Mocopat Syafaat Agustus 2013

Sabtu, 17 Agustus 2013, Mocopat Syafaat kembali diselenggarakan di TKIT Alhamdulillah, Kasihan, Bantul. Sehari sebelumnya Toto Rahardjo mengingatkan jamaah untuk mengumpulkan pengalaman peristiwa lebaran masing-masing. Jamaah boleh menilai apakah lebaran itu baik, buruk, meningkat, atau menurun. Bicara lebaran kita juga bisa melihatnya dari berbagai segi. Dari segi intelektualitas kita menilai bagaimana kita memandang peristiwa lebaran; dengan kepandaian atau kebodohan, dengan keluasan pandang atau kesempitan pandang. Dari segi tatanan moral dan mental, apakah dalam mengalaminya ada unsur kepengecutan, keberanian, ketegasan, keragu-raguan, atau sportifitas. Apakah kekayaan membuat kita menjadi lebih berguna atau justru sombong, apakah kemiskinan membuat kita rendah diri, nekat, atau khusyuk menjalani. Pak Toto mengajak jamaah untuk meneropong kaitan lebaran dengan urusan spiritual serta sosial dan kultural.

Berbagai pendapat disampaikan jamaah. Ada yang bercerita bahwa Idul Fitri merupakan akumulasi kebahagiaan sehingga perjuangan-perjuangan selama Ramadhan terbayar. Ada yang mengutip pernyataan Toto Rahardjo bahwa Ramadan itu workshop, pada awalnya kita working, pada akhirnya kita shoping. Kemudian ada yang berpendapat Idul Fitri ternyata juga bisa digunakan beberapa orang untuk melakukan penipuan, misalnya dalam berdagang. Terkait dengan tafsir, ada yang menanyakan apa yang sebenarnya dimaksud dengan lakum dinukum wa liyadin. Ada pula yang berpendapat bahwa momen Idul Fitri banyak digunakan masyarakat untuk berhura-hura dengan petasan di mana-mana, perhiasan baru, baju-baju baru.

Toto Rahardjo dan EH Kertanegara lantas mengomentari beberapa pengalaman yang disampaikan jamaah. Bukan soal pesta itu tidak boleh, tapi masyarakat tidak berkecenderungan bahwa Lebaran itu bukan pesta. Perayaan lebaran ini pun sebenarnya bukan urusan agama, tapi lebih ke urusan kebudayaan meskipun berasal dari peristiwa agama. Pada jaman ini, yang dominan adalah bagaimana misi-misi pasar yang mempengaruhi segala hal terkait dengan cita rasa dan status sosial.

Sebelum masuk ke diskusi berikutnya, Kiai Kanjeng membawakan salah satu lagu yang akan ditampilkan pada Indonesian Jass Festival 30 Agustus mendatang di Istora Senayan. Nothing Compares To You milik Sinead O’Connor, seorang wanita yang tidak bisa menemukan bentuk dirinya sehingga masuk ke dalam gagasan-gagasan original untuk mengidentifikasi dirinya, kegagalannya dalam kehidupan pernikahan dan pertemanan, serta perjalanan hidupnya, semua indah karena dia sedang mencari jati dirinya. Dia sedang memproses Idul Fitrinya.

Inna Kamarie memilih lagu ini karena dia berempati kepada Sinead O’Connor ini, sebab dia mengalami hal serupa. Dia keluar dari Dewi Dewi dan terus mencari. Dia harus selalu minum obat untuk bisa tidur, dan ini terjadi selama bertahun-tahun. Sampai kemudian bertemulah dia dengan Kenduri Cinta dan di sanalah mulai dilihatnya sosok-sosok yang dia cari, seperti melihat dirinya sendiri. Akhirnya sekarang hidupnya menjadi sangat segar dan tidak lagi ketergantungan obat sampai dokternya terheran-heran.

“Kehidupan dunia itu bukan tujuan. Tidak apa-apa kamu sengsara di dunia, tapi kaitkan kesengsaraanmu dengan Allah.”
Emha Ainun Nadjib

Di Maiyah tidak ada formula,” kata Cak Nun. “Yang ada hanya atmosfer itikad baik dan keterbukaan. Yang terbuka bukan hanya antar orang yang di sini, yang terbuka adalah juga seluruh alam semesta, pori-pori dari seluruh hidayah Allah. Kalau anda lihat di film Spiderman, ada manusia pasir. Di situ ada teori transformasi dan deformasi. Sel-sel anda yang berjumlah triliunan bisa menjadi apa saja, tergantung pada apa yang anda prasangkakan. Anda bisa ke masa silam dengan mendeformasi sel-sel, melintasi waktu, kemudian di sana direformasi lagi. Seperti itulah puasa, anda melakukan deformasi untuk reformasi anda.

“Allah menawarkan dialektika kepada manusia. Dia punya takdir dan diberikan-Nya sekian hak kepada manusia untuk menentukan takdirnya sendiri. Baik atau buruk sel-sel kita, terserah pada pikiran kita. Di sinilah kemudian muncul keajaiban-keajaiban kesehatan. Allah berjanji untuk menghidupkan sesuatu yang mati dan mematikan sesuatu yang hidup, dan ini berlaku pada lingkup makro maupun mikro. Tugas kita adalah meneruskannya. Ide Allah dalam penciptaan burung memberi kita gagasan untuk mengkonstruksi pesawat terbang. Kreasi Allah berupa jari-jemari membawa kita pada penemuan alat cengkeram paling efektif.

“Manusia modern baru bertemu dengan gejala-gejala teknologi syaraf, padahal sesungguhnya kalau anda baca Quran dan menganalisisnya, itu telah tergambarkan di sana. Sekarang misalkan saya pakai untuk menjawab pertanyaan tadi mengenai mengurus jenazah non-muslim secara Islam. Kamu mikirnya yang paling benar dan paling sederhana saja. Orang yang sudah mati itu siapa penciptanya? Bagaimana caramu mengantarkannya kepada Allah? Sebusuk apapun jenazah itu, dia kan tetap kepunyaan Allah. Yang baik adalah kamu mengembalikannya kepada Allah dengan cara yang baik. Mendoakan dia kan bagus, perkara Allah akan mengabulkan atau tidak, itu sama sekali bukan hakmu. Tapi Allah kan lebih senang kalau kamu mendoakan dia daripada kamu mengutuk dia. Kalaupun tidak dikabulkan, kamu kan dapat laba karena telah mendoakan makhluk Allah.

“Mengenai makna kalimat lakum dinukum wa liyadin perlu dipahami dulu logika tentang agama. Satu-satunya yang punya hak untuk membuat agama adalah Allah. Lantas apakah mungkin Allah membuat lebih dari satu agama, sementara yang diterima-Nya hanya satu? Jadi, lakum dinukum wa liyadin itu menurut saya bukan berarti saya punya agama sendiri dan kamu punya agama sendiri. Pengertiannya adalah kalau menurutmu itu agama ya silahkan ambil, tapi kalau menurut saya yang namanya agama itu yang begini.

“Sekarang mungkin kita begini: lebaran kita kok malah habis uang lebih banyak, puasa malah makan kita makin banyak. Secara agama, yang ada kan Ramadhan lalu Idul Fitri, sudah. Perkara kemudian ada kreatifitas untuk mudik, berkeliling minta maaf satu sama lain, akhirnya menjadi budaya. Lama-lama kita tidak tahu lagi bahwa itu bukan agama tapi budaya. Ramadan seharusnya merupakan proses restore factory setting. Semua data-data di tiris sampai kamu menjadi sama dengan dulu ketika baru keluar dari pabrik. Sekarang yang terjadi justru sebaliknya. Ketika Ramadan kita malah menambahi kekotoran-kekotoran.

“Bahkan ada ketidaktepatan yang berlangsung dalam masyarakat. Hari Raya yang sesungguhnya adalah Idul Adha yang disebut Ied al-Akbar. Tingkat kualitaslah yang menyebabkab Idul Adha lebih raya daripada Idul Fitri. Idul Adha mengandung cerita mengenai Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail di mana orang tidak hanya mengorbankan harinya untuk tidak makan dan tidak minum, tapi Ismail bersedia mengorbankan hidupnya.

“Kenapa Idul Fitri di sini ribut sekali? Salah satu asumsi saya begini: bahwa orang-orang sepertinya mangkel sama Ramadhan, meskipun mereka tidak mungkin mengakuinya. Maka Idul Fitri menjadi hari pelampiasan karena Ramadhan dipandang sebagai hari penjara. Ini asumsi saya kalau ngomong psikologi budaya. Tapi bagus nggak mangkel sama Ramadan itu? Justru ketika berat dan tidak kita sukai, tapi lalu kita lakukan dengan ikhlas karena Allah yang memerintahkan, di situlah letak kemuliaan.”

“Rasulullah tidak pernah nangis. Beliau menangisi. Nangis itu kecengengan pribadi, sementara menangisi merupakan kasih sayang sosial.”
Emha Ainun Nadjib

September nanti Kiai Kanjeng diundang untuk maiyahan sama Jusuf Kalla dan Menteri Sosial di Jakarta, dengan mengumpulkan semua etnik di Indonesia untuk membangkitkan kembali local wisdom dalam rangka menyembuhkan konflik-konflik horisontal di mana-mana. Ini urusannya sangat panjang. Local wisdom menjadi penting setelah muncul masalah-masalah, tapi strategi konstitusi dan strategi kebudayaan kita sendiri tidak sejak awal mengakomodasi local wisdom. Ini sebenarnya ingin saya omongkan secara resmi: Tsalatsa wa Tsalatsa. Ada tiga gelombang dan tiga gelombang lain dengan perspektif yang berbeda. Kalau saya tanya, kamu orang mana? Orang Lombok atau orang Indonesia? Kalau orang Lombok, terus Indonesianya di mana?”

“Konsep kita tentang Indonesia dan daerah tidak jelas. Idiom yang tepat adalah orang Indonesia Lombok, orang Indonesia Jawa, orang Indonesia Pekalongan, dan seterusnya. Sebab di Indonesia ada Lombok dan ada Jawa, Madura, dan banyak lagi. Bukan pula sebaliknya, orang Lombok Indonesia, karena di Lombok tidak ada yang bukan Indonesia.

“Ini bukan hanya menyangkut identitas, tapi juga kreatifitas dan wujud kebudayaan. Selama ini, ketika orang Jawa ingin menjadi orang modern dia harus meninggalkan Jawa-nya dan menjadi orang Indonesia. Musik Jawa selamanya menjadi musik tradisional, bukan musik modern. Tidak ada inovasi Jawa karena Jawa mandeg di belakang sana. Kita disuruh meninggalkan Jawa kita, sementara Indonesia yang kita tuju juga tidak jelas.

“Ada tiga asal-usul peradaban di dunia ini, yakni Yunani Kuno, Mesir Kuno, dan Nusantara Kuno. Yang kemudian disebut sebagai Indonesia ternyata adalah tiruan-tiruan dari Barat yang asal-usulnya dari Yunani. Sistem bernegara harus demokrasi dengan trias politica-nya, filosofi harus filosofi Yunani, teater harus teater versi Shakespeare. Kita gunakan parameter-parameter Yunani sehingga mau tidak mau kita meninggalkan diri kita sendiri. — Maka ada tiga jenis penduduk Indonesia: pengikut Yunani, pengikut Timur Tengah, dan orang yang sedikit bertahan dengan Nusantaranya. Di dalam diri kita terjadi pergolakan dan pertarungan antara tiga dimensi ini. Filosofi Yunani mengajarkan materialisme, sedangkan filsafat Islam memandang bahwa akhirat nomor satu sementara dunia ini jalannya.

“Mesir Kuno adalah wilayah yang oleh Allah disebut barokna haulahu, wilayah yang diberi berkah. Nabi-nabi diturunkan di situ semua karena masyarakatnya tidak tertolong kalau tidak dengan datangnya Nabi. Jawa Kuno tidak perlu diturunkan Nabi, karena mereka sudah bisa menemukan bermacam formula sebagai upaya menemukan Allah tanpa adanya jalan agama. Manusia Jawa sudah bisa menemukan manunggaling kawula-Gusti, Gusti Allah mboten sare, wolak-waliking jaman. Ini merupakan usaha manusia mencari Tuhan dan harus kita apresiasi.

“Kembali ke Indonesia, Indonesia ini ibarat gado-gado. Untuk bisa menjadi gado-gado yang sehat dan berkualitas, kentang harus dikembangkan benar-benar menjadi kentang yang berkualitas, cabe juga harus cabe beneran, begitu pula bahan-bahan lainnya. Maka jangan malu menjadi orang Jawa karena Indonesia memerlukan kejawaanmu. Jangan seperti sekarang ini yang kalau kita ngomong Jawa, kita disebut Jawa-sentris.”

“Allah berjanji untuk menghidupkan sesuatu yang mati dan mematikan sesuatu yang hidup, dan ini berlaku pada lingkup makro maupun mikro. Tugas kita adalah meneruskannya.”
Emha Ainun Nadjib

Kembali ke topik Idul Fitri atau kembali ke fitrah, menurut Cak Nun, yang pertama perlu dicari adalah apa itu parameter hidup, menjadi orang seperti yang kita inginkan atau seperti yang seharusnya. Maka, salah satu tujuan Maiyah sederhana saja, yaitu memproses diri kita supaya menjadi sebagaimana seharusnya; akalnya, hatinya, moralnya, semua berdasarkan sangkan-paran (asal-usul) nilai hidup. Idul Fitri adalah perjuangan untuk menjadi manusia yang seharusnya sebagaimana yang telah dikonsep oleh Allah.

Berlawanan dengan itu, Idul Fitri kita justru memproses manusia untuk menjadi yang dimaui oleh materialisme. Sebagaimana telah dikatakan oleh EH Kertanegara sebelumnya, yang banyak berperan dalam Ramadan dan Idul Fitri kita adalah industri, sehingga Ramadhan yang seharusnya urusan iktikaf dan tafakur justru diisi dengan guyon, cengengesan, dan hedonisme.

“Ini bukan berarti bahwa anda harus kembali menjadi orang Jawa. Seharusnya kita menjadi sebagaimana yang di-set-up oleh Allah dengan kelengkapan-kelengkapannya. Seperti KiaiKanjeng ini yang merangkum Yunani, Jawa, dan Timur Tengah. Maka kembali ke ungkapan orang Merapi: Jowo digowo, Arab digarap, Barat diruwat. Sekarang ini yang terjadi justru andalah yang diruwat oleh Barat. Semoga anda yang datang ke Maiyah ini betul-betul akan kembali menjadi Idul Fitri tadi, karena anda bisa mengambil keputusan untuk ke sini; berarti memang anda tidak sama dengan arus besar yang sedang berlangsung. Saya tidak mengatakan lebih baik, tapi Insya Allah cenderung lebih ke fitri. Dan ini merupakan sumbangan drastis Maiyah kepada manusia. Maiyah mungkin tidak bisa ndandani Indonesia, tapi paling tidak memproses orang-orang menjadi sebagaimana seharusnya.”


Melanjutkan diskusi, dari Nahdlatul Muhammadiyin ada Bapak Marzuki dan Bapak Kus, menggantikan kehadiran Pak Mustofa W Hasyim yang berhalangan hadir karena istri beliau sedang sakit.

“Tadi telah sangat banyak dibahas oleh Cak Nun, Mas Toto, dan Mas Karta. Kalau kita berangkat dari fakta atau pengalaman yang tadi sudah disampaikan, saya punya pesan bahwa Idul Fitri yang kita tangkap selama ini lebih bersifat physical oriented,” ujar Pak Marzuki. “Ada tiga tahap dalam proses keberagamaan, yakni iman, takwa, dan Islam. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah Idul Fitri kita sampai pada tingkatan iman, takwa, atau bahkan sudah pada tingkat Islam? Sangat mungkin kita masih berada di pinggiran-pinggirannya.”

Kemudian Pak Kus menambahi dengan mengatakan tradisi mudik merupakan realisasi keinginan setiap orang untuk kembali ke kampung halamannya, ke asal-usulnya. Maka mudik menjadi sangat spiritual sifatnya. Juga kesenangan-kesenangan yang kemudian diekspresikan dalam hura-hura, pada dasarnya sangat spiritual. Tindakan-tindakan yang oleh banyak orang mungkin dianggap artifisial ini merupakan tahap awal untuk konsentrasi pada alam malakut – alam kesucian di mana semuanya sejajar karena belum diuji dengan kenyataan-kenyataan.

+

Ketika kemudian dibuka kesempatan untuk bertanya, ada tiga jamaah yang melontarkan pertanyaan. Yang pertama bertanya bagaimana cara untuk lebih memaknai Idul Fitri tanpa meniadakan batas-batas yang semestinya dan bagaimana cara mengambil hikmah dari Idul Fitri. Penanya kedua menyatakan rasa sedihnya melihat muatan yang disiarkan televisi. Ya iklan-iklannya, ya pengajiannya, semua menyetir kita untuk patuh pada industri. Penanya ketiga bertanya apa yang dimaksud dengan “kembali menjadi bayi pada Idul Fitri” dan apakah mungkin kita bisa seperti itu.

Kepada penanya kedua, Cak Nun menjawab, “Saya sangat senang kamu sedih, dan semoga kesedihanmu itu merupakan bagian dari sesuatu yang akan membuat anda mendapat berkah dari Allah. Tapi berkah jangan lantas dibayangkan sebagai sukses di dunia. Ini kesalahan manusia sekarang.  Kelirunya, kita ingin mendapat balasan dari Allah dalam bentuk di dunia ini kita sukses dan menang, karena kita melihat hidup dalam jangkauan yang sangat sebentar ini saja.

“Khusus masalah televisi, saya sudah tidak pernah lama-lama menonton televisi. Adi TV kita ijinkan untuk meliput Mocopat Syafaat sebagaimana Dhoho TV di Kediri. Tapi kalau yang minta TV nasional di Jakarta, saya tidak akan ngasih ijin. Mbok sudah tidak usah ada siaran agama kalau cuma disetir. Urusannya toh bukan benar-benar agama tapi jualan. Tampaknya agama tapi substansinya kapitalisme. Sudah penghancuran dan perusakan saja, supaya orang tidak menyangka itu kebaikan padahal keburukan.

“Hanya ada dua saluran televisi yang saya tonton: Fox dan Kix. Tinju, UFC, di situ masih ada manusia. Mereka adalah para pemberani, dengan aturan yang jelas, setelah berdarah-darah mampu berangkulan. Mereka mampu latihan bersama, tidur sekamar, guyon, tanding, dan pulangnya makan bareng. Yang menang merangkul yang kalah. Mengapa mereka sangat akrab? Mereka punya thariqat yang namanya rasa sakit. Orang yang bertemu dengan Allah dalam rasa sakit, penderitaan, dan kesepian itu lebih dahsyat. Mereka sama-sama merasakan yang paling sakit dari kehidupan. Saya senang karena masih ada manusia di situ.

“Kehidupan dunia itu bukan tujuan. Tidak apa-apa kamu sengsara di dunia, tapi kaitkan kesengsaraanmu dengan Allah. Senang membuatmu kuat dan dekat dengan Allah, susah juga sama. Aturlah senang dan susah, jangan kamu yang diatur oleh senang atau susah itu.

Tentang pertanyaan ketiga, Cak Nun mengatakan bahwa kita harus memahami ruh, struktur psikologi, dan output budaya. Yang dimaksud “menjadi bayi kembali” itu melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Ketika secara alamiah harus menangis, bayi menangis. Bayi itu seperti malaikat, melakukan hanya yang diperintahkan oleh Allah. Standar minimal kita dalam melakukan apapun adalah Allah tidak marah. Syukur-syukur Dia mengijinkan karena memang perbuatan itu baik. Yang paling ideal adalah Idul Fitri, ketika kita melakukan apa yang merupakan perintah Allah. Itulah mengapa kita hanya makan kalau sudah lapar dan berhenti makan sebelum kenyang, karena perintah Allah untuk makan datang bersama dengan rasa lapar. Lapar adalah tanda-tanda sunatullah bahwa kita perlu makan untuk keberlangsungan hidup.

Tentang misuh, bayi itu juga misuh, hanya saja belum memakai bentuk idiom seperti yang digunakan oleh orang dewasa. Tapi peristiwanya sama. Hakikat misuh bukan pada kata-kata yang diucapkan, melainkan pada protes terhadap keadaan yang membuat kita jengkel. Bayi misuh dengan cara menangis ketika lapar, haus, merasa tidak nyaman, dan sebagainya. Komunikasi itu bisa melalui banyak pintu. Misuh itu boleh; yang tidak boleh adalah misuhi. Tabbat yada merupakan contoh ekspresi misuh. Yang penting ada tempatnya masing-masing. Seperti misuh dan misuhi, nangis juga tidak sama dengan nangisi. Rasulullah tidak pernah nangis. Beliau menangisi. Nangis itu kecengengan pribadi, sementara nangisi merupakan kasih sayang sosial. Kita bisa menjadi bayi kembali, meskipun tidak sempurna. Tapi Allah kan tidak menuntut kesempurnaan. Yang penting kamu nglakoni, nanti Aku bantu. Kamu berubahlah, nanti Aku ubah. Kamu berjuang, nanti Aku mudahkan.”

“Kita bisa belajar dari keragaman metode para pribadi khulafaurrasyidin dalam ber-muwajahah dengan kehadiran Allah. Abu Bakar Ash-Shidiq merupakan manusia kultural, Umar bin Khatab merupakan manusia radikal yang butuh benturan-benturan, Utsman bin Affan merupakan manusia timbangan yang perlu menimbang-nimbang. — Saya ngomong ini supaya anda mengenali pribadi anda, anda itu yang mana, atau anda mengalami semuanya. Tapi saya mohonkan kepada Allah supaya mengijinkan kita sampai pada tingkat Sayyidina Ali, tanpa proses, pokoknya beliau tidak bisa melihat, mendengar, merasakan apapun kecuali mendapati Allah.”

“Sayyidina Ali merupakan contoh utama nyawijining titah marang Gustine ora mung liwat tirakat, wiridan, dan kebahagiaan, tapi juga lewat malapetaka. Sampai hari ini pun beliau masih menikmati penderitaan hidupnya. Dan beliau adalah sarjana paling utama setelah Nabi Muhammad. Tidak ada orang yang melebihi pintarnya Sayyidina Ali kecuali Nabi Muhammad sendiri.


Kita sangat beruntung mendapat Ramadan, salat lima waktu, yang merupakan petunjuk teknis untuk kita. Sebelum Rasulullah memang sudah ada inisiatif puasa, tapi bukan puasa Ramadan. Dari Rasulullah sampai sekarang kira-kira 1.400 tahun, dari Rasulullah ke belakang sampai Nabi Adam sekitar 6.000 tahun. Sebelum Nabi Adam, ada manusia-manusia purba yang fosilnya ditemukan di Sangiran, itu usianya 2,5 juta tahun kurang lebih. Bahwa sebelum Nabi Adam, bumi dihuni juga oleh sekian banyak makhluk-makhluk; yang paling awal adalah jin. Maka bumi ini saja usianya sudah sangat panjang.

“Anaknya Nabi Adam dinikahkan dengan siapa? Incest begitu? Ada nggak kemungkinan fakta dan hipotesis yang lain? Nabi Adam kan bukan manusia pertama, tapi khalifah pertama. Ada kemungkinan bahwa ada manusia sisa-sisa dari kemarin yang kemudian besanan dengan Nabi Adam. — Tolong siapa saja yang mendengar ini jangan menuduh kita ngarani, tapi kita orang yang mencari. Ujungnya kita serahkan kepada Allah, tapi kan kita harus mencari sesuatu yang paling logis sejauh akal sehat kita.

“Adam sudah pasti disebut bukan sebagai manusia pertama. Dia khalifah pertama. Menggunakan istilah sekarang, dia manusia hibrida baru. Ada manusia tahap sebelumnya yang belum sempurna software-nya. Yang dimaksud nafsun wahidah adalah ketentuan bahwa ini sudah Windows 3.0; sekarang sudah sampai Windows 8.1. Jangan lupa bahwa yang sebelumnya sudah bisa untuk mengetik. Ini bukan untuk membuktikan mana yang salah, tapi untuk menyadari bahwa pengetahuan kita relatif.— Dalam rentang sangat panjang dari sebelum Adam sampai Rasulullah itu tidak ada yang diberi formula praktis seperti kita. Ini kan sudah sangat dituntun. Gampang banget hidup kita, sebenarnya, tapi sayang kita justru dijajah oleh materialisme Yunani. Indonesia ini sudah keracunan materialisme dalam tingkat sangat tinggi.

“Tapi ya gimana, masyarakat sekarang ini allahu akbar saja sudah jadi materialisme kok, sampai-sampai diiringi perkusi. Perkusi itu kan sangat material, berbeda dengan biola atau seruling. Nabi Daud itu sebutannya seruling. Beliau merupakan komponis yang sangat luar biasa.”

Suatu hari Rasulullah berjalan melewati suatu kampung yang di situ sedang terselenggara pesta pernikahan tanpa musik. Beliau bertanya, “Ini pesta pernikahan atau pemakaman? Apa kalian tidak mencintai kakek kita Daud alaihissalam?” Yang tidak boleh itu musik yang tidak tepat tempatnya, yang mengganggu jalannya ibadah mahdoh, yang destruktif terhadap suasana.

“Ini tadi semua bukan kepastian. Tadi itu diskusi karena Allah sendiri dalam berfirman ada beberapa jenis. Kalau saya menyebutnya ada ayat yang merupakan perintah atau ajaran, ada yang berupa informasi, dan ada yang sifatnya memancing diskusi atau pemikiran. Ada banyak hal-hal yang Allah tidak mau menjelaskan secara tuntas justru agar terangsang perjuangan pemikiran manusia. Contohnya ashabul kahfi itu berapa jumlahnya, Nabi Khidir itu sudah meninggal atau belum, dan poligami.

“Tapi sekarang terlanjur, poligami sudah dianggap sebagai bagian dari syariat Islam. Saya bukannya melarang, tapi Allah secara dinamis mengajakmu diskusi. Dulu orang Arab banyak mengeksploitasi anak yatim secara ekonomi dengan menikahinya, bisa sampai 300 istri. Allah membatasi hanya boleh sampai 4, dan ini sudah radikal sekali. Tapi itupun setelah mengatakan pembatasan itu, Allah memberikan anak kalimat, bahwa kalau kamu takut tidak bisa berbuat adil, satu saja. Tapi reaksi mental orang kan berbeda-beda. Sebagian sangat percaya diri bisa berbuat adil. Jarang manusia yang bisa memiliki kesadaran pribadi bahwa itu berarti Allah sedang memberi tahu kalau manusia tidak bisa berbuat adil.

Yang paling bisa dieksploitasi pada agama adalah ketika manusia beragama hanya pada lahiriahnya saja, padahal yang sesungguhnya harus ditempuh oleh manusia adalah kualitas-kualitas menuju tauhid.

Karena masih ada sedikit waktu, diberikan kesempatan untuk yang masih ingin bertanya. Pertanyaannya: “Mengapa manusia selalu beribadah di tempat-tempat yang diyakini suci supaya terkabul; kenapa tidak berdoa di Sarkem atau Doli, misalnya?

Cak Nun menjawab: “Kiai Kanjeng ke Doli itu bukan untuk melestarikan Doli, bukan untuk bersyukur bahwa ada Doli. Urusan kami adalah sebagai manusia bareng-bareng saling menolong menuju keselamatan. Kiai Kanjeng ke Doli untuk mengajak mereka berhitung, kira-kira masih laku berapa tahun ke depan, apakah tahun depan harga mereka akan naik atau turun. Kalau mereka sudah berhitung, kenapa tidak sejak sekarang berpikir untuk belajar keterampilan, ngumpulin modal, supaya bisa mempertahankan hidup berikutnya. Kami berkali-kali ke Doli dan selalu sehabis acara banyak sekali mereka yang berkonsultasi dan bertekad keluar. Banyak sekali dari mereka yang sudah berhasil mendapatkan pekerjaan baru. Insya Allah malam ini Doli dibubarkan dengan perhitungan-perhitungan; semua yang berkaitan dipandu untuk kehidupan yang lebih baik. Sudah ada kesepakatan dengan walikota Surabaya mengenai ini.

“Dalam proses itu pasti ada yang tidak rela satu atau dua. Sebab itu, kami memandu bukan hanya pelacurnya, tapi juga satpamnya, penjual-penjual di sana. Semua kan terkait secara ekonomi satu sama lain. Dan alhamdulillah selama ini kami ke sana tidak ada yang marah. Potensi marah itu bisa ada karena mereka dalam sehari bisa mendapat 12 orang. Tapi mereka tidak marah KiaiKanjeng datang. Yang jadi tempat transit pun wisma termewah di sana. Insya Allah Doli akan ditutup secara santun dan rasional, bukan dengan kekuasaan. Bu Risma sudah kami pandu beneran untuk menolong mereka, bukan untuk mengharam-haramkan mereka. Niat kami ke sana bukan untuk dakwah dalam pengertian mengajari bahwa itu haram, karena mereka sudah tahu bahwa apa yang mereka lakukan itu tidak baik. Yang kami niatkan adalah menolong manusia karena kami pun perlu ditolong. Kalau kemudian pertolongan itu diartikan sebagai dakwah, ya monggo.

“Kita lakukan apa yang bisa kita lakukan. Minimum orang Maiyah menjadi orang yang seharusnya; didekatkan ke titik itu oleh Allah. Saya memperbanyak jumlah orang yang kondusif untuk masa depan. Syukur-syukur gara-gara anda setia begini, Allah menolong Indonesia. Ini sangat bisa dan sangat logis. Orang-orang Maiyah tidak butuh hiburan karena anda tidak kesepian. Anda tidak butuh berfoya-foya karena anda bukan orang miskin. Semoga bulan depan kita mendapat sesuatu yang baru lagi yang memperbaiki kualitas hidup kita dan memperkuat sel-sel tubuh kita.”

Untuk mengakhiri maiyahan Mocopat Syafaat kali ini, Cak Nun meminta jamaah untuk berdiri, berdoa bersama.

[Teks: Ratri Dian Ariani]