Kesetiaan Terhadap Nilai

REPORTASE Majelis Gugur Gunung EDISI maret 2016

BERTEMPAT DI GEDUNG taman bermain Qomaru Fuady – Balongsari. Cangkruk budi doyo di majelis Gugur Gunung ini diawali dengan pembacaan Ummul Kitab yang ditujukan kepada Rasulullah SAW, keluarga, saudara, pepunden wilayah Balongsari, dan seluruh makhluk yang dicintai jama’ah yang dipimpin oleh Agus Wibowo. Suasana begitu khusyu’ saat pembacaan al fatihah, jama’ah juga terlihat begitu menikmati kekhusyukan malam itu. Setelah al fatihah selesai dibacakan, dimulailah dengan tema kesetiaan terhadap nilai.

Diskusi dibagi menjadi dua sesi, sesi pertama diskusi dimulai dengan pemaparan dasar tentang kesetiaan terhadap nilai oleh mas Dian dan direspon bersama-sama oleh jama’ah, dan sesi kedua diisi dengan pemaparan lebih mendalam oleh Agus Wibowo, sekaligus menanggapi diskusi yang telah diurai jama’ah di sesi pertama yang kemudian ditutup dengan kesimpulan dan do’a.

Mas Dian membuka diskusi dengan membacakan mukadimah dari tema Kesetiaan Terhadap Nilai. Dari mukadimah yang dibacakan, munculah beberapa pertanyaan dari jama’ah. Pertanyaan pertama diutarakan oleh Patmo, “Di awal mukadimah ada istilah Purwa dan Kawi. Yang ingin saya tanyakan adalah apa itu Purwa dan apa itu Kawi?.” Pertanyaan selanjutnya diutarakan oleh Anis, “Sejak kapan ada istilah Barat dan Timur?.” Dilanjutkan dengan pertanyaan dari Andhika, “Apakah bangsa Kawi memang sudah sejahtera hingga memilih melanjutkan kesejahteraan, dan nilai seperti apa kesejahteraan tersebut?.” Lanjut pertanyaan dari Vino, “Kenapa keterputusan nilai bisa terjadi?.” Dan pertanyaan terakhir dilontarkan oleh Rizal, “Apa itu nilai? Dan apa itu laku?.”

Dari beberapa pertanyaan diatas timbul gelembung diskusi yang cukup padat di diskusi sesi pertama. Melebar, menyempit, meluas, dan mendalam adalah warna yang mewarnai gelembung tersebut hingga suasana malam itu benar-benar cair, dan jama’ah tenggelam dalam lautan kemesraan dalam mencari kebenaran bersama yang akan diolah masing-masing menjadi kebenaran sejati.

Diskusi sesi pertama ditutup dengan pembacaan munajat jama’ah Maiyah yang dipimpin oleh Kang Jion. Sungguh suasana saat jama’ah bermunajat tak dapat kami lisankan melalui kata dalam tulisan ini yang jelas malam itu benar-benar malam penuh rahmat dan bergelimang cahaya. Gelombang kerelaan dan keikhlasan jamaah menggelembung dan perlahan mengetuk lapis-demi lapis langit hingga tercipta suasana yang benar-benar tenang dan menentramkan hati malam itu.

Diskusi sesi kedua dimulai dengan menanggapi dan menggali lebih dalam lagi tema dan beberapa pertanyaan yang dilontarkan oleh beberapa jama’ah yang dipimpin oleh Agus Wibowo. Dimulai dari merespon pertanyaan pertama, “Bahwa Purwa adalah awal, jadi bangsa Purwa adalah peradaban bangsa awal. Sedangkan Kawi adalah peradaban awal manusia setelah yang pada ketika itu masih ada bangsa-bangsa selain manusia yang hidup bersama di muka bumi. Dimana manusia awal kala itu menggunakan bahasa yang mampu dimengerti pula oleh bangsa lain _bangsa Yaksa, Denawa, Raseksa, Kunara, Kunari, dlsb_. Bahasa yang dipakai lebih mirip berlagu ketika dituturkan. Lebih ke bentuk Tembang (keindahan nada) daripada Tembung (kata-kata). Kenapa tembang? Karena ini adalah metode berdialog yang melibatkan perasaan yang daya sentuhnya langsung menyentuh ke hati. Bahasa ini kemudian dimasak terus menerus hingga berjalannya waktu munculah bahasa Sansekerta, dan seterusnya.

Yang menarik dalam kehidupan Masyarakat Purwa adalah kepandaian mereka dalam menata kehidupan dari segala bidang. Tidak hanya Bahasa dan kata, namun juga teknologi-teknologi terapan. Dari Bangsa Kawi pula terlahir sistem tanam-menanam. Pengenalan awal adalah menanam tumbuhan-tumbuhan keras hingga kemudian menemukan tanaman yang berusia pendek dan bisa segera dijadikan bahan makanan. Dari situ bangsa Kawi merupakan pionir dunia pertanian, persawahan, dunia agrokultur dan botani. Maka hingga kini kelompok besar beras dunia hanya ada dua yakni Oriza Sativa Javanica, Oriza Sativa Japonica dan menyusul kemudian ras Oriza Sativa Indica. Kaitan tiga tempat ini (Java, Jepang, India) ini sangat memungkinkan dengan sisi pandang jaman Kawi. Bahwa ketiga merupan satu wilayah yang masih terintegrasi secara sosio kultur.

Kembali ke Bangsa Kawi. Kebiasaan menanam ini menjadi indikator khas masyarakat Kawi, mereka senang meletakkan benih demi dalam kehidupan karena mereka tahu bahwa benih itulah yang akan terus tumbuh dan menghidupi anak turun dan sekaligus membangunkan atau menghidupkan ribuan kebijakan yang belum sempat terkuak karena keterbatasan usia manusia.

Bahwasannya menjadi biji adalah pihak yang disiap menyangga nasib untuk dibuang dan ketika bersama-sama hadir sebagai buah pun letaknya tersembunyi. Namun dari biji itu pula keberlangsungan hidup secara umum lebih dipersyaratkan.

Dari masa ke masa secara bertahap namun pasti, bangsa manusia telah bertambah hijabnya. Dari jaman Nabi Adam AS yang hanya memiliki satu hijab, dilanjutkan Nabi Nuh AS yang memiliki dua hijab, hingga peradaban jaman sekarang ini yang sudah mencapai 7 hijab. Terlihat semakin jauhnya jangkauan kita untuk mampu mencapai dan bahkan hanya sekedar meraba bagaimana peradaban awal manusia sudah sering terjadi kesalahan karena hijab tersebut.

Dilanjutkan dengan respon Agus Wibowo mengenai pertanyaan kedua, “Istilah Barat dan Timur ada sejak ditemukannya pemahanan tentang kalaider – waktu yang berputar/perputaran waktu. Kala – kale – kaluruk : kokok ayam. Kokok ayam ditengarai sebagai awal kehidupan dan disini dapat diambil kesimpulan bahwa dimulainya kehidupan peradaban adalah dari letak dimana matahari terbit, yaitu timur.”

Lanjut ke pertanyaan ketiga yang juga lebih diperdalam oleh Agus Wibowo, “Letak kesejahteraan terletak pada pengampunan Allah SWT. Hingga langkah yang diambil adalah langkah yang harus selalu bermanfaat (Baldatun Toyibatun) hingga Gusti Allah Ridho dan senantiasa memberi ampunan (Robbun Ghofur). Jika kesejahteraan yang diambil hanya berhenti di Baldatun Toyibatun tanpa memikirkan langkah selanjutnya yaitu Robbun Ghour, maka sudah pasti nilai kesejahteraan tersebut terputus dan rusak.”

Berlanjut ke pertanyaan ke lima, Agus menyampaikan; “Nilai adalah suatu ketetapan atau bisa juga disebut sunatullah. Sedangkan laku adalah tahap perjalanan yang dilakukan dalam menemukan dan mensetiai nilai yang ditemukan di perjalanan tersebut. Jadi kesetiaan terhadap nilai bisa juga disebut sebagai kesetiaan kita menjalankan sunatullah (ketetapan dari Allah SWT).”

Dalam untuk menggapai kemurnian nilai harus selalu sepuh dan laku mandito. Sepuh dari akar kata nyesep pupuh, artinya senantiasa mau menyerap (nyesep) dan menimba ilmu (pupuh). Sedangkan mandito dari akar kata mandhe hito, artinya senantiasa mau menempa (mandhe) hati (hito). Jadi untuk menggapai kemurnian nilai harus selalu senantiasa mau menyerap dan menimba ilmu dengan bermodal hati yang tertempa hingga menimbulkan kesucian hati dan kejujuran dalam berfikir yang menghasilkan tercapainya dan terjaganya kahanan jati – sunatullah – nilai, dimana letaknya benar-benar sangat tersembunyi.

Diskusi terus berlanjut dengan begitu khidmadnya hingga waktu menunjukkan pukul 04.35 WIB dimana cangkruk budi doyo masyarakat Maiyah Ungaran di majelis Gugur Gunung ditutup dengan doa bersama-sama.

[Teks: ARF]