Kabar Dari Busan

Minggu 27 Juli 2014, Cak Nun, Mbak Via (Novia Kolopaking), dan Sabrang bertolak ke Busan, Korea Selatan. Berangkat dari Jakarta pukul 18:52 WIB menuju Kuala Lumpur untuk transit beberapa jam, perjalanan menuju Busan dilanjutkan pada pukul 01:15 dini hari, tanggal 28 Juli 2014.

Penerbangan menuju kota industri di Korea Selatan itu ditempuh selama kurang lebih 7 jam. Pada pagi, pukul 08.15 waktu setempat, Cak Nun, Mbak Via dan Sabrang akhirnya mendarat di Gimhae International Airport, kota Busan. Selang beberapa saat, setelah keluar dari anjungan kedatangan, Cak Nun, Mbak Via dan Sabrang segera bergegas menuju masjid Al-Fattah yang terdekat dari bandara untuk mengikuti solat idul fitri. Tiga orang penjemput telah bersiap menemani Cak Nun, Mbak Via dan Sabrang, menuju penginapan seusai solat ied. Mereka adalah Abdussalam, Ahmad Zubair, dan Sulaiman, ketiganya merupakan warga muslim Korea.

Busan merupakan kota pelabuhan yang ramai. Kesibukannya yang padat sebanding dengan populasi manusia yang mendiaminya, yaitu 4.000.000 jiwa. Bulan Juli hingga Agustus, musim panas tengah melanda Busan. Bila siang datang, suhunya bisa lebih dari 35 derajat celcius. Warga Korea Selatan, akrab menyebut kota Busan sebagai “wilayah bawah”. Pengistilahan ini berkaitan dengan letak geografis Busan yang berada didaerah pesisir pantai. Sementara penyebutan “wilayah atas” disematkan pada kota Seoul, yang juga merupakan ibukota negara.

Korea Selatan menjadi salah satu negara incaran bagi perantau-perantau Indonesia. Kemajuan industrinya mengundang minat tenaga kerja Indonesia untuk mengadu nasib disana. Kurang lebih 9.300-an tenaga kerja Indonesia sudah tinggal dinegeri itu dan terebar di beragam kota.


10429448_666742906750104_2804926709649469830_n-300x200Malam hari setelah kedatangan, Cak Nun memenuhi undangan silaturahmi di rumah Pak Indra ITPC (Indonesia Trade Promo Centre).  Anjangsana itu diisi dengan diskusi tentang berbagai hal, terutama yang menyangkut kabar Indonesia terkini. Topik-topik hangat dari tanah air hingga persoalan spiritual digelar dengan suasana yang akrab. Sebagai seorang sahabat, pak Indra juga tak melepaskan kesempatan untuk mengungkapkan permasalahan yang kerap dihadapinya di negeri Korea Selatan, kepada Cak Nun.

 

Selama 2 hari di Busan, Cak Nun sibuk dengan beragam kegiatan di kota tersebut. Rangkaian kunjunganpun dilanjutkan ke daerah lain. Pada Rabu pagi (30/7) Cak Nun menuju ke wilayah atas, yaitu Seoul. Perjalanan menuju kota terbesar di Korea Selatan itu memakan waktu sekitar 5 jam menggunakan moda transportasi darat. Setiba disana, Cak Nun mengunjungi beberapa tempat dan silaturahmi dengan para tenaga kerja Indonesia.

Jumat pagi hari berikutnya, Cak Nun hadir di masjid Darusalam di Seoul untuk berdiskusi setelah solat Jumat dengan sejumlah mahasiswa dan tenaga kerja Indonesia di kota tersebut. Setelah singgah di masjid Darusalam untuk berdiskusi berbagai macam hal, Cak Nun lantas melanjutkan perjalanan menuju daerah Uijeongbu, sekitar 2 jam arah utara Seoul, guna menghadiri pertemuan berikutnya. Uijeongbu merupakan kota terdekat dengan Korea Utara yang tenar dengan kawasan perbelanjaan dan sentra kuliner. Di kota tersebut terdapat pangkalan militer Amerika, yang letaknya berdekatan dengan markas tentara Korea Selatan.

JAGOAN-JAGOAN INDONESIA

Malam hari setelah kedatangan, Cak Nun dan Sabrang berkunjung ke mushola Al-Ikhlas Uijeongbu, menghadiri acara diskusi yang diselenggarakan oleh warga Indonesia yang tinggal di kota itu. Mushola tersebut terbilang istimewa, karena didirikan oleh orang-orang dari Indonesia yang masuk ke Korea Selatan secara illegal. Terletak di wilayah perbatasan yang berhimpitan dengan Korea Utara. Topik-topik sosial, politik dan keagamaan yang berdekatan dengan kehidupan kaum rantau, dibedah malam itu.

Salah seorang jamaah yang juga penanggung jawab mushola tersebut turut hadir pada forum itu, yakni Aris “Bothak” Munandar. Tenaga kerja Indonesia asal Cilacap, yang telah tinggal di daerah paling utara dari Korea Selatan disekitar perbatasan Korea Utara dan Korea Selatan sejak tahun 1995. Sepak terjang Aris selama merantau cenderung menegangkan. Masa lalunya sebagai preman, tukang tawur dan jambret pada sejumlah tempat di perbatasan Korea Utara membuat Aris mendapat julukan “penguasa wilayah”. Oleh sebab reputasinya itu pula, ia akrab dengan kepolisian yang justru menghormatinya. Kini Aris bekerja sebagai supervisor pabrik kain disekitar daerah tersebut, yang juga menjadi negara tempat tinggalnya. Oleh masyarakat sekelilingnya, Aris dipercaya untuk mengurusi perijinan pendirian musholla atau masjid di kawasan perbatasan Korea Utara, juga menjadi ruang solusi bagi penanganan-penanganan orang Indonesia yang berada di Korea, terutama di wilayah perbatasan.

Sekisah dengan Aris, tersebutlah Silo, pemuda asal Solo yang bertugas mengantarkan Cak Nun, Mbak Via, dan Sabrang selama berada di Korea, termasuk pada kunjungan di awal tahun 2014 lalu. Silo telah bekerja dan tinggal di Busan selama 19 tahun. Riwayatnya tak beda dengan Aris. Pernah mengenyam sejumlah aktifitas premanisme di kota yang dihuninya membuat dirinya menjadi terkenal di wilayah bawah. Kini dunia tersebut sudah dia tinggalkan dan menggarap ladang nafkahnya, Silo bekerjasama dengan orang Korea menjadi pengusaha cargo di Gimhae. Silo kerap dijadikan tempat perlindungan bagi warga Indonesia, baik tenaga kerja maupun mahasiswa yang sedang bermasalah di Korea Selatan. Tak hanya itu, dia juga memiliki tugas untuk mengurus perijinan pendirian masjid dan mushola di Korea Selatan, bahkan beberapa masjid dan mushola yang dia kerjaan dengan tangannya sendiri mulai dari perijinan, mendesain ruangan, hingga membangunnya, cukup dikerjakannya sendiri. Juga beberapa musola yang dia miliki lalu diserahkan kepada masyarakat untuk dikelola bersama-sama. Hal yang sama sebagaimana yang dipikul Aris di Korea Utara.

Mereka berdua memang termasuk penghuni terlama di Korea Selatan, dimana saat itu belum banyak orang Indonesia disana, tidak seperti saat sekarang ini. Keduanya saling takdzim satu sama lain, sama-sama illegal, sama-sama disegani diwilayahnya masing-masing, hingga akhirnya bersahabat sampai saat ini. Menjadi illegal tidak menjadi masalah bagi mereka disana, selain imigrasi disana tidak begitu mempermasalahkannya, juga karena disana sangat membutuhkan tenaga-tenaga kerja dari Indonesia.

Mereka berdua berlaku bak duta besar yang terjun langsung pada persoalan-persoalan warga Indonesia di wilayah masing-masing. Dari perkara tenaga kerja Indonesia hingga perkara imigrasi ataupun bila ada kematian warga Indonesia yang dekat dengan kawasan kekuasannya. Nyaris pada semua hal yang berkaitan dengan warga Indonesia di Korea Selatan ataupun perbatasan Korea Utara, kedua mantan preman ini terlibat aktif, dan berlaku sebagai juru solusi. Merekalah jagoan-jagoan Indonesia yang menjadi tumpuan banyak orang, yang merantau di semenanjung Korea.

Terkait mengurusi kematian pekerja Indonesia, Silo bercerita pengalamannya dimana pada tahun 2006 ada seorang pekerja asal Ponorogo bernama Tukimin terkena serangan jantung. Dengan enteng Silo menangani itu semua, mulai sejak di rawat di rumah sakit sampai meninggal dunia, hingga pengiriman jenazah ke Indonesia, semua dia urus dengan kantong pribadinya. Belum lagi pada saat pengiriman jenazah, pihak KBRI tidak mau urus dengan alasan passport Tukimin sudah tidak aktif lagi masa berlakunya. Mau tidak mau Silo harus mencari jalan keluar sendiri, bagaimana caranya agar jenazah tersebut dapat terkirim ke Indonesia dan diterima keluarganya. Akhirnya Silo menggunakan sistem “paket”, dengan biaya yang tidak murah dikeluarkan oleh Silo sekitar 4.300.000 won, setara dengan 43.000.000 rupiah. Jenazah teman Ponorogo itu dengan lancar bisa lolos imigrasi Korea maupun imigrasi Indonesia dengan status paket barang. Semua diurusnya dalam waktu seminggu, menembus ini itu di Korea. Dengan santai dia berkata, “Kalau saya takut pada imigrasi dan polisi, nanti kalau tertangkap saya sedih. Maka saya putuskan untuk takut kepada Allah saja. Jadi, kalau tertangkap berarti itu kehendak Tuhan, saya ikhlas.”

Mengenai tingkah pola mereka berdua, beberapa pekerja Indonesia di Korea Selatan bertutur, bahwa sebenarnya yang layak untuk menjadi duta besar bagi bangsa Indonesia disana ya harusnya sekelas mereka-mereka itu kemampuannya. Mewakili keramahan, keuletan, dan ketekunan juga ketangguhan bangsa nusantara. Mereka menjadi “manusia wajib” di Korea.

 

Sabtu pagi (2/8) Cak Nun, Mbak Via, dan Sabrang kembali menuju Busan memakan waktu kurang lebih 7 jam perjalanan darat. Malam harinya langsung bergabung pada majelis maiyahan yang digelar di masjid Al-Hidayah, Gimhae oleh tenaga kerja Indonesia yang tinggal diseputaran kota itu, awal 2014 silam, Cak Nun mendatangi masjid itu pada acara yang sama. Dari tempat yang biasa dipakai untuk berjudi, dimana Silo juga tinggal disitu, kemudian dia rubah menjadi masjid, yang bermanfaat hingga saat ini.

Agenda selanjutnya pada minggu paginya (3/8) Cak Nun, Mbak Via, dan Sabrang maiyahan di Ulsan University, Busan, Korea Selatan.