NAGARAWAN

reportase kenduri cinta februari 2012

Hujan yang turun sejak sore hari sudah mulai reda. Tenda sudah ditegakkan, spanduk sudah dibentangkan. Setelah karpet yang ditunggu-tunggu sampai di lokasi, tidak butuh waktu lama untuk bergotong-royong membentangkannya. Jumat, 10 Pebruari 2012, di pelataran parkir Taman Ismail Marzuki, Kenduri Cinta dengan judul Nagarawan diawali dengan tadarus sampai juz 10. Setelah itu, bersama-sama jamaah mengumandangkan salawat Ya Allah Ya Adhim.

Jika dihubungkan dengan tema bulan lalu yang mengisyaratkan adanya harapan di awal tahun 2012, judul kali ini mencerminkan kehati-hatian dalam langkah-langkah menindaklanjuti harapan-harapan itu. Naga air, kekuasaan naga bertemu dengan ketenangan iir. Apakah tenangnya itu karena sedang menyusun kekuatan, sedang terlena dengan kekuasaan, atau karena sudah terpukul, ini sepenuhnya adalah hak kita untuk menafsirkannya.

Apa yang kita temui dalam warna, bentuk, dan simbol apapun merupakan alamat atau tanda, representasi keterjadian ruang dan waktu. Naga sebagai simbol memiliki kemiripan dengan ular. Ada orang dari kalangan kejawen yang mengatakan bahwa kalimat alif lam mim dibaca alam, dan alif lam ra dibaca ular. Di makam-makam para wali juga selalu ada simbol berupa ular dan macan. Ular mempunyai dua cara dalam melumpuhkan mangsanya: meracun atau melilit. Dua hal itu pula yang dilakukan oleh penguasa-penguasa sekarang terhadap rakyatnya. Ular hanya akan mati jika kita tidak salah dalam menangkapnya. Mereka hanya akan lumpuh jika kita kita tangkap kepalanya. Tapi yang terjadi sekarang adalah kita sibuk menangkapi ekor-ekornya yang berjuta-juta, bukan kepala dari seluruh permasalahan.

Para tukang sihir Firaun menakut-nakuti Nabi Musa dengan menjadikan tali-temali tampak sebagai ular di mata orang banyak. Tongkat yang dilemparkan Nabi Musa sebagaimana diperintahkan oleh Allah kemudian menjadi ular besar yang memakan ular-ular bikinan tukang sihir tadi. Di instansi-instansi negara ini banyak ular-ular kecil yang kita tidak sanggup menangkapnya. Semoga Maiyah adalah satu kesatuan ular besar yang saat ini masih berwujud tongkat karena belum ada perintah, pada suatu saat akan bertransformasi.

Begitulah uraian prolog tema acara dari Adi Pujo dan Ibrahim. Lain hal dengan Andri Dwi, ia melihat kata nagarawan dari sisi historis terminologinya. Romo Zoetmulder mengartikan nagara sebagai istana (keraton), tempat kediaman raja, ibukota negara atau kerajaan. Namun dalam kajian Hindu-Budha di Indonesia, kata itu lebih tepat dimaknai sebagai ibukota kerajaan. Nagara atau Rajya ini banyak dilukiskan dalam kakawin masa Kediri, Sumanasantaka. Kakawin ini menjelaskan bahwa bagian utama dari suatu nagara adalah istana, di mana Raja tinggal. Secara khusus kediaman raja ini sering disebut sebagai kadatwan.

Istana atau kadatwan berada di dalam nagara, sebagai ibukota kerajaan yang biasanya menguasai beberapa nagara lain. Sementara istilah bhumi (bumi) oleh Romo diartikan sebagai tanah, dunia, daratan, negeri, dasar, alas. Bhumi memiliki cakupan wilayah yang lebih luas daripada nagara. Secara geografis, pembangunan kadatwan sebagai tempat kediaman raja berada di dalam sebuah nagara, dan nagara itu sendiri berada di dalam bentangan bhumi. Maka nagara tidak equal dengan definisi Negara yang dipakai saat ini. Nagara digunakan untuk menyebut city state, kota yang memiliki sistem pemerintahan kerajaan, baik itu ibukota kerajaan maupun kerajaan vassal (bawahan).

Akhiran –wan bisa menerangkan sifat, tugas, maupun keahlian. Nagarawan adalah orang yang mempunyai keahlian dalam bidang kenegaraan. Di dalam konsep ketatanegaraan ada yang disebut dengan tritangtu, di mana masing-masing orang yang duduk di tataran Pemerintahan harus sesuai dengan kepenguasaan ilmunya. Ada Resi yang mengurusi hal-hal spiritual, ada Rama yang ahli dalam lelaku dalam konteks politik ekonomi, dan ada Prabu yang merupakan putra mahkota.

Kapasitas keahlian kewenangan distrukturkan menjadi institusi dan mengalami degradasi sehingga muncul kelembagaan eksekutif kepresidenan dengan staf ahlinya. Kualitas spirit keilmuan dalam kewicaksanaan sebagai sosok yang berkompeten mengalami devolusi mentalitas dan moralitas. Dari Mpu dan Rakyan I Halu menjadi kelembagaan eksekutif pusat. Konsep keruangan (structural transformation) dan konsep kewaktuan (value transcendence) tidak lagi menjadi titik temu, tapi justru saling berlawanan dan saling memusnahkan. Tidak terjadi makrifat dalam curigo manjing warongko ataupun konteks sosial manunggaling kawula-Gusti.

“Hati yang bertapa adalah hati yang tidak bisa diintimidasi oleh kesedihan, oleh kekecewaan, dan oleh apapun.”

Emha Ainun Nadjib

ISLAM KAFFAH

Pada sesi diskusi berikutnya, salah satu pembicara yaitu Prof. Dr. H. Agus Suradika yang juga menjabat sebagai Wakil Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, menekankan pentingnya membuang dikotomi antara Muhammadiyah dengan NU, juga dengan kelompok-kelompok yang lain. Organisasi adalah sarana untuk meng-create kebersamaan, bukan alasan untuk menciptakan perpecahan. Dalam konteks perjuangan, stratifikasi tidak boleh menghalangi kita. Toleransi beragama adalah keharusan.

Kalau NU punya perpustakaan, Muhammadiyah toh punya katalog. NU punya pesantren, Muhammadiyah punya sekolah-sekolah. NU punya kitab kuning, Muhammadiyah punya kitab putih. Muhammadiyah sekarang juga mengenal apa yang dinamakan dakwah kultural. Dan jangan dikira di Muhammadiyah tidak ada tahlilan, qunut dan yasinan. Kategori-kategori sosial yang ada hanyalah ciptaan manusia. “Saya lahir dalam kultur NU tapi menjalani pendidikan di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Islam adalah rahmatan lil ‘alamin yang untuk memperjuangkannya bisa melalui berbagai organisasi. Bagi saya, dikotomi Muhammadiyah-NU sudah selesai. Kebenaran absolut dalam ayat-ayat Allah menjadi relatif begitu ia ditafsirkan oleh manusia. Saya memilih berjuang melalui organisasi Muhammadiyah dengan tetap menghormati NU. Berislam itu sederhana, cukup berbuat baik dan memperjuangkan kebenaran. Islam itu kaffah, tidak monolitik. Dia adalah tenda besar yang mengayomi semua umat manusia.”

Pembicara berikutnya adalah Sanusi, anggota DPRD DKI Jakarta dari fraksi Gerindra, menyoroti betapa rakyat Jakarta takut berobat ketika sakit, takut menyekolahkan anak-anaknya, dan bahkan takut meninggal karena atas semuanya dipungut uang yang tidak sedikit. Kondisi ini menjadi semakin parah karena tidak ada rasa peduli bahkan dari tetangga terdekatnya sekalipun. Orang-orang di Jakarta sudah terlalu pusing mengurusi kehidupannya sendiri. Birokrasi tidak bisa mengatasi permasalahan-permasalahan karena ia tidak berani berbenturan dengan kepentingan-kepentingan. Satu kasus, di pinggiran daerah Matraman ada deretan rumah-rumah yang hanya memiliki 3 kamar mandi untuk meng-cover kebutuhan 20 keluarga. Airnya dari 1 sumur kerekan. Bang Uci, demikian beliau akrab disapa, memanggil Dinas Perumahan dan mereka menjawab bahwa itu bukan lingkup pekerjaan mereka. Jawaban yang sama dilontarkan oleh Dinas Kebersihan. Pembiaran-pembiaran semacam itu pada akhirnya akan berujung pada penggusuran, sementara masyarakat sudah menetap.

“Di Jakarta kalau nggak nakal nggak diperhatikan. Kita nakal bukan karena menginginkan yang lain, kecuali hak kita sendiri,” Sanusi mengajak jamaah untuk tidak ragu-ragu melaporkan ketidakberesan-ketidakberesan yang dijumpai di kiri-kanan dan mengurus pemenuhan hak-hak rakyat kepada pemerintah daerah.

“Intelektual itu bahaya, maka jangan berbangga hati atasnya. Intelektualitas hanya bagian kecil dari dirimu. Pemimpin letaknya di hati, bukan di kepala.”

Emha Ainun Nadjib

HUKUM DAN NURANI

Forum kemudian diserahkan kepada Iwan Gunawan sebagai moderator berikutnya. Ia meminta salah satu narasumber, Jansen Sitindaon, S.H., M.H. untuk memaparkan beberapa hal dalam wilayah hukum. Jansen mengungkapkan, “Apakah negara sudah adil? Kalau belum, tidak adilnya di mana? Dalam konteks yang lebih luas, problem kesalahan itu terletak pada praktik atau pada sistem? Ada nggak hubungan antara penegakkan hukum dengan pengangguran, kemiskinan, dan kehidupan anak-anak jalanan? Sebuah aksioma dalam teori hukum adalah; secepat apapun kejahatan berlari, kebenaran akan segera mengejarnya. Negara mempunyai kewajiban dalam hal keadilan dan kemakmuran.

Kalau negara tidak bisa menyelesaikan masalah, bubarkan saja. Ada dua teori hukum yang bisa dimanfaatkan untuk membubarkan negara. Pertama, bikin skenario supaya presiden dan wakil presiden sama-sama berada dalam keadaan berhalangan tetap. Triumvirat (terdiri dari Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pertahanan) akan mengurus negara selama presiden dan wakil presiden berhalangan tetap, menjadi tidak ada lagi. Karena MPR bukan lagi lembaga tertinggi, tidak ada yang bisa dilakukannya. Teori kedua adalah ada bencana alam yang sangat besar sehingga KPU tidak bisa melaksanakan tugasnya menyelenggarakan pemilu. Dulu masa jabatan presiden bisa diperpanjang oleh MPR, tapi tidak dengan sekarang. Jika terjadi, akan terjadi kekosongan dalam jabatan presiden. Dua teori ini tidak ada jawabannya di undang-undang.”

Andri Dwi menambahkan, “Ada satu ungkapan dalam budaya Jawa, negara mawa tata, desa mawa cara. Dulu di lingkup desa, orang yang melakukan kesalahan cukup di-rembug di antara mereka, selesai. Sedangkan sekarang polisi dan pers mengintervensi semua itu sehingga menjadi runyam. Dimensi-dimensi hukum positif selama ini tidak ada keterkaitan dengan hukum adat.”

“Barangsiapa menegakkan hukum dengan menyandarkan pada pasal-pasal hukum, dia akan hancur.”

Emha Ainun Nadjib

HUKUM DAN PROBABILITAS

Lewat tengah malam, Cak Nun memasuki forum. Bersama beliau ada Syekh Nursamad Kamba dan Habib Anis Ba’asyin. Cak Nun memulai awalan uraiannya, “Ada sangat luas, sangat banyak, dan sangat dalam pada bahasan malam ini. Sebagian bisa dirumuskan, ditulis, dan digambar, tapi kebanyakan justru tidak bisa. Misalkan tadi ada kesimpulan bahwa kita mengatur hidup kita dengan klausul-klausul yang bukan merupakan kontinuasi dari diri kita sendiri. Kita tiba-tiba dijadikan hamba sahaya pada hukum-hukum kolonial. Kita tidak pernah punya kontinuasi terhadap ilmu-ilmu yang pernah kita miliki. Kita tidak pernah menghormati diri kita sendiri.”

“Coba cari di wilayah mana anda masih berdaulat atas diri anda. Di bidang mana kita masih diri kita? Ketika anda potong rambut, membeli pakaian, mandi, itu output dari kedaulatan anda ataukah diatur oleh mode? Dalam bidang pendidikan? Orang Barat baru dua abad kenal pluralisme dan sekarang kita digiring untuk belajar pada mereka. Televisi kita isinya ketidakpercayaan diri yang luar biasa dan tontonan kebudayaan-kebudayaan miskin. Stasiun-stasiun televisi takut channel-nya diganti, sehingga dia sangat patuh kepada tuhan AC Nielsen, menetapkan rating sebagai kiblat. Bidang pertanian? Apakah kita kontinyu atau kita justru menjadi anak bawang dari orang yang tidak pernah punya pengalaman dengan singkal, galeng, garu? Bahkan cara beragama kita pun diajari oleh orang-orang Barat.

Nagarawan adalah darah yang muncrat dari naga Nemburnawa yang menyerang Bima, memenuhi langit dan menyebar ke diri anda. Anda adalah hamba sahaya dari nagarawannagarawan. Anda sedang berjuang untuk mampu menjadi Bima. Mengamandemen undang-undang untuk memperbaiki keadaan itu seperti orang-orang di dalam bui yang kebingungan mencari siapa yang kentut. Wong yang nggak bener pemerintahnya. Berapa kira-kira jumlah pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan di Indonesia? Ratusan, ribuan, atau ratusan ribu? Biji catur yang ada 32 saja memiliki 114 juta probabilitas perbenturan. Bagaimana dengan 200 juta biji catur? Ada berapa probabilitasnya? Butuh berapa pasal hukum untuk mengaturnya? Barangsiapa menegakkan hukum dengan manyandarkan pada pasal-pasal hukum, dia akan hancur. Hakim datang ke pengadilan seharusnya yang dibawa bukanlah pasal-pasal, karena pasal hukum harus sudah jelas. Hakim datang membawa akal sehat dan nurani.

“Bagaimana kamu bisa menyombongkan hukum, lalu muncul kata supremasi hukum? Mulai hari ini Indonesia harus menghapus kata itu. Kalau Indonesia tidak mau, maka hapuslah dalam pikiran dan hatimu. Hukum hanya tahu ada pencopetan tanpa mengelaborasi mengapa dia bisa sampai nyopet. Hukum itu hanya pagar. Dirikanlah pagar-pagar, tapi jangan penuhi kebunmu dengan pagar. Kapan menanamnya? Hukum itu kita perlukan pada maqam-nya, pada koordinatnya.”

Salah satu kecurangan dalam teori hukum adalah ketika pengadilan menyatakan bahwa gugatan si A terhadap si B ditolak, pihak penggugat tidak lantas berposisi salah. Padahal ketika ada yang benar, pihak yang melawannya adalah pihak yang salah. Seharusnya gugatan berlaku juga untuk si penggugat dalam kadar yang persis sama. Tapi tidak demikian yang terjadi di Indonesia. Ketika pun hukum mampu sekonsisten itu, tetap tidak akan cukup untuk mengatur kehidupan manusia. Sebagai pembanding, di Jerman, tidak memerlukan Camat untuk menandatangani KTP, karena undang-undangnya jelas. Legalitas terletak pada undang-undang, bukan pada siapa yang menandatanganinya.

Cak Nun menanyakan pada Jansen di mana letak kata-kata konstitusi yang menunjukkan bahwa Indonesia ada, yang menyebut negara sudah berdiri. Yang ada hanya pernyataan kemerdekaan dari Jepang. Kemerdekaan adalah perceraian, bukan perkawinan. Kemudian ada frasa pemindahan kekuasaan. Ini menunjukkan bahwa yang terjadi masih hal yang sama; perbedaan hanya terletak pada obyeknya.

“Dalam kondisi apapun, kita harus tidak kehilangan kejernihan pikir kita dan kebeningan hati kita. Kalau anda bisa melakukannya, anda akan menjadi qoumun akhor.”

Emha Ainun Nadjib

“Ada yang ditugasi untuk menjaga khatulistiwa. Ada yang ditugasi untuk menjaga gunung-gunung berapi. Klenik? Nanti dulu! Kamu pikir kamu tidak dijaga oleh siapa-siapa? Kamu pikir air ketubanmu itu siapa? Padahal tanpa dia kamu tak bisa lahir. Setelah itu lahirlah adi ari-ari-mu. Kenalilah Jibril, Mikail, Israfil, dan Izrail di dalam dirimu. Jangan berpikir bahwa Israfil nggak punya kerjaan sampai kiamat tiba. Mereka semua ada dalam dirimu.

“Untuk segala sesuatu terkait spiritualitasmu, kirimkan Al-Fatihah untuk Jibril. Untuk kesehatan dan kelancaran metabolisme, kirimkan Al-Fatihah untuk Mikail. Untuk sunnah jasadmu, kirimkan Al-Fatihah untuk Israfil. Nanti Izrail-lah yang akan menemani peralihanmu dari dunia yang sekarang ke alam berikutnya.

“Malaikat adalah makhluk-makhluk yang pasti akan men-support anda dalam melakukan perubahan-perubahan. Kesalahan-kesalahan yang terjadi adalah karena anda tidak diatur oleh diri anda sendiri. Aturan bukan hanya hukum, melainkan juga cara berpikirmu terhadap agama.

“Fatwa saya adalah: anda mungkin saja akan mengalami peradaban atau apapun yang anda akan lebih tidak suka lagi daripada yang terjadi sekarang. Bisakah anda bersama saya berdiri di antara sesuatu yang tidak kita suka tanpa terkontaminasi oleh darah nagarawan yang muncrat memenuhi langit? Dalam kondisi apapun, kita harus tidak kehilangan kejernihan pikir kita dan kebeningan hati kita. Kalau anda bisa melakukannya, anda akan menjadi qoumun akhor. Anda akan memasuki abad spiritual.

“Saya ingin memusatkan diri pada pertapaan anda di dalam hati anda. Apapun yang terjadi, teruskan aktivitas anda tapi dengan satu syarat: kekhusyukan hatimu pada sejatinya hidup. Hati yang bertapa adalah hati yang tidak bisa diintimidasi oleh kesedihan, oleh kekecewaan, dan oleh apapun. Kamu tidak bisa dibikin sedih oleh Indonesia, karena hatimu jauh lebih luas daripada Indonesia. Kamu tidak perlu berontak, karena orang yang berontak adalah orang yang kalah. Jangan melupakan bayimu. Begitu engkau memasuki aliran dan menidakkan aliran yang lain, engkau sedang selangkah berlari dari bayimu.”

Cak Nun juga sampaikan, bahwa ada beda sangat jauh antara intelektualitas dengan intelektualisme, antara sekularisasi dengan sekularisme, antara pluralitas dan pluralisme. Pluralitas itu kesadaran, sedangkan pluralisme sudah terbakukan menjadi paham. Manusia tidak boleh memilikinya, karena ia adalah ideologi Allah.

“Kamu tidak bisa dibikin sedih oleh Indonesia, karena hatimu jauh lebih luas daripada Indonesia. Kamu tidak perlu berontak, karena orang yang berontak adalah orang yang kalah.”

Emha Ainun Nadjib

Atas pertanyaan dari Cak Nun mengenai jarak antara Islamnya Rasulullah dengan Islam kita sekarang, Syekh Nurshamad menjelaskan bahwa sepanjang 15 abad itu, Islam yang dibawa Rasulullah telah mengalami penambahan dan pertentangan. Jika menggunakan ukuran Islam Rasulullah, bangsa nusantara dengan seluruh tata nilai, karakter, sikap hidup, dan moralitasnya sangat Islam bahkan sejak sebelum datangnya agama Islam.

“Di masa-masa Rasulullah tidak ada ilmu-ilmu Islam. Orang belajar kepada Rasulullah dan mengikutinya. Penafsiran-penafsiran adalah kebutuhan untuk memahami. Tidak ada penafsiran yang baku, karena dia harus dinamis dan mengikuti perkembangan zaman.

“Tauhid adalah mengintegralkan seluruh potensi dalam dirimu untuk bisa mengarah ke penemuan atas dirimu sendiri sehingga muncul kepercayaan diri. Kepercayaan diri supaya tidak menyembah apapun yang selain Allah, termasuk menyembah ibadah-ibadah kita. Maiyah mengajarkan ketenangan dalam menjalani hidup. Dan orang-orang seperti inilah yang akan diberi kepercayaan oleh Allah untuk mengkhalifahi bumi Nusantara.

“Al-Quran itu bukan kitab hukum, melainkan kitab petunjuk. Sebuah kekeliruan jika kemudian muncul hukum Islam. Yang ada adalah petunjuk dalam menciptakan pagar-pagar.

Cak Nun menambahkan, “Yang perlu kita garis bawahi dari uraian Syekh Nurshamad adalah: mungkin kita sudah memberhalakan Islam. Salat menjadi tujuan kita, bukan lagi jalan. Sekarang mari kita ke Habib Anis Ba’asyin. Kang Anis ini aktivis sosial, yang selalu duduk dan berdiri di tengah permasalahan yang ada di Pati. Dia punya interval menarik tentang fakta-fakta.”

“Tauhid adalah mengintegralkan seluruh potensi dalam dirimu untuk bisa mengarah ke penemuan atas dirimu sendiri sehingga muncul kepercayaan diri.”

Nurshamad Kamba

nagarawan2

MENJADI DEWA RUCI ATAU DURNA

Habib Anis memulai paparannya dengan cerita Dewa Ruci, “Bima adalah musuh potensial dari Kurawa. Durna yang berpihak pada Kurawa mencari cara untuk membunuhnya. Ketika Bima bertanya tentang kesejatian diri, Durna menyesatkan Bima dengan menyuruhnya ke laut—niatnya bukan supaya Bima bertemu kesejatian melainkan agar dia menemui ajalnya di sana. Maka jangan percaya pada guru. Guru itu sistem, bisa agama, bisa ajaran apapun. Jangan menganggap agama itu sebagai kendaraan, yang tanpanya kita tidak bisa sampai ke tujuan. Kitalah kendaraannya. Dalam ajaran yang salah pun anda bisa menemukan kebenaran itu.

“Pelajaran terbesar dari kisah Dewa Ruci adalah kebenaran akan anda temukan ketika anda punya kesucian hati untuk menuju kesejatian. Kendaraan memang penting, tapi yang utama adalah salik-nya, pejalannya.”

Setelah bergantian antara Syekh Nurshamad Kamba dan Habib Anis, Cak Nun menjahit benang merah antara keduanya, “Kita belajar sangat banyak dari Syekh Nursamad, dari Kang Anis. Anda, Indonesia, adalah Bima yang sedang disesatkan oleh sistem globalnya Durna. Mau tidak mau anda adalah Bima yang sudah dicampakkan ke laut. Menurut ilmu linier anda akan mati, tapi tidak, selama ada pertolongan dari Allah, selama kita berangkat dari kesucian hati, selama ada syafaat. Maka dari itu kita salawatanbukan hanya dengan lirik-lirik salawat tapi juga dengan mengingat Muhammad terus-menerus dalam kehidupan sehari-hari kita—itu seperti kita bayar asuransi, yang jaminannya adalah Muhammad sendiri.

“Dalam hal ini, Allah memiliki dua rumus. Pertama, Dia tidak akan mengazab dan mencelakai siapapun yang Rasulullah bersamanya. Kedua, Allah mempersilahkan manusia untuk datang kepada-Nya meskipun dosa-dosanya setumpuk gunung dan seluas lautan, karena kasih-sayang Allah jauh lebih besar dari semua itu. Allah pun tergantung dari sisi pandang kita. Hidup ini sisinya tak terbatas, karena ia berupa lingkaran. Hidup tak terhingga sudutnya, tak terhingga kenyataan-kenyataannya.

“Durna tidak sepenuhnya salah, karena ia adalah orang yang dicurangi Kresna. Durna tidak pernah membunuh Ekalaya. Dia menjadi korban yang dituduh karena Kresna sengaja meninggalkan senjata Durna di atas mayat Ekalaya.

“Indonesia mendapatkan penyesatan Durna tidak sampai kadar fisik seperti yang dialami Iraq, Libya, dan Mesir. Mesir saat ini sedang sangat bergolak dalam memutuskan apakah akan memilih Dewa Ruci ataukah Durna. Mekkah dan Madinah sudah sukses di-Durna-i, bahkan sudah menjadi jari-jarinya Durna. Misi utama Durna di Arab Saudi adalah menjauhkan hati orang Islam dari cintanya kepada Allah dan Rasulullah. Maka kemudian situs-situs Rasulullah dan keluarganya dijauhkan, Kabah dijadikan sangat kecil dengan bertebarannya hotel-hotel mewah di sekelilingnya. Ketika kita menangis-nangis di depan makam Rasulullah, kita lantas di-bidah-bidah-kan.”

“Hidup ini sisinya tak terbatas, karena ia berupa lingkaran. Hidup tak terhingga sudutnya, tak terhingga kenyataan-kenyataannya.”

Emha Ainun Nadjib

PETRUK DADI RATU

Andri Dwi menanggapi uraian Cak Nun dengan mengungkapkan bahwa Sunan Kalijaga membuat tiga gelar wayang, yaitu Kalimasada yang berkonteks struktur atau hakikat, Petruk Dados Ratu yang berkonteks syariat, dan Dewa Ruci yang merupakan titik temu antara keduanya, ma’rifat. Kisah Bima dalam Dewa Ruci ber-setting pencarian tirta pawitrasari atau air kehidupan. Maka wirid-nya adalah Ya Hayyu Ya Qayyum.

“Selama ini orang salah dalam memahami kisah Petruk Dadi Ratu. Dipikirnya Petruk adalah representasi dari wong cilik yang kemudian naik tingkat sangat mengejutkan menjadi ratu. Dalam konstelasi Semar dengan ketiga anaknya, Bagong dan Gareng merupakan padatan kekuatan jin yang bekerja untuk manusia – dalam kadar dan wilayah yang Allah memperbolehkannya. Gareng adalah filosof, Petruk adalah intelektual, dan Bagong merupakan bayangannya Semar. Semar adalah sosok yang sifatnya integratif horizontal-vertikal.

Petruk Dadi Ratu mengandung pesan bahwa kaum intelektual jangan menjadi Ratu. Jadi menteri atau Dirjen oke, tapi tidak untuk menjadi Presiden. Presiden itu pekerja sekaligus pencinta. Yang jadi presiden haruslah Semar, orang yang integral, yang di dalam dirinya Tuhan dan rakyat menyatu, manunggaling kawula-Gusti.

Pada akhir acara, Cak Nun mengingatkan jamaah dengan pesan: tidak ada Dzat yang mampu merendahkan manusia sedemikian rupa kecuali Allah. Tapi Allah juga selalu mengerjakan jauh lebih banyak. Kita mendekat kepadaNya satu hasta, Allah mendekat satu lengan. Kita menghadapNya dengan berjalan, Allah menemui kita dengan berlari.

Lewat beberapa menit dari jam tiga pagi, Cak Nun mengajak semua yang hadir untuk berdiri dan bersalawat. Setelah itu Ustaz Nurshamad memimpin jamaah untuk berdoa demi kebaikan bersama.