“Apa tho Nak, Emansipasi itu?”

Ibu menjaga hasrat baik agar terus memenuhi desa, berperang melawan kelapukan akibat tumpahan hujan dari kekuatan-kekuatan yang mengatasi desa kita.

Mungkin sekedar ‘kelas’ rukuh, tapi soalnya ialah kerajinan Ibu untuk menerobos dan menelusup, di samping rukuh memang menyediakan rasa tidak aman bagi kemunafikan. Ibu juga maju ke Pak Polisi, angkat tangan memotong pidato Pak Pejabat di mimbar, melayani segala kesulitan pekerjaan birokratis yang bisanya ditangani oleh kaum lelaki, menampung pertengkaran suami istri-suami istri, membendungi gejala saling benci di antara siapapun, mempertanyakan sesuatu kepada Pak- Pak Pamong, tanpa rasa sungkan atau pakewuh seperti yang lazim diketahui sebagai lenderteal pembungkus sikap sosial orang Jawa. Meskipun toh frekuensi ketidakberesan yang pada umumnya tumpah dari atas selalu akan bisa mengubur usaha-usaha hasrat baik Ibu.

Pasti ada ribuan orang di negeri ini yang melakukan seperti yang Ibu lakukan. Ratusan kawan-kawan anakmu juga mampu mengerjakan berbagai hal yang penuh arti. Tapi lihatlah, apa yang lebih bermutu dari sepak terjang anakmu ini selain merengek-rengek?

Banyak hal pada kegiatan kaum wanita di desa kita yang membuat segala pembicaraan tentang masyarakat patrimonial menjadi terasa aneh. Tetapi toh Ibu juga tak bosan-bosan bertanya kepada anak-anakmu atau kepada kawan-kawan anak-anakmu yang datang ke desa: “Apa tho Nak emansipasi wanita itu?”

Sumber: “IBU, TAMPARLAH MULUT ANAKMU” Sekelumit Catatan Harian. 23.8.1985.