OPERA SABUNG; SABUNG CAPRES — KARAPAN CAPRES

Reportase Kenduri Cinta maret 2014

Kenduri Cinta edisi Maret 2014 diawali dengan tadarus Alquran oleh jamaah. Sholeh, Ibrahim, Irfan dan Adi Pujo kemudian membuka Kenduri Cinta yang kali ini mengangkat tema Opera Sabung; Sabung Capres – Karapan Capres.

Setiap kali kita mendengar kata sabung, maka yang kemudian kita tangkap dalam pikiran kita adalah judi. Kita sering mendengar istilah sabung ayam, yaitu sebuah perlombaan adu tarung dua ayam jantan dalam satu arena, menang atau kalah ditentukan apabila salah satu dari ayam tersebut kabur bahkan sampai mati. Para penonton yang hadir biasanya memasang taruhan uang untuk menjagokan kemenangan salah satu dari ayam yang sedang bertarung tersebut. Sabung sendiri ternyata tidak hanya dalam urusan adu dua ayam jantan, Ibrahim menceritakan di daerah tempat tinggalnya bahkan ada sabung yang aturan mainnya hanyalah menebak plat nomor kendaraan yang lewat.

Kenyataannya dalam sepak bola saat ini pun yang namanya taruhan sudah menjadi hal yang lumrah, bahkan bukan hanya soal menang atau kalah saja yang menjadi ajang taruhan, mulai dari pencetak gol pertama, kartu kuning pertama, kartu merah pertama, sampai sepak pojok pertama bisa menjadi ajang taruhan. Pada skala yang lebih luas, dalam dunia politik pun tradisi sabung ini sudah lumrah terjadi, misalnya dalam sebuah pemilihan kepala desa, tidak jarang bandar judi ikut andil bagian dalam terpilihnya salah satu kandidat calon kepala desa dalam pilkades. Bisa dibayangkan, sekelas pilkades saja perputaran uangnya bisa mencapai milyaran hanya untuk sabung dalam rangka taruhan siapa yang terpilih menjadi kepala desa. Bukan hal yang mustahil pada skala yang lebih luas lagi, yaitu pilpres bandar judi yang bermain lebih berani menggelontorkkan dana sampai triliunan rupiah untuk meramaikan pesta demokrasi tersebut. Karena kepentingan yang dipertaruhkan pun nilainya bisa jauh lebih besar dari uang yang dipertaruhkan oleh bandar judi tersebut.

Setelah acara diawali oleh prolog, Komunitas Jazz Kemayoran atau KJK kemudian hadir di atas panggung membawakan beberapa nomer Jazz. Dilanjutkan oleh Wahyu membawakan puisi berjudul Gerbang Anallah karya Cak Nun yang khusus dibuat untuk Andi Nurrahim sekaligus mengenang beberapa saudara Maiyah yang telah berpulang. Andi Nurrahim merupakan salah satu penggiat Komunitas Kenduri Cinta yang sangat setia melayani Cak Nun sejak akhir 90-an. Usai  Wahyu membacakan puisi, kemudian dilanjutkan dengan pembacaan surat Yaasin oleh Ustaz Nurshofa. Setelah itu, jamaah makan bersama dari ambengan yang sudah disediakan panitia malam itu.

“Carilah pemimpin satu diantara tiga, pemimpin yang bener-bener dicintai oleh rakyat, pemimpin yang ditakuti oleh rakyat atau pemimpin yang dicintai dan ditakuti oleh rakyat.”
Emha Ainun Nadjib

Setelah menyantap ambengan bersama, Irfan memandu diskusi sesi pertama dengan menghadirkan pembicara: Bintar Lulus Pradipta dari GMNI dan Ibu Siti Masrifah yang merupakan Sekjen PB Fatayat NU.

Ibu Siti Masrifah mencoba mengulik model pemimpin sesuai dengan yang terdapat di Alquran. Salah satu yang dicontohkan (sosok pemimpin perempuan) dalam Alquran adalah Ratu Bilqis. Nabi Sulaiman juga menjadi sosok pemimpin yang dikisahkan dalam Alquran yang hidup satu zaman dengan Ratu Bilqis. Alquran juga menceritakan salah satu pemimpin yang diktator, yaitu Firaun. Dari kesekian model pemimpin yang diabadikan dalam Alquran, kita dapat menyimpulkan bahwa ada sifat-sifat yang harus dimiliki oleh pemimpin. Beberapa sifat yang wajib dimiliki oleh seorang pemimpin adalah jujur dan amanah. Dua sifat ini saja sudah sangat jarang kita lihat dari pemimpin-pemimpin yang kini ada.

Bintar melanjutkan diskusi tentang perjudian dalam realitas yang ada hari ini. Nasib rakyat lah yang selalu menjadi taruhan oleh para pemimpin saat ini. Akhir-akhir ini hampir semua komponen masyarakat kita diarahkan kepada sebuah momentum, yaitu pemilu. Bintar berpendapat, jika kita ingin berubah maka jalan yang terbaik adalah sejauh mana keberanian kita untuk memilih calon yang memang kita percaya untuk memangku nasib bangsa 5 tahun ke depan. Perjudian itu adalah sebuah hal yang lumrah saat ini, pemilu sendiri merupakan sebuah perjudian yang selalu kita lakukan dalam periode lima tahun sekali. Kita mempertaruhkan persoalan bangsa dan negara kepada orang yang tidak kita kenal betul, yang kemudian kita pilih menjadi salah satu dari sekian anggota parlemen di DPR, atau bahkan yang menjadi presiden. Kita mempertaruhkan tanggung jawab 5 tahun ke depan nasib bangsa dan negara kepada mereka.

Ustaz Noorshofa mencoba menarik garis merah dari semua uraian yang sudah disampaikan oleh narasumber sebelumnya. Merujuk kepada Nabi Muhammad SAW, bahwa ketika beliau menjadi nabi selama kurang lebih 23 tahun, hampir separuh jazirah Arab itu sudah diislamkan oleh Rasulullah SAW. Kita juga bisa melihat kepada kesuksesan walisongo dalam mengislamkan nusantara saat itu. Walisongo bisa dikatakan secara radikal mampu mengislamkan nusantara. Salah satu sifat yang patut diteladani dari Rasulullah dalam memimpin adalah perhatian beliau kepada umat. Salah satu perhatian beliau yang diberikan kepada umatnya adalah ketika berjabat tangan dengan umatnya, tidak hanya sekedar berjabat tangan. — Suatu ketika Sa’ad berjabat tangan dengan Rasulullah, tangan Sa’ad ini kapalan. Rasulullah bertanya kepada Sa’ad, kenapa tangannya begitu keras? Sa’ad menjawab bahwa tangannya digunakan untuk bekerja setiap hari memecah batu untuk menghidupi anak dan istrinya, seketika Rasulullah mencium tangan Sa’ad dan berkata “Tangan ini tidak akan masuk neraka.”

Ustaz Nurshofa juga menceritakan kisah Sawat dan Zainab. Banyak sisi-sisi hikmah bisa ditangkap dari cerita-cerita beliau, salah satunya tentang nilai-nilai kesetiaan, ketaatan, dan lain-lain.

“Perlombaannya manusia bukan urusan kaya, terkenal, hebat melainkan perlombaan kemuliaan. Kebaikan itu satu sisi, tetapi ia harus bekerja sama dengan kebenaran dan keindahan agar menjadi kemuliaan.”
Emha Ainun Nadjib

PERLOMBAAN KEMULIAAN

Menjelang diskusi sesi kedua, Wahyu kembali membacakan dua puisi karya Cak Nun, yaitu Wajah dan Penawaran yang diambil dari antologi puisi Jangan Cintai Ibu Pertiwi yang pernah digelar di Gedung Kesenian Jakarta pada tahun 2009.

Cak Nun membuka diskusi sesi kedua dengan meminta beberapa jamaah untuk naik ke atas panggung, serta melemparkan beberapa pertanyaan terkait tentang siapa calon presiden yang sudah muncul di masyarakat saat ini, meskipun belum secara resmi dideklarasikan dan didaftarkan di KPU. Beberapa nama yang muncul adalah Jokowi, Akbar Tandjung, Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Prabowo, Anies Baswedan dan lain-lain.

Cak Nun kemudian bertanya, “Dari semua Capres yang ada, ada berapa fakta yang anda ketahui? Misalnya Jokowi, nama aslinya siapa, nama orang tuanya siapa, keturunan siapa, prestasinya apa, botohnya (bandar) siapa saja, sponsornya siapa saja, duit sponsornya berapa. Dari sekian fakta ini ada berapa yang anda ketahui?” Cak Nun melanjutkan, “Kalau anda tahu bahwa ini bukan kacang, apakah anda akan memakan kacang ini?

“Dari sekian fakta yang anda ketahui tentang salah seorang capres, darimana anda dapatkan sumber informasinya. Misal anda mendapatkan informasi dari media, berapa persen tingkat kepercayaan anda kepada media itu?” Cak Nun menyayangkan kondisi masyarakat sekarang yang suka menelan rumor. Padahal orang yang menelan rumor adalah orang yang celaka.

“Ada 4 idiom dalam Islam dalam mengambil keputusan; ilmul yaqin, haqqul yaqin, ainul yaqin dan udzunul yaqin. Ilmul yaqin itu adalah metode yang digunakan dalam mengambil keputusan berdasarkan pengetahuan yang kita miliki. Haqqul yaqin adalah metode yang diambil setelah melakukan pertimbangan yang masak, entah berasal dari intuisi, firasat dan sebagainya. Ainul yaqin adalah metode yang digunakan dalam mengambil keputusan berdasarkan apa yang dilihat dengan mata. Dan Udzunul yaqin adalah metode pengambilan keputusan yang diambil hanya dengan pertimbangan apa yang didengar. Dan metode keempat inilah yang sedang kita lakukan sekarang dimana metode ini merupakan metode terlemah dari keempat metode yang ada.

“Jika diibaratkan sebuah rel, maka pemilu di Indonesia ini sudah berjalan di atas rel yang sudah dibangun, karena secara konstitusi, undang-undang dan aturannya sudah berlaku sesuai dengan yang diputuskan. Namun, tidak ada yang mempertanyakan akhir tujuan dari rel tersebut. Yang kita lakukan sekarang hanya berjalan diatas rel yang tidak kita ketahui dimanakah stasiun pemberhentian akhir rel tersebut.

“Dari empat metode pengambilan keputusan tadi, kita saat ini sedang berada di dalam tahun dimana kita akan mengambil keputusan dengan metode udzunul yaqin, berdasarkan apa yang kita dengar. Wahyu pertama diawali dengan kata iqra. Kata iqra ini merupakan sebuah kata yang paling keramat dari Allah untuk supaya manusia itu belajar. Untuk memahami ayat ini kita harus meneruskan sampai selesai, tidak hanya berhenti di iqra saja. Iqra bismirabbika-l-ladzi kholaq. Kata iqra di ayat ini tidak dapat berdiri sendiri karena harus dengan didampingi dengan bismirobbika, dan bismirobbika ini ada argumentasinya yaitu alladzi kholaq. Dan alaldzi kholaq ini ada uraian dan pejelasannya pada ayat selanjutnya yaitu kholaqo-l-insaana min ‘alaq, dan seterusnya sampai ayat terakhir dari surat Al-Alaq ini karena ada konstelasinya sampai ayat terakhir.” Cak Nun meminta jamaah agar mempelajari kembali surat Al-Alaq ini untuk bekal menghadapi pemilu yang akan berlangsung kurang dari sebulan lagi.

“Pemilihan legislatif masih mungkin terjadi, namun pemilihan presiden belum tentu terjadi. Karena mungkin terjadi sesuatu yang tidak kita sangka-sangka, bukan hanya dead lock tapi juga tetesan darah. Dan belum tentu kita akan menemui bulan Juni yang kita idam-idamkan sebelumnya. Jadi Iqra ini cakupannya sangat luas. Karena begitu banyak orang yang dicelakakan oleh apa yang didengar, apa yang dilihat dan apa yang dibaca. Kira-kira poin apa yang membedakan antara membaca tanpa berlandaskan Allah dengan membaca yang menggunakan landasan Allah?”


Cak Nun kembali melempar pertanyaan kepada jamaah. Ada kemungkinan lain bahwa manusia saat ini membaca berdasarkan selain Allah, bisa saja berdasarkan kepentingan atau nafsu.

“Allah ketika berbicara kuantitatif menggunakan kalimat yaa ayyuha-n-naas, sedangkan jika Allah ingin berbicara secara kualitatif maka Allah menggunakan kalimat yaa ayyuha-l-ladziina aamanuu. Nah kata Iqra di dalam wahyu pertama tadi dapat kita simpulkan bahwa kalimat itu ditujukan kepada seluruh manusia meskipun Allah tidak menyebutkan kalimat Yaa ayyuha-n-naas. Di Kenduri Cinta ini sudah lama kita tidak mengenal terminologi laki-laki dan perempuan, karena kita disini semua manusia. Laki-laki dan perempuan itu ketika anda berada di kamar bersama suami atau istri anda.

“Alasan Allah supaya engkau mempelajari sesuatu dengan nama Allah karena Allah merupakan pencipta alam semesta. Ada ayat selanjutnya disebutkan bahwa Allah menghadirkan dirinya tidak berada pada posisi baik-Nya, benar-Nya, dahsyat-Nya, hebat-Nya melainkan mulia-Nya. Iqra’ warabbuka-lakrom. Allah memiliki anjuran permanen, yaitu jika anda mau kaya, mau jadi petani, mau jadi apa saja itu silahkan, hal ini tidak menjadi ukuran bahwa seseorang menjadi tinggi atau derajatnya atau tidak, melainkan output kehidupanmu itu kemuliaan atau bukan, itulah yang menjadi ukuran permanen yang disampaikan Allah. Dalam ayat lain disebutkan Inna akromakum ‘indallahi atqookum, jadi perlombaannya manusia bukan urusan kaya, terkenal, hebat melainkan perlombaan kemuliaan. Kebaikan itu satu sisi, tetapi ia harus bekerja sama dengan kebenaran dan keindahan agar menjadi kemuliaan,” jelas Cak Nun.

Ditambahkan, “Ada orang kuat, orang pintar, orang berkuasa, orang kaya dan orang baik (mulia). Kita harus bisa menentukan urutan-urutan strata ini sesuai derajatnya, jika ingin melihat jelas melihat apa yang terjadi di Indonesia saat ini. Di Indonesia, orang kaya adalah posisi yang paling atas dan yang paling diidamkan oleh semua orang. Orang pintar menggunakan kepintarannya agar dia menjadi kaya. Orang kuasa menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya dirinya. Orang kuat menggunakan kekuatannya untuk memperkaya diri. Bahkan orang baik (mulia) pun menggunakan apa yang dimilikinya untuk menjadi orang kaya.

“Dalam sejarah berkembangnya Islam di Indonesia pada abad ke-7, Islam masuk ke Indonesia saat itu dibawa oleh para pedagang, namun mereka tidak dipercaya oleh masyarakat nusantara karena mereka tidak percaya kepada orang kaya. Namun ketika walisongo yang memperkenalkan Islam kepada masyarakat nusantara, Islam dapat diterima dan menyebar luas karena masyarakat saat itu percaya kepada orang mulia. Yang terjadi sekarang justru terbalik, kita lebih menginginkan menjadi orang kaya, bukan menjadi orang/mulia. Karena orang kaya menjadi tujuan utama, maka yang terjadi adalah orang kuat, orang pinter, orang kuasa semua berlomba-lomba menjadi orang kaya. Bahkan orang-orang baik; kyai, nyai, aktivis organisasi keagamaan yang seharusnya berada di posisi tertinggi pun ingin menjadi orang kaya.”

Media massa saat ini dinilai telah berhasil memposisikan dirinya berada di luar sistem, namun sayangnya mereka tidak melakukan pengawalan melainkan justru banyak yanf mengambil keuntungan dari apa yang terjadi di dunia politik di Indonesia.

“Kalau anda hanya iqra tidak menggunakan bismirabbika-l-ladzi kholaq, anda akan tertipu, terjebak, dan terperosok terus ke dalam lubang yang sama. Lebih baik anda mendapat pertanyaan-pertanyaan daripada jawaban-jawaban, karena dengan pertanyaan-pertanyaan anda dapat mencari lebih banyak dan dapat melatih diri anda sehingga mencerdaskan pikiran anda,” tutup Cak Nun.

“Kalau kepada Allah, Anda harus laa roiba fiihi, tetapi kepada selain Allah Anda harus roiba fiihi.”
Emha Ainun Nadjib

LAA ROIBA FIIHI

Diskusi selanjutnya adalah tentang jalan pantai utara Jawa. Jalan sepanjang 1.000 kilometer hanya dibangun oleh Daendels dalam jangka waktu tiga tahun, apakah ini logis? Salah seorang jamaah yang kebetulan merupakan sarjana teknik sipil mengatakan bahwa hal tersebut sangat mustahil dilakukan dalam jangka waktu tiga tahun berdasarkan keadaan geografis yang ada saat itu. Karena dibutuhkan alat berat yang lebih modern dan sumber daya manusia yang sangat banyak untuk menyelesaikan pembangunan jalan tersebut. Apakah Daendels benar-benar membangun jalan tersebut?

“Kalau kepada Allah, anda harus laa roiba fiihi, tetapi kepada selain Allah anda harus roiba fiihi,” Cak Nun mengingatkan jamaah agar selalu mempertanyakan apa saja di dunia ini, salah satunya tentang fakta sejarah yang ada di Indonesia karena sejarah yang ada di Indonesia ini merupakan buatan Belanda.

“Anda tidak usah meyakini sesuatu yang tidak benar-benar tahu, itulah gunanya kita ngomong tentang opera sabung, supaya anda tidak mengunyah sesuatu yang benar-benar anda tidak tahu,” lanjut Cak Nun. “Anda pernah ke pabrik gula? Di pabrik gula Jawa Timur itu ada alat besar berupa gilingan yang beratnya mencapai 200 ton, bagaimana itu tiba-tiba ada di sebuah pabrik gula di Jember dan beberapa pabrik gula di Jawa Timur? Itu bikin gilingan sebesar 200 ton itu bagaimana? Kalau dibikin di tempat itu, kenapa setelahnya tidak dibikin lagi oleh orang-orang disana? Atau dibikin di tempat lain, misalnya di Jakarta (Sunda Kelapa), bagaimana ngangkut alat tersebut, seberat 200 ton, padahal jembatan sekarang saja maksimal 50 ton. Kita tidak pernah mencari tahu tentang hal ini? — Belanda itu kan datang kesini untuk mengangkut hasil-hasil bumi, salah satunya gula, Tetapi kenapa Belanda membikin pabrik gula justru jauh dari pelabuhan Sunda Kelapa yang merupakan pelabuhan utama saat itu? Apakah pabrik gula itu benar-benar buatan Belanda?”

Cak Nun kembali menggoda, “Itu rel kereta api yang katanya dibangun Belanda jika dikumpulkan di Belanda apakah negaranya mampu menampung? Siapakah yang membikin rel tersebut? Dimana dibuatnya? Apabila dibikin di Belanda berarti harus ada sekian ribu ton besi yang harus diangkut kesana, kemudian diangkut kesini? Bukankah itu sama saja pedagang gila? Anda tahu, dimana pabrik gerbong lokomotif yang skalanya lebih bagus dari bikinan Jepang? Yaitu di Madiun, INKA yang dulu disebut Balai Yasa. Cuma kok kenapa bikinnya di Madiun? Kalau memang Belanda yang inisiatif membikin kereta api di Indonesia, sangat tidak logis untuk membangun pabrik kereta api di Madiun.

“Saya cuma ingin mengatakan kepada anda, anda itu ndak goblok, anda itu tidak rendah, anda itu tidak tertinggal, Cuma anda itu diapusi oleh sejarah yang dibikin oleh Belanda. — Kalau pengusaha-pengusaha kita percaya kepada rakyatnya, kita mau bikin apa saja bisa.”

Cak Nun melanjutkan tentang banyaknya jumlah kios servis handphone di Indonesia. “Adakah ada diantara mereka yang sekolah servis handphone?” Pertanyaan-pertanyaan ini sengaja ditujukan kepada jamaah oleh Cak Nun untuk membangkitkan kepercayaan diri, sehingga untuk mencari pemimpin salah satu syaratnya adalah dia yang percaya kepada rakyatnya sendiri.


“Saya ingin pemimpin-pemimpin itu percaya kepada rakyatnya. Emang ada rakyat Indonesia yang hidup makmur karena pemerintahannya? Yang ada adalah kemakmuran rakyat diganggu oleh pemerintahannya,” lanjut Cak Nun.

Cak Nun melanjutkan tentang kurangnya tingkat kepercayaan perusahaan-perusahaan di Indonesia kepada sekolah-sekolah Islam. “Yang terjadi kemudian adalah lulusan sekolah-sekolah Islam tadi menjadikan ceramah sebagai salah satu pekerjaan yang bisa digunakan untuk mencari uang. Kemudian mereka dipekerjakan oleh para biro travel umroh untuk menjadi pemandu ibadah umroh dan haji dengan menyusun doa-doa yang sangat panjang yang kemudian dihapalkan oleh para jamaah umroh dan haji.

“Secara sosiologis, seandainya ada 1.000 Amrozi, 1.000 Imam Samudera muncul itu tidak membuat saya heran,” lanjut Cak Nun. “Karena mereka yang lulusan sekolah Islam (pesantren) tidak mendapatkan tempat untuk bekerja. Maka kita tidak heran kalau kemudian muncul teroris dari kalangan santri. Alhamdulillah yang muncul sebagai teroris hanya sekian persen, yang lainnya menjadi ustaz yang ceramah di beberapa tempat. Ini akibat kurangnya kepercayaan Indonesia sendiri kepada kalangan santri.

“Carilah pemimpin satu diantara tiga, pemimpin yang bener-bener dicintai oleh rakyat, pemimpin yang ditakuti oleh rakyat atau pemimpin yang dicintai dan ditakuti oleh rakyat. Aku tidak tega kepada Jokowi, hatiku tidak tega, aku kasihan kepada dia, aku tidak melanjutkan kalimatku karena engkau akan sangat terkejut. Tapi ingatlah bahwa aku sangat cinta kepada semuanya dan aku tidak tega kepada dia. Tapi saya tidak akan kemukakan fakta apapun karena anda belum iqra’ bismirobbika-l-ladzi kholaq.

Allama-l- insaana ma lam ya’lam, pada ayat ini Allah memposisikan diri-Nya sebagai Sang Maha Guru yang mengajarkan kepada manusia tentang apa-apa yang tidak diketahui. Pernahkah anda bertanya kepada Allah?” lanjut Cak Nun. “Selama ini manusia kebanyakan menghadap Allah hanya ketika meminta rizki, tapi sangat jarang yang bertanya dan berguru kepada Allah.”

Merespon kondisi politik terkini, Cak Nun katakan, “Indonesia tidak bisa selamat oleh keinginan-keinginan, Indonesia hanya bisa selamat oleh perundingan bersama untuk menemukan yang terbaik, untuk menemukan yang titik tengah yang terbaik, khairul umuuri awsatuhaa.”

Secara spontan, Inna Kamarie bersama Beben Jazz and friends membawakan lagu Kompor Mleduk dan Hujan Gerimis karya Benyamin Suaeb yang dibawakan dengan aransemen Jazz. Dan juga Cak Nun meminta Beben memainkan beberapa nada untuk dikolaborasi dengan qiro’ah.

“Rasulullah setiap malam itu menangis tetapi bukan dalam rangka menangis karena dirinya, melainkan menangisi ummatnya. Berbeda antara menangis dan menangisi. Beliau tidak pernah mengeluh atas hidup beliau yang menderita. Beliau tidak pernah marah kepada orang yang melempar batu ke kepalanya. Yang dilakukan oleh Rasulullah adalah menangisi umatnya.”
Emha Ainun Nadjib

BELAJAR KEPADA MUHAMMAD

Syeikh Nursamad Kamba ikut malam itu dengan memberikan pemaparan tentang tahsabuhum jamii’an wa qullubuhum syattaa. Dalam beberapa waktu terakhir, kita melihat perkembangan di negara ini sangat luar biasa, orang melihatnya sebagai kecenderungan religiusitas yang berlebihan. Namun kecenderungan ini hanya terbatas pada kulit saja. Termasuk keseluruhan dari makna agama itu sendiri karena hanya menjadi formalitas saja, dan kita sudah melupakan esensi yang sebenarnya. Dalam ilmu fikih misalnya, salat itu adalah af’aalun wa aqwaalun muftatahatun ditakbiir wa muhtatamatun bisalam, salat itu adalah perbuatan dan perkataan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Itu salat secara fikih, namun esensi dari salat adalah bukan hanya itu. Dalam ayat Alquran Allah berfirman: aqimi-s-sholaata li-d-dzikri dan pada ayat lainnya inna-s-sholaata tanha ‘ani-l-fakhsyaai wal munkar. Bahwa salat itu dilakukan untuk mengingat Allah dan salat juga memiliki efek sosial yaitu mencegah perbuatan keji dan mungkar. Agama ternyata tidak berhasil membentuk manusia menjadi sosok yang berkarakter ketuhanan yang bisa membimbing yang bisa menjadi sumber kebaikan bagi manusia yang lain. Menurut Syeikh Nursamad, lebih baik tidak usah beragama daripada beragama hanya sebagai formalitas saja. Sekarang ini kita bisa melihat bahwa orang yang semakin jauh dengan Islam justru semakin dekat dengan sifat Nabi Muhammad SAW. Karena agama Islam sekarang sudah dikotak-kotakkan menjadi alat untuk berpolitik, berdagang, mencari kekayaan dan sebagainya.

Nabi Muhammad SAW sebelum menjadi Rasulullah, apakah beliau tahu bahwa beliau akan menjadi nabi? Bukankah dalam Alquran terdapat ayat: Qul, innama ana basyarun mutslukum, Katakanlah (ya Muhammad) Aku adalah manusia biasa seperti kalian. Ada dua hal yang bisa kita contoh secara praktis dari Muhammad sebelum beliau menjadi nabi. Pertama, sejak masa kecil hingga masa muda, Muhammad sudah melakukan pembersihan jiwa dari empat hal: hasad, dengki, iri dan curang. Ini menjadi salah satu penafsiran Ibnu Katsir dalam surat Al-Insyiroh. Simbol-simbol pembersihan jiwa terhadap empat hal tersebut merupakan sumber-sumber dari kerusakan dan kejahatan yang ada pada diri manusia. Maka Nabi Muhammad SAW bersabda Iyyakum wal hasada fainnal hasada ya’kulu-l-hasanaati kama ta’kulu-n-naaru alkhotoba. Waspadalah terhadap hasad, karena dia bisa memakan seluruh kebaikan seperti api yang membakar sebuah kayu bakar.

Jadi, sepanjang kita dalam kehidupan sosial masih terdapat dengki, iri, hasad dan curang itu tidak akan pernah ada kebaikan yang lahir. Hal inilah yang kemudian menyebabkan tahsabuhum jamii’an wa qullubuhum syattaa. Hati tidak bisa bertemu satu sama lain karena didalam hati itu sendiri terdapat dengki. Empat sifat buruk tadi kemudian menjadi sumber dari sifat-sifat yang lain seperti tamak dan serakah.

Kemudian setelah melepaskan diri dari empat hal tersebut, dalam sebuah riwayat Nabi Muhammad kemudian meluaskan hatinya dan melapangkan dadanya. Hal ini kemudian membuat Nabi Muhammad memiliki kemampuan dalam bersikap akomodatif dalam menerima pandangan orang lain dan kemampuan memberi respek kepada orang lain. Sifat-sifat inilah yang kemudian melahirkan sifat amanah yang disematkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Karakter serakah ini bisa kita lihat pada seekor harimau, karena karakter yang sudah tertanam dalam dirinya adalah menerkam. Ketika dia sedang melahap mangsa yang ada didepannya, kemudian ada mangsa lain yang lewat dihadapannya maka dia akan tetap menerkamnya, karena memang karakter harimau adalah menerkam. Apabila seorang pemimpin sudah memiliki karakter yang serakah, maka mau diapakan juga dia akan tetap serakah. Dari pembersihan jiwa tadi kemudian lahirlah sifat-sifat kenabian: shiddiq, tabligh, amanah, dan fathonah.

Hal yang kedua yang dapat kita pelajari adalah kebiasaan Muhammad adalah; bertapa. Pertapaan yang dilakukan oleh Muhammad sebelum menjadi nabi bukanlah pertapaan yang biasa saja, namun dalam pertapaan tersebut Muhammad melakukan perenungan-perenungan sehingga output kehidupan sosialnya dapat diterima oleh masyarakat sekitarnya. Pertapaan ini dilakukan untuk memperluasa cakrawala pikirannya, membuka wawasan dan memperdalam pengalaman-pengalaman jiwa. Dalam pertapaan itu Muhammad melakukan sesuatu yang disebut sebagai bakti sosial. Dalam sebuah riwayat, Siti Khadijah selalu membawakan Muhammad bekal ketika Muhammad akan melakukan pertapaan, dan bekal tersebut dibagi-bagikan oleh Muhammad kepada orang-orang yang ia temui di jalan. Padahal pada saat itu belum ada Islam. Ini artinya, kegiatan yang dilakukan oleh Muhammad sebelum menjadi nabi merupakan sebuah tazkiyatu-n-nafsi, yang kemudian seolah-olah Muhammad dibentuk karakternya oleh alam melalui pertapaan yang ia lakukan, sehingga kemudian ia memperoleh wahyu.

Dua hal ini yang sekarang kita melupakannya, kita masih memberi ruang untuk dengki, hasad, iri dan curang dalam hati kita, sehingga kita belum mampu membebaskan diri kita dari hawa nafsu, meskipun kita mengaku beragama Islam. Sehingga agama sekarang tidak ada bedanya dengan paguyuban.

Dalam Islam itu ada tiga dimensi, yaitu dimensi iman, ihsan dan islam. Namun sekarang dimensi tersebut semakin kita persempit dengan pengkotak-kotakan dalam Islam, mulai dari sunni-syiah, NU-Muhammadiyah dan lain sebagainya. Ini akibat dari karena kita masuk kedalam Islam tidak memiliki bekal pembersihan diri seperti yang dilakukan oleh Muhammad sebelum menjadi nabi. Jadi jangan harap Indonesia itu akan baik apabila pemilu yang dilakukan terdapat unsur kecurangan. Karena tidak ada satu pun peradaban yang dibangun dengan kecurangan menjadi peradaban yang baik dan mulia.

Dalam Maiyah kita mengenal segitiga cinta, yaitu Allah-Rasulullah-Manusia. Ini merupakan salah satu bentuk pertapaan yang kita lakukan. Karena ilmu pengetahuan yang kita miliki sejatinya adalah ajaran Allah, guru yang kita temui di sekolah hanyalah membimbing kita untuk menemukan ilmu pengetahuan tersebut.

Dalam riwayatnya, jarak antara wahyu pertama dan wahyu kedua yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW berjarak sekitar 3 bulan. Dan dalam masa jeda tersebut, Nabi Muhammad SAW tidak merasa langsung yakin bahwa dirinya adalah nabi, melainkan beliau melakukan perenungan-perenungan selanjutnya melalui pertapaan yang dilakukan. Tidak ada sejarahnya begitu Nabi Muhammad mendapat wahyu yang pertama, kemudian beliau mendeklarasikan diri sebagai seorang nabi akhir zaman. Sangat berbeda dengan realita yang ada saat ini, banyak sekali orang yang berani mendeklarasikan dirinya bahwa dia adalah orang baik.

Jadi seandainya Islam yang ada sekarang ini apabila kemudian merusak sifat-sifat manusia nusantara yang sebelum masuknya Islam sudah unggul, baik bahkan berakhlak mulia, maka percuma saja dengan Islam. Sehingga apa yang disebut sebagai tahsabuhum jamii’an wa qullubuhum syattaa bukan sesuatu hal yang aneh di Indonesia.


Syeikh Nursamad Kamba mencoba merespon pertanyaan dari jamaah tentang pencapaian spiritual seseorang. Nabi Muhammad SAW setelah mengalami peristiwa isra mikraj bahkan menjadi lebih rajin ke pasar, hal ini menandakan bahwa semakin tinggi kualitas spiritual seseorang semakin tinggi pula nilai kebaikannya dalam kehidupan sosial bermasyarakat, karena keintimannya kepada Tuhan menular kepada keintimannya kepada sesama makhluk-Nya di dunia. Ikhtiar itu sendiri merupakan indikator dari sebuah pencapaian spiritual yang tinggi, kemudian istiqomah adalah konsistensi seseorang dalam berbuat baik.

Sesungguhnya Indonesia ini tidak membutuhkan demokrasi, melainkan kearifan-kearifan lokal yang akan membuat Indonesia menjadi lebih baik. Khairukum anfa’uhum linnaas. Sebaik-baik dari kalian adalah yang bermanfaat bagi manusia (lainnya). Karena tidak ada satupun yang menjamin seseorang masuk surga, kecuali Allah SWT. Surga sendiri adalah suatu dimensi yang muncul setelah alam semesta yang ada sekarang ini hancur. Surga dan neraka dimunculkan sebagai pengganti dari kehidupan yang ada sekarang.

Begitu juga persoalan halal dan haram, yang boleh melegitimasi kedua hukum tersebut adalah Allah SWT. Apabila kemudian MUI mengeluarkan fatwa halal atau haram, sebaiknya diawali dengan kalimat “berdasarkan sidang para ulama, menurut sidang itu” baru kemudian dilanjutkan kepada kalimat hukum tentang fatwa halal atau haram. Karena dalam kehidupan ini pemilik saham total adalah Allah SWT.

Kekeliruan memahami Islam akhir-akhir ini adalah karena kita salah mengidentifikasi Islam itu sendiri karena berdasarkan kulitnya saja. Islam itu pada hakikatnya bersifat kualitatif meskipun pada saat-saat tertentu bersifat kuantitatif. Salat itu penting, namun yang lebih penting lagi adalah output dari salat itu sendiri. Salat merupakan sebuah input yang menghasilkan output yaitu akhlak yang baik. Kesalahan kita sekarang adalah salat dijadikan output, sehingga kita sangat mudah menilai Islam atau tidaknya seseorang dilihat dari ibadahnya saja yang seharusnya merupakan sebuah input. Warung itu yang penting adalah hasil dari masakannya, enak atau tidak.


“Fokus anda di dalam beribadah itu pahala atau Allah? Surga Atau Allah,” Cak Nun merespon pertanyaan jamaah tentang pahala. “Kalau kamu berfokus kepada Allah, engkau tidak perduli akan ditempatkan di surga atau neraka.

“Ibaratnya begini, saya punya kebun mangga, kemudian kamu datang ke kebun saya, mbantuin nyapu-nyapu di kebun saya, ndak minta mangga. Justru yang khawatir adalah saya, sehingga kemudian saya pasti akan kasih kamu mangga yang banyak,” lanjut Cak Nun, “Jadi solat kamu itu menyembah Allah atau pahala? Kamu sujud dihadapan kabah itu kamu sujud kepada kabah atau ke Allah?

“Jadi bodohlah orang yang mengutamakan jasad.” Cak Nun menambahkan penjelasan tentang kiblat. Bahwa kabah adalah kiblat bagi mereka yang salat di Masjidil Haram, Masjidil Haram merupakan kiblat bagi mereka yang berada di Makkah, Makkah sendiri adalah kiblat bagi mereka yang tinggal di Saudi Arabia, dan Saudi Arabia adalah kiblat bagi mereka yang berada diluar negara Saudi Arabia.

“Pahala itu penting, tetapi jangan lupa bahwa itu bukanlah fokus yang utama. Dan jangan sekali-kali memasti-mastikan Tuhan. Allah itu merdeka, karena Dia adalah pemilik utuh alam semesta ini, dan Allah berhak merubah aturan-aturan yang sudah ada. Allah berhak dan berkuasa penuh atas semua keputusan-keputusan yang ada. Allah berhak memasukkan orang yang berkali-kali umroh sekalipun ke dalam neraka.”

*

“Sesungguhnya seluruh proses kehidupan ini mengandung pertaruhan,” Cak Nun merespon jamaah yang bertanya tentang judi. “Seluruh hidup ini mengandung spekulasi, bahkan seorang ibu yang sedang melahirkan adalah salah satu spekulasi dalam kehidupannya. Tidak ada seorang pun yang bisa memastikan bahwa dia akan tumbuh dari bayi menjadi orang yang dewasa atau sampai tua.

“Rasulullah setiap malam itu menangis tetapi bukan dalam rangka menangis karena dirinya, melainkan menangisi umatnya. Berbeda antara menangis dan menangisi. Beliau tidak pernah mengeluh atas hidup beliau yang menderita. Beliau tidak pernah marah kepada orang yang melempar batu ke kepalanya. Yang dilakukan oleh Rasulullah adalah menangisi umatnya,” terang Cak Nun.

Dalam Islam dikenal istilah fastabiqul khoirot. Apa pun yang kita lakukan dalam kehidupan ini adalah perlombaan dalam hal kebaikan, bukan perlombaan tentang keunggulan satu sama lain. “Jangan pernah merasa sedikit pun kita merasa unggul atas orang lain,” kata Cak Nun. “Ndak boleh unggul dari orang lain, yang kamu lakukan adalah bermain sepak bola yang baik, kalah atau menang adalah hasil dari bermain sepak bolamu, bukan tujuanmu. Judi itu dilarang agar jangan sampai anda menjadi kecanduan, dan uangmu habis hanya untuk berjudi.”

Tak terasa waktu menunjukkan pukul 04:02 WIB, Kenduri Cinta puncaki dengan doa bersama oleh Syeikh Nursamad Kamba.