Cultural Leadership — Maiyahan Bank Indonesia

Reportase Acara SESPI Bank Indonesia

Rabu, 24 April 2013, Cak Nun diundang sebagai pembicara dalam Program Sekolah Staf dan Pimpinan Bank Indonesia (SESPIBI) Angkatan XXXI Tahun 2013 yang mengangkat tema Menyiapkan Kepemimpinan yang Tangguh dan Inovatif dalam Menghadapi Berbagai Perubahan dan Turbulensi yang Dihadapi Saat Ini. Secara khusus, Cak Nun diminta untuk membawakan topik Cultural Leadership. Jenjang pendidikan karier tertinggi bagi pejabat Bank Indonesia (BI) ini pesertanya berasal dari kepala-kepala divisi yang akan diangkat ke level direktur. Tahun ini ada 48 peserta, mayoritas berasal dari BI, sebagian yang lain berasal dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan ada satu orang dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Berangkat dari tawaran Cak Nun sebelum acara, sesi yang berlangsung dari pukul 08.30 sampai 11.30 itu dibagi menjadi dua. Satu jam pertama Cak Nun dimohon untuk berlaku sebagai “kyai ceret” untuk menuangkan pengalaman-pengalaman dan pandangan-pandangan terkait tema. Dua jam setelah itu barulah Cak Nun berlaku sebagai “kyai gentong” di mana para peserta yang bertindak sebagai subyek utama dalam diskusi, nyidhuk apapun yang mereka ingin ketahui dan pelajari.

“Saya pribadi mengenal Cak Nun sebagai pimpinan dari grup musik yang sangat saya suka, yakni Kiai Kanjeng. BI pernah mengundang Kiai Kanjeng untuk pentas di sini. Di samping itu, Cak Nun juga seorang sastrawan. Banyak sekali tulisan-tulisan beliau baik berupa puisi maupun dalam bentuk-bentuk lain, kebanyakan dalam bentuk sastra relijius,” ujar moderator memperkenalkan Cak Nun kepada para peserta. “Banyak sekali pengalaman Cak Nun yang telah terbiasa bergaul dengan berbagai masyarakat dari yang paling bawah sampai yang paling atas. Pengalaman beliau terkait pula dengan kepemimpinan dalam mebawa misi-misi budaya, termasuk membentuk grup musik, dan juga membina anak sulungnya untuk menjadi vokalis handal di grup Letto. Silahkan nanti kita tanya apa saja di sesi kedua.”

BERSETIA MENTRANSFORMASI RAHMAT MENJADI BAROKAH

Moderator kita ini terlalu terbiasa dengan kata benda, padahal yang nomor satu dalam hidup adalah kata kerja. Meskipun kata kerja itu pada tahap-tahap yang berbeda akan sampai juga pada kata benda, tapi sifatnya kehidupan adalah kata kerja,” ujar Cak Nun mengawali sesi pertama.

“Kalau anda melihat Indonesia sebagai kata benda, anda akan kebingungan dengan Indonesia. Tapi kalau anda ngomongnya Indonesia itu kata kerja, cara berpikir kita akan menjadi lebih dinamis dan relatif. Semua yang diceritakan tentang Emha tadi itu adalah kata-kata benda yang merupakan samaran-samaran hidup saya. Aslinya saya tidak seperti itu.

“Yang kedua, saya tidak merasa punya kredibilitas di bidang apapun untuk berada di acara ini bersama anda semua, tapi saya datang karena etika, karena sopan-santun, karena sudah diundang. Karena saya dianggap bisa ngomong, ya sudah saya ngomong. Bahwa nanti terbukti kalau saya tidak bisa memenuhi apa yang anda minta, itu salahnya yang ngundang,” ucapan Cak Nun langsung disambut tawa para peserta.

“Nomor tiga, saya sengaja tidak pakai assalamu’alaikum karena saya sudah pekewuh sejak lama sekali sama Tuhan karena selama ini orang-orang Indonesia mengucapkan assalamu’alaikum tapi tidak ada satu pun yang mengerti itu apa. Banyak sekali ucapan assalamu’alaikum di sini, tapi mereka tidak bersungguh-sungguh ber-assalamu’alaikum di antara mereka. Assalamu’alaikum itu MoU yang diucapkan oleh satu pihak ke pihak lain, dan pihak lain menjawab. MoU ini ada beberapa tahap. Dengan saya mengucapkan assalamu’alaikum kepada anda, berarti saya menjamin keselamatan anda di tiga bidang. Yang pertama, hartamu pasti selamat kalau sama saya. Yang kedua, martabatmu selamat di hadapan saya. Dan yang ketiga, keselamatan juga untuk nyawamu. Lalu kemudian anda menjawab dengan wa’alaikumsalam, itu berarti anda sudah sign MoU di antara kita untuk saling menjaga tiga hal itu,” terang Cak Nun.

Bank Indonesia adalah pemimpin transformasi rahmat supaya jadi barokah, ujung tombak dari pengaturan lalu-lintas rizki dari rahmat Allah itu supaya menjadi barokah bagi seluruh bangsa Indonesia.

Cak Nun kemudian menjelaskan tahapan-tahapan dari penjaminan keselamatan yang terkandung dalam ucapan salam. Setelah ‘kontrak’ assalamu’alaikum, ada frasa warrahmatullah, kemudian ada wabarakatuh.

“Tuhan kasi anda rahmat. Kalau nggak karena Tuhan memberi batas-batas, celakalah hidup manusia. Itulah rahmat. Rahmat bukan hanya berupa limpahan rizki, tapi juga dalam bentuk batasan-batasan rizki. Ada orang yang celaka karena ingin melewati batasan itu. Maka Puji Tuhan yang telah membatasi.

“Rahmat Tuhan ini harus kita manage, harus kita kelola dengan aturan-aturan, dengan sistem-sistem hukum, dengan konstitusi sampai aturan-aturan pemerintah, keputusan presiden, kode etik di berbagai institusi, atau apa saja yang merupakan satu sistem kenegaraan atau kebudayaan atau peradaban, supaya ada transformasi dari rahmat menjadi barokah. Kalau tidak ada pengelolaan, ilmu, dan sistem, maka padi tidak akan pernah menjadi beras, beras tidak akan menjadi nasi, nasi hanya akan berhenti menjadi nasi tanpa pernah jadi nasi gurih, nasi uduk. Itu semua kan butuh ilmu dan sistem pengelolaan.

“Di antara rahmat dan barokah itu maka diperlukan negara, diperlukan BI (Bank Indonesia), diperlukan sistem banking, diperlukan kesenian, departemen-departemen. Ini disebut ijtihad kalau dalam istilah agama, yaitu daya pikir yang terus-menerus untuk menguak bagaimana padi menjadi beras, menjadi nasi, dan menjadi aplikasi yang bermacam-macam.

Mengenai “beras”, Cak Nun katakan bahwa ia bangga menjadi orang Indonesia, karena orang Indonesia merupakan satu-satunya negara, bangsa, etnik, yang punya kosakata detil mengenai beras. Jika Bahasa Inggris hanya mengenal beras dalam kata rice, bahasa kita menyebutnya sebagai padi atau pari ketika masih di sawah, gabah ketika sudah dipanen, beras ketika sudah digiling, dan nasi atau sego ketika sudah dimasak. Itu karena kebudayaan kita jauh lebih tua dan jauh lebih matang daripada kebudayaan lain.

“Di Indonesia ini saya sangat maklum kalau ada banyak orang korupsi, karena mereka memang tidak aman di sini. Mau berbuat baik nggak aman, agama dieksploitasi, dan budaya kemiskinan kita sangat tinggi. Orang-orang kaya juga punya budaya dan mental kemiskinan. Budaya kemiskinan itu artinya orang yang sangat tergantung kepada keamanan materi. Kebanyakan orang tidak punya keberanian (untuk tidak tergantung pada materi) maka mereka terus memastikan laba sebanyak-banyaknya dengan modal sekecil-kecilnya, maka mereka pakai ideologi kapitalisme dan seterusnya.

“Kembali ke assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh, halangan kita sekarang ini adalah kita terus bertengkar di antara rahmat dan barokah. Nggak ada sistem yang kita sepakati. Ganti-ganti terus dari Orla ke Orba, ganti lagi di reformasi. Tahun 2014 akan mengalami perubahan-perubahan lagi. Para investor di seluruh dunia juga sudah siap-siap karena dianggap akan ada re-nasionalisasi aset-aset negara, seperti misalnya ada regulasi yang melarang ekspor bahan mentah. Pokoknya dunia sedang berspekulasi. Kalau saya kembalikan ke BI (Bank Indonesia), saya kira BI (Bank Indonesia) adalah pemimpin transformasi rahmat supaya jadi barokah, sebab banyak rahmat tidak menjadi barokah.

“Bedanya rahmat dan barokah itu teori universalnya seperti ini: hujan itu rahmat karena dia tidak memilih pada siapa dia datang. Siapa saja yang ke luar ruangan, dia kehujanan.Tuhan ini nggak milih, orang yang korupsi tidak dikenai hujan. Rahmat itu dikasih Tuhan ke siapa saja. Maling ya dikasih rahmat. Siapa saja. Uang curian untuk beli soto itu ya tetap enak sotonya, karena sifatnya sifat rahmat. Kalau barokah itu sesuatu yang telah diregulasi dengan kemauan-kemauan dan aturan-aturan Tuhan. Maka, orang kaya bisa bangkrut kalau urusannya barokah. Sementara orang yang tidak kaya-kaya amat bisa lancar hidupnya.

“Menurut saya BI (Bank Indonesia) adalah ujung tombak dari pengaturan lalu-lintas rizki dari rahmat Allah itu supaya menjadi barokah bagi seluruh bangsa Indonesia,” Cak Nun tegaskan kembali peran Bank Indonesia.

Kalau dalam pandangan politik, ada empat jenis manusia di setiap lingkungan, yaitu: manusia pencetus, manusia pendiri, manusia pemelihara, dan manusia pendobrak.

EMPAT JENIS MANUSIA

Cak Nun melanjutkan, “Doa saya adalah: Ini yang saya hadapi adalah manusia-manusia BI baru yang mengambil baiknya dari Orba, mengambil baiknya dari reformasi. Manusia-manusia BI baru yang tidak harus merupakan produk dari BI yang sebelum-sebelumnya, karena ada dinamika yang bermacam-macam. Pokoknya ini adalah generasi terbaru yang mengambil yang terbaik untuk bangsa, untuk rakyat. Ia menjadi manusia BI baru sebagaimana sekarang lahir juga manusia-manusia Indonesia baru dari generasi muda yang bukan merupakan produk manipulasi.

“Agama ini dikapitalisasi nggak karu-karuan. Kata syariat pun dikapitalisasi. Kata Al jadi jualan laris, kata Gus jadi barang dagangan, juga kata wali yang menjadi marketable. Gus Dur itu sekarang jadi wali ke-sepuluh. Jadi langsung loncat dari Sunan Kalijaga ke Gus Dur, tanpa bapaknya dan mbahnya Gus Dur jadi wali. Padahal peristiwa 10 November itu hasil dari resolusi jihad dari bapak dan mbahnya Gus Dur. NU besar juga karena yang mendirikan mbahnya Gus Dur. Sekarang yang jadi wali malah Gus Dur.

“Itu sudah menjadi komoditas. Yang kemarin nyetiri saya saja sekarang jadi Gus, jadi pejabat tinggi di provinsi. Kemarin dia masih ngambil ban bekas, sekarang sudah jadi Gus. Dan Gus ini nggak bisa dilacak asal-usulnya, dan orang modern tidak peduli apa itu Gus, apa itu kyai, apa itu syekh, habib, maulana. Ini sudah jadi komoditas semua.

“Kalau saya misalnya mau jadi wali, gampang sekarang ini. Saya tinggal pergi ke travel bureau atau ke televisi. Padahal kanlaa ya’riful wali ilal wali. Sekarang jadi laa ya’riful wali ilal travel bureau wa EO. EO itu yang menciptakan Gus Dur jadi wali. Sampai sekarang ini bahkan ada Walisongo Jawa Timur. Kalau Walisongo kan ada yang dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sekarang ada Walisongo Jawa Timur, yang dari Walisongo dikurangi 4, kemudian empatnya dicarikan di Jawa Timur. Caranya mencari adalah yang gampang dilewati rute bus travelnya. Mereka bikin wali-wali yang mudah dicapai oleh travel. Itu yang namanya budaya kemiskinan. Orang sudah tidak percaya kepada rizki Allah. Orang hanya percaya pada apa yang dia ambil, pada apa yang dia curi, apa yang dia mark-up, apa yang dia kolusi, apa yang dia manipulasi.”

Tidak ada yang buruk, tidak ada kecelakaan, tidak ada kerugian dalam hidup ini.

Kalau saya singkat, kebudayaan kita itu luar biasa kayanya. Kita bisa ambil kearifan kepemimpinan dari Jawa, Madura, Sunda, Mandar, Bugis, tinggal ambil yang mana. Kita bisa ambil sedikit dari budaya, sedikit dari agama.

“Misalnya Pak Harto, dalam memimpin dia cuma pakai dua ilmu, yaitu pranoto mongso dan katuranggan. Pranoto mongso adalah kemampuan untuk membaca musim. Ini dunia sedang begini, negara sedang begitu, cocoknya ikut Uni Soviet atau Amerika atau China, seperti itulah yang dinamakan membaca musim. Pak Harto tidak menggunakan ilmu-ilmu modern tapi dia merasakan dengan ilmu musim. Dari situ dia ambil policy dasar. Untuk menerapkan policy yang sudah ditentukan dengan pranoto mongso tadi, Pak Harto butuh memilih orang. Menteri Penerangan siapa, Menko ini siapa, Direktur BI siapa. Dalam menentukan siapa diletakkan di posisi mana, Pak Harto pakai ilmu katuranggan.

Katuranggan itu berasal dari kata turangga, artinya kuda. Jadi, ilmu tentang watak berasal-usul dari pengetahuan para pemelihara kuda terhadap kuda. Kalau orang mempelajari kuda, dia akan melihat berbagai macam watak manusia terdapat pada kuda. Kalau anda kalau ahli kuda, cukup dengan melihat gambar di lutut depannya saja anda sudah tahu umurnya berapa, larinya secepat apa, staminanya tinggi apa tidak. Ilmu kuda ini kemudian ditransfer menjadi ilmu tentang watak manusia, katurangganing manungsa.

“Jadi kalau mau pilih staf, kita mesti mengenal wataknya. Watak ini berdasarkan konfigurasi atau terminologi apa? Kalau dalam pandangan politik, ada empat jenis manusia di setiap lingkungan, yaitu: manusia pencetus, manusia pendiri, manusia pemelihara, dan manusia pendobrak.

“Manusia pencetus adalah manusia yang selalu membicarakan hal-hal baru, selalu gelisah, tapi kerjaannya cuma begitu. Dia digaji untuk itu saja, jangan disuruh tertib di kantor. Begitu sudah mencetuskan ide baru, habis staminanya. Dia adalah bagian mencetuskan. Jangan disuruh mendirikan atau memelihara, karena pasti hancur nanti. Sehebat-hebat pencetus, dia tidak punya keberanian sejarah untuk mendirikan. Dia ada di belakang founding fathers.

“Manusia pendiri atau perintis adalah manusia-manusia yang berani membangun. Merekalah yang bikin NKRI, bikin ini, bikin itu. Mereka adalah jenis manusia yang mendapat fadhilah dari Tuhan untuk mendirikan. Tapi pendiri juga belum tentu mampu memelihara, maka mayoritas manusia sebenarnya ditakdirkan untuk menjadi manusia pemelihara.

“Manusia pemelihara nggak ikut berpikir, nggak ikut mencari, nggak ikut mendirikan, tapi begitu sudah ada, dia yang setia memelihara. Pegawai negeri yang di bawah-bawah itu kan biasanya katuranggan pemelihara. Dia rajin, absen pagi dan sore, wataknya pemelihara.

“Jenis keempat adalah manusia pendobrak. Karakternya hampir mirip dengan manusia jenis pertama, yakni pencetus. Pendobrak ini bagian yang nggak setuju terus. Semua dibantah olehnya. Dia bisanya mengkritisi, tapi giliran disuruh bikin nggak bisa. Dia ini bagian nyacat atau mencela. Ada manusia yang memang oleh Tuhan diijinkan untuk menjadi juru cela. Maka jangan kaget kalau di antara kita ada yang ahli di bagian situ. Selama ini kan yang ahli atau pakar itu kan yang ekspertasinya di wilayah kedua atau ketiga, padahal ekspertasi kan luas. Ada orang yang memang kerjanya nyacat terus ben dino, dan itu bagus untuk kita yang memang ingin dinamis. Orang ini kalau tidak dibayar akan berbahaya bagi masyarakat, jadi mending bayar dia khusus untuk mencela di wilayah tertentu. Di wilayah selain itu, jangan mencela siapa-siapa. Dia punya kecerdasan untuk mencela, tapi dia hanya diperbolehkan mencela di ruang rapat kantor saja lho ya, di luar kantor tidak boleh. Di luar itu dia harus berbudaya.”

Allah itu bukan milik para ustaz. Allah adalah milik kita semua, Dia sangat dekat sama kita. Dia sangat lucu, penuh humor, sangat penuh kasih-sayang. Dia tidak membutuhkan sopan-santun yang pura-pura.

Berbudaya itu mencari yang baik dari yang buruk-buruk. Kalau yang terjadi di masyarakat sekarang kan justru mencari buruk-buruk dari yang baik. Ada orang baik dicari buruknya terus, sementara pekerjaan kebudayaan adalah ada orang seburuk apapun, kita cari baiknya, sampai kita nanti sampai di tahap di mana tidak ada yang tidak indah, tidak ada yang tidak nikmat, tidak ada yang tidak berguna. Ibaratnya dalam musik, tidak ada yang fals. Fals itu tidak ada. Yang ada adalah bunyi tidak terletak di tempatnya bersama harmoninya. Kalau dia diletakkan berjejer dengan yang satu konfigurasi dengan dia, dia nggak fals. Ini kalau seandainya workshop musik, saya tunjukkan kepada anda. Dia punya konfigurasi harmoni sendiri.

“Tidak ada yang buruk, tidak ada kecelakaan, tidak ada kerugian dalam hidup ini. Kita pernah mengalami kehancuran saat Orba, Orla, reformasi, banyak sekali, tapi saya melihat tidak ada masalah. Memang hidup seperti itu. Yang penting kita tahu yang disebut manajemen itu apa. Manajeman itu bukan bagaimana menyusun uang. Manajemen adalah bagaimana tidak punya kerjaan tapi bisa nyekolahke anak-anak. Itu kan manajemen banget. Bagaimana nggak punya gaji tetap tapi bisa survive, itulah manajemen. Nek gajimu sakmene digawe ngene, dudu manajemen iku, tapi kasir.

“Manajemen itu bagaimana kita tidak punya beras tapi bisa bikin nasi. Kalau dalam Al-Quran namanya min haitsu laa yahtasib. Allah memberimu rizki melalui jalan dan metode yang di luar perhitunganmu. Dan itu adalah jaminan Allah setiap hari kepada orang yang selalu meletakkan hatinya dekat dengan Dia.

“Saya pribadi bisa mendapatkan cash dari langit. Tapi orang Indonesia kan nggak percaya sama Tuhan, maka kerjaannya mencuri terus, curang terus. Dia tidak percaya sama begitu banyak kemungkinan rizki dalam kehidupan. Saya punya sekolahan, lebih banyak daripada yang didirikan oleh Direktur BI. Saya bisa mengadakan forum-forum Padhangmbulan setiap bulan di 6 kota, sekarang sudah 21 tahun, saya biayai sendiri. Dengan massa ratusan atau ribuan, forum-forum saya berlangsung tanpa sponsor, tanpa biaya dari siapa-siapa. Tanpa keamanan, tanpa ijin, dan itu sudah semenjak Orba. Orang datang dari jam delapan malam sampai jam tiga pagi, sampai hari ini. Kemarin di TIM kami sampai jam 03.30, di Jogja tanggal 17 sampai jam 04.00. berlangsung terus-menerus karena min haitsu laa yahtasib.”

“Tentang ilmu katuranggan, itulah kenapa Pak Harto memilih Harmoko untuk menjadi Menteri Penerangan sampai akhir meskipun kita nggak suka. Pak Harto tahu persis bahwa Pak Harmoko adalah tipe pemelihara. Sampai hari ini dia masih memelihara apa yang bisa dia pelihara. Ini saya tanya langsung ke Pak Harto mengapa dia pindah dari Pak Moerdani, padahal Pak Moerdani itu berjasa sama Pak Harto, dia menemukan dukunnya Pak Harto yang ke-39 di Aceh sehingga Benny Moerdani diangkat menjadi Dukun Gajah Putih. Sebelum itu teorinya ada 39 dukun Pak Harto, tapi baru ketemu 38. Saya ketemu dukun-dukunnya Pak Harto di mana-mana.”

“Tentang dukun ini juga ada teorinya sendiri. Dukun itu apa, kyai itu apa, anda jangan salah sangka bahwa dukun ini pasti jelek dan kyai pasti baik, karena dukun masih bekerja untuk mendapat uang, sementara kyai biasanya nggak kerja tapi dapat uang. Jadi kan masih mending dukun.”

BELAJAR KEPEMIMPINAN DARI LOKALITAS YANG ARIF

Kembali Cak Nun lanjutkan uraiannya, kali ini beliau menyoroti tentang kepemimpinan, “Untuk kepemimpinan, kita bisa belajar kepada Ki Hajar Dewantara. Pemimpin itu nomor satu harus: ing ngarso sung tulodho, mampu memberi teladan. Teladannya bukan hanya dalam hal akhlak tapi juga dalam keterampilan, dalam profesionalisme, dalam kepekaan, dalam kedekatan budaya dengan karyawan. Teladan yang saya maksud adalah keteladanan yang utuh. Kalau dia sudah bisa mempengaruhi karyawan atau bawahannya untuk beratmosfer seperti dia, maka kemudian dia tidak perlu menjadi contoh lagi. Tahap kedua adalah: ing madya mangun karso, bercampur di antara semua anak buahnya untuk melakukan apa-apa yang telah dia teladankan sebelumnya.

“Kemudian tahap ketiga adalah: tut wuri handayani. Syarat kepemimpinan kebudayaan, semua pemimpin itu menyiapkan dirinya untuk tut wuri handayani, bukan dari presiden malah jadi Ketua Demokrat. Itu kan hanya mungkin dilakukan oleh orang pikun. Dia harusnya makin lama makin mandhita, makin siap untuk tidak menjadi apa-apa. Dia harusnya bersih dan tetap dihormati setelah tidak menjadi presiden, maka dia tut wuri handayani. Kalau sekarang kan dia malah ing ngarso ora tulodho.

“Konsep dari Ki Hajar Dewantara ini sangat jelas kok. Sekarang Taman Siswa ‘mati’ karena ajaran-ajaran Ki Hajar Dewantara tidak kita akselerasi. Kita lebih percaya pada Cornell atau Berkeley, kita lebih percaya pada filosofi Barat. Padahal Ki Hajar atau Ki Ajar ini kalau di Jawa merupakan sebutan bagi orang yang dianggap mempunyai ilmu yang melebihi ilmu masyarakat umum. Kalau ilmu yang dimiliki adalah ilmu agama, maka dia disebut Yai. Tapi setiap orang Jawa dalam sopan-santun kebahasaan menambah nama orang dengan Ki. Yai ditambah dengan Ki, menjadi Kyai.”

“Tapi diam-diam kita telah ‘menghancurkan’ Ki Hajar Dewantara dengan menghancurkan filosofi dan kosakata kita. Sekarang kata ajar atau hajar diplesetkan secara negatif dengan arti memukuli. Contoh lain adalah kata akal. Dalam bahasa Arab, kata kerja dari ‘aql adalah ya’qil. Ya’qil merupakan pekerjaan nomor satu bagi manusia. Allah selalu mengatakan afala ta’qiluun, kenapa kamu tidak pakai akal. Mengakali seharusnya berarti memperlakukan segala sesuatu dengan akal. Tapi sekarang mengakali artinya mencurangi, meliciki. Ini kan pengkhianatan sangat besar terhadap bahasa-Nya Tuhan. Berapa ratus kali dalam Al-Quran kata itu disebut?

“Kata ajar ini khas Jawa. Nabi Ismail lahir dari seorang ibu bernama Hajar. Hajar ini orang luar Arab yang nggak ngerti geografi Arab, nggak ngerti di mana sumber air, maka dia bolak-balik mencari air sampai akhirnya ketemu air zamzam itu. Hajar ini kan bukan orang Arab. Kita cari ke mana-mana, ke Rusia, ke Afrika, dan cuma di Jawa kita temukan kata hajar yang paling relevan. Berarti istrinya Ibrahim yang baru ini sepertinya orang Jawa, atau katakanlah orang Indonesia.

“Hajar punya anak Ismail yang kemudian menurunkan orang Arab. Kalau dari istri yang satunya, lahir Ishaq. Turunan Ishaq menjadi Yahudi. Dunia ini dikuasai oleh dua klan itu. Yang punya duit adalah turunan Ismail, yang mengelola duit adalah turunan Ishaq, seperti Soros, IMF. Nah, kita ini masalahnya ada di perempatan jalan. Kita ini turunan yang mana? Ataukah jangan-jangan kita lebih tua daripada Ibrahim? Maka suatu hari jangan mau taat sama Ismail dan Ishaq, karena mereka adalah cucu-cucu kita. BI pada suatu hari harus menjadi lembaga keuangan dunia, dan Indonesia yang mengatur keuangan dunia karena kekayaan Allah di muka bumi dipusatkan di Indonesia. Jangan boleh Freeport seenaknya.”

Manajemen itu bagaimana kita tidak punya beras tapi bisa bikin nasi. Kalau dalam Al-Quran namanya min haitsu laa yahtasib. Allah memberimu rizki melalui jalan dan metode yang di luar perhitunganmu. Dan itu adalah jaminan Allah setiap hari kepada orang yang selalu meletakkan hatinya dekat dengan Dia.

BELAJAR KEPEMIMPINAN DARI AGAMA

Kalau saya mau jadi presiden, syarat utama yang harus saya penuhi adalah muta’alimul ghoib wa syahadah. Saya harus tahu apa yang saya belum tahu. Besok pagi saya harus tahu apa yang hari ini saya tidak tahu. Saya harus tahu tentang pasar di sana, rakyat di sana, level di sana, segmen di sana. Saya harus cari itu semua karena mereka masih gaib bagi saya. Pak SBY ini kan melihat barang gaib se-Indonesia karena dia tidak mendapat informasi yang tepat dari staf-stafnya. Maka sebelum anda jadi pemimpin, anda harus menguak barang gaib, barang yang kita belum tahu. Kalau Tuhan sifatnya adalah ‘alimul ghoib wa syahadah, Dia mengalami kegaiban, sehingga ada transformasi dari abstrak menjadi ilmu.

“Kemudian setelah kita tahu bahwa ternyata di Kebumen begini, di NTT begitu, kita jadi terharu sama rakyat kita, tumbuh rasa kasih sayang kita kepada bangsa Indonesia. Barulah kita mendaftar di BI karena kita sudah punya bekal, yaitu pengetahuan seksama mengenai keadaan rakyat, punya cinta dan kasih sayang kepada mereka, sudah punya cipratan rahman-rahim dalam diri kita. Kalau sudah punya tiga bekal itu, kamu menjadi raja, malik. Yang pertama kamu menjadi raja atas dirimu sendiri dan atas masalahmu, kemudian kamu baru punya kepantasan untuk menjadi raja ke sekitarmu. Tapi raja harus kudus. Urutan kepemimpinan itu malik-qudus-salam-mukmin-muhaimin-aziz-jabbar-mutakabbir.

“Cirinya Muhammad itu kan ‘azizun ‘alaihi ma anittun, nggak tegaan sama orang yang menderita. Maka dari itu, di awal kita harus muta’alimul ghoib, harus cari tahu semua yang kita belum tahu.

“Kemudian ada dua sifat Allah yang digelarkan kepada Muhammad, yaitu ra’uf dan rahim. Ra’uf itu santun, sementara rahim adalah cinta yang mendalam. Kalau rahman itu cinta sosial yang meluas, rahim adalah cinta individual, cinta spiritual, yang sifatnya mendalam,” pungkas Cak Nun.

PEMIMPIN YANG TAHU DAN BERANI

Moderator kemudian mempersilahkan para peserta untuk mengajukan pertanyaan untuk nyidhuk apa saja yang dibutuhkan dari Cak Nun.

Pertanyaan pertama datang dilontarkan oleh Cak Ikin (Solikin) yang berasal dari Surabaya, “Luar biasa penjelasan dari Cak Nun. Saya menyinggung masalah bagaimana menanamkan nilai-nilai kepemimpinan pada masyarakat kita. Kalau kita llihat, kepemimpinan kita ke depan harusnya lebih ke core value base leadership. Dan seorang pemimpin memang harusnya melayani, bukan memerintah. Kalau kita lihat teori-teori modern, itu kan juga mengakar pada apa yang telah disampaikan nenek moyang kita. Kita lihat Sunan Kalijaga menyanyikan lagu Gundul-Gundul Pacul, bagaimana pemimpin harus menyejahterakan rakyatnya instead of memikul mahkotanya. Juga Ilir-Ilir, bagaimana pemimpin harus punya hati yang dekat dengan Pencipta, yang digambarkan dengan buah belimbing dengan lima sisi itu. Nah, saya melihat betapa efektifnya waktu itu menanamkan nilai-nilai dengan pendekatan kultural atau seni kepada masyarakat. Masalahnya sekarang, hal seperti ini jarang sekali. Kalau tahun 80-an ada Kiai Kanjeng, ada Kantata Takwa, sekarang dunia musik didominasi oleh boyband. Apakah era demokrasi yang hiruk-pikuk ini menyebabkan kita seperti ini? Mohon pandangan Cak Nun mengenai bagaimana pendekatan seni budaya dalam rangka menanamkan nilai-nilai kepemimpinan dalam masyarakat.”

Cak Nun: “Yang kita butuhkan adalah presiden yang ngerti masalah dan berani bersikap. Tahun 2014 pokoknya kalau ada presiden yang mengerti betul masalah supaya kita bisa nasionalisasi kembali dalam banyak hal dalam batas yang kita mampu.

“Bahwa itu dari Gundul Pacul atau apa, itu terserah, tapi yang penting dia berani bertindak. Dia nggak harus sehebat Ahmadinejad atau Chavez, tapi pokoknya blundhas-blundhus kendel. Coba anda pelajari Turki, dia berada dalam 15 besar ekonomi kuat dan akan segera menjadi 5 besar, tapi tidak ngetarani. Eropa krisis, Turki tenang-tenang saja. Kalau Iran kan hebat, tegas, tapi kan landhep, ngetarani, terlalu tajam mencorongnya sehingga menjadi fokus. Kalau bisa kita tidak usah menjadi fokus. Indonesia ini nggak usah besar-besaran. Hebat ya nggak, tapi pokoknya diam-diam ada policy apa, policy apa, terus kita bisa mengelola isu.”

“Jadi yang kita butuhkan adalah presiden yang —terserah apa istilahnya— revolusioner, ijtihadiyah. Dari sekian masalah nasional, kita skala prioritaskan, yang primer-primer kita kerjakan, baru yang sekunder, dan seterusnya. Pemimpin nanti harus agak nothing to lose, punya kearifan budaya, punya pengetahuan yang komprehensif, yang luas, yang dia hati-hati ngomong dan tidak mengeluh kecuali kepada Tuhan. Kalau ada presiden yang masih kegandholan sama dirinya, kalau di dalam dirinya masih penuh dengan dirinya, jangan jadikan dia pemimpin.

“Kalau dalam bahasa Jawa ada manunggaling kawula-Gusti. Artinya, di dalam diri seorang pemimpin, rakyat dan Tuhan menjadi satu. Rakyat ya Tuhan, Tuhan ya rakyat. Bukan kok raja sama Tuhan menyatu di Gunung Lawu. Yang namanya menyatunya rakyat dan Tuhan itu, misalnya anda ini Direktur BI, rakyat Indonesia dan Tuhan menjadi satu dalam diri anda. Anda tidak berani mengkhianati Tuhan karena rakyatmu akan sengsara. Kamu tidak berani menyakiti rakyatmu karena Tuhan akan marah.”

“Maka di dalam dirimu jangan ada dirimu. Dirimu itu tidak penting. Kalau kamu ingin jadi orang penting, jangan pentingkan dirimu. Sekarang orang bekerja untuk self image building, maka dia menjadi orang sangat tidak penting. Pak Harto tidak pakai metode itu tapi karakternya lebih terbangun daripada orang yang setiap hari urusannya image building.”

“Maka forum ini ayo kita bikin kaya raya. Kita ini punya banyak harapan. Kita jangan terpukau oleh harapan-harapan yang sebenarnya belum tentu harapan. Tuhan selalu ngomong: Hati-hati, apa yang kamu pikir hebat, bisa saja itu mencelakakan kamu, dan apa saja yang kamu pikir itu mencelakakan, jangan-jangan sesungguhnya dia yang hebat untukmu. Itu peringatan Tuhan sangat universal dan sangat benar untuk kita pakai.

“Kita nggak punya resistensi moral, resistensi budaya. Saya tidak marah dan menghina Ariel melakukan itu, terus kecolongan videonya sampai bisa menyebar ke mana-mana. Setiap orang mungkin melakukan hal yang sama. Tapi kalau sudah terlanjur seperti itu kan rakyat harus punya rasa risih dong. Tapi ini nggak, nyatanya sekarang dia jadi bintang utama musik Indonesia, jadi bintang iklan, diterima TV, kalau ketemu dicium oleh ibu-ibu berjilbab. Begitu bodohnya bangsa kita sekarang.”

Hati-hati, apa yang kamu pikir hebat, bisa saja itu mencelakakan kamu, dan apa saja yang kamu pikir itu mencelakakan, jangan-jangan sesungguhnya dia yang hebat untukmu.

PARAMETERNYA OUTPUT SOSIAL

Terimakasih Cak Nun, karena dengan penuh kejenakaan, banyak yang meresap,” ujar penanya kedua, Mas Puji, “Kalau saya melihat sebagaimana pembicara sebelumnya, kriteria pemimpin itu banyak sekali. Terimakasih tadi sudah diingatkan juga pada Ki Hajar Dewantara. Saya menangkap tadi Cak Nun menyampaikan bahwa kriteria pemimpin adalah punya basic yang kuat tentang keyakinan dan patuh kepada agama, sehingga segala sesuatu digantungkan sama Allah. Dalam konteks kepemimpinan yang sudah kita pelajari, memang jarang ada kriteria itu. Saya ingin tahu pandangan Cak Nun, kriteria patuh atau kuat di keagamaan itu sebenarnya seberapa besar pengaruhnya ke depan, khususnya untuk keindonesiaan?”

Cak Nun: “Kalau ada orang rajin salat, itu belum output. Dia masih input. Belum tentu orang rajin salat output sosialnya atau kepemimpinannya lebih bagus dari yang tidak salat, karena salat itu levelnya fikih, hukum, bukan moral. Saya tidak patuh hukum. Kalau saya tidak mencuri, itu bukan saya patuh hukum, tapi karena saya punya nurani dan akal sehat. Masa untuk tidak mencuri saja saya harus nunggu ada pasal? Tanpa ada hukuman, saya tidak akan melakukan keburukan, karena yang menjadi supremasi dalam hidup saya bukan hukum melainkan nurani dan akal sehat.

“Seorang hakim datang ke pengadilan, yang dibawa nomor satu itu bukan pasal-pasal. Pasal itu siap kalau memang bisa dipakai. Kalau tidak ada pasal yang siap dipakai karena ada kasus-kasus dengan fenomena baru, hakim siap dengan akal sehat. Filosofi hukumnya dan nuraninya melahirkan pasal-pasal baru. Kan boleh to? Dan memang harus gitu. Kita bisa menuntut atau dituntut sebelum ada pasalnya karena probabilitas perilaku manusia itu tidak bisa dibatasi. Dari 32 bidak catur saja ada 114 juta probabilitas langkah. Dengan manusia model Indonesia yang jumlahnya segini banyak, ada berapa probabilitas kesalahannya?

“Maka kriteria patuh pada agama jangan dicari kriterianya pada sregep jemuahan, rajin salat 5 waktu, sering umroh. Itu bukan output, itu input. Itu letaknya di pawon (dapur). Kalau memamerkan makanan kan tidak di pawon, tapi di etalase warungnya. Sekarang orang terbalik-balik, yang dipamerkan justru dapurnya. Padahal dapur itu urusanmu. Agama itu urusan dapur, bukan di etalase. Sekarang malah kebablasan sampai ke papan nama.”

“Menurut saya, Indonesia sudah banyak setor penderitaan dan kebingungan ke Allah sehingga Allah sayang sama kita. Kan setoran ke Allah itu nggak mungkin berupa kepandaian dan kehebatan. Yang bisa kita setorkan untuk memperoleh kasih sayang-Nya adalah penderitaan, kebingungan, kesedihan. Saya yakin Allah akan mengabulkan kita. Kasihan anak-anak, nggak aman di mana-mana sekarang ini. Di luar rumah tidak aman, di dalam rumah tidak aman oleh internet, oleh televisi. Jaman dulu kan ke mana-mana aman.”

“Saya melihat gejala bahwa di Indonesia akan ada kelahiran baru yang fresh, dan semua yang kemarin bersalah insya Allah akan mengalami konversi untuk ber-khusnul khotimah. Termasuk anda ini adalah calon pemimpin yang akan berubah sama sekali. BI akan menjadi fresh bener untuk rakyat Indonesia.”

TAHU BANYAK TENTANG BANYAK HAL

Penanya ketiga, Mas Budi, menyatakan setuju pada uraian Cak Nun mengenai dunia pendidikan, di mana saat ini banyak produk-produk komersial yang masuk ke dunia itu. Padahal pendidikan adalah proses yang mampu melahirkan generasi pemimpin.

“Saya pecaya bahwa pemimpin tidak dilahirkan tapi dibentuk melalui proses yang berupa kata kerja tadi. Kemudian kalau saya boleh tanya, kita tahu ramalan Jayabaya. Menurut Cak Nun, kapan ratu adil yang kita tunggu-tunggu ini datang? Apakah sudah ada figur-figur yang menurut Cak Nun akan mengeluarkan kita dari carut-marut kondisi politik yang seperti ini, yang penuh dengan wajah korupsi? Apakah nanti akan lahir ratu adil yang kita nantikan, yang bisa manunggaling kawula-Gusti itu tadi?”

“Yang pertama soal pendidikan,” jawab Cak Nun, “Saya kira tidak terlalu berguna juga kalau kita ngomong pendidikan dalam segmen ini karena kita tergantung pemimpinnya. Kalau ratu adil sudah datang, semua akan ikut menjadi baik. Jadi kalau memperbaiki pendidikan dari Dikbud ya nggak bisa juga, maka tidak heran kalau pidato Pak Nuh (Menteri Pendidikan): Saya tidak akan mengubah ini itu, itu kan maksudnya sing arep maling teruso maling. Jadi nggak bisa kalau mau ngomong pendidikan dari pendidikan. Kita harus ngomong kepemimpinan nasional.”

“Menurut saya ratu adil itu bisa padat, bisa cair, atau bisa juga frekuensi. Padat itu benar-benar ada ratu adil, bahkan pada tingkat namanya. Kalau ratu, itu berarti negara kita akan berubah menjadi keraton. Bisa sampai di situ, tapi saya tidak bermimpi ke situ-situ amat, karena kita bikin negara ini kan juga serabutan, kita copas-copas saja. Kita lupa bahwa pemilik saham utama dari negara ini adalah keraton-keraton beserta para raja dan para sultan. Seluruh tanah ini adalah milik Sultan, tergantung wilayahnya di mana. Kalau di Jogja ya semua tanahnya milik Sultan Jogja; kalau di Solo ya tanahnya Sunan. Para pemegang saham NKRI ini kan tidak pernah dianggap bahwa mereka pemegang saham. Seharusnya MPR-nya itu mereka. Merekalah yang harusnya punya otoritas untuk milih DIrektur BI, milih presiden, milih segala macam.”

Cak Nun menjelaskan bahwa ada lima pilar Indonesia: rakyat, tentara rakyat (TNI dan Polri), kaum intelektual dan cendekiawan, keraton dan adab kebudayaan, agama dan spiritualitas.

“Lima ini dalam sistem bernegara harus punya keseimbangan dan harmoni yang pas, baik peran maupun keterkaitannya. Sekarang kan nggak ada. Sekarang yang memimpin adalah pilar ketiga, kaum intelektual. Kaum intelektual memperlakukan pilar pertama berbeda dalam jaman yang berbeda. Begitu pula yang dialami pilar kedua. Misalnya Polri, itu kan tidak jelas apakah dia sipil atau militer. Kalau militer kenapa tidak di bawah TNI, sedangkan kalau sipil kenapa tidak di bawan Kemendagri? Kenapa polisi langsung di bawah presiden, sementara TNI di bawah Menteri Pertahanan? Itu kan juga perubahan sikap dari pilar ketiga terhadap pilar kedua.

“Yang keempat dan kelima juga hanya dieksploitir. Keraton dan adab kebudayaan itu kan kasihan, terus akhirnya mereka jualan pusaka. Habis itu keratonnya. Akhirnya karena bingung, istri raja pengen jadi anggota DPD, rajanya sendiri pengen jadi wapres, dia pikir presiden lebih tinggi daripada raja. Sudah enak-enak jadi raja malah pengen jadi presiden. Dia sudah punya keris malah pengen pedang, padahal sehebat-hebat pedang tidak akan menang lawan keris, karena semua yang pegang pedang itu hanya prajurit, sementara kalau raja pegang keris. Dalam tradisi budaya, satu keris bisa mengalahkan seribu pedang. Makin panjang tombak prajurit, makin rendah pangkatnya karena kesaktiannya juga semakin rendah. Bahkan kalau sudah pandhita, sudah tut wuri handayani, sudah tidak butuh keris lagi karena tangannya bisa menjadi keris, bisa menjadi tombak, cambuk, apa saja. Kearifan ini kan tidak dipahami lagi oleh orang-orang modern.

“Jadi kalau mau ngomong ratu adil, ayo kita pahami dulu itu semua. Thailand, Inggris, Jerman, Spanyol, mereka saja kerajaannya dihormati. Kok tiba-tiba kita melupakan kerajaan kita? Saking akehe kerajaan? Kerajaan kita ada berapa sih? Yang masih ada smapai sekarang ada 204 keraton, yang terbagi menjadi dua: satu sayap Jogja, satu lagi sayap Solo. Karena nasib mereka yang tak menentu, mereka cari hidup sendiri. Seharusnya presiden yang akan datang mampu menghimpun semua itu, menyusunnya kembali.

“Kita tetap negara juga nggak apa-apa, nggak usah jadi keraton, tapi kita susun kekuatan kita. Nggak tiba-tiba ada DPR. Tiba-tiba kamu dari Kemayoran mewakili Jawa Tengah atau Jawa Timur lewat PAN atau Demokrat. Kita hidup dalam irrelevansi terus-menerus. Di sini nggak ada hubungannya, di sana nggak ada hubungannya. Ratu adil atau bukan, siapa saja yang coba mengembalikan martabat dan kehormatan kita sebagai bangsa dan negara, itu yang akan kita anggap sebagai gejala ratu adil.”

Orang baik tidak akan tampak kebaikannya karena mata pandang yang kita gunakan sehari-hari adalah mata pandang yang punya kecenderungan untuk mencari keburukan orang lain.

Ratu adil menurut saya adalah orang yang punya ilmu yang komprehensif, yang bisa memperbaiki wilayah bahasa, spiritual, ekonomi, budaya, dia ngerti semua. Karena manusia kan ada yang ngerti banyak tentang sedikit hal, ada yang ngerti sedikit tentang sedikit, ada yang ngerti sedikit tentang banyak hal. Tapi kita butuh manusia yang ngerti banyak tentang banyak hal.

“Itulah potensi ratu adil. Kalau ratu adil tingkat pertama ini terjadi ya syukur, tapi kalaupun tidak, ya tingkat kedua. Pokoknya ada sistem bersama, ada kesadaran kita bersama untuk adil. Begitu anda ngomong di mana-mana tentang ratu adil dan itu menjadi kesadaran anda bersama, ya ratu adil itu namanya. Dan itu yang ngomong bukan Jayabaya, dia hanya dikasih tahu.

“Jayabaya itu punya 4 orang penasihat, satu diambil dari Roma, satu dari Istanbul, satu dari Iran, dan satu lagi dari Mekkah. Jayabaya punya 4 staf ahli internasional. Yang khusus mengajari dia soal ramalan dan spiritual itu berasal dari Persi, namanya Syekh Ali Samsujen. Dari semua yang anda kenal dari ramalan Jayabaya itu adalah fatwa-fatwa dari Syekh Ali Samsujen. Maka ngomong ratu adil itu sesungguhnya adalah konsep dari berita-berita subversi di belakang Rasulullah yang memang sebenarnya ada kebenarannya. Karena Rasulullah ini kalau diperpanjang ilmunya jadi luas sekali. Menurut saya, manusia merdeka adalah manusia yang tidak tertipu oleh idiom-idiom dan budaya-budaya aneh-aneh semacam itu.”

PARAMETER KETELADANAN BUKAN SIAPA, TAPI APA

Mbak Wahyu menanyakan di antara pemimpin-pemimpin kita saat ini, siapa yang menurut Cak Nun bisa dijadikan panutan, yang juga mengimplementasikan nilai cultural leadership yang telah dijelaskan sebelumnya.

Cak Nun: “Parameternya jangan hanya siapa, tapi juga apa. Kalau siapa itu mengharuskan seseorang utuh bisa diteladani, sedangkan kalau apa kan anda bisa lebih luwes. Dari Pak A saya teladani X-nya, dari Pak B saya teladani Y-nya.

“Jangan lupa bahwa sesungguhnya sangat banyak orang baik, teladan, orang-orang yang bisa kita andalkan, termasuk mungkin kita sendiri. Tapi tadi saya ngomong di awal bahwa ini tanah tidak subur. Jadi orang baik tidak akan tampak kebaikannya karena mata pandang yang kita gunakan sehari-hari adalah mata pandang yang punya kecenderungan untuk mencari keburukan orang lain.

“Ini semua kan fals sekarang. Mari kita kembali ke dasar aransemen kehidupan supaya kita menemukan harmoni. Sekarang apa saja fals. Agama itu kan fals banget sekarang. Jadi sesungguhnya tidak ada barang fals, yang ada adalah konfigurasi di mana beberapa titik itu berharmoni. Yang anda harapkan itu ada, pemimpin Indonesia itu sudah ada, orang mateng itu banyak, cuma dia belum berada pada satu aransemen yang memungkinkan dia menunjukkan kebaikannya.”

INDONESIA MENGEMBARGO DUNIA

Inspiratif sekali Pak Emha! Beberapa hari lalu kita sudah menerima teori-teori dan pendapat mengenai kepemimpinan modern yang mengikuti kondisi global saat ini, dan tadi bapak menyampaikan dengan kearifan lokal di mana secara budaya Indonesia sudah memiliki filosofi-filosofi kepemimpinan. Bagi kami, BI, ke depan nanti mana ya Pak yang lebih sesuai untuk diterapkan, yang global atau kearifan lokal?” Pertanyaan berikutnya datang dari Mas Ero.

“Yang ada di Indonesia ini bukan kearifan lokal,” jawab Cak Nun, “tetapi harmoni dari lokalitas-lokalitas yang arif. Indonesia adalah Sunda, Jawa, semuanya, dan itu harus ada ilmu dan proses untuk melakukan elaborasi supaya dia berperan komprehensif harmonis. Jadi, orang Jawa tidak bertentangan dengan orang Jawa karena dia mencari harmoni satu sama lain. Dan itu sebenarnya masa depan dunia adalah harmoni ke-Indonesia-an. Kalau sudah ada bhinneka tunggal ika, seluruh dunia akan ikut bhinneka tunggal ika.

“Indonesia ini jangan mencari contoh soal di luar Indonesia karena Indonesia lambat atau cepat sudah akan menjadi contoh untuk diteladani seluruh dunia.

Arab Spring itu merupakan rekayasa Amerika untuk ‘mengubah’ negara-negara Timur Tengah menjadi demokrasi dengan tiga metode, yaitu metode sikat habis seperti yang dilakukan pada Saddam dan Khadaffi, metode pemberontakan progresivitas demokrasi biasa seperti yang terjadi di Syiria yang tak kunjung selesai, dan terakhir metode pegang kepala seperti yang dilakukan atas Arab Saudi. Jadi seluruh policy di Mekkah itu policy Amerika, tentara Saudi juga tentara Amerika. Yang ngambil kebijakan di Saudi itu Amerika dan Israel, termasuk di Indonesia dan kedutaan besar Arab Saudi yang berada di sini.

“Saya ingin katakan kepada anda, Indonesia ini justru merupakan pilihan utama Amerika untuk menjadi model bagi konversi bagi negara-negara Timur Tengah. Ini mungkin agak mengherankan dan belum bisa dipahami betul, tapi itu pasti. Jadi gampangannya Mesir mau di-Indonesia-kan, Yaman, Abu Dhabi mau di-Indonesia-kan. Di-Indonesia-kan dalam pengertian apa, mari sambil kita pelajari bersama-sama.”

“Untuk CIA, intelijen Arab Saudi sama Israel ada 6 contoh: dari Iran, Turki, macem-macem, sampai Indonesia. Yang terpilih adalah Indonesia. Mereka jelas tidak mau ada negara Timur Tengah seperti Iran. Mereka juga tidak mau seperti Turki. Mereka sedang menganggap kita bodoh, gampang dibohongi, sangat permisif, dikuras hartanya nggak marah, presiden dan semuanya gampang dirayu, disogok. Biarin Amerika dan Israel kecelik, karena nda tidak seperti yang mereka bayangkan.

“Menurut saya, jangan berpikir dunia, wong dunia mikirin kita. Seharusnya kita mengembargo dunia, bukan dunia mengembargo kita. Wong secara ekonomi dunia butuh kita kok. Kita ditakdirkan menjadi Indonesia, yang betul-betul luar biasa baik secara ekonomi maupun kebudayaan.”

TIDAK MINDER, TAPI JUGA TIDAK NATONI

Saya akan mulai dari pepatah Jawa,” ujar Mas Haris, “Mohon maaf kalau ada kesalahan. Lamun sira sekti ojo natoni, lamun sira mandi ojo mateni, lamun sira banter ojo nglancangi. Hal ini sepertinya bertentangan dengan teori leadership yang ada sekarang. Menurut Cak Nun, pandangan budaya kita terhadap leadership itu bagaimana? Yang kedua, bagaimana mengharmonisasi budaya, agama, dan pola pikir? Pemimpin seperti apa yang mencakup harmonisasi tiga unsur ini?”

Cak Nun: “Ini kita sudah sampai pada pertanyaan-pertanyaan yang ibaratnya di ruang lauhilmahfudz, sudah bagus banget, sehingga kalau nanti saya keliru dikit saja, nasib bangsa Indonesia menjadi kacau. Menurut saya, kita sedang menjadi medan pertentangan dari berbagai macam frame atau terminologi nilai yang secara sangat liberal kita terima semuanya. Dari Mbah kita terima, dari Londo kita terima, dari Amerika kita terima, dan sekarang kita menjadi ajang peperangan itu sehingga menjadi panas dingin.”

“Kalau lamun sira sekti ojo natoni, lamun sira mandi ojo mateni, lamun sira banter ojo nglancangi sebetulnya itu asal usulnya budaya kemanusiaan. Namanya paugeran. Itu cara bergaul antar manusia, tapi tidak pada birokrasi, tidak pada sistem ekonomi. Dia letaknya pada wilayah etika kebudayaan, itu soal kerendahan hati. Filsafat ini lahir ketika kita belum mengenal industri. Waktu itu belum pernah ada ekspertasi profesional yang sekarang menjadi tantangan kita. Kalau itu kita tabrakkan satu sama lain, saya kira kita harus punya kearifan dan ilmu yang mencukupi.

“Kalau dalam dunia profesional itu kan tidak bisa berlaku. Dalam dunia imamah agama saja itu tidak bisa berlaku. Ibu saya tidak pernah mau salat kalau saya imami. Pokoknya harus adik saya yang terkecil yang jadi imam. Dia hanya mau salat kalau diimami adik saya yang terkecil karena secara rohani dia lebih percaya sama adik saya daripada kepada saya. Jadi kan ada macem-macem dimensi dalam hidup. Itu sangat bagus kalau pas di tempatnya.

“Sekarang kita sedang mengalami benturan-benturan antar berbagai nilai. Misalnya, tiba-tiba kita ngomong gotong royong. Gotong royong sama kompetisi kan bertentangan. Terus sekarang karena banyak orang bentrok, Pemda bikin baliho tentang gotong royong. Gotong-royong itu nggak usah jadi pedoman. Dia akan lahir sendiri kalau ada komunitas. Sekarang kan tidak ada komunitas. Sekarang ini orang kumpul bukan karena budaya, orang kumpul karena profesi, karena hobi, atau karena sesama majlis taklim.

“Bergotong-royong akhirnya jadi penyelewengan. Misalnya untuk ujian sekolah di suatu daerah di Jatim dirunding dan ditandatangani bersama antara Pemda, Dinas Pendidikan, ulama-ulama dan kepala-kepala sekolah. Empat pihak ini sepakat bahwa soal ujian dikasih ke siswa sebelum hari uijan demi alasan gotong-royong. Alasan kenegaraannya: pemerintah harus membantu rakyatnya. Terus kata guru, guru harus membantu muridnya. Kyai juga begitu. Maka, gotong-royong ini juga bahaya kalau lahir tidak pada tempatnya, kalau tidak pada harmoninya. Saya sangat senang dengan pertanyaan anda, tapi menurut saya memang itu semua akan terjawab, tapi saya percaya pada kepempimpinan seseorang tadi.

“Kalau dia bisa menang dua langkah saja, bisa baik semuanya karena di Indonesia ini siapapun saja nggak bisa hidup, Mas. Seperti yang saya tadi bilang, kebaikan tidak bisa tumbuh subur di sini. Anda pikir anda ngakuin Yesus itu orisinil karena memang anda ngakuin? Pengakuan kita kepada Yesus dan Muhammad itu kan karena semua orang sudah ngakuin, jadi anda tinggal ngikut. Coba Yesus datang ke sini, Muhammad datang sendiri ke sini, pasti dianggep aliran sesat oleh MUI. Kita nggak orisinal mengakui sesuatu, kita tidak pakai ilmu kita sendiri, kita tidak punya kepribadian untuk secara otentik mengakui sesuatu.”

TELADAN SEJATI ADALAH DIA YANG TERSEMBUNYI

Pertanyaan berikutnya datang dari Mbak Siti Astiah, yang menanyakan bagaimana caranya mengurangi budaya korupsi meskipun tidak jadi pemimpin.

Cak Nun: “Saya kira teladan itu cukup banyak, tapi saya menemukan pejabat-pejabat yang baik itu karena dia keliru, terlalu radikal, harusnya ikut pakem-pakem dikit, makanya dia kena KPK. Walikota, bupati, atau kepala-kepala yang malah kena padahal dia sebenarnya mau memperbaiki.

“Jadi sebenernya ini ngomong soal fals. Banter tapi ojo nglancangi. Ini ternyata untuk manajemen pembangunan juga perlu Mbak. Jadi gini, jangan terlalu radikal untuk mengubah sesuatu. Banyak pemimpin yang terlalu progresif, terlalu nasionalis, malah kena, karena dia dianggap melanggar aturan yang sudah lama berlangsung.

“Kenapa semua orang bertengkar? Karena dipikir dunia ini begitu pentingnya, maka dipilahin habis-habisan jabatannya. Allah itu terbalik sama orang tua kita. Orang tua kita bilang: Nak, kono nang kutho nggoleko penggawean iso nduwe rejeki sebanyak-banyaknya, jabatan setinggi-tingginya, yang penting jangan lupa salat. Sedangkan Tuhan pesennya terbalik: Dalam rangka kamu mencari Aku menuju akhirat, kamu jangan sampai lupa lho kalau kamu harus ngurusi duniamu. Kamu harus cari nafkah.

“Jadi budaya kita mengenal dunia sebagai primer, sebagai tujuan. Kalau versi Allah, yang primer itu mencari Dia di akhirat, dan dunia ini cuma dilewati, cuma jalan. Jalan sama tujuan berbeda. Bagi kita tujuannya dunia, akhiratnya jalan. Yang penting kita dagang laris, kalau dagangan kurang laris ya kita umroh. Agama menjadi alat untuk mencapai dunia. Karena kita terbalik, manajemen kita gini, kita nggak percaya pada yang selain materi.

“Dan anda jangan bernafsu untuk jadi contoh. Kalau anda berbuat baik, jangan nyuruh orang berbuat baik. Saya maklum kok di Indonesia orang tidak berbuat baik. Orang yang potensinya baik sebenernya ada banyak, dan mereka akhirnya putus asa karena nggak ada gunanya berbuat baik.

“Yang penting ayam itu berkokok, tidak usah orang sekampung mengakui kalau anda berkokok, terus diikuti kokokannya. Karena kita terlalu berpamrih orang akan mencontoh kita, itu yang membuat kita menjadi bukan teladan lagi. Maka kalimat pertama saya kepada orang-orang yang datang ke forum-forum saya adalah: Jangan percaya saya, jangan ikuti saya. Kamu jangan jadi pengikut saya, kita semua ini pengikut Allah. Jangan taat sama saya, saya nggak punya saham apa-apa untuk kamu taati. Taat kepada Tuhan, penanam saham utama kita.

“Saya senang anda tanya gitu karena anda sendiri seorang teladan, tapi jangan nunggu orang meneladani anda. Teladan sejati itu sampai tidak diketahui dia teladan. Nabi yang sejati nggak pernah anda lihat, namanya Khidir.”

IMAG2122

KEPEMIMPINAN PAWANG

Dari beberapa hari kami mendapat pembekalan terkait leadership, syarat untuk menjadi leader yang baik itu dimensinya sangat luas. Sementara manusia kan punya keterbatasan-keterbatasan, punya kekurangan. Untuk menjadi pemimpin yang baik apakah kita harus menguasai semua dimensi yang dipersyaratkan atau cukup memegang beberapa key point tertentu saja sudah cukup?” tanya Mbak Erna.

Cak Nun: “Presiden tidak harus ahli pertanian, tidak harus ahli moneter, tidak harus ahli pendidikan. Dia punya kepemimpinan pada tingkat koordinasi dan kearifan untuk mengkoordinir seluruh fungsi-fungsi itu. Kalau Anda cari, jadi presiden kuliah di fakultas apa? Pemimpin yang baik itu bukan soal keahliannya, tapi soal aura, soal di atas ilmu.

“Contohnya, ada kepala suku yang dipilih dengan bermacam-macam metode. Salah satu metodenya adalah dia dihadapkan pada pasukan tawon. Ini dijalankan oleh suku Amatoa, Kajang. Pertama pakai sapi atau kerbau. Sapi dilepas, nanti dia menuju rumah siapa, di situlah pemimpin itu tinggal. Misalkan sapi menuju ke 3 tempat, orang yang rumahnya ditempati 3 sapi itu dibawa ke lapangan, dipilih. Pemilihan finalnya adalah dengan mengerahkan pasukan tawon. Ini kita pelajari bukan tawonnya tapi faktor apa yang bisa jadi parameter kepemimpinan.

“Peserta pertama kena tawon lari, ini dia nggak bisa jadi pemimpin karena dia tidak tahan terhadap apa yang akan dia pimpin. Dia nggak punya mental, dia nanti sambat terus, kesakitan, terus nanti tiba-tiba bikin akun Twitter. Dia kesakitan terus dan reaktif, nggak ngerti mana bedanya skala prioritas dan nggak ngerti mana yang primer. Ini tipe pertama.

“Tipe kedua, begitu tawon menyengat, tawonnya jatuh plak plak. Orang sesuku nggak mau milih dia, gawat ini hebat betul dia, siapa saja yang mengkritik akan mati. Yang dipilih adalah tipe ketiga, tawon nempel di sini, menyengat, tapi dalam kemesraan. Tipe ketiga ini orang yang memiliki kearifan, memiliki bahasa sehingga kalau dia dikritik orang lain orang itu tidak marah. Dia memberi jalan kepada orang lain untuk mengkritik dia, jadi pemimpin itu kriterianya adalah hebat tapi seperti pawang.

“Anda menaklukkan macan itu kan ada beberapa cara. Cara pertama dengan perang lawan macan, Anda banting dengan ajian apa, macan jadi jinak kepada anda. Teori kedua bukan dengan fisik tapi dengan akal pikiran, dikasih laso, dikasih makanan, digiring, akhirnya macan ikut kita. Teori ketiga pakai kekuatan rohani. Pokoknya diam aja, dan begitu dipandang dia macannya ngikut.

“Nah, kita butuh yang ketiga ini untuk Indonesia. Boleh ada macem-macem di Indonesia, tapi begitu ada orang itu semua jadi tertawa, gembira, optimis, berbuat baik. Yang ketiga ini yang kita tunggu dan sudah ada itu orangnya. Kalau saya sebut sekarang, nanti Tuhan mencoret.”


Poin berikutnya yang ingin saya sampaikan adalah bahwa saya ini, mohon maaf, adalah seorang maestro. Di Italy saya pentas di pusat musik klasik di mana alat-alat musik sedunia dari Vivaldi dan alat-alat musik klasik sedunia ada di situ, termasuk musik kami, Kiai Kanjeng. Saya dijunjung di atas kepala mereka sebagai maestro. Padahal saya nggak bisa main apa-apa. Satu jenis alat musikpun nggak bisa saya mainkan. Tapi mereka menyebut saya maestro, karena semua aransemen yang dipertunjukkan itu saya yang ngatur. Itu yang saya ingin ngomong pada anda.”

“Anda tahu Yanni? Dia nggak bisa main musik apapun, tapi dia punya gagasan, ilmu katuranggan, pranotomongso, kepekaan, gelombang elektromagnetik di ubun-ubunnya nyambung sama hidayah Allah, fadhilah, ilham, dan seterusnya maka dia bisa ngatur. Yang ngatur itu namanya maestro. Orang yang pandai mainin alat musik belum tentu bisa jadi maestro. Jadi, presiden jangan yang ahli pertanian thok. Presiden itu yang appreciate semua bidang dan dia punya feeling ini yang baik begini begitu. Itu namanya aransemen negara.”

BUKAN MENDORONG KE NERAKA

Melanjutkan forum, seorang penanya menyampaikan pendapatnya kepada Cak Nun, “Yang saya hormati Cak Nun, saya ingin menyampaikan terimakasih atas pencerahannya di pagi hari ini, dan tentu butuh kontemplasi untuk mencerna kata-kata yang keluar dari Cak Nun. Saya tadi mencermati beberapa statement dan pertanyaan dari teman-teman dan dari Cak Nun. Perkenalkan, saya Subintoro dari PPATK. Bahwa kepemimpinan nasional dari yang tertinggi sampai yang rendah, ada krisis kepemimpinan dalam negara kita ini. Dan tadi disinggung juga ditandai fenomenanya banyak korupsi dan orang munafik. Ada orang yang seolah betul-betul sebagai pahlawan tapi kalau kita lihat rekeningnya, tidak benar. Kenyataanya dia banyak menggunakan uang dari negara atau Pemda sehingga mereka kena KPK. Ini tentu kami di PPATK bisa melihat dari balik layar dan tentu tidak bisa diekspos. Yang kita tahu adalah bahwa kepemimpinan kita saat ini kurang integritas. Kondisi seperti ini adalah krisis integritas. Sepertinya bagus, tapi ternyata tidak. Ukuran moral belum sampai ke arah sana.

“Dikaitkan dengan pemimpin yang berbudaya. Saya minta pencerahan dari Cak Nun selaku kyai. Saya sejak di SD, SMP, SMA, mahasiswa, sampai sekarang saya suka baca artikel Cak Nun sebagai kiai mbeling di satu sisi, dan di sisi lain seorang budayawan. Mohon pandangan-pandangan Cak Nun tentang meneguhkan hakiki moral yang benar dan terkait dengan integritas tadi dan meneguhkan pemimpin yang berbudaya.”

Cak Nun merespon dengan kembali bertanya, “Misalnya ada banyak koruptor, ada banyak orang munafik, ada banyak ustadz yang sebenarnya penipu, banyak orang yang punya banyak duit terus kena KPK, kalau misalkan suatu hari kita bisa buat Indonesia yang lebih baik, mereka ini kita apakan?

“Orang yang sekarang jelek-jelek, yang kita tuding-tuding jahat itu akan kita apakan? Maksud saya, apakah kita biarkan mereka tetap jelek, atau agar bergabung dengan kita melakukan kebaikan-kebaikan? Ini pertanyaan mendasar, karena orang belum ikhlas sama Soeharto. Orang pengennya Soeharto tetep jelek, Soeharto kok melakukan kebaikan. Soeharto itu harus jelek, masuk neraka, dikutuk. Kita ini mengutuk mereka dunia-akhirat, terus pengen mereka masuk neraka, ataukah kita ingin membangun masa depan sehingga siapa saja di Indonesia ini menciptakan harmoni baru? Beberapa hal harus kita maafkan, beberapa hal harus kita hukum sepantasnya, karena kita ingin membangun bareng-bareng.”

“Mohon maaf kalau saya jawabnya loncat ke sana ke mari karena saking luasnya masalah yang kita hadapi. Semoga yang sampai dari saya adalah cinta saya kepada anda dan seluruh rakyat Indonesia, dan kita minta sama Tuhan untuk dibekerjasamakan membangun Indonesia baru yang sungguh-sungguh merupakan keluarga sakinah mawaddah warrohmah. Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh.

Pukul 11.50, moderator menyampaikan sedikit catatan dari uraian Cak Nun yang banyak sekali hikmahnya, kemudian mengucapkan terima kasih kepada Cak Nun.

“Kami atas nama Bank Indonesia menghaturkan banyak sekali terimakasih atas kehadiran Cak Nun. Setengah hari bersama Cak Nun kita mendapat banyak sekali penyegaran. Paling tidak, saya amati dari ketawanya temen-temen. Ini forum yang sangat segar. Mari kita tepuk tangan yang meriah untuk Cak Nun.”

Selepas itu, Cak Nun dimohon untuk berdiri di depan menerima cinderamata dari BI, lalu disambung dengan sesi foto bersama.

[Teks: Ratri Dian Ariani]