Bangsa Tak Butuh Superhero

ERA DIMANA superhero digandrungi hingga mati-matian dan menjadi panutan oleh puluhan juta orang di dunia, tak berlaku di Indonesia. Di Indonesia sudah hal yang biasa satu tokoh yang sakti mandraguna, memiliki kekuatan super, manusia dengan kecerdasan yang cemerlang, visi misi yang brilian, dibalut keberanian, ketegasan suara yang berat menggeram untuk menggertak melawan ketidakadilan, sampai orator ulung  yang memekik hentikan penindasan, bertebaran di Indonesia. Sejak zaman perang hingga reformasi 1998 darah dan air mata bercucuran dari para pahlawan-pahlawan yang berjuang atas nama kebebasan dan keadilan. Ini bangsa Indonesia, ini tanah air rakyat Indonesia, ini bumi ibu pertiwi yang sangat dicintai oleh Suparman, sampai-sampai kemana-mana dengan bangga Suparman mengenakan kaos bertuliskan JANGAN CINTAI IBU PERTIWI, dengan harapan cintanya tak diduakan.

Suparman yang asli Brebes bersama rakyat Indonesia lainnya, tidak kagum dengan maraknya superhero. Bahkan dalam kemiskinan, mereka justru memilih untuk serius miskin. Sementara kebanyakan orang berlomba-lomba memperkaya diri, Suparman dan kawan-kawan memilih angon hewan ternak, nyawah, bercocok tanaman dengan tangan mereka sendiri. Sudah sangat terbiasa, di negeri ini orang-orang seperti Suparman bermain-main dan bercengkrama dengan penderitaan. Kecintaannya kepada Rasulullah Muhammad SAW menjadikanya manut dan rela memberikan apa saja untuk mengikuti perjuangan dan melaksanakan sunah-sunahnya. “Berikan perintah, berikan satu saja kalimat agar kami punya alasan untuk angkat senjata, matipun bukan hal yang menakutkan, apalagi hanya lapar. Kami akan ikuti sampai dimanapun.” Coba tanyakan kepadanya siapa yang hendak ia lawan? Bad Man, itu jawabnya. Namun hingga kini Suparman tidak pernah mendapatkan alasan untuk angkat senjata melawan Bad Man, si orang jahat.

Mungkin jaman ini Bad Man ada di mana-mana, mereka mengaku membela rakyat namun dibalik topengnya tertutupi niat buruknya. Atau sebaliknya mereka terkesan jahat, namun dibalik topengnya terselubung niat baik. Saat ini, tiga ratusan bupati, walikota, menteri  bahkan gubernur  berbondong-bondong masuk lembaga anti rasuah, KPK. Memakai jaket berwarna orange di daerah Kuningan – Jakarta. Sayangnya, tak ada rakyat biasa, para buruh tani, tukang sapu atau penjual sayur di wilayahnya yang meneteskan air mata untuk bersedih. Sudah kering atau memang tak lagi peduli, menjenguk saja tidak, entahlah. Mungkin saja golongan masyarakat kelas bawah ini termasuk yang Golput, jumlahnya kira-kira 40% dari pemilih nasional.

Sejak dahulu, golongan rakyat biasa yang dianggap kelas bawah inilah yang rela duduk menunggu Haji umar said berpidato. Mereka inilah yang mau mendengar Bung Karno berorasi dengan suara lantang. Mereka ini lah yang guyup rukun mengikuti Kelompencapir di zamannya Pak Harto. Mungkin saja, mereka yang meramaikan yasinan, genjringan hingga sholawatan yang  jadi budaya rakyat kecil. Hari ini semua seperti tak lagi tertarik dengan siapa calon bupatinya, tak lagi peduli siapa gubernurnya, bahkan siapa presidennya. Andai televisi puasa menayangkan pilihan presiden, mungkin golongan kelas bawah ini tetap mencangkul dan ngrumput. Jangankan nyumbang air gelas atau membuatkan nasi bungkusan untuk calon pemimpin yang sedang kampanye, datang saja enggan.

Lalu siapa yang prihatin melihat respon dan sikap, sebutlah golongan kelas bawah ini, rakyat biasa. Toh hanya segelintir orang yang tingkat kepeduliannya beragam. Bisa saja kaum pemangku kepentingan, bisa saja mereka yang memang yang  pekerjaannya terkait milih atau tak memilih, dan memang yang benar-benar peduli kemunduran konsep kepemimpinan. Pernahkah anda berpikir, jangan-jangan tuhan sedang meliburkan pemimpin dari negeri ini. Bisa saja libur itu datang karena Negara ini tidak butuh pemimpin, hanya butuh petugas. Ada juga petugas propinsi, kota dan kabupaten. Sebab musababnya bisa saja datang saat penyelewengan amanat terjadi. Jelas-jelas dipilih rakyat, kok setelah jadi manutnya sama ketua partai, mafia jabatan atau broker kekuasaan. Presiden sebagai tempat bertemunya kelaliman dan kebajikan, tempat kebatilan dan keadilan, juga tempat keadilan social dan individual. Semua jadi satu, semua melihat baik buruk pada satu orang. Faktanya, presiden dan kepala daerah lebih suka jadi petugas daripada jadi pemimpin. Wajar tak banyak yang menangis saat sakitnya, tak ada membesuk saat kasus menimpanya. Tak ada lagi jutaan golongan kaum bawah mengikuti seruannya.

Kenduri Cinta beberapa tahun yang lalu pernah mengangkat tema Jokowingit. Tepatnya Agustus 2013. Responnya beragam, mulai dari yang kranjingan presiden digathuk-gathukkan dengan nama sosok hari itu yang lagi in di Ibukota. Ada juga  yang kebetulan aliran filsafat futuristik menganggap satrio piningit akan hadir sesegera mungkin. Nyatanya, sejak jaman prabu Jayabaya hingga saat ini tak kunjung lahir gambaran ciri-ciri  pemimpin tersebut. Model lain dari tema tersebut kemudian melebar tak  menentu seiring pikiran jamaah yang kita yakini lagi ngglambyar, seiring tekanan ekonomi dan streesnya ibukota. Ya, mungkin stress dengan pemimpinnya dari pusat hingga di daerah.

Kemudian, judul Kenduri Cinta lahir, makin tajam dan subtansial, mulai Bayang-bayang Para Ksatria, Menegakkan Pagar Miring, hingga sepanjang 2014 dengan grand tema terkait Nusantara. Di tahun 2015, penataan manusia, lebih dititik beratkan. Terkait akal, aqidah, mentalitas, identitas, etos kerja dan semangat menjadi bagian sangat penting.

Anda mungkin hari ini sudah sangat gerah, bosan dan pada titik marah yang membuncah. Sampai kapan menunggu lahirnya pemimpin yang seperti bayangan anda saat belajar nilai dan agama. Kalau menunggu lahir, berapa puluh tahun lagi harus menunggu. Seperti halnya sejarah masa lalu. Pernah ada generasi ashabul kahfi. Adanya segelintir manusia yang sangat jumud dengan kondisi negaranya, keadaan rakyatnya, juga tak tahu lagi harus berbuat apa. Pilihan utamanya kemudian tidur selama ratusan tahun. Teladan itu ada dan pernah terjadi dalam manghadapi situasi yang kurang lebihnya seperti Indonesia saat ini. Mimpi memiliki pemimpin yang di impikan tak kunjung datang. [AS-MIB]