Majelis Ilmi Sajaroh PadhangMbulan

Reportase PadhangmBulan April 2015

Padhangmbulan edisi April 2015 ini terasa ‘teduh’ dari biasanya, karena tempat berlangsungnya majelis ilmu malam itu bergeser ke sebelah timur pendopo Sentono Arum dan tepat berada di bawah pepohonan jati.

Kyai Muzammil sampaikan pada awal acara, bahwa jangan dikira pepohonan itu tidak mendengar atau memahami yang kita bicarakan. Menurut Ibnu ‘Arobi, alam semesta ini lebih pintar daripada manusia. Adapun dalil yang digunakan Ibnu Arabi dengan pendapatnya itu adalah Alquran Surat Al-Ahzab ayat 72. Dalam ayat itu kita mengetahui bahwa makhluk-makhluk Allah seperti seluruh langit dan gunung-gunung tidak bersedia menerima amanah yang ditawarkan kepada mereka. Maka dipikullah amanah itu oleh manusia, dan di ayat itu disebutkan bahwa manusia itu banyak yang berbuat zalim dan amat bodoh. Langit, bumi, gunung dan semua makhluk menolak amanah Allah, menunjukkan bahwa mereka lebih ‘pinter’ daripada manusia, karena bisa saja mereka sudah mengukur bahwa amanah itu sangat berat dipikul. Kebanyakan manusia sekarang justru mencari-cari amanah dengan berbagai cara; menyebar gambar baliho, mengirim SMS berantai, bahkan mendirikan partai amanah.

Dalam bahasa Arab, pohon adalah sajaroh. Berkumpul disamping berhadapan dengan pohon atau sajaroh, juga seyogyanya kita belajar sejarah. Allah memberi perumpamaan dalam Alquran, bahwa kalimah toyyibah atau kalimat yang baik adalah kasajarotin toyyibatin — ibarat pohon yang baik yakni akarnya menghujam ke bumi dan batangnya menjulang ke langit. Kita akan menjadi bangsa yang kokoh dan kuat kalau belajar pada sejarah. Jejak kehidupan di masa lampau itu sangat penting untuk dijadikan pedoman hidup kita.

PESAN DIBALIK JASAD FIRAUN

Kembali Kyai Muzammil menjelaskan tentang penyebutan nama Nabi Muhammad yang ‘hanya’ disebut tiga kali dalam Alquran; wama muhammadun ilaa rasul, wama kana muhammadun ab’ahadin mirrijaali dan muhammadurrasulullah. Sementara nama Firaun disebut dalam Alquran berpuluh-puluh kali. Alquran sebagai huda linnas (petunjuk manusia), lantas mengapa justru nama Firaun yang lebih banyak disebut dalam Alquran?

Menurut Kyai Muzammil, Alquran salah satu fungsinya untuk mengingatkan, tokoh yang buruk perlu ditampilkan agar menjadi pelajaran bagi generasi selanjutnya. “Kalau Cak Nun menyebut ‘asu kuwi‘, maksudnya apa? Biar mengingatkan kita supaya tidak seperti hewan. Jadi boleh kalau membuat patung asu di rumah, supaya tiap pagi ketika keluar rumah bisa berkaca saya dan anjing ini lebih bagus mana,” jelas Kyai Muzammil.

Belia menambahkan, “Ibnu Arobi, suatu ketika keluar dengan baju jelek dan kotor, akhirnya semua orang pun mencelanya. Katanya orang sufi, tetapi pakaian najis dipakai. Padahal bisa mengandung banyak makna dibalik penampilannya itu, bisa jadi beliau ingin menyampaikan suatu pesan. Kenapa Alquran banyak menampilkan Firaun? Karena ada pesan didalamnya. Kalau kita meniru Firaun, akibatnya seperti apa di akhir hayatnya nanti. Selain nama Firaun disebut berkali-kali oleh Allah, jasad Firaun juga diabadikan oleh Allah. Orang-orang Mesir hanya sebagai alat (media) Allah untuk mengabadikan tubuh Firaun. Dalam Alquran jelas dikatakan al-yauma nunajika bibadanika kaitakuna ayatal lil akhirin — hari ini saya awetkan badanmu supaya kamu menjadi pelajaran bagi orang-orang yang akan hidup sesudah kamu. Jadi orang-orang tahu siapa Firaun, perilakunya seperti apa, sejarah hidupnya seperti apa, kiprahnya seperti apa.

“Firaun perlu dipelajari untuk tidak ditiru. Sebagai orang Islam seharusnya tidak melupakan sejarah, karena mempelajari sejarah merupakan anjuran dari Alquran. Alquran hampir 80% isinya tentang sejarah umat masa lampau. Nasab itu juga bagian dari sejarah. Sampean harus tahu orang tua sampean, kakek sampean, kalau perlu harus tahu leluhur sampean, bukan untuk kebanggaan tetapi jangan sampai kita menjadi manusia yang kehilangan sejarahnya.

“Dalam Islam pun nasab juga penting, ketika orang mau menikah nasab menjadi perkara penting. Dalam hadist dikatakan: tunkanhul mar’ati lil arba’ain — wanita itu dinikahi karena empat perkara. Yang pertama karena li jamaliha (kecantikannya), kedua li hasabiha (keturunannya), jadi bebet ini penting. Ketiga karena li maaliha (hartanya), yang keempat fadhfarbidzatiddin taribat yadaku, yang utama adalah carilah wanita yang kuat agamanya supaya kamu beruntung.” tutup Kyai Muzammil mengakhiri mukaddimah malam itu.

Cak Yus sebagai moderator lalu mempersilahkan Mas Zainul, vokalis Kiai Kanjeng, untuk mengajak para jamaah melantunkan Kullama Nadayta Ya Hu bersama sebelum Cak Fuad me-wedhar ilmunya.

Allah, Allah.. Allah, Allah..
Malanaa mawlan siwallah..
Kullama nadayta ya hu
Qola ya ‘abdi anallah…

“Ibarat pohon yang baik yakni akarnya menghujam ke bumi dan batangnya menjulang ke langit. Kita akan menjadi bangsa yang kokoh dan kuat kalau belajar pada sejarah.”
Kyai Muzammil

TADABBUR AYAT ALLAH TENTANG ETIKA

Cak Fuad selanjutnya melanjutkan majelis ilmu Maiyah malam itu, beliau mengambil tema tadabbur ayat-ayat Allah tentang tata cara pergaulan (etika sosial) di tengah masyarakat. Hal ini menjadi perhatian beliau, sebab masih diperlukan adanya kesadaran betapa jauhnya kita dari tuntunan Allah SWT.

Sebelumnya, Cak Fuad menggarisbawahi apa yang telah disampaikan oleh Kyai Muzamil tentang Firaun—dia disebut berkali-kali dalam Alquran. Bahkan dalam satu ayat pendek—QS. Hud ayat 96—nama Firaun disebut sampai tiga kali, dan diselamatkan dan diawetkannya jasad Firaun juga telah disampaikan melalui QS. Yunus ayat 92. Jasad Firaun yang “diselamatkan” adalah jasad saat meninggalnya di Laut Merah ketika mengejar Nabi Musa, yang baru ditemukan tahun 1898 M. Jasadnya masih terjaga setelah beribu-ribu tahun tenggelam. Ayat ini menyebabkan Prof. Dr. Maurice Bucaille masuk Islam. Maurice Bucaille merupakan seorang ahli yang telah meneliti jasad Firaun bertahun-tahun. Yang menjadi pertanyaan Prof. Maurice adalah bagaimana bisa jasad yang telah tenggelam ribuan tahun masih utuh dan tidak rusak. Berhari-hari beliau tidak tidur, memikirkan bagaimana mungkin di dalam Alquran diceritakan tenggelamnya Firaun dan menjamin jasadnya utuh, sementara jasad Firaun baru ditemukan ratusan tahun setelah Alquran diturunkan.

Fal yauma nunajika bibadanika (pada hari ini Aku selamatkan kamu dengan badanmu), Litakuna liman kholfaka ayata (agar menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudah kamu), Wa inna katsiro minannasi ‘an ayatina laghofilun (dan sungguh kebanyakan manusia itu lalai terhadap ayat-ayat Allah, terhadap berbagai bukti yang ditunjukkan oleh Allah kebanyakan manusia itu lalai).

Melalui ayat tersebut Dr. Maurice mempercayai kesucian Alquran. Beliau kemudian banyak melakukan penelitian tentang Alquran.

“Kalau kita menerima suatu berita dari orang yang belum jelas asal-usulnya maka kita harus ber-tabayyun.”
Cak Fuad

Cak Fuad melanjutkan, mengenai pokok bahasan yaitu perintah Alquran supaya kita melakukan tadabbur (pendalaman untuk memahami) ayat-ayatnya khususnya mengenai petunjuk dalam beretika sosial. Beliau mengutip QS. Hujurat ayat ke-6: Yaa ayyuhal ladzina amanu inja akum fasikun binaba-in fatabayyanu antusibu qouman bijahalatin fatusbikhu ‘ala ma fa’altum nadimin — apabila ada orang fasik yang membawa berita maka lakukanlah penelitian dan penyelidikan terhadap berita itu. Sehingga kalau kita menerima suatu berita dari orang yang belum jelas asal-usulnya maka kita harus ber-tabayyun. Di era pesatnya perkembangan informasi seperti sekarang, dengan mudahnya kita menuduh orang lain melalui informasi yang kita baca dan kita dengar meski belum jelas kebenarannya.

Asal usul diturunkannya ayat tersebut adalah ketika ada sahabat Rasul yang diutus untuk mengumpulkan pembayaran zakat di perkampungan bani Tamim. Sore hari ketika berangkat di pintu desa bani Tamim itu terlihat kerumunan orang banyak. Kemudian utusan Rasul ini serta merta mengambil kesimpulan bahwa orang-orang di bani Tamim menghadangnya karena tidak mau membayar zakat, maka beliau kembali ke Madinah dan lapor kepada para sahabat. Sahabat Nabi yang mendengar ini marah, namun Rasul segera datang dan kedatangannya ini turunlah Surat Al-Hujurat ayat ke-6 tadi. Jika ayat tersebut tidak turun dan Rasulullah tidak datang, maka akan terjadi perang.

Dalam lanjutan ayat 6: antusibu qouman bijahalatin fatushbihu ‘ala mafa’altum nadhimin  kalau kamu tidak melakukan tabayyun terhadap suatu berita maka kamu bisa melakukan suatu tindakan yang membahayakan orang lain karena ketidaktahuanmu. Poin pertama dari akhlak sosial adalah berhati-hati dalam menerima berita.

Kemudian ayat berikutnya pada QS Al-Hujurat ayat 9: wainthoifatani mina al-mukminina uqtatalu faashlikhu bainahuma fainbaghots ikhdahuma ‘ala al-ukhro faqotilu al-lati tabghi khattatafi a-ilaa amrillah, fainfaat faashlikhu bainahuma bil’adli fa’aqsithu innallaha yuhibbu al-muqsithin. 

Wainthoifatani, apabila terjadi dua kelompok orang-orang beriman saling berselisih (iqtatalu), maka damaikanlah (faashlikhu bainahuma). Memang benar dalam proses pendamaian ini harus dicari mana yang benar dan mana yang salah, tetapi tidak mudah dalam melakukan suatu keputusan. Maka dasar yang perlu dilakukan adalah kemauan untuk melakukan islah (usaha pendamaian) terlebih dulu. Ketika proses pendamaian boleh saja berbohong dengan niatan ingin mendamaikan kedua belah pihak, dengan niatan ingin me-mukaddimah-i pendamaian. Perselisihan diantara kaum muslim ini sama halnya dengan perselisihan dalam keluarga, tidak mutlak mana yang benar dan mana yang salah.

Maka digunakan dua pendekatan, yakni al-adlu dan al-qisthu. Al-adlu ini adil secara umum, kalau al-qisthu keadilannya lebih kongkret. Seperti ketika menimbang (timbangan), kita menggunakan istilah al-qisthu. Al-adlu itu tidak selalu sama, sementara al-qisthu selalu sama takarannya. Al-adlu ini lebih luas. Jadi etika kedua ketika terjadi perselisihan diantara dua orang, yang harus kita lakukan adalah islah bukan memperuncing permusuhan.

“Poin pertama dari akhlak sosial adalah berhati-hati dalam menerima berita.”
Cak Fuad

Dalam ayat Q.S Al-Hujurat ayat 10: innama al-mukminuna ikhwatun faaslikhu baina akhowaikum, wa at-taqullaha la’allakum turhamun — sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, maka damaikanlah diantara saudaramu yang berselisih, dan takutlah kepada Allah (wa at-taqullaha) semoga dari pendamaian itu kamu mendapatkan rahmat dari Allah. Jadi, setiap kita melakukan perdamaian maka akan mendapat rahmat, sementara kalau kita memperuncing perselisihan akan mendapatkan musibah.

Pada ayat berikutnya, ayat 11: yaa ayyuhal ladzina amanu la yaskhor qoumun min qoumin ‘asaa ayyakunu khoiron minhum wala nisaaun min nisaain ‘asaa ayyakunna khoiron minhun, wa la talmizuu anfusakum wa la tanabazu bi alqob, biksa al-ismu al-fusuqu ba’da al-iyamani wa mallam yatub fa-ulaaikaa hum al-dholimun.

La yaskhor qoumun min qoumin — janganlah suatu kaum atau seseorang suka mengolok, mengejek, mencela atau menghina (yaskhor) yang lain. Asaa ayyakunu khoiron minhum — boleh jadi yang dihina lebih baik daripada yang menghina. Wala nisaaun min nisaain ‘asaa ayyakunna — juga kelompok perempuan jangan mengejek kelompok perempuan yang lain. Orang yang mengejek atau mencela orang lain berarti ada suatu kesombongan dalam dirinya, secara tidak langsung dia mengatakan bahwa dia lebih baik dari yang dia cela. Jangan kamu mencela dirimu sendiri (wa la talmizuu anfusakum), menghina orang lain berarti menghina diri sendiri. Jangan saling berlomba dalam memanggil seorang dengan sebutan yang tidak menyenangkan (wa la tanabazu bi alqobi). Apalagi sampai mengkafirkan orang seperti dalam biksa al-ismu al-fusuqu.

Perintah kepada kita yakni jangan mengkafirkan orang lain karena kita sendiri tidak mengerti apa yang ada di hati orang lain dan ketika melihat ada tanda-tanda keimanan meskipun hanya sedikit saja, maka kita tidak boleh menganggapnya sebagai orang kafir. Cak Fuad juga mengutip Imam Ghozali, “Jika dalam diri saudaramu ada 99 tanda kekafiran, sementara ada satu tanda keimanan, maka kamu tidak boleh menyebutnya sebagai orang kafir.” Wa mallam yatub fa-ulaaikaa hum al-dholimun, jika mereka tidak bertobat, maka merekalah orang zalim.

“Etika kedua ketika terjadi perselisihan diantara dua orang, yang harus kita lakukan adalah islah bukan memperuncing permusuhan.”
Cak Fuad

Cak Fuad melanjutkan dengan membacakan hadist dari Sunan Ibnu Majjah,

Hadastana abu bakar ibnu abi syaibah hadastana yazid ibnu harun hadastana abdul malik ibnu qoddamah an ishaq ibn abi al-qurob anil muftari an abi hurairah ibn anqol, qoola rasulullah s.a.w, saya’ti ‘alannasi sununu khitda’atin yushoddaqu fiha al-kadzibu wa yukadzabu fiha shodiqu wayu’tamanu fiha al-khoin wa yukhouwanu fiha al-amin wa yanthiqu fiha ar-ruwaibidlotu qila wama ar-ruwaibidlotu qola ar-rojulu at-tafiqu fii amri al-‘ammati. — Rasulullah bersabda, akan datang pada kalian tahun-tahun penuh dengan kedustaan yang menimpa manusia, orang yang dusta dipercaya, orang yang jujur didustakan, amanat diberikan kepada pengkhianat, sementara orang jujur dikhianati, dan Rasulullah berkata bahwa yang paling banyak bicara itu adalah Ruwaibidloh, lalu sahabat bertanya: Siapa Ruwaibidloh itu? Rasul menjawab: Orang-orang bodoh yang mengurusi perkara orang banyak.

“Sering dijumpai orang yang banyak bicara tetapi tak mengerti permasalahannya. Para pemimpin pun sekarang antara satu dengan yang lain perkataannya saling bertentangan. Mengenai harga BBM naik, alasan para menteri satu dengan yang lainnya juga berbeda dan bertentangan, inilah Ruwaibidloh itu. Dalam sebuah hadist lain, Abdullah Ibnu Amr Ibnu Asy mengatakan bahwa Rasulullah bersabda: Bagaimana denganmu jika berada di tengah kekacauan dan amanat-amanatnya diabaikan kemudian mereka berselisih satu sama lain? Beliau kemudian menyilangkan antara tangannya. Ibnu Umar bertanya: Apa yang akan kau perintahkan padaku ya Rasulullah? Rasulullah kemudian menjawab: Jagalah rumahmu, jagalah keluargamu, jagalah lidahmu, lakukan apa yang kamu tahu saja dan tinggalkan yang mungkar, berhati-hatilah dengan urusanmu sendiri, tinggalkan perkara yang kamu tidak tahu.

“Saya kira ini adalah situasi yang bisa kita lakukan berdasarkan anjuran Rasulullah, jika tidak, kita akan terombang-ambing tidak memiliki pegangan.”

Beliau melanjutkan hadist lain dari Hudzaifah Ibnu al-yaman R.A: Wahai Rasulullah apakah setelah kebaikan akan datang kejahatan? Rasulullah menjawab: Ya, banyak penyeru yang mengajak ke pintu jahanam, maka barang siapa yang mengikutinya, mereka akan dilempar ke dalamnya. Hudzaifah bertanya: Siapakah mereka ya Rasul? Rasul menjawab: Mereka dari golongan kita dan berbicara dengan bahasa kita. Lalu kau suruh apa ketika aku melihatnya ya Rasul?Kabarkanlah kepada jamaah kaum muslimin dan imam mereka.Tetapi jika tidak ada jamaah kaum muslimin dan imamnya bagaimana ya Rasul?Maka jauhilah semua kelompok itu, meskipun akar pohon melilitmu hingga maut menjemputmu dan kau tetap pada keadaan yang seperti itu.


Firman Allah mengatakan: wa tara an-naasa sukara wamahum bisukara — Kamu lihat manusia seperti orang mabuk, padahal mereka tidak mabuk. Allah berkata: wala kina azaballah — itu adalah azab Allah yang besar.

“Kemudian pada hadist seorang sahabat yang bernama Abu Dzaar menyatakan bahwa Rasul pernah memberi wasiat kepada beliau: Wahai Abu Dzar, bagaimana jika kamu berada dalam kekacauan? Abu Dzar menjawab: Saya akan keluar dan membawa pedang untuk membela yang benar. Rasul kemudian menjawab: Tidak, Abu Dzaar, sarungkan pedangmu, masuklah ke kamarmu. Abu Dzar menyela: Bukankah aku harus membela kebenaran dan jika perlu aku akan mati syahid. Rasul mengulang lagi: Tidak, kamu masuklah ke rumahmu dan berbaring di tempat tidurmu. Abu Dzar berkata lagi: Kalau mereka masuk rumah saya bagaimana dan menghunuskan pedang? Rasul menjawab: Jika kamu takut melihat kilatan pedangnya, maka tutuplah matamu dengan selimut sehingga kamu tidak melihat kilatan pedangnya. Abu Dzaar meneruskan: Jika dia ingin membunuhku bagaimana? Bukankah aku harus membela diri. Rasul menjawab: Lebih baik kamu terbunuh daripada menjadi pembunuh.

“Hadist itu tentu membutuhkan kajian yang mendalam dan tidak bisa secara letterlijk pengimplementasiannya, namun ada inti-inti pesan yang disampaikan. Dalam situasi kekacauan, sering kali kita tidak tahu persis siapa yang benar dan siapa yang salah.”

Tentang ISIS pun pengetahuan kita terbatas, dhawuh Cak Fuad. Beliau juga membuat permisalan topik terkini yang sedang hangat, yakni wacana situs atau website Islam yang diblokir dan ada tokoh-tokoh Islam yang mendukung ataupun mengecam. Dalam hal tersebut kebenaran tidak bisa hanya sekedar hitam atau putih. Cak Fuad mengungkapkan harapannya agar kita mampu menyikapi permasalahan sekitar secara tepat dan senantiasa memohon petunjuk kepada Allah.

Forum kemudian dikembalikan kepada Cak Yus, dan mempersilahkan Mas Zainul dan Mbak Nia untuk memberikan penyegaran setelah Cak Fuad me-wedhar bab tadabbur Alquran.

“Jangan mengkafirkan orang lain karena kita sendiri tidak mengerti apa yang ada di hati orang lain.”
Cak Fuad

SEJARAH PERGOLAKAN ERA REFORMASI

Malam itu, Cak Nun menekankan bahwasanya kita harus mulai banyak belajar sejarah, sebagaimana Kyai Muzammil menyebutkan sebelumnya. Diceritakan bahwa Padhangmbulan digelar pertama kali pada 12 Mei 1998. Ketika itu diumumkan bahwa akan ada kejadian besar dan namun tidak ada seorangpun yang percaya. Kemudian tanggal 13 Mei Cak Nun pergi ke Jakarta dan tanggal 14 Mei terjadi penembakan Trisakti, malam harinya Cak Nun sedang berada di rumah dinas Malik Fajar di Jalan Indramayu, Menteng, Jakarta. Waktu itu Cak Nun dan kawan-kawannya melakukan beberapa skenario, dan tanggal 15 Mei terjadi pembakaran-pembakaran, penembakan dan pemenjaraan mahasiswa-mahasiswa yang kemudian meluas hingga ke Solo, Surabaya dan sekitarnya. Tanggal 16 Mei, Cak Nun dan Nurcholis Madjid (Alm.) menulis surat kepada Pak Soeharto, surat itu menyatakan bahwa berdasarkan keadaan sekarang Pak Harto sebaiknya turun dari “singgasana”, dengan merekomendasikan empat macam jalan. Pak Harto bisa memilih dan Cak Nun akan menemani agar tidak terjadi perang.

Tanggal 17 Mei surat itu diantar ke Istana dan diterima Mensesneg Sa’adilla Mursyid, Cak Yus membantu proses secara teknis. Tanggal 18 Mei, Cak Nun dan kawan-kawan melakukan konferensi pers meminta Pak Harto untuk turun, sementara pada waktu itu tidak ada seorang pun yang berani melakukan langkah tersebut. Bada Isya (18 Mei) setelah Pak Harto menerima surat itu, Pak Harto kemudian menelpon Mbak Novia dan Bu Nurcholis Madjid menyatakan bahwa beliau siap untuk turun asalkan ditemani oleh Cak Nun, Cak Nur dan teman-teman yang lain. Pak Harto meminta supaya dilengkapkan sembilan orang, sehingga Gus Dur ikut dilibatkan beserta Pak Malik Fajar. Kesiapan Pak Harto malam itu belum diketahui oleh para wartawan, masyarakat dan para aktivis di Jakarta.

Paginya (19 Mei 1998) Cak Nun beserta kawan-kawannya bertemu Pak Harto secara resmi. Tanggal 21 Mei 1998, Pak Harto secara resmi melakukan pengunduran diri. Tanggal 22 Mei telah ditentukan orang-orang yang mengisi kabinet Reformasi. Dua hari setelah pengunduran diri Pak Harto, Cak Nun, Cak Yus, Cak Dil dan kawan-kawannya melakukan pengunduran diri dan tidak lagi berkaitan dengan segala proses suksesi di Jakarta yang kemudian melakukan gerakan sholawat. Dua tahun sampai tiga tahun kemudian Cak Nun dan kawan-kawannya memperoses agar Gus Dur untuk terpilih menjadi presiden dan Cak Nun juga pertama kali orang yang telah menemani beliau pada saat Gus Dur “dipecat” oelh MPR dan keluar dari istana. Hal ini diceritakan Cak Nun agar kita tidak lupa akan sejarah.

Pada waktu sebelumnya, Cak Nun beserta teman-teman membawa Pak Harto ke Masjid MPR. Tetapi karena pers ngaco, animo para aktivis dan masyarakat yang semrawut, Cak Nun kemudian mengabarkan agar Pak Harto istirahat di rumah. Cak Nun mengatakan kepada wartawan dengan membawakan surat yang ditandatangani Pak Harto. Surat itu berisikan Pak Harto ikhlas turun menjadi presiden dan siap diadili oleh pengadilan negara. Pak Harto pun siap tidak akan ikut campur dalam pemilihan presiden selanjutnya. Namun sampai akhir hayat Pak Harto, tidak ada siapapun yang berani menyentuh Pak Harto.

Cak Nun sampaikan bahwa di Indonesia orang tidak menerima kepeninggalan yang khusnul khotimah, karepe lek wes koyo syetan, ya diteruskan menjadi syetan. Begitu juga fenomena yang terjadi di media sosial seperti Facebook, nek wong elek dielek-elek nemen, nek wong apik diapik-apik nemen. Sehingga kita tidak memiliki kejernihan dan objektivitas.

“Di Republik Indonesia ini orang melangkahkan kaki kemana pun karena adanya kepentingan dan mencari keuntungan, sementara anda datang kesini (Padhangmbulan) tidak untuk mencari keuntungan apapun. Acara ini tidak disponsori oleh siapa-siapa dan sudah berlangsung selama 22 tahun. Anda percaya kebaikan dan anda percaya masa depan, maka anda kesini.”

“Allah menciptakan manusia itu pada dasarnya memiliki ruh yang dikumpulkan dengan orang-orang yang memiliki satu frekuensi. Ruh-ruh manusia ini seperti tentara atau kelompok-kelompok yang berkumpul.”
Cak Fuad

Cak Nun memberikan pesan kepada siswa-siswa SMK dan para jamaah yang tengah mengikuti Padhangmbulan malam itu, “Jadilah manusia Nusantara yang baru, bangunlah dirimu lima tahun sampai sepuluh tahun kedepan karena sebentar lagi dunia yang akan semakin parah dan itu adalah ujian terakhir condrodimuko-mu, kalau kamu lulus, dua periode akan normal lagi dan masuk pada tahun 2024. Disitulah menurut perhitungan Jawa Kala Subo. Kalau cara Lir-ilir, padhang rembulane mumpung jembar kalangane, dondhomi… Sekarang mulailah belajar ndondhomi (menjahit) pikiran dan hati, bukan hatimu didondhomi dengan perutmu. Karena hati meminta tolong pikiran sebagai regulator untuk mengontrol perut dan syahwat.

“Lha sekarang kok kebalikannya, perut yang mengontrol hati. Dondhomono marang jlumatono untuk mempersiapkan 2024-2025 sebo mengko sore. Sebo itu kamu akan menjadi pemimpin baru. Maka yang dilakukan Padhangmbulan dan Maiyah di seluruh Indonesia bukan mencari jabatan, tapi menyiapkan patriot-patriot Nusantara yang baru terutama yang muda-muda. Makanya kamu kesini mencari niat yang benar, akhlak dan disiplin diperbaiki dengan sungguh-sungguh. Kita lakukan perbaikan dan kebangkitan, dondhomono lan jlumatono. Ketika anda sudah siap dan infrastruktur seluruh Indonesia telah siap, anda sudah tidak butuh saya lagi.”

Cak Nun selalu menyampaikan hal-hal yang memberi rasa percaya diri kepada kebaikan. Malam itu beliau sampaikan, penyanyi mana di Indonesia yang mampu bertahan hingga lebih dari 17 tahun seperti Mbak Nia dan Kiai Kanjeng—hingga pagelaran terakhirnya yang lebih dari 3.000 pagelaran. Tujuan Cak Nun menceritakan hal-hal tersebut adalah untuk memberi rasa percaya bahwa kebaikan akan abadi. Kiai Kanjeng akan tetap bertahan meskipun personilnya sudah tua kelak, karena tujuannya membangun suatu komunikasi, silaturrahmi, estetika dan kebudayaan yang tidak mementingkan wajah ayu atau tidak.

Beliau berpesan, “Untuk apa membuat aturan, lapo gawe pager wong gak ono wedhuse. Ketika semua sudah berbuat baik, aturan terletak dalam dirimu. Saya tidak perlu suruh anda salat, karena budaya salat sudah anda pegang dalam keteguhan imanmu. Saya tidak perlu membatasi laki-laki tempatnya disana, perempuan disana. Lha lapo, wong tidak ada perempuan dan laki-laki kok, yang ada adalah orang yang mencari ilmu, mencari berkah, mencari Gusti Allah, mencari masa depan yang cerah bagi anak dan cucu kelak.”

“Ketika semua sudah berbuat baik, aturan terletak dalam dirimu. Saya tidak perlu suruh anda salat, karena budaya salat sudah anda pegang dalam keteguhan imanmu.”
Emha Ainun Nadjib

TERASING DAN NABA’

Cak Yus kemudian membuka sesi tanya-jawab untuk jamaah.

Adi dari Surabaya, jamaah yang sudah tiga tahun mengikuti pengajian Maiyah dan empat bulan tidak bertemu dengan Cak Nun sampaikan bahwa setelah mengikuti maiyahan, dia merasa hatinya terasing. Ia tetap bergaul seperti biasa, hanya saja ada suatu jarak diantaranya.

Adi, jamaah lainnya, meminta penjelasan terkait parsial menjadi universal, kalau atom dari molekul menjadi inti dan di makrokosmos dari langit rendah menjadi Arsy. Dia menguraikan dengan cara pandangnya dalam bermaiyah, kita dengan mengecil atau merendah atau meniadakan diri itu bukannya kita semakin kecil tetapi semakin meliput dan semakin universal. Adi juga meminta penjelasan tentang wani ora usum, yang paling medasar adalah terbentuknya Republik Indonesia dengan sistem demokrasi ini terjadi sebuah kesalahan sehingga muncul kesalahan-kesalahan berikutnya yang lebih besar. Dan di Padhangmbulan, Adi mengaku adanya pintu yang terbuka dan mengungkapkan kegelisahannya tentang hadist yang disampaikan Cak Fuad.

Hartono, dari Kediri, mengungkapkan kegelisahannya dengan situasi sekarang tentang media sebagai pembawa berita (naba’). Pembawa berita bukan lagi wartawan, melainkan pemilik modal media dan orang-orang dibawahnya tidak memiliki kompetensi untuk itu. Hartono menanyakan bagaimana sikap yang tepat ketika berita-berita yang beredar semakin semrawut, kebenaran sumber dan informasi semakin sulit diidentifikasi.

“Kita harus mampu menghancurkan kecintaan kita terhadap dunia ataupun jabatan. Bukan berarti kita tidak butuh dunia dan tidak butuh jabatan, tetapi menjaga diri agar tidak mencintai dunia, menjadi manusia merdeka yang mampu memimpin diri anda sendiri.”
Kyai Muzammil

Menanggapi uneg-uneg dan kegelisahan jamaah, Cak Fuad merespon, perasaan terasing jika di luar Maiyah mungkin karena kita merasa menjadi wong ora usum. Cak Fuad mengatakan bahwa Rasul pernah bersabda: Perkuatlah ibadahmu seperti kamu melakukan hijrah kepadaku (kepada Rasul) dan seperti itulah yang menyebabkan ghuroba’ (perasaan seperti orang asing). Cak Fuad menambahkan, “Allah menciptakan manusia itu pada dasarnya memiliki ruh yang dikumpulkan dengan orang-orang yang memiliki satu frekuensi. Ruh-ruh manusia ini seperti tentara atau kelompok-kelompok yang berkumpul. Tentu ketika kita bertemu dengan orang yang berbeda frekuensi atau gelombangnya, kita akan merasa asing dengannya. Tetapi yang terpenting adalah kita tidak mengasingkan diri, artinya kita tidak memutus hubungan dengan masyarakat. Kita mengambil peran di masyarakat dengan semampunya dengan terlebih dulu meneguhkan pilihan kita sendiri yang kemudian memperluas keluarga atau komunitas kita, begitu seterusnya.”

Merespon Mas Hartono, beliau berpendapat bahwa memang sudah disadari masyarakat bahwa berita di media massa telah dikuasai pemilik modal. Hal itulah menjadi suatu ketidakberdayaan faktor ekonomi para wartawan. Menurut Cak Fuad, ada suatu pilihan kita mau terbawa arus atau mampu keluar dan melawan arus itu, yang terpenting adalah tidak mematikan hati nurani di dalam urusan pekerjaan kita. Minimal jika tidak bisa merubah, kita tidak perlu mendukung.

Kyai Muzammil menambahkan, “Jika orang waras berada pada kerumunan orang tidak waras, maka orang waras itu akan menjadi orang asing. Jadi kaidah-kaidah Maiyah pada zaman sekarang tentunya bukan menjadi jalan yang normal. Kalau mengikuti kaidah normal, Cak Nun ini menjadi presiden. Itu kalau mengikuti jalan yang normal, sementara normalnya sekarang adalah normal zaman edan. Rasul pernah bersabda: la takun rojulan in maiyah, jangan kamu menjadi orang yang ‘maiyah’. Maiyah disini adalah orang yang mengikuti arus (yang buruk). Maiyah ini artinya bersama, kalau yang lain baik maka aku akan baik, kalau yang lain jelek maka aku akan jelek. Lha disini bukan ‘manusia’, karena salah satu cirinya manusia itu dia mampu berpikir. Manusia dikaruniai hati dan pikiran supaya bisa memilah mana yang baik, buruk, indah atau tidak.”

Kyai Muzamil katakan, orang yang tidak mengikuti pola pikir umum ada tiga orang, yakni Gusdur, Gus Miek, dan Cak Nun. Jadi ketika kita menggunakan kacamata umum maka tidak akan bisa memahami pola pikir Cak Nun. Kyai Muzammil, “Kalau kau ingin mencari kebahagiaan, maka carilah kebahagiaan dalam kesunyian.”

Cak Yus kemudian menjeda dan mempersilahkan Mas Zainul beserta Mbak Nia melantunkan beberapa lagu dan sholawat. Usai itu Kyai Muzammil melanjutkan, “Kita harus mampu menghancurkan kecintaan kita terhadap dunia ataupun jabatan. Bukan berarti kita tidak butuh dunia dan tidak butuh jabatan, tetapi menjaga diri agar tidak mencintai dunia. Jika sudah dilakukan, maka anda akan menjadi manusia merdeka yang mampu memimpin diri anda sendiri.” Kyai Muzammil ceritakan bahwa beliau meminta nama pesantren beliau dicoret dari Kemenag karena beliau tidak ingin terlibat praktik ‘kepentingan’. Dalam pandangannya, bagaimana bisa mengubah peradaban bangsa jika ikut terlibat dalam arus kepentingan? Kyai Muzammil dalam hal ini mampu menjadi ‘orang yang tidak umum’, semata untuk mencari rida Allah.

NEGARA NUSANTARA

Melanjutkan forum, Cak Yus lalu memberi kesempatan bagi salah seorang jamaah dari Komunitas Kenduri Cinta (Jakarta) yang malam itu hadir. Mengikuti perkembangan Indonesia dari masa reformasi, menurutnya tidak ada lagi jalan keluar selain merevolusi Negara Indonesia menjadi Negara Nusantara.

Menurutnya, berdirinya negara Indonesia tidak bisa terlepas dari slilit-slilit kepentingan. Sejak masuknya Portugis ke Nusantara hingga sekarang, yang akhirnya membentuk sebuah negara boneka untuk memperdagangkan sumber daya alam dan menggadaikan manusianya. Maka solusi yang ditawarkan olehnya adalah mendobrak negara dengan membangun kemerdekaan, suatu kemerdekaan solidaritas, kerjasama di bawah ketuhanan yang maha esa sebagai manifestasi sumber kultur. Ia meminta restu Cak Nun terkait bentukan Negara Rakyat Nusantara yang akan beliau dan teman-temannya bangun dan memohon ijin agar Cak Nun bisa mengisi ruang menjadi ketua majelis tinggi-nya.

Cak Nun merespon keinginan jamaah tersebut dengan mengatakan, “Jangan melakukan persetubuhan atas dasar ingin orgasme. Karena tujuannya masih sangat pendek dan rendah, tidak akurat terhadap hakikat persuami-istrian. Jadi ketika melakukan apapun dengan suami atau istri anda, niatkanlah untuk tujuan-tujuan yang lebih sejati dan lebih panjang. Salah satu efeknya memang kenikmatan, tetapi jika kenikmatan itu menjadi tujuan anda maka anda menjadi rendah.

“Dari kasus persuami-istrian tersebut dapat kita tarik ke urusan negara, kebangsaan dan kemasyarakatan. Jadi tujuannya bukan surga karena kenikmatannya, tetapi karena mencari ridanya Allah. Ketika tujuannya adalah Allah, maka dia mendapat dua kenikmatan yakni surga dan bertemu Allah. Namun jika tujuannya adalah surga, maka dia hanya mendapat surga, sementara hakikatnya (bertemu Allah) tidak tercapai.”

Cak Nun mengumpamakan ketika orang berdagang yang tujuannya mencari laba, maka laba yang didapat akan sedikit. Sementara kalau niatnya ingin menjadi orang baik dan disenangi, maka dia akan mendapat kepercayaan konsumennya sehingga labanya lebih banyak, tetapi laba terbesarnya adalah trust dari konsumen. Seperti itu juga teori akidah, teori ekonomi dan politik juga seperti itu, sama. Cak Nun menjelaskan bahwa ketika kita orang teknik maka harus menemukan ibunya ilmu teknik, kalau dalam sastra maka harus mencari ibunya huruf, kata dan kalimat. Dalam Maiyah pun semua sama, ibunya sama.

“Saya sampai sekarang tidak ingin menjadi apapun, tetapi saya mendapatkan segala-galanya. Saya tidak perlu menjadi kyai untuk memiliki santri, dan saya tidak perlu mengakui saya ini kyai-nya untuk menumbuhkan rasa cinta antara kyai dengan santrinya. Tanpa label pun kita saling mencintai dan mempercayai. Sampai sekarang pun saya tidak punya keinginan menjadi ketua majelis tinggi negara Nusantara Raya, saya harus seperti pertama kali dilahirkan oleh Allah dan menjalankan kewajiban dari Allah. Yang boleh melahirkan saya hanya Allah melalui ibu saya, itu tidak karena saya pernah bilang kepada Allah ingin dilahirkan menjadi manusia sebab pusat kehendak hanya pada Allah. La khaula wa la quwata illa billah.

“Jadi perlu dibersihkan dulu, nanti bonusnya adalah Negara Nusantara. Kalau Negara Nusantara menjadi tujuanmu, nanti Gusti Allah bilang, kok kowe yakin temen ora takon aku sik. Sekarang apa kamu bisa membuat air itu menjadi mendidih? Kamu kan hanya menyalakan kompor, lalu yang membuat air itu mendidih itu siapa? Opo Kowe? Lak gak seh. Jadi jangan jadikan air mendidih itu sebagai tujuanmu. Yang terpenting adalah jalanilah sunnah tanpa kamu menginginkannya.”

Cak Nun mengumpamakan ide itu seperti janin yang terciptanya secara perlahan dan memiliki proses. Janin yang mulai muncul kepalanya, matanya, jari-jarinya mulai kelihatan dan jangan sampai memproklamirkan ketika masih dalam kandungan.

“Anak muda harus militer atas diri sendiri, keraslah terhadap diri sendiri tapi lembut kepada semua orang. Dan berani menghajar diri sendiri. Ini merupakan prinsip puasa, tidak memanjakan diri sendiri.”
Emha Ainun Nadjib

KETERASINGAN DIRI SENDIRI

Cak Nun melanjutkan, “Tadi Pak Muzammil sudah menjelaskan tapi belum disebutkan awalannya, bada’al-islamu ghariban wasaya’udzu ghariban tuba fatuba lil ghuroba. Katakanlah anda merasa asing terhadap sesuatu hal atau lingkungan, teman-temanmu, tata nilai, koran, TV, politik dan seterusnya. Dalam matematika, katakanlah seluruh yang membuat anda terasing ini disebut A, entah itu masalah politik, sosial, Indonesia yang namanya tidak dibikin dari dirinya sendiri tapi dibikin oleh penjajah dan peran anda adalah B. menurut Mas Yudi tadi, sing koyok ngene iki iso diterusno ta gak iki (Indonesia)? Meskipun anda tidak memakai Nusantara kalau keadaannya seperti sekarang, iso matek-matek dhewe (mati sendiri), tidak usah dibunuh karena sudah pasti mati sendiri. Yang mati adalah sistem negaranya, tapi kamu tidak mati. Tetap saja kalaupun Indonesia bubar terus diganti dengan Nusantara, opo engkuk gunung mbledhos, omah rubuh, wit ngglimpang-ngglimpang, yo gak. Sing ndek warung yo tetep marung, sing nang dolly yo nang dolly (apa nanti ada gunung meletus, rumah ambruk, pohon tumbang, ya tidak. Yang mau nongkrong ya tetap nongkrong, yang ingin ke dolly ya ke dolly).

“Jadi anda jangan serem-serem juga menanggapi perubahan. Perubahan itu biasa-biasa saja. Namanya saja yang berubah, mungkin kemarin-kemarin gak ono wong sepuh (orang tua) terus saiki ono wong sepuh. Kemarin-kemarin tidak ada pusaka, tapi kemudian ada pusaka. Jaman Pak Harto juga masih mending ada pusakanya, masih ada MPR dan masih punya pedang yakni pemerintah eksekutif. Ada tandingan pedangnya yakni DPR, tetapi kerisnya itu tetap MPR. Zaman sekarang sudah dihilangkan keris-keris atau pusakanya. Bahkan dari keraton, pusaka-pusaka juga sudah lari.

“Jadi menurut saya terasing itu bagus, dan sampean tidak perlu merasa kesepian. Menurutmu saya ini tidak terasing? Aku iki nang tengah, sing lor ngomong aku iki kidul. Tapi sing kidul ngomong aku lor. Sing wetan nuduh aku kulon, sing kulon nuduh aku wetan. Tapi ada positifnya, aku diarani lor yo ancen lor. Diarani kidul yo ancen kidul. Jan-jane aku ini menjadi diri sendiri saja aku tawar kok, lha kok atek dadi ketua-ketua. Saya ini tidak punya urusan apa-apa di dunia selain taat kepada Allah. Kalau perkara tadi bukan perintah Allah, lapo saya lakukan.”

“Di Indonesia dibutuhkan pemuda-pemuda Indonesia yang tangguh dan tidak rapuh. Karena rapuhlah mereka berbuat jahat. Imannya rapuh, mentalnya rapuh, pikirannya rapuh, malas berpikir.”
Emha Ainun Nadjib

Cak Nun berguru pada Umbu Landu Paranggi di Malioboro. Oleh Cak Nun, Umbu Landu Paranggi dianggap guru satu-satunya yang tidak pernah merasa mengajari dan tidak memberikan pelajaran. Cak Nun menceritakan juga tokoh pewayangan, Pendeta Durna, yang merupakan guru dari Pandhawa. Tapi ada seorang tokoh yang bernama Bangbang Ikalaya, dia tidak diterima sebagai murid Pendeta Durna. Kemudian dia membuat patung Pendeta Durna dan dia membayangkan bahwa patung itu adalah gurunya. Dia berlatih sendiri di depan patung itu, dan dia akhirnya menjadi lebih sakti dari semua murid Pendeta Durna.

“Orang yang hidup dengan Rasulullah belum tentu lebih saleh daripada orang yang tidak pernah bertemu dengan Rasulullah tetapi selalu menghadirkan Rasulullah di dalam hidupnya. Kalau anda hidup dengan Rasul kemudian anda rajin salat, terus anehnya apa, kan setiap hari anda klunthang-klunthung dengan Rasulullah. Kalau di Masjidil Haram anda sering umroh, terus anehnya apa kalau anda tinggalnya juga disana. Tapi kalau anda tinggalnya di Mojowarno, di Jogoroto, atau di Tebu Ireng kemudian menabung uangnya agar bisa umroh, itu kan istimewa.”

Menurut Cak Nun, Umbu memiliki ciri, kalau ada muridnya pulang dari Malioboro tetapi masih melalui Jalan Malioboro, Umbu masih belum tertarik dengannya. Berarti anak ini belum mengerti apa yang telah dialami oleh dirinya sendiri. Tetapi kalau pulang dari Malioboro anak tersebut belok ke gang mencari jalan yang sepi, berarti dirinya sedang terasing dan mencari sesuatu yang baru dalam mempersiapkan dirinya untuk menghadapi esok agar lebih baik. Jadi terasing itu baik, kesepian itu juga bagus. Dan anda harus kuat kesepian.

“Saya sepanjang hidup itu kesepian, tidak ada yang paham hidup saya. Tidak ada yang mengerti saya. Tak dudui semaput kabeh engkuk (saya kasih tahu bisa pingsan semua nanti). Pokoknya orang selalu salah menilai saya. Ono sing ngarani aku wedhus, yo ancen aku tau ngembek. Ono sing ngarani kucing, yo ancen penggaweanku ngeang-ngeong kok, tapi gak berarti aku kucing. Ono sing ngarani aku kirik, yo ancen aku njegogan, tapi opo yo sing njegog iku mesti kirik? (Ada yang menyebut saya kambing, ya memang saya pernah ngembek. Ada yang menyebut saya kucing, ya memang kerjaan saya meong-meong kok, tapi bukan berarti saya ini kucing. Ada yang menyebut saya anjing, ya memang saya suka menggonggong, tapi apakah yang menggonggong itu mesti anjing?) Tapi nek aku pengajian opo yo aku terus kyai? Aku mek pengajian, tidak ada eksistensinya dengan saya kyai atau bukan. Sedikit-sedikit kok gelar, sedikit-sedikit kok eksistensi.”

PEMAHAMAN AUTENTIK

Ketika anda bilang sukses, sebelum mengatakan sukses maka pelajari dulu sukses itu apa. Karena hampir setiap kata yang anda pakai tiap hari itu ma’ul musta’mal ma’ul mutanajis. Pemahamanmu terhadap setiap kata itu bukan berasal dari pemahaman orisinal dirimu tapi jare iku-jare iku, terus kamu mengikutinya. Berarti itu musta’mal, tidak bisa digunakan wudlu, daripada menggunakan air najis maka tayamum saja. Tidak menggunakan air tetapi menggunakan debu, artinya kembali kepada esensi.”

Cak Nun memberi illustrasi: Ada lima kera ditempatkan dalam kandang dengan luas sekitar 2 meter persegi, di dalamnya terdapat tangga dan diatasnya diletakkan pisang. Saat salah satu kera memanjat mengambil pisang, empat kera lainnya disiram air es. Kejadian itu berlangsung terus menerus. Akhirnya, ketika ada satu kera naik memanjat, keempat kera yang di bawah menarik ekor kera yang memanjat lalu dipukuli. Apa sebabnya? Karena mereka memiliki pengalaman tiap ada yang naik ke atas, yang di bawah tersiksa. Kemudian satu kera digantikan dengan satu kera baru. Kera baru tidak memiliki pengalaman disiram dan dipukuli, sehingga ia naik keatas, tapi kemudian keempat kera lama yang dibawah menarik kera baru itu dan dipukuli. Berlangsung terus, hingga akhirnya kelima kera yang ada dalam kandang diganti dengan kera-kera yang sama sekali baru. Ternyata meskipun kera-kera baru, tiap ada yang naik akan ditarik dan dipukul habis-habisan. Padahal kera-kera tersebut tidak memiliki pengalaman disiram air es.

Melalui itu, Cak Nun sampaikan, “Jadi orang itu melakukan apa yang dilakukan orang banyak lakukan. Aku melakukan ini karena kata orang-orang seperti ini. Kita ini melakukan kebiasaan-kebiasaan berdasarkan TV, koran, budaya di sekitar dan melakukannya persis. Kamu sembahyang itu karena di hatimu sudah menemukan bagusnya sembahyang ataukah karena bapak-ibumu sembahyang? Lha yo, kamu kan cuma kera. Sekarang coba hitung semua yang kamu lakukan itu sebenarnya identik atau paralel terhadap kelima kera baru tadi atau tidak. Ini bisa diterjemahkan ke macam-macam.”

“Hampir setiap kata yang anda pakai tiap hari itu ma’ul musta’mal ma’ul mutanajis. Pemahamanmu terhadap setiap kata itu bukan berasal dari pemahaman orisinal dirimu tapi jare iku-jare iku, terus kamu mengikutinya.”
Emha Ainun Nadjib

Apa menurutmu Indonesia diharuskan demokrasi, ngunu ta? Kalau nggak demokrasi nanti dimarahi orang-orang di facebook, twitter, dll. Padahal dia sendiri tidak pernah mengalami demokrasi. Pernah tidak kamu mengalami demokrasi? Padahal dari dulu itu diapusi, tapi tetep kamu pertahankan. Sebab kamu ini kera baru dalam cerita tadi. Begitu juga dalam bidang agama, pokoke kalau tidak ada dalilnya, tidak ada dalam kitab kuning berarti salah. Lak ngunu seh? Padahal kuwi yo gak tau moco kitab kuning, yo ga weruh sejarahe kitab kuning.

“Jadi yang dimaksudkan manusia nusantara adalah anda mampu melakukan dekonstruksi mulai dari pikiran anda sendiri. Nek kowe arep tuku klambi, ojo mergo diiming-iming TV karo iklan. Tapi mergo duwe pikiran dewe, klambi ngene iki sing tak butuhno. Kebenaran yang autentik. Kalau manusia maiyah atau manusia nusantara, sudah belajar menjadi se-autentik, mungkin dalam lima tahun sampai tujuh tahun ke depan ini, maka dua tahun setelahnya anda akan mendapatkan pemimpin yang sama sekali baru, tidak seperti sekarang, dan kalau itu terjadi berarti bayinya nusantara akan lahir. Lha kalau sekarang kamu tekan-tekan supaya lahir, maka sama saja perilakunya nanti. Kalau ada Golkar, PKS, PDI-P, PKB apakah ada beda perilakunya tidak selama ini? Lha nek podho kok ga sithok wae? Katanya merah, satunya kuning, satunya biru, satunya lagi hijau, tapi ternyata sama saja. Lha kalau begitu cukup satu saja kan tidak apa-apa, kalau banyak-banyak nanti bersaing dengan Pilkada, suap-suapan, begitu terus habis-habiskan uang,” dhawuh Cak Nun..

“Di Indonesia dibutuhkan pemuda-pemuda Indonesia yang tangguh dan tidak rapuh seperti orang-orang Indonesia sekarang. Karena rapuhlah mereka berbuat jahat. Imannya rapuh, mentalnya rapuh, pikirannya rapuh, malas berpikir.”

Cak Nun berpesan kepada para jamaah supaya cerita kera yang beliau ceritakan tadi digunakan pegangan ke depan dalam menghadapi perkara di lingkungan sekitar, apa saja dalam Islam ini kita menjadi mucholid. Beliau menjabarkan ada tiga macam: ijtihad, i’tiba, dan taqlid. Menurut Cak Nun, ijtihad adalah mencari apa yang dilakukan dan apapun keputusan kita terjadi atas keputusan autentik diri sendiri. Karena kita lahir sendiri, meninggal juga sendiri, dan tidak ditemani siapapun. Ketika bersyahadat pun maka syahadat itu benar-benar berasal dari hati dan bukan karena ikut-ikutan. Malam itu Cak Nun juga berpesan bahwa anak muda harus militer atas diri sendiri, keraslah terhadap diri sendiri tapi lembut kepada semua orang. Dan berani menghajar diri sendiri. Ini merupakan prinsip puasa, tidak memanjakan diri sendiri.

AKTIVASI MALAIKAT

Dalam kesempatan selanjutnya, Cak Nun melontarkan pertanyaan dan diskusi-diskusi yang membuka jendela-jendela cakrawala.

“Makhluk yang pertama ini siapa? Nur Muhammad? Berarti masih tajalli yang mewujud namun dalam cahaya. Nur Muhammad ini Kanjeng Nabi atau bukan? Iya, tapi Nabi Muhammad yang belum mewujud secara biologis melalui Pak Abdullah dan Bu Aminah yang diberi jabatan Rasulullah dan diberi pangkat Nabiyullah. Semua malaikat adalah adik Nur Muhammad, termasuk iblis, syetan dan jin.

“Katakanlah malaikat memiliki arus positif, syetan negatif—meskipun hal itu bersifat dinamis. Jadi loading itu aktivasi aplikasinya. Loading adalah proses untuk menjadi, aktivasi itu harus ada legalitas supaya aktif. Jadi loading itu prentasenya lebih kepada syetan ataukah malaikat? Kalau didalam dirimu, secara objektif, loading di dalam dirimu lebih banyak malaikat ataukah syetan? Mbok sekarang mulai aktivasi malaikat, malaikat itu juraganmu ataukah anak buahmu? Yang khalifah siapa? Tadi kan sudah ditawarkan siapa yang memimpin khalifah? Semua tidak berani menjadi khalifah kecuali manusia. Dan yang menjadi perdana menteri hidup adalah dirimu sendiri. Berarti malaikat adalah anak buahmu, ada yang menjadi menteri, ada yang menjadi kepala dinas. Pak Muzammil minta tolong anak-anak diberikan wacana tentang malaikat, bahwa manusia selalu dikawal malaikat apa tidak?”

Kyai Muzammil menjawab, “Maa yalfidhu min qoulin illa ladaihi roqiibun ‘atiid, manusia itu tidak akan mengucapkan satu kata pun kecuali disisinya ada malaikat Roqib dan Atid.”

Cak Nun meneruskan, “Ada banyak wacana lain yang menyatakan dengan pasti bahwa manusia tidak berjalan kemana pun tanpa dikawal malaikat, kanan-kirimu, depan-belakangmu. Bahkan kalau lebih detail, jumlah malaikat ini banyak. Adapun malaikat Izroil apakah jumlahnya hanya satu? Jadi setelah mencabut nyawa di Australia, dia mencolot (melompat) ke Afrika, Amerika dalam satu waktu? Jumlah malaikat milyaran, dan jumlah tersebut sangat rasional. Ada banyak hal yang tidak perlu kamu selidiki dan ketahui secara material, yang terpenting nilainya kamu ambil. Nabi Muhammad isra’ miraj berapa kali? Yang kamu tahu adalah sekali, apakah mesti harus dikabarkan semuanya? Subhana al-ladhi asra bi‘abdihi laylan mina al-masjidi al-harami ila al-masjidi al-aqsa al-ladhi barakna hawla hu linuriyahu min ayatina innahu huwa al-sami‘u al-basir. Asra bi‘abdihi terikat hitungan atau tidak?”

Cak Nun meneruskan, “Kalau isra’miraj sehari tiga kali memangnya kenapa? Jadi setelah salat, maka sapalah: yaa rasulullah, yaa malaikatallah, yaa ayyuhal auliya wal ulama, dan seterusnya. Menyapa Rasulullah, menyapa malaikat supaya mereka merasa kamu sapa dan bekerja lebih aktif, kamu mendapatkan perlindungan serta mendapat tuntunan. Karena malaikat diberi pesan oleh Allah: Ya’malu ma yu’marun—kamu lakukan apa saja yang Aku perintahkan yaitu menolong manusia agar semua perjalanannya menuju Aku. Jadi aktivasi malaikat ini jalannya bermacam-macam, salah satunya adalah menyapanya. Dahuluilah dengan sholawat dan al-fatihah, kemudian memberikan salam.

“Atas kesengsaraanku, keterasinganku, aku tidak perduli ya Allah. Asalkan Engkau tidak marah kepadaku dan Engkau memberi rahmat, keselamatan, rizqi kepada anak-anakku yang akan meneruskan perjuangan leluhur-leluhur kami dan seluruh bangsa Nusantara.”

Cak Nun menutup dengan mengajak para jamaah bermunajat. Majelis Padhang mBulan diakhiri Mas Zainul dan Mbak Nia membawakan Astaghfirullah robbal baroya. Kyai Muzammil menutup dengan doa bersama dan bersholawat bersama. Ya rosululloh salamun ‘alaik.

[Teks asli: Red BBW/Masfufatul Qibtiyah, Kontributor: Azam Fakhri]
Disunting kembali oleh Redaksi Kenduri Cinta