Mukadimah: MANUSIA TADAH HUJAN

 

MUKADIMAH Jamparing asih MARET 2016

Bu Yani menggumam, “Hujan lagi… Hujan lagi… Jemuran kapan keringnya.”

Pak Yono pun menggoda istri tercintanya,“Yang… hujan turun lagi. Di bawah payung hitam kuberlindung.”

“Horeee hujan… Asikk bisa hujan-hujanan sambil mencari keuyeup,” ujar anak mereka tak mau kalah.

 

ITULAH SEPOTONG adegan yang bisa kita jumpai dalam peristiwa HUJAN, salah satu Syariat Sang Pencipta yang belakangan ini hampir setiap hari kita alami di Bumi Para-Hyang-an. Kita semua sudah akrab dengan apa yang disebut hujan. Tetapi sudahkah kita mengakrabi hujan, berbasah kuyup dengan hakikatnya, dan menampung makna-makna yang ditawarkannya? Sudah cukup bermesraankah kita dengan hujan? Bisakah kita bisa menolaknya bagai pawang hujan, mendemonya supaya tidak turun dan jemuran Bu Yani bisa cepat kering?

Hujan, dalam pengertian kebahasaan, adalah kata benda untuk menyebut titik-titik air yang berjatuhan dari udara karena proses kondensasi yang terjadi. Jika kita coba renungi proses hujan itu sendiri, kita jumpai unsur air, udara, dan bumi. Unsur Air bisa dimaknai sebagai data yang dikirimkan, unsur Udara sebagai media transmisinya, dan unsur Bumi sebagai penerima data tersebut.

Namun, pemaknaan tentang hujan amat luas kemungkinannya. Pemakaian istilah hujan acap kali kita jumpai di berbagai aspek kehidupan. Dalam dunia maya, misalnya, dikenal istilah hujan informasi, di mana unsur airnya adalah informasi, unsur anginnya social media atau media online, dan unsur buminya pembaca informasi. Selanjutnya, timbul istilah hujan makian dan hujan pujian. Dalam sastra, hujan terkadang digunakan untuk melambangkan kesedihan dan air mata.

Mari kembali kepada definisi kebahasaan. Hal menarik dari definisi itu adalah pada kata “berjatuhan” yang berarti perpindahan dari titik yang lebih tinggi menuju titik yang lebih rendah. Konsekuensinya, terjadilah hubungan subordinatif, ada yang berposisi lebih tinggi (pemberi/subjek) dan lebih rendah (penerima/objek). Lalu apakah atau siapakah yang lebih rendah itu, yang berperan sebagai penerima, yang menjadi tadah tersebut?

Tadah adalah barang untuk menampung sesuatu. Sesuatu di sini adalah air hujan. Saat hujan datang, kita dapat mengamati fenomena tadah. Ada lubang di jalan yang mendadak menjadi kubangan, parit atau got yang mendadak penuh menjadi ajang kodok berpaduan suara, sumur yang akhirnya tidak kering lagi, sungai yang mengalirkan air hujan dan menjadi kolam renang dadakan bagi anak-anak, telaga bahkan samudera yang menjadi tadah bagi hujan. Dan masih ada tadah terbaik dan sempurna, yang sanggup menampung besarnya gejolak hujan—apa pun jenis hujan nya—yang begitu dahsyatnya dibandingkan yang sudah disebutkan tadi, yaitu Manusia. Manusia, seharusnya, bisa berfungsi sebagai tadah yang aktif, tidak sekadar menjadi objek penerima dinamika hujan—baik ketika volumenya berlebihan dan menimbulkan banjir, ataupun ketika kekurangan sehingga menjadi kekeringan.

Mengapa manusia? Dan mengapa judul #JAMar kali ini subjek-nya adalah manusia, “Manusia Tadah Hujan”, bukan “Baskom Tadah Hujan” atau “Samudera Tadah Hujan”? Mengapa harus manusia, ciptaan-Nya yang dalam Kitab Suci sempat menjadi bahan perbincangan antara Allah dan Malaikat, yang oleh Malaikat dipertanyaan eksistensi nya, pertanggungjawabannya kelak?

Allah sendiri melalui Al-Quran telah memberikan isyarat pentingnya hujan secara maknawi bagi manusia: “Dan sesungguhnya Kami telah mempergilirkan hujan itu di antara manusia supaya mereka mengambil pelajaran (darinya); maka kebanyakan manusia itu tidak mau kecuali mengingkari (nikmat).” (QS. Al-Furqan [25]: 50). Dalam ayat itu terkandung makna tersirat bahwa meski manusia menjadi tadah bagi hujan yang dipergilirkan di antara mereka, manusia diberi posisi aktif, kebebasan untuk memilih antara mengambil pelajaran atau mengingkari nikmat.

Lalu manusia tadah hujan bagaimanakah yang merepresentasikan judul #JAMar kali ini? Apakah unsur indera pada manusia ikut berperan? Apakah ada hubungannya dengan menengadahnya manusia ke langit saat berdoa? Ataukah ada hubungan antara unsur Air di hujan dan unsur Air di diri Manusia?

Mari kita saling berbagi pendapat, menabur cinta, bertukar kisah, dan memperluas cakrawala. Dengan segala kerendahan hati, Jamparing Asih mengundang sadulur sarerea untuk bermaiyah dan melingkar bersama dalam RahmatNYA dengan tema Manusia Tadah Hujan, pada hari Sabtu, 26 Februari 2016 yang akan dimulai pukul 17:00 WIB di Gedung RRI Bandung. Semoga bisa tersingkap pintu-pintu Ilmu dan Hidayah, baik yang tersurat maupun tersirat.

Dihaturanan kasumpinganana.