Gerbang Wabal Di Tengah Keterasingan Zaman

Neokolonialisme pada zaman ini sudah berada pada posisi yang sangat kuat. Dengan semakin menjalarnya sistem Kapitalisme Global, penjajahan yang dilakukan bangsa-bangsa Eropa di berbagai belahan dunia semakin kokoh mencengkeram sekaligus meredam kemungkinan terjadinya pemberontakan. Selain penjajahan fisik, Eropa sukses menjadikan koloninya di benua Amerika menjadi negara super power, neo-kolonial sangat berdaya dalam mewujudkan kejayaan bangsa-bangsa Eropa diatas bangsa-bangsa lain. Kejayaan tersebut pada hari ini dapat kita lihat bagaimana bahasa Inggris menjadi bahasa Internasional, gaya hidup kebanyakan orang saat ini berkiblat pada gaya hidup orang-orang Eropa yang diinfiltrasi melalui media massa baik cetak maupun elektronik, perubahan gaya hidup yang berlangsung sangat cepat hingga tanpa sadar menjadikan orang meninggalkan budaya asli bangsa dan jati dirinya sendiri.

Dunia pendidikan pun tak luput dari penjajahan bangsa Eropa, betapa banyak ilmu pengetahuan yang sebelumnya sudah ditemukan terlebih dahulu oleh para alim ulama Islam, kemudian diakui oleh orang-orang eropa. Tidak ketinggalan pula penguasaan dalam bidang ekonomi, sumber daya alam suatu bangsa dieksploitasi sedemikian rupa hingga kemudian diurus oleh perusahaan-perusahaan multi-nasional, bahkan total kontrol keuangan global direkayasa dalam tema besar ‘pasar bebas. Dinamika politik, dimanfaatkan dengan semaksimal mungkin untuk menguasai bangsa lain dengan aturan main yang mereka sebut sebagai ‘demokrasi’. Negara-negara yang sebelumnya sudah mandiri, secara terencana dan sistematis dihancurkan satu persatu, dengan kemudian memunculkan tokoh-tokoh politik baru yang mengakomodir tujuan-tujuan mereka, tanpa sadar mereka berperan sebagai aktor politik di panggung lawakan demokrasi, bahkan tidak sedikit pula yang dipuja-puja dan dijunjung-junjung bak pahlawan kebebasan dalam sebuah negara.

Guna memuluskan rencana besar mereka, pertikaian dan peperangan diciptakan, perpecahan dirancang sedemikian rupa berdasarkan kultur, budaya dan letak geografis negara-negara yang tidak mau mengikuti aturan main mereka. Pecahnya Uni Soviet, fenomena Arab Spring, konflik Korea Utara – Korea Selatan, India – Pakistan, Iran – Irak adalah beberapa contoh bagaimana mereka menciptakan konflik yang menimbulkan perang saudara. Mereka sendiri yang mendanai pertikaian, mensuplai persenjataan dan mendanai peperangan tersebut. Ketegangan-ketegangan tersebut mereka pelihara, sesekali mereka hentikan konflik-konflik di daerah tersebut, kemudian dihembuskan isu kemanusiaan ke seluruh dunia sehingga banyak yang merasa simpati terhadap salah satu negara yang terkesan dirugikan, sebagai kedok bahwa hal tersebut merupakan kejahatan perang.


Freemason dengan gerakan Illuminati-nya begitu rapi menyusun skenario cetak biru penguasaan terhadap dunia saat ini. Sebuah organisasi yang sangat rahasia, bahkan tidak mudah untuk menjadi anggota di organisasi ini. Ada yang mengatakan bahwa mereka adalah bangsa Yahudi, bisa benar bisa juga salah. Bahkan antara mereka banyak yang tidak mengenal persis satu sama lain, apa tujuan utama organisasi tersebut hanyalah diketahui oleh pucuk utama pimpinan organisasi tersebut. Mereka tidak mendirikan sebuah negara, tetapi mereka menyusupkan agen-agen mereka kedalam setiap negara demi tercapainya tujuan mereka; menguasai dunia secara kesulurahan.

Pola penyusupan mereka di setiap negara tentu berbeda satu sama lain, ada negara yang harus dibuat rusuh dengan perang saudara, ada yang dihancurkan melalui rekayasa krisis ekonomi berkepanjangan sehingga membuat negara tersebut tidak memiliki opsi lain selain mengalami kebangkrutan. Di Indonesia sendiri ada beberapa pola perpecahan yang mereka ciptakan. Diantaranya adalah melalui hembusan isu yang dikaitkan dengan agama. Isu lama seperti Sunni-Syiah, Islam Liberal, aliran sesat hingga tuduhan terorisme adalah beberapa contoh metode bagaimana mereka berusaha membuat Indonesia gaduh. Dalam tatanan pemerintahan, mereka berhasil menyusup dalam parlemen untuk kemudian memaksa parlemen melakukan amandemen undang-undang, perubahan sistem ketatanegaraan, proses peralihan kekuasaan yang tidak normal hingga pemanfaatan kebutaan sejarah rakyatnya untuk memunculkan tokoh-tokoh politik baru sebagai boneka politik mereka. Penguasaan sumber daya alam yang mayoritas dikuasai oleh perusahaan asing semakin membuktikan ungkapan; emas ditukar dengan kertas.

Metode-metode tersebut berjalan sangat sistematis dan terpola dengan rapi. Beberapa isu dimainkan sesuai momentum untuk menutupi isu besar yang sebenarnya harus lebih diperhatikan. Dengan metode seperti ini, rakyat Indonesia merasa tidak terjajah. Rakyat Indonesia sibuk dengan isu-isu minor yang seharusnya tidak ditanggapi dengan energi dan pikiran yang berlebih, sehingga tanpa sadar rakyat Indonesia ini seperti menikmati penjajahan dunia modern saat ini. Kemajuan teknologi internet terutama, begitu mudah mengalihkan perhatian mereka terhadap peristiwa utama yang seharusnya menjadi fokus perhatian mereka. Saat ini kita melihat bagaimana generasi-generasi muda justru menjadi makmum dari gaya hidup orang-orang modern yang jauh dari budaya bangsanya sendiri. Dengan alasan mengikuti tren masa kini, budaya bangsa sendiri dianggap sebagai budaya kuno yang harus segera ditinggalkan. Kearifan lokal yang seharusnya dilestarikan dengan mudah tersingkirkan oleh kemasan budaya barat yang terlihat sangat menarik.


Menjadi sebuah ironi, ketika reformasi hanya dijadikan pintu gerbang kebebasan berpendapat dan berekspresi. Budaya konsumerisme masyarakat meningkat tajam sejalan dengan derasnya infiltrasi budaya Barat yang masuk ke Indonesia. Bukan berarti kita harus menolak budaya Barat, tetapi kita harus memiliki metode untuk mengolahnya, sehingga kita tidak serta merta menyingkirkan budaya bangsa kita sendiri. Masyarakat secara tidak sadar dijadikan sebagai konsumen yang selalu haus akan tren, sehingga mau tidak mau mereka yang tidak kuat akan melakukan apa saja demi tercapainya kepuasan pribadi. Barang-barang yang sebenarnya tidak mereka perlukan justru mereka beli, barang-barang yang sangat mereka perlukan justru tidak mereka punyai.

Mei 1998, reformasi bergulir liar. Harapan rakyat akan terjadinya tatanan masyarakat yang lebih baik malahan jauh dari kenyataan. Dengan amandemen UUD 1945, neo-kolonial semakin mapan. Disintegrasi terjadi, eksistensi usaha negara ‘melayani’ rakyatnya semakin tak berdaya karena privatisasi BUMN menjadi ajang penjarahan. Demokrasi liberal yang oleh aktivis reformasi digadang-gadang dapat menghasilkan perubahan menjadi kenyataan mimpi basah belaka. Kebebasan yang diperoleh rakyat disambut dengan kegembiraan yang direkayasa. Pesta-pesta demokrasi diselenggarakan sebagai ajang pertarungan budak-budak politik bersuka-ria dan lupa bahwa mereka berada didalam tembok jeruji penjara milik tuan penjajahnya. Masyarakat dibuai dengan ajang-ajang, kontes-kontes, perlombaan-perlombaan yang menghipnotis secara massal. Kebebasan media massa, internet, media sosial bukan menjadi pelepas dahaga informasi, yang terjadi justru mereka menjadi budak-budak informasi yang terus menerus merasa kehausan.

Ketika budak-budak tak lagi merasa diperbudak, bahkan berlomba-lomba untuk diperbudak, itulah puncak tertinggi kesuksesan penjajahan yang telah terjadi dan masih berlangsung hingga saat ini. Dijajah oleh uang, popularitas, kekuasaan, intelektual bahkan spiritual tanpa disadari. Teknologi informasi semakin canggih, kemudahan mengakses informasi nyaris tanpa batas, tetapi yang terjadi bukan kemerdekaan, malah semakin banyak yang terbelenggu oleh gadget yang ada digenggamannya. Kebebasan yang ditawarkan oleh para designer, programer, implementor dan operator peradaban zaman ini begitu berdaya ‘menata’ masyarakat dengan menjebak mereka didalam perangkap kebutuhan-kebutuhan yang sebenarnya tidak diperlukan. Indonesia, anak-anak bangsa nusantara semakin tak mengenali keadaan dirinya yang sesungguhnya, tersihir dan membuang dirinya dan menggantikan dirinya menjadi imitasi-imitasi. Sibuk mengerjakan rutinitas ini-itu tanpa tahu persis apa yang sedang mereka lakukan. Berjalan hilir mudik, kesana-kemari tanpa tahu arah dan tujuan dari yang dikerjakan. Menunaikan pekerjaan, usaha, tenaga, akal dan pikiran semata-mata untuk kedudukan,belanja, bayar hutang, kartu kredit dan tagihan bulanan.


Ditengah-tengah penjajahan yang berjalan begitu masif dan tidak tahu bagaimana cara menghentikannya, Indonesia dianugerahi Maiyah. Maiyah lahir sejalan dengan gagasan-gagasan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) untuk tetap melindungi jati diri Nusantara. Proses yang berjalan sejak lama untuk menarik bangsa Indonesia keluar dari roh spiritualnya, sebuah proses yang berlangsung sejak lama yang berlangsung melalui penjajahan-penjajahan hingga penjarahan hasil bumi. Cak Nun begitu sadar bahwa Indonesia sejatinya sudah memiliki sistem kehidupan yang lebih matang dan lebih relevan dengan sosio-kultural maupun geografis yang dianugerahkan oleh Allah kepada bangsa ini. Tetapi, akibat penjajahan yang berjalan sangat lama dan terus menerus dilakukan, bangsa ini menjadi buta terhadap jati dirinya sendiri, kemudian terombang-ambing dalam konstelasi persaingan global yang semakin tidak menentu.

Cak Nun yang merupakan sosok sentral di Maiyah, sejak tahun 70-an sudah mulai turun ke masyarakat. Kehidupan Malioboro, mengasah pada sosok Umbu Landu Paranggi menjadikan Cak Nun semakin mantap memposisikan dirinya sebagai ‘Manusia Puasa’. Cak Nun memilih untuk menyingkir dari perilaku mainstream orang kebanyakan. Cak Nun memilih proses ‘Jalan Sunyi’ untuk tetap berada pada otentisitas dirinya agar tidak tertular virus-virus budaya barat yang merusak kehidupan masyarakat saat ini. Sejak aktif di Malioboro, Cak Nun melahirkan banyak sekali karya-karya berupa esai, opini, puisi, prosa hingga naskah teater. Ketika Indonesia dihadapkan dengan infiltrasi budaya barat dan penjajahan tanpa sadar secara terus menerus, dalam konteks ini kita memahami bagaimana posisi Cak Nun yang selalu disingkirkan dan dimarginalkan keberadaannya.

Kita melihat bagaimana Cak Nun merupakan salah satu tokoh yang sangat vokal di era orde baru, bahkan sejak tahun 80-an Cak Nun sudah menyuarakan perlawanan terhadap rezim otoriter itu. Tidak jarang, perlawanan yang dilakukan oleh Cak Nun membuahkan pencekalan atas pementasan karya-karya puisinya. Lautan Jilbab adalah salah satu karya fenomenal di era 80-an, dimana pada saat itu masyarakat dihadapkan pada pelarangan pemakaian jilbab oleh perempuan di Indonesia, Cak Nun bersama kelompok teater Jamaah Salahudin berhasil mendobrak tirani hingga akhirnya kita melihat hari ini begitu bebasnya perempuan mengenakan jilbab untuk menutup aurat mereka. Juga menjadi fenomena tersendiri dalam seni pertunjukan teater, dimana melibatkan pemain ribuan santri.

Tapi, sungguh pun Cak Nun selalu disingkirkan, dimarginalkan dan diasingkan dari dunia mainstream, faktanya eksistensi Cak Nun tidak terganggu sedikitpun. Cak Nun adalah tokoh yang menyuarakan perlawanan terhadap Soeharto, Cak Nun pula adalah aktor utama yang mampu menaklukan Soeharto dan pada akhirnya Cak Nun adalah sosok yang menemani Soeharto di akhir hidupnya. Kita melihat hari ini ketika Cak Nun dan Gamelan KiaiKanjeng terus berkeliling menemani masyarakat, ribuan orang hadir memenuhi lokasi Maiyahan dimanapun saja. Cak Nun dan Gamelan KiaiKanjeng mengasuh dan melayani semua lapisan masyarakat, tanpa pandang bulu.


Begitu besarnya rasa cinta yang diungkapkan oleh Cak Nun kepada Indonesia, masih saja ada orang yang mencurigai Cak Nun sedang berusaha untuk mengumpulkan kekuatan demi terwujudnya tujuan politik tertentu. Toh pada kenyataannya Cak Nun tidak dikenal sekalipun sebagai tokoh politik, tetapi hampir semua partai politik di Indonesia pernah bersinggungan dengan Cak Nun. Entah sudah berapa tokoh politik yang datang ke Kadipiro hanya untuk kepentingan pribadinya agar dirinya terpilih menjabat suatu jabatan politik tertentu, dan Cak Nun tetaplah menjadi Cak Nun. Tanpa harus menjadi pejabat di pemerintahan, tetapi tidak pernah berhenti mengasuh dan melayani masyarakat, mengungkapkan rasa cintanya dengan menemani rakyat kecil di pelosok desa, membesarkan hati mereka, memupuk keyakinan akan masa depan yang cerah, dan menjaga rasa percaya diri mereka terhadap kebesaran Bangsa Indonesia ditengah bobroknya para penguasa.

Apakah ada kaitannya antara konspirasi global dengan dimarginalkannya Cak Nun saat ini, jawabannya ada pada hati kita masing-masing, berdasarkan pengetahuan kita masing-masing terhadap fenomena-fenomena yang kita pelajari hingga hari ini.

Di tengah globalisasi, zaman penuh manipulasi nilai-nilai, Cak Nun, Emha, Muhammad Ainun Nadjib menyebarkan nilai-nilai Maiyah, Cinta segitiga Allah-Rasulullah-Kita sesama manusia dan semesta alam. Di tengah hegemoni pembenaran, Maiyah berprinsip untuk mencari apa yang benar bukan siapa yang benar. Di tengah zaman individualis, ditengah persaingan untuk sebanyak-banyaknya mampu memonopoli kekayaan, orang-orang Maiyah berusaha semampu-mampu mendistribusikan rahmat karunia dari Allah SWT supaya menjadi berkah bagi sekitarnya. Ditengah zaman penuh fitnah terhadap Islam, orang-orang Maiyah yang beragama Islam meyakini bahwa Islam-lah yang menyelamatkan hidupnya, dan agamanya adalah Rahmat bagi semesta alam, karena itu dimanapun dia berada akan berusaha membuat aman harta orang-orang disekitarnya, aman kehormatan dan martabat orang-orang disekitarnya, aman nyawa orang-orang disekitarnya. Jamaah Maiyah tidak memiliki kewajiban dan tanggung-jawab apa-apa terhadap Cak Nun, Jamaah Maiyah hanya bertanggung jawab atas dirinya, berkewajiban kepada Allah SWT dan berusaha mengikuti Rasulullah Muhammad SAW.

Pada saat ini, semakin banyak usaha pemblokiran nilai-nilai Maiyah, secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Fitnah bertubi-tubi ditujukan kepada Cak Nun dari orang-orang dan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Semoga usaha mereka itu sebatas karena ketidak-pahaman atas apa itu Maiyah dan ketidak-tahuan siapa itu Cak Nun. Pasti inisiatif Jamah Maiyah yang ingin membela Cak Nun akan bermunculan, namun jika Jamah Maiyah itu tidak mengetahui kesejarahan Cak Nun dan Maiyah justru usaha pembelaan itu dapat menambah keruhnya suasana.

Ketika sebuah sistem yang mapan mulai terusik, ketika operator-operator sistem itu mulai menyadari adanya kesalahan-kesalahan nilai yang di hasilkan, ada dua pilihan; perbaiki sistem atau perbaiki nilai-nilainya. Namun, jika kita berada didalam sebuah sistem nilai yang salah, hanya ada satu pilihan ceraikan dengan cara yang baik.


Neo-kolonial dengan kapitalisme global jelas sebuah sistem yang jahat dan saat ini sedang mapan mengangkangi setiap negeri-negeri jajahannya. Cepat atau lambat akan berakibat kehancuran pada negeri-negeri yang dijajah itu. Setiap usaha untuk memperbaiki sistem yang mapan pasti akan mendapat perlawanan dari yang memelihara sistem itu. Permasalahnnya akan semakin sulit untuk melakukan perbaikan dikarenakan mereka yang memelihara sistem itu adalah sesama anak-anak bangsa dari negeri itu sendiri. Tidak terkecuali bagi kita, jamaah Maiyah. Komitmen untuk mengimplementasikan nilai-nilai Maiyah dalam kehidupan pasti akan berbenturan dengan sistem nilai yang saat ini ada pada lingkungannya. Peperangan terberat adalah pada masing-masing diri Jamaah Maiyah, komitmen untuk menceraikan sistem nilai lama dan menggantikanya dengan nilai-nilai Maiyah.

Tahun 2016, Gerbang Wabal memohon hanya satu kepada Allah SWT supaya penjajahan yang menzalimi negeri-negeri terjajah dapat dihapuskan, kaum penjajah beserta antek-anteknya dapat menerima Hidayah-Nya dan bertaubat. Wabal adalah pembalasan Allah SWT kepada kaum yang menzalimi, dari luar maupun dalam jamaah Maiyah. Bagi anda dan mereka yang mengaku jamaah Maiyah tetapi dalam kehidupanya tidak mengimplementasikan nilai-nilai Maiyah, atau justru mengatas namakan jamaah Maiyah demi untuk keuntungan pribadi, dipersilahkan minta “kuwalat” saja.

Teks: Amien Subhan & Fahmi Agustian