri anda dengan belajar pada proses yang dijalani Cak Nun.”

“Kadipiro itu rumah biasa,” ujar Cak Nun, “Tapi karena banyak orang-orang tua yang baru sadar mereka selama ini tidak bermasyarakat, nggak punya teman, mereka berkumpul di sana. Itulah pentingnya buat anda menemukan teman sejati.”

“Sastra adalah yang paling esensial dari dirimu. Dirimu bukanlah dagingmu, melainkan ruhmu.”

Emha Ainun Nadjib

SASTRA YANG MELEMBUTKAN

Bertepatan, di Rumah Budaya sedang ada latihan teater Tafakkur Anjing yang insyaAllah akan dipentaskan pada bulan Agustus; setelah dulu pernah digelar Tikungan Iblis dan Nabi Darurat Rasul Ad-Hoc. Tafakkur Anjing ini aktor utamanya berumur 70-an tahun. Adrenalin, darah, dan pikirannya sehat lagi dengan manghapalkan naskah.

Di samping sebagai pusat kegiatan pengolahan majalah sastra dan teater, di Rumah Budaya juga terdapat perpustakaan yang tidak akan kita jumpai perpustakaan serupa di perpustakaan manapun di dunia. Di sana terdapat dokumentasi sastra era ’70-an sampai karcis kereta api, karcis bus, undangan-undangan untuk pembacaan puisi, sampai catatan-catatan beli teh dan gula.

“Saya akan mengungkapkan sesuatu yang sebenarnya tidak baik untuk saya tapi harus saya sampaikan. Setiap serpih kehidupan merupakan hak Allah. Pada kita hanya ada lawannya, yakni kewajiban. Sobekan-sobekan kecil mungkin tidak penting, tapi yang penting adalah bahwa kita dzikir terhadap berharganya setiap serpih dari proses. Maka teater ini saya biayai sendiri, seperti Nabi Darurat Rasul Ad-Hoc juga. Sabana ini juga saya biayai sendiri, dan bukan saya yang bikin majalah. Saya hanya nampung orang-orang tua, ayo bikin majalah, saya biayai buat cetaknya. Tapi carilah Manager yang bener, supaya bisa berputar uangnya, bisa terbit lagi bulan depan. Tapi kalaupun tidak terbit lagi juga tak masalah.”

Di dalamnya ada 13 tulisan plus puisi-puisi. Ada wawancaranya Ashadi Siregar berjudul Menuju Bangsa Tanpa Sastra, ada esai Maaf Sastra Tidak Mampu Menghancurkan Manusia, dan Cakrawala Pangurakan. Kemudian ada juga Sastra Tidak Mati di Jaman Edan, yang maksudnya terserah makanlah dunia, makanlah semuanya, tapi kekasih Allah tidak akan sirna dari kehidupan. Kekasih Allah adalah orang-orang yang memiliki langkah-langkah untuk mendekatkan diri kepada ruh, orang-orang yang setiap perilakunya, perbuatannya, dan spending money-nya dalam rangka peruhanian diri.

Nek mbayari sekolah anakmu, nambahi tukang parkir sewu rong ewu, itu kan peruhanian karena yang terjadi adalah kasih sayang dan akhlak. Jadi setiap uang dan apa saja yang kita punya kita ruhanikan. Ini kan prinsip Maiyah sejak awal.

“Kemudian ada juga cerita mengenai bagaimana Pangeran Mangkubumi mengkonsep tata ruang di Jogja. Di selatan ada politik (keraton), di barat ada agama (masjid), di utara ada ekonomi (pasar Beringharjo), dan di timur ada hukum dan kebudayaan. Sebagai pusat kebudayaan di Jogja sedang dibangun Purawisata yang sebelumnya merupakan tempat dangdut dan prostitusi. Apa pentingnya tulisan-tulisan ini?

“Tadi Yus mengatakan supaya jamaah Maiyah punya sisi lain; itu maksudnya bagus tapi aslinya nggak tepat. Memangnya sastra itu sisi lain? Ada nggak kitab suci yang tanpa sastra di dalamnya? Ada nggak kalimat Nabi yang tidak indah? Sembahyang yang tidak khusyuk kehilangan keindahannya. Dengan membaca sastra, anda dididik untuk terus-menerus memiliki kelembutan.

“Anda lihat sekarang, orang-orang beragama yang tanpa kelembutan. Kalau sudah majlis taklim, arak-arakan 300 motor tanpa helm, semua yang lain harus minggir. Lalu ketika Ramadhan datang, warung-warung yang buka di siang hari di-grebek, dipecahi gelasnya, dipaksa tutup. Padahal kamu dikasih puasa itu untuk bisa menghargai sesama. Memangnya semua orang puasa? Orang Kristen memangnya harus ikut puasa? Bahkan orang Islampun juga punya hak untuk tidak puasa kok, dan kemurahan itu langsung disebutkan Allah melekat pada ayat perintah puasa. Misalnya musafir, orang sakit, wanita-wanita haid, ibu-ibu menyusui. Gusti Allah ngolehi kok awakmu gak ngolehi?”

“Kita harus titen pada setiap peristiwa yang kita alami supaya tidak pernah lepas dari kehendak Allah.”

Cak Fuad

SYARIAH, BUDAYA, ESTETIKA

Budaya kita tidak mengakomodasi kehendak Allah, tidak memberi ruang kepada kemauan Allah. Tidak ada harmoni strategis antara fikih moral dan budaya. Padahal kalaupun ada orang tidak taat pun, yang punya hak untuk melarang dan menjatuhkan hukuman hanyalah Allah. Manusia sekarang tiba-tiba berlaku melebihi Allah.

“Di Indonesia ini saya heran kok ada copet sampai mati diinjak-injak massa. Kita ini tidak terdidik manajemennya, tidak terdidik ngurus uangnya, bisanya hanya mencuri dan korupsi. Fisik saja tak terdidik, apalagi yang moral dan budaya. Maka inilah pentingnya sastra, supaya terdidik kelembutan kita. Puisi jangan lihat puisinya, tapi rasakan puitikanya. Peristiwa menanti kelahiran anak, itu juga merupakan bentuk puisi.

Mengenai puasa, jauh sebelum ini Cak Nun pernah menulis bahwa puasa merupakan proses peragian spiritual. Kalau salat, itu pencahayaan; disimbolkan oleh air hujan. Hujan bisa turun karena ada proses pencahayaan air laut kemudian terjadi penguapan, uapnya menjadi awan, lalu awan bergabung dengan komplikasi suhu sehingga pada posisi tertentu awan itu menggumpal dan terkena hukum gravitasi menjadi air hujan. Orang yang salat adalah orang yang rajin mencari pencahayaan untuk dirinya, terutama untuk jiwa dan pikirannya, supaya seluruh hidupnya mendapat pencahayaan. Zakat, yang dilambangkan dengan air susu, menginformasikan kepada manusia bahwa dalam hidup kita harus berbagi. Tidak ada yang sifatnya ijen dalam hidup. ada kerjasama antara kita dengan yang menjahit baju kita, dengan yang menyediakan bahan makanan kita, dengan yang bikin ponsel, gelas, sepeda motor.

Dalam logika hukum dan otoritas, yang punya hak untuk menyebut ini boleh atau tidak, itu kafir atau tidak, hanyalah yang punya – yaitu Allah. Kalaupun ulama meneruskan pengkafiran dari Allah, ulama bukan pihak yang mengkafirkan. Dia hanya menginformasikan bahwa menurut Allah itu kafir, jadi tidak boleh ulama mengatakan: Kamu kafir.

“Misalnya ada orang yang bersiul-siul ketika ada orang salawatan di masjid. Beberapa menghakimi bahwa yang dilakukannya adalah syirik, di masjid kok bersiul. Padahal siulan itu hasil dari bunyi mulut dan lidah, kok dikafirkan? Landasannya adalah ada perjanjian budaya di Indonesia bahwa bersiul itu jangan di Masjid tapi di lapangan. Ini perjanjian budaya. Jadi, klausul budaya jangan diterapkan sebagai klausul agama. Agama itu ibadah mahdoh, rukun Islam, syariat. Yang tidak boleh secara syariat itu bukan bersiulnya, melainkan kalau bersiul ketika salat.

“Kadang-kadang kita tidak memperhitungkan faktor-faktor semacam itu dan kita nggak ngerti apakah suatu perkara merupakan urusan syariat, mahdoh, atau estetika. Masyarakat semakin tak punya pengetahuan, apalagi yang detail, mengenai pilah-pilah antara garis syariah, budaya, estetika.”

“Kalau kamu mau bergabung dengan Allah, kamu harus ikhlas dengan apapun yang dikehendaki Allah.”
Emha Ainun Nadjib

TIGA GELOMBANG

Sebagaimana di maiyahan Pati dan Tasyakuran Nahdatul Muhammadiyin, Cak Nun menerangkan bahwa terdapat 3 gelombang dalam hidup ini. Gelombang pertama adalah yang mainstream dalam kehidupan modern, yang baku dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Bekerja di kantor, korupsi, menjalankan aturan-aturan negara, menentukan isi televisi berdasar rating, dan parpol yang terus dianggap sah untuk menghasilkan pemimpin meskipun sudah terbukti selalu gagal.

“Anda datang ke sini searus dengan mainstream-nya negara dan masyarakat nggak? Anda ke sini mencari sesuatu yang lain kan? Ini adalah gelombang kedua yang sedang berusaha mencari gelombang ketiga. Gelombang kedua adalah yang berada di tengah-tengah. Ada dua kemungkinan: tenggelam oleh gelombang pertama atau mencari yang lain, yakni gelombang ketiga. Di gelombang ketiga ada Allah, Rasulullah, kejujuran, kemurnian, kedalaman, ilmu sejati, Maiyah.

“Coba cari di dalam dirimu sendiri berapa persen yang merupakan unsur dari gelombang pertama, dan berapa yang dari gelombang ketiga. Sebab anda adalah pelaku gelombang kedua. Saya tidak mengatakan bahwa anda harus berpisah seratus persen dari gelombang pertama. Anda bisa tetap terlibat di gelombang pertama tapi memakai prinsip gelombang ketiga.

“Begitu banyak komplikasi antara kewajiban agama dengan muamalah agama, dengan rasa, dengan kesepakatan-kesepakatan sosial, norma dan lain sebagainya. Misalnya ada adzan di RCTI, itu beneran karena menganggap adzan itu indah dan sholat itu wajib, ataukah karena takut kalau tak menayangkan adzan akan diserbu FPI? Menurut saya pekerjaan kita di Maiyah adalah mohon kepada Allah agar lebih kuat magnetnya ke gelombang ketiga daripada magnet ke gelombang pertama, karena magnet gelombang pertama kuatnya nggak karuan. Kita ingin magnetnya Allah dan Rasulullah maka kita sholawatan terus. Ciri gelombang pertama adalah secara intelektual sempit berpikirnya dan secara moral tidak jujur.

“Rezeki itu sumbernya di gelombang ketiga, tapi kebanyakan orang melihat rizki semata-mata melalui mata pandang gelombang pertama yaitu secara sangat linear. Rezeki dimaknai sebagai laba yang didapat dari hasil penjualan dikurangi modal awal. Padahal Allah sering mendatangkan rezeki dalam bentuk pertemuan dengan orang yang akan membukakan pintu rezeki lain, kadang juga dalam kesempatan untuk membantu orang lain.

“Makanya Kiai Kanjeng tidak pernah menolak undangan yang baik. Pertimbangan nomor satu bukanlah pertimbangan profesional. Kalau yang mengundang adalah perusahaan-perusahaan besar, baru KK bertindak profesional. Selebihnya, sekitar 70%, yang terjadi adalah rundingan dengan pengundang. Ini yang namanya seni infaq dan semi-profesional. Cara berpikir gelombang pertama sering salah menempatkan sesuatu sebagai keuntungan, padahal yang sejatinya terjadi adalah investasi kerugian jangka menengah dan jangka panjang. Inilah yang membuat banyak orang sengsara. Orang berlomba-lomba mencari dan memperebutkan ukuran-ukuran gelombang pertama sehingga yang dikeluhkan tiap hari adalah soal-soal materi.”

“Untuk mencapai takwa kita harus mengunggulkan hal-hal yang sifatnya ruhani.”
Cak Fuad

PERAGAAN DEMOKRASI

Di dunia ini, meskipun berganti-ganti partai, berganti presiden, UUD ’45, Magna Charta, Piagam Madinah, dasar-dasar esensial mengenai prinsip hdup itu sama. Bahkan Jenghis Khan dan Hitler juga sama prinsipnya dengan kita semua. Maka jangan ada kaum terpelajar yang menganggap telah terjadi perkembangan sosial di bidang pemikiran. Yang berbeda hanya di beberapa sisi tafsirnya. Demokrasi bukan merupakan produk kehidupan modern karena sejak dulu kala sudah ada demokrasi meskipun dalam formula yang berbeda. Tapi kalau ngomong kematangan, justru lebih matang pada masyarakat silam.

“Sekarang di Indonesia yang terjadi memangnya benar-benar demokrasi? Memangnya presiden kita itu beneran meletakkan hatinya sebagai presiden? Atau mumpung masih berkuasa, mengusahakan macam-macam supaya terlindungi posisinya? Kalau ada studi banding, simposium, seminar, apa itu beneran atau sekadar untuk senang-senang sambil menghabiskan anggaran? Sekarang ini yang terjadi cuma peragaan, cuma kepura-puraan.

“Hanya orang yang berpihak pada gelombang pertama yang bisa mengijinkan dirinya berada dalam kepura-puraan. Bahkan sekarang naik haji dan umroh pun ada yang merupakan kepura-puraan. Faktanya memang hanya Allah yang tahu, tapi dari simulasi-simulasi nilai, kebudayaan, dan konflik, sangat banyak indikator bahwa ternyata untuk kelas-kelas tertentu, yang dilakukan sesungguhnya bukanlah umroh. Kadang sekadar supaya laris dagangannya, supaya terpenuhi hajat-hajatnya. Semuanya apen-apen.”

“Betapa banyaknya amal perbuatan yang seolah-olah perbuatan akhirat, tapi sebenarnya tak lebih dari perbuatan duniawi saja.”

Emha Ainun Nadjib

Menjelang tengah malam, Cak Fuad menyampaikan uraiannya. Cak Fuad terutama memberikan catatan mengenai 3 gelombang. Gelombang ketiga ini sifatnya ruhaniah, yang di dalam Quran disebut sebagai yarzuqhu min haitsu laa yahtasib. Kalau kita cermat, banyak di antara kita yang mengalami peristiwa ruhani di mana kita berada di jalan buntu tapi tahu-tahu Allah memberi jalan keluar.

Tapi untuk bisa dipertemukan dengan yarzuqhu min haitsu laa yahtasib itu ada syaratnya, yaitu: wa man yataqillaha yaj’allau makhraja. Salah satu metode yang diajarkan Allah untuk mencapai yataqillah adalah dengan puasa. Jadi, untuk mencapai takwa kita harus mengunggulkan hal-hal yang sifatnya ruhani.

“Sekarang kalau kita lihat, yang dilakukan oleh sebagian besar bangsa kita ini sifatnya ruhaniah atau jasadiah? Ini bukan bulan puasa, melainkan bulan berbuka. Sejak pagi yang dipikir adalah menu buka puasa. Bahkan waktu sahur di sepertiga malam terakhir pun banyak dihiasi acara senang-senang dan lelucon di televisi-televisi, padahal tawa itu mematikan takwa.

“Di dalam ayat perintah puasa, digunakan kata kerja yaitu tattaqun. Ini mengajarkan bahwa takwa itu dinamis dan harus terus-menerus diusahakan. Maka Nabi mengatakan bahwa puasa adalah madrasah, dan ijazahnya dari masyarakat, karena ukurannya adalah perubahan tingkah laku di masyarakat.”

Orang yang sudah puasa harusnya berkesadaran untuk punya kedekatan dengan Allah dan kedekatan dengan manusia. Kedekatan dengan Allah indikatornya maiyatullah, dzikrullah, dan asy-syauq. Orang yang saleh individual harus saleh sosial. Nabi pernah mengatakan bahwa Allah hanya menerima shalatnya orang-orang yang tidak sombong kepada Allah dan manusia, yang menyayangi orang-orang miskin dan menderita. “Kita harus titen pada setiap peristiwa yang kita alami supaya tidak pernah lepas dari kehendak Allah.”

“Baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur itu cakrawala. Yang kita nikmati bukanlah panennya, melainkan perjuangannya.”

Emha Ainun Nadjib

Saya akan menuntaskan bahasan mengenai tiga gelombang,” sambung Cak Nun, “Ada dua pekerjaan, yakni pekerjaan sehari-hari dan pekerjaan meneliti. Pekerjaan meneliti untuk mencari jarak antara anda dengan gelombang pertama dan gelombang ketiga adalah dengan membuat lajur-lajur dan indikator atau fakta tiap-tiap gelombang di wilayah intelektual, mental, spiritual, dan seterusnya. Semakin jelas gambar skemanya, semakin mudah melakukan langkah-langkah ke depan.

“Banyak sekali orang-orang yang merasa berada di gelombang ketiga, padahal sebenarnya berada di gelombang pertama. Maka dari itu perlu dilakukan elaborasi ilmiah. Kita perlu merumuskan ini supaya pendidikan untuk anak-anak kita menjadi lebih efektif. Yang perlu dicicil secara individual adalah meningkatkan kecerdasan pikiran dan kepekaan rasa untuk menemukan dan merasakan setiap gelombang itu. Sehubungan dengan apa yang telah disampaikan oleh Cak Fuad, mungkin yang paling mudah untuk dilakukan setiap orang adalah tawadlu’ kepada Allah.”

Dalam menanti kehadiran Allah dalam kehidupan kita, perlu kita cari terus-menerus indikatornya apa. Misalkan, Cak Nun niteni dengan menentukan angka 1 dan 8. Ndilalah, di pesawat dapat tempat duduk nomor 18, kemudian di hotel dapat kamar dengan nomor yang mengandung unsur angka 1 dan 8. “Saya GR dengan menganggap itu sebagai tanda Allah menemani saya. Tapi maksud saya, titenilah min haitsu laa yahtasib dalam hidup anda. Jangan memakai cara berpikir gelombang pertama yang linear dan tidak memiliki rasa penasaran terhadap min haitsu laa yahtasib. Apa saja bisa terjadi oleh Allah. Kalau perubahan Indonesia kita andalkan gelombang pertama, tidak ada harapan.”

KURUNGAN GELOMBANG PERTAMA

Seorang jamaah melontarkan pertanyaan kegelisahannya mengenai pembangunan Masjid besar-besaran di kampungnya. Cak Nun menjawab bahwa itu merupakan gejala gelombang pertama yang namanya hedonisme. Ibadah diraya-rayakan, puasa dipamer-pamerkan dengan cara yang sangat berlebihan. Peristiwa pembangunan masjid sangat megah itu menggunakan simbol gelombang ketiga tapi pertimbangan atau niatnya dari sudut pandang gelombang pertama. Tidak hanya terjadi pada masjid, fenomena ini juga terjadi pada ibadah-ibadah lain semisal umroh. Ibadah kemudian menjadi kemegahan dunia, padahal masjid fungsinya sebagai tempat beribadah, bukan untuk kemewahan.

“Anda jangan tertekan oleh kurungan-kurungan gelombang pertama. Anda harus punya strategi psikologi dan ketahanan spiritual supaya tidak tertindas gelombang itu. Hidup ini begitu luasnya, dan Allah punya karep. Kalau perkara anda disesat-sesatkan, itu merupakan rahmat buat anda. Kalau anda dibilang sesat kan bukan berarti anda jadi beneran sesat to? Ibarat mayat, mau dia dibuang ke selokan juga tidak akan mempengaruhi penilaian Allah kepada si almarhum. Mungkin justru perlakuan semacam itu membuat-Nya iba sehingga Dia bebaskan sekian dosa.”

Cak Fuad menambahkan, “Saya kira ini yang disebutkan Allah sebagai tanda-tanda menjelang kiamat. Masjid-masjid dibangun sangat megah, bahkan ada yang tidak kunjung selesai karena selalu direnovasi. Ini yang namanya nafsu. Yang paling menyakitkan, di brosur masjid kubah emas ada tulisan “miskin itu haram”. Padahal yang benar kan membangun sesuatu itu harus dengan melihat lingkungannya. Rasulullah pernah bersabda, betapa banyaknya amal perbuatan yang seolah-olah perbuatan akhirat, tapi sebenarnya tak lebih dari perbuatan duniawi saja.”

“Kehidupan ini sangat luas, dan di situlah Allah bersemayam. Semua nasib kita ada di genggaman Allah.”

Emha Ainun Nadjib

Pertanyaan berikutnya mengenai tabrakan antara gelombang pertama dengan gelombang ketiga. Sebagai contoh, di daerah Ponorogo ada upaya untuk menaikkan upah buruh tani dari 8.000 menjadi 25.000, dan itu menyebabkan perlawanan banyak orang. Bagaimana untuk menyikapi hal ini?

“Gelombang-gelombang itu kadang berupa software. Bisa saja anda merupakan bagian dari gelombang pertama, tapi anda memperjuangkan gelombang ketiga. Saya kira untuk penaikkan upah dari 8.000 ke 25.000 itu menyangkut strategi sosial ekonomi. Harus ada strategi bertahap karena kalau radikal dan tiba-tiba akan mengguncangkan masyarakat. Bisa dihitung, misalnya supaya tidak mencolok secara sosial penaikannya sedikit, sementara sisanya dijadikan berupa barang lain. Ini mengasyikkan karena tidak ada rahmat yang melebihi kesukaran. Dan toh Allah menjanjikan bahwa innama-al ‘usri yusra.”

Penanya berikutnya menanyakan apakah Cak Nun memandang bangsa Indonesia akan mencapai baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur – melihat fenomena yang terjadi di negara kita belakangan ini.

“Ukuran gelombang satu adalah 10 juta lebih nikmat daripada 100 ribu, tapi kalau pakai ukuran gelombang kedua yang menuju gelombang ketiga, kenikmatan terletak pada bagaimana kita memaknai apa yang kita alami. Rumusnya adalah min haitsu laa yahtasib. Rizqi jangan ditagih ke Allah harus berupa uang. Kalau menggunakan konsep gelombang ketiga, apapun yang Allah berikan kita hikmahi semuanya. Kalau bisanya makan tempe, nikmati dan hikmahilah tempe, jangan malah mengutuk tempe sambil mengharap-harapkan daging.

Baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur itu cakrawala. Yang kita nikmati bukanlah panennya, melainkan perjuangannya. Tapi mental manusia sekarang justru maunya panen, tak mau tandur. Tahun ’70-an, anak-anak muda saya ajak latihan teater berhari-hari tanpa jelas kapan pentas apalagi berapa honornya, mereka berangkat dengan senang. Tahun 2000-an ini, mentalnya berubah: harus jelas kapan pentas dan berapa honornya, tanpa mau latihan.

“Dunia nggak boleh mengikat anda dong. Tertekan boleh, tapi jangan lama-lama. Orang sekarang berlama-lama patah hati karena dengan itu bisa terus ngundhat-undhat. Inilah yang bikin mudah sakit dan sengsara.

“Umpama anda mampu biayai anak sampai S3, sampai jadi menteri, apa itu berarti pasti nasibnya lebih baik? Sudahlah, setinggi-tingginya sekolah, jabatan, semua itu kalah sama ketentuan Allah. Dan menurut Al-Quran, Allah sudah membuat perjanjian dengan setiap yang lahir. Yang paling penting adalah jadikan anak bertanggung jawab, rajin, dan tangguh. Atmosfiri dia dengan kehadiran Allah. Mari kita lihat kehidupan ini sangat luas, dan di situlah Allah bersemayam. Semua nasib kita ada di genggaman Allah. Nasib ada yang baik dan ada yang buruk, lakukan dan alamilah semuanya dengan penuh rasa syukur dan husnudzan. Pasti Allah punya rencana.”

“Yang harus dipegang oleh jamaah Maiyah adalah selalu ingat untuk memiliki multiple consciousness, multiple awareness, multiple intelligent.”

Emha Ainun Nadjib

MULTIPLE INTELEGENT

Penanya keempat mengeluhkan kok pada Ramadhan tahun ini dia tidak merasakan beratnya puasa, juga keadaan Indonesia yang tidak menentu. Penanya kelima mengaku Ramadan ini jarang puasa; dia minta doa dari Cak Nun agar mendapat berkah. Penanya terakhir menyampaikan uneg-unegnya yang menolak dorongan dari masyarakat untuk mencalonkan diri sebagai lurah karena sudah tidak sepakat dengan apa yang diperebutkan.

“Saya husnudzon ya,” jawab Cak Nun, “Satu benda atau peristiwa itu kan makna atau nilainya tak terbatas. Misal puasa Ramadhan, itu kan pintu saja untuk memasuki makna-makna yang bisa dionceki dari hakikat puasa – misalnya cari definisi puasa dari segi syariat, psikologi, mental, intelektual. Anda sudah mencapai tahap di mana thariqat Ramadhan tidak mencukupi untuk kadar anda menghayati puasa. Maka anda dikasih hal-hal yang anda keluhkan tadi. Puasamu adalah puasa sistem, puasa sosial, puasa yang lebih luas, bukan puasa fikih saja, sebab fikih kan hanya cara untuk melatih kita. Kita dikasih sholat untuk melatih disiplin kontinuitas komitmen kita kepada Allah. Puasa pun begitu. Ia bisa bermakna kesanggupan dan keikhlasan anda untuk melakukan sesuatu yang tidak anda sukai atau untuk tidak melakukan sesuatu yang anda sukai.

“Puasa sangat penting karena anda akan mengalami peristiwa-peristiwa dan keadaan yang hanya bisa anda hadapi dengan metode puasa. Kalau anda mengeluhkan ketika keluar dari Padhang Mbulan anda bertemu dengan gelombang pertama, ya di situlah puasa anda. itulah Ramadanmu. Anda harus puasa di tengah gelombang pertama yang menyiksa anda. puasamu harus lebih tinggi, lebih kontekstual, dan lebih multidimensi. Yang harus dipegang oleh jamaah Maiyah adalah selalu ingat untuk memiliki multiple consciousness, multiple awareness, multiple intelligent.

“Begitu anda mengeluh tentang suatu hal, anda tidak akan menemukan jalan kalau cara berpikirnya mono-intelligent. Tapi begitu anda berpikir dengan multi-intelligent, anda akan bertemu dengan hikmah, solusi, dan kenikmatan macam-macam. Kalau puasa Ramadan hanya anda lihat sebagai nggak makan dari Subuh sampai Magrib, ya nggak misterius lagi.”

“Tidak masalah kalau anda tidak mampu mengubah apapun, karena rumusnya adalah Allah diam-diam berjanji akan menegaskan perubahan itu dengan syarat manusia melakukan perubahan.”

Emha Ainun Nadjib

EPILOG

Goal-mu itu goal metode gelombang pertama atau ketiga? Maunya kan tercapai dengan gelombang pertama to? Negara makmur, presiden tepat, DPR berlaku rasional. Tapi siapa yang bilang bahwa dunia seperti itu? Kapan pernah seperti itu? Orang Indonesia berada pada posisi serba tidak ikhlas, tidak lega, tidak terima. Dan itu merupakan produk dari tidak pernahnya terpenuhi hak-hak rakyat oleh yang berkewajiban, yaitu pemerintah yang kita bayar. Dan di situlah kita hidup. Inilah puasa.

“Saya ini juga nggak karuan. Mau tanding kesengsaraan sama saya? Kalau dilihat dari cara berpikir gelombang pertama, yang saya lakukan selama ini berat, sengsara, dan tidak produktif. Tapi saya melihatnya dari cara berpikir gelombang ketiga. Saya tidak punya kepentingan lain kecuali menikmati gelombang ketiga.”

Cak Nun menceritakan pengalamannya ketika diundang untuk menjadi pembicara di Masjid Agung Batu, Malang. Dari Jogja Cak Nun naik bus, numpang mandi di terminal, lalu menjelang acara ngopi-ngopi di warung sambil melihat dari jauh apakah panitia sudah datang. Sampai satu jam kemudian, tak ada tanda-tanda acara.

“Saya nggak getun. Alhamdulillah saya sudah berjuang, dapat pengalaman ngebis, pengalaman mandi di terminal, seluruh ibadah yang dituntutkan kepada saya sudah selesai saya kerjakan. Malah dikurangi kewajiban saya untuk ceramah. Saya nggak pakai gelombang pertama, yaitu supaya terkenal, supaya naik karier saya, atau supaya dapat akses. Pokoknya nekat – dalam arti, masa Allah nggak tanggung jawab terhadap nasib saya sedangkan terhadap ayam pun Dia tanggung jawab penuh?

“Tidak masalah kalau anda tidak mampu mengubah apapun, karena rumusnya adalah Allah diam-diam berjanji akan menegaskan perubahan itu dengan syarat manusia melakukan perubahan. Kita kan sudah revolusi diri besar-besaran. Sekarang tahap saya adalah bertanya-tanya kapan Allah akan mengubah. Saya khawatir kalau bangsa Indonesia tak mengalami perubahan signifikan dan fundamental dalam 2-3 tahun ini, kita akan mengalami kesia-siaan gelombang pertama untuk jangka waktu yang lebih panjang dan itu bisa berakibat lebih buruk karena pelaku gelombang kedua dan ketiga tidak bisa mewariskan perjuangan kepada adik-adik dan anak-anaknya.

“Kita terkatung-katung pada tuntutan ‘seharusnya begini kok dapatnya begitu’, padahal kita tinggal melangkah satu langkah menuju hikmah. Kalau dipastikan anda tidak bisa mengubahnya dalam jangka waktu lima tahun, ya sudah jangan pikirkan itu selama lima tahun. Orang Indonesia sangat menggemari perayaan. Ada penderitaan diraya-rayakan, dibesar-besarkan, di-undhat-undhat terus.

“Allah menciptakan manusia dengan batasan-batasan, karena kalau tidak, hancurlah dia. Saya kira yang harus dicari adalah rahasia di dalam. Ada begitu banyak faktor Allah di dalam dirimu yang engkau tidak tahu. Nikmatnya hidup adalah Allah selalu memberikan misteri-misteri.

“Kalau kamu mau bergabung dengan Allah, kamu harus ikhlas dengan apapun yang dikehendaki Allah yang besok mungkin berubah. Maka Allah mengancam: Barangsiapa tidak menerima ketentuan-Ku atas hidupnya, Aku persilahkan mencari Tuhan yang lain dan pindah ke sana. Itu bukan karena Dia diktator, tapi karena Dia mengikatmu dengan cinta dalam dinamika terus-menerus supaya kamu bertanya, bertemu dengan jawaban sedikit, lalu bertanya lagi. Nikmatilah proses itu.”

Terhadap penanya ketiga Cak Nun menjawab, “Tidak apa-apa kalau anda mencalonkan diri untuk jadi lurah, tapi harus anda kuasai dulu medan perangnya, cuacanya, pelurunya, apakah peluang untuk berbuat baik banyak atau tidak. Tidak harus 100% melakukan seluruh kebaikan yang anda niatkan karena kondisi tanahnya tandus kok, jadi tidak semua tanaman akan tumbuh. Bisa menanam sedikit sudah lumayan. Kalau saya nggak ada masalah anda mau maju. Tapi kalau sudah awang-awangen melihat suap atau biayanya, ya nggak usah. Atau bisa juga anda nyalon lurah bukan untuk terpilih, melainkan untuk kenal banyak orang, menjalin komunikasi. Saya tidak pernah melarang, jadi monggo-monggo saja.”

Setelah semua pertanyaan habis dijawab, Cak Fuad memimpin doa bersama untuk mengakhiri Padhangmbulan Juli 2013.

[Teks: Azam Fakhri dan Ratri Dian Ariani]