ORAISINALITAS

Reportase Kenduri Cinta April 2015

Forum maiyahan Kenduri Cinta yang telah terselenggara rutin selama hampir 15 tahun terakhir, malam itu kembali diadakan di plasa Taman Ismail Marzuki (10/4/2015), mengangkat tema Oraisinalitas. Setelah diawali dengan tadarrus Alquran surat Al-Furqon dan dilanjutkan dengan lantunan wirid dan shalawat, para jamaah lalu diberi ruang untuk merespon atas tema.

Ali, salah seorang jamaah yang terlihat cukup aktif datang di Kenduri Cinta, memahami bahwa tema Oraisinilatas ini hanya plesetan dari kata orisinalitas, yang akar katanya adalah orisinal. Dalam istilah lain biasa menyebutnya sebagai asli atau murni. Menurut Ali, sesuatu yang orisinal dan murni sudah pasti datangnya dari Allah, seperti halnya Alquran. Pada konteks kekinian, sebab mengapa kita sulit membedakan mana kebaikan dan mana keburukan adalah karena kita sudah tidak bisa membedakan mana yang murni dan mana yang tidak murni.

Ali menambahkan, jika dibandingkan dengan PBB (Persatuan Bangsa-bangsa) dalam kaitannya mempersatukan bangsa-bangsa, Indonesia sebenarnya lebih orisinil. Sebelum kemunculan PBB, Indonesia sudah melahirkan Sumpah Pemuda. Sebelum dunia memunculkan istilah human right, Indonesia sudah terlebih dahulu memiliki Kemanusiaan yang adil dan beradab. Hanya saja, bangsa ini sudah kehilangan kepercayaan diri sehingga tidak berani menyatakan bahwa bangsa inilah yang sebenarnya mempelopori hal-hal besar.

Hari ini, bangsa kita lebih merasa percaya diri ketika budaya bangsa lain digunakan sebagai acuan berpikir. Pendapat tokoh dari bangsa lain lebih dipercaya dibandingkan pendapat tokoh dari bangsanya sendiri. Puncaknya, menurut Ali, bangsa ini benar-benar kehilangan rasa malu terhadap dirinya sendiri. Banyak yang tidak memiliki rasa malu untuk mencalonkan diri menjadi wakil rakyat pada saat pemilihan umum, meski ia tidak memiliki kemampuan untuk itu, padahal wakil rakyat adalah orang-orang yang akan memegang peran penting pada kehidupan politik dan berbangsa di Indonesia.

Andrean sependapat dengan Ali, menurutnya saat ini kita lebih sering menelan mentah-mentah sesuatu yang datang dari bangsa lain. Andrean mencontohkan, apabila ada hal baru yang berhubungan dengan agama dan itu datang dari Arab, atau minimal ada bau Arab-arabnya, maka serta-merta akan dijadikan rujukan pemikiran utama. Hal inilah yang menurut Andrean kemudian mengakibatkan lahirnya gerakan-gerakan radikal dan intoleran di Indonesia, sehingga kemurnian atau orisinalitas kehidupan sosial bermasyarakat di Indonesia makin lama makin hilang dan dilupakan.

“Mereka tidak malu ketika tak mengenal budayanya sendiri, mereka tidak malu ketika tahu dan tempe tidak menggunakan kedelai hasil dari ladang mereka sendiri.”
Awan

Oraisinalitas — Kenduri Cinta

Sebagian jamaah yang hadir menanggapi hal serupa, ada yang menggaris bawahi kata ora isin, yang lebih mengarah kepada hilangnya rasa malu. Jika dahulu, orang tua mengajarkan budaya ora isin agar anaknya justru menjadi seseorang yang ksatria pemberani, yang terjadi sekarang justru orang benar-benar menjadi ora isin dalam konotasi yang negatif. Sudah jelas-jelas korupsi, kemudian ditangkap oleh KPK, disorot kamera dan muncul di media massa tetapi ora isin. Budaya isin (malu) kini sangat mahal, karena jarang sekali orang benar-benar memiliki rasa malu. Sehingga perbedaan antara orang yang berani dengan orang yang tidak tahu malu itu menjadi sangat tipis jaraknya.

Awan, salah seorang jamaah dari Bandung, mencoba menggagas pendapatnya tentang orisinalitas atau kemurnian. Ia menceritakan tentang kampungnya, dimana para pengrajin tahu dan tempe di daerahnya kini lebih banyak menggunakan bahan baku kacang kedelai impor, sehingga orisinalitas tahu dan tempe pun sudah hilang karena sudah tidak menggunakan kacang kedelai hasil panen dari ladang sendiri. Begitu juga dengan peradaban desa, kemajuan teknologi membuat anak-anak kecil di pedesaan lebih akrab dengan internet dan media sosial daripada dengan parang dan cangkul. Mereka tidak malu ketika mereka tidak mengenal budayanya sendiri, mereka tidak malu ketika tahu dan tempe tidak menggunakan kacang kedelai hasil dari ladang mereka sendiri.

Seorang jamaah yang baru pertama kali hadir di Kenduri Cinta, Desy, ikut menyampaikan pendapatnya ke forum, yaitu tentang kehidupan beragama di keluarganya. Dalam keluarganya, setiap anggota keluarga diberi kebebasan untuk memilih agamanya masing-masing. Dessy mengaku lebih tertarik dengan Islam, namun ketika ia memutuskan memilih Islam, dia menghadapi sebuah kebingungan terhadap banyaknya golongan dan aliran dalam Islam. Setelah mempelajari, menurutnya orisinalitas Islam saat ini juga sudah sangat jauh jika dibandingkan dengan situasi zaman Rasulullah SAW.

ORAISINALITAS PERJUANGAN

Seperti pada acara maiyahan Kenduri Cinta edisi-edisi sebelumnya, tema-tema yang diangkat dalam forum Kenduri Cinta bukan sebagai bahan perdebatan, namun lebih banyak diangkat sebagai titik berangkat diskusi. Hal itulah yang kembali disampaikan oleh Agus Susanto, salah satu penggiat Kenduri Cinta. Ia menjelaskan bahwa tema kali ini lebih tepatnya ingin mengajak kembali untuk mencari kemurnian jati diri kita masing-masing. Karena setiap penciptaan makhluk Allah, menurut Agus, terdapat perjanjian khusus antara makhluk dengan Allah sebelumnya, sehingga apa yang akan dilakukan di dunia sudah seharusnya berdasarkan pada perjanjian itu. Dalam kacamata kebangsaan, Agus mencoba menarik ke belakang sejarah munculnya organisasi-organisasi masyarakat, seperti: Muhammadiyah, NU dan Sarekat Islam. Apakah pergerakan mereka saat ini masih murni dan orisinil seperti dahulu tokoh-tokoh yang mendirikan pergerakan ini menginginkannya, atau sudah melenceng dari khittah perjuangannya?

Menyambung Agus Susanto, Adi Pudjo ikut menyuarakan: jangan sampai tema-tema yang diangkat oleh Kenduri Cinta diinterpretasikan dalam konotasi yang negatif, karena tidak ada sedikit pun niat dari teman-teman penggiat Kenduri Cinta untuk menumbuhkan hal-hal negatif (baca: buruk). Tema Oraisinalitas lebih mengarah kepada diskusi untuk mencari asal-usul bangsa. Bangsa yang saat ini kita menyebutnya dengan nama “Indonesia” ini sebenarnya berasal dari mana, siapa yang melahirkan, apa saja suku bangsanya, kebudayaannya, tradisinya, bahasanya, dll. Seperti halnya pertanyaan yang pernah dilontarkan oleh Cak Nun: Apakah bangsa ini dilahirkan Indonesia atau justru bangsa ini yang melahirkan Indonesia?

Mengutip dari H.O.S. Tjokroaminoto: tidak ada yang salah dengan gagasan-gagasan yang masuk ke bangsa ini, yang salah adalah kekerasan yang digunakan untuk memaksakan gagasan-gagasan tersebut, Andrean mengajak jamaah untuk berpikir lebih jernih menanggapi munculnya aliran-aliran baru yang justru keberadaanya kini lebih banyak memecah persatuan umat. Umat Islam justru membangun kotak-kotak yang lebih kecil dalam rumah besar Islam-nya, dan menganggap bahwa dirinya dan kelompoknyalah yang paling benar.

Andrean mencontohkan bagaimana Rasulullah mampu menerima perbedaan antara Abu Bakar dengan Umar Ibn Khattab ketika keduanya memiliki cara yang berbeda dalam melaksanakan Qiyamullail. Jika Abu Bakar memilih untuk mengikuti metode yang digunakan oleh Rasulullah SAW, yaitu melaksanakannya di sepertiga malam terakhir, tidak dengan Umar Ibn Khattab, ia melaksanakannya sebelum tidur karena ia mengaku tidak mampu bangun di sepertiga malam terakhir. Dari satu kisah ini, Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita bahwa untuk melakukan sunnah Nabi bukan atas dasar pemaksaan atau harus sama persis dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, tetapi laksanakanlah semampunya.

MENULISKAN SEJARAH

Kultur yang terbuka, egaliter, partisipatoris dan saling menghargai pendapat satu dan yang lain memang telah menjadi nuansa khas forum maiyahan, bukan hanya di Kenduri Cinta namun juga di banyak tempat dimana maiyahan berlangsung. Selama bertahun-tahun, Cak Nun menuntun bagaimana sebuah forum diskusi yang demokratis dan plural dapat terselenggara baik oleh masyarakat. Hal ini juga memberikan bukti bahwa masyarakat Indonesia pada dasarnya telah memiliki kedewasaan dalam menyerap nilai-nilai demokrasi, liberalisasi atau apapun yang datang dari luar tanpa mengabaikan kebersamaan dan kerukunan diantara mereka.

Perjalanan maiyahan yang telah berlangsung selama 15 tahun terakhir, menjadi bahan baku yang mustinya tak habis-habis diekplorasi. Hal itulah yang kemudian ditawarkan oleh para penggiat Kenduri Cinta kepada para jamaah malam itu. Fahmi dan Tri, sebagai perwakilan penggiat, mengajak jamaah dan semua pihak yang pernah bersinggungan dengan Kenduri Cinta untuk menggali perjalanan Kenduri Cinta dan Maiyah pada skala yang lebih luas. Pertanyaan di awal acara tentang orisinalitas gerakan, kini lebih ditujukan kepada gerakan Maiyah di skala internal, apakah perjalanan selama 15 tahun ini masih orisinil sesuai dengan tujuan awal para penggagasnya, atau sudah tidak otentik lagi.

Setelah disodorkan, 3 orang tampil ke forum sampaikan gagasannya. Nur Rochman, salah seorang jamaah yang lebih sering mengikuti acara melalui internet pada setahun terakhir, mengakui bahwa yang orisinil dari Kenduri Cinta adalah sosok Cak Nun. Menurutnya, Cak Nun adalah sosok yang tanpa topeng, berbeda dengan sebagian besar tokoh yang muncul di televisi yang menurutnya lebih banyak memakai topeng, tidak murni menampilkan dirinya. Cara bertutur Cak Nun juga otentik, tidak menggurui dan tidak ada kesan merasa paling unggul dari lainnya.

Efendi, jamaah asal Malang yang kini tinggal di Bekasi, menceritakan pengalamannya ketika mengikuti Padhang Bulan (forum maiyahan di Jombang) dan kemudian aktif di Obor Ilahi (forum maiyahan di Malang). Semangat yang digaungkan di Malang saat itu lebih kepada semangat menumbuhkan tradisi shalawatan, menurutnya semangat inilah yang mengawali maiyahan-maiyahan, seperti juga kemunculan awalnya di Jakarta pasca pergolakan politik 1998; Hammas, Himpunan Masyarakat Sholawat yang digawangi oleh Cak Nun bersama Cak Dil dan Cak Yus dan dengan “mini” Kiai Kanjeng-nya.

Jamaah lainnya, Salman, mengatakan bahwa ia lebih sering menonton Cak Nun melalui siaran TV lokal di Jogja—menayangkan maiyahan Mocopat Syafaat. Salman merasakan bahwa metode berdakwah dan diskusi yang dilakukan oleh Cak Nun tidak membosankan. Salman juga ternyata adalah salah satu murid didik dari Nevi Budiyanto (komponis Kiai Kanjeng) di sebuah sekolah menengah pertama di Jogjakarta, hal itu pulalah yang membuatnya tertarik mengenal lebih dalam lagi tentang maiyahan dan Kiai Kanjeng.

Oraisinalitas — Kenduri Cinta

Pentas Lautan Jilbab merupakan bentuk perlawanan Cak Nun terhadap ketidakadilan dan campur tangan pemerintah terhadap hak setiap manusia dalam menentukan pilihannya, melalui jalur kebudayaan.

Penggalian malam itu merupakan landasan awal untuk menuju informasi yang dipublikasikan oleh Progress dalam rangka mengajak jamaah bergabung dalam sebuah gerakan literasi untuk mengumpulkan data dan melakukan riset terhadap perjalanan Cak Nun di berbagai bidang. Seperti kita ketahui, ranah perjuangan Cak Nun tidak hanya berkutat pada bidang kebudayaan dan kesenian saja. Sebagian dari kita ada yang mengenal sosok Emha Ainun Nadjib di bidang sastra, juga ada yang mengenal sosok Muhammad Ainun Nadjib yang aktif berdakwah di bidang agama. Dari sekian banyak sudut pandang dari jamaah-jamaah, tentu hal itu akan menambah kekayaan wawasan akan sosok Cak Nun. Semangat penulisan sejarah inilah yang diangkat oleh Progress untuk mengajak jamaah ikut serta dalam pengumpulan kepingan-kepingan sejarah yang tentunya akan menjadi harta yang tidak ternilai harganya dan akan sangat berguna bagi generasi berikutnya.

Dimensi-dimensi perjuangan Cak Nun diyakini telah banyak menjadi trigger perubahan sejarah. Teater Lautan Jilbab salah satu contohnya, sebuah pementasan teater yang dilakukan pada pertengahan-akhir tahun 80-an yang menjadi salah satu tonggak sejarah gerakan Islam (jilbab) di Indonesia. Saat itu perempuan muslim tidak dapat bebas menggunakan jilbab seperti yang dirasakan seperti sekarang, penggunaan jilbab sangat dibatasi. Bahkan, siswi-siswi yang mengenakan jilbab pada rezim orde baru banyak yang diskors bahkan dikeluarkan dari sekolah hanya untuk mempertahankan haknya dalam mengenakan jilbab. Cak Nun bersama Sanggar Shalahuddin UGM saat itu kemudian menampilkan teater Lautan Jilbab yang ternyata mendapat sambutan luas tidak hanya bagi penikmat sastra, namun juga oleh gerakan-gerakan Islam. Pentas Lautan Jilbab merupakan bentuk perlawanan Cak Nun terhadap ketidakadilan dan campur tangan pemerintah terhadap hak setiap manusia dalam menentukan pilihannya melalui jalur kebudayaan.

Pergerakan politik Cak Nun juga tidak bisa dipandang sebelah mata, Cak Nun sendiri menjadi salah satu tokoh yang cukup keras menentang rezim orde baru bahkan sejak tahun 70-an. Beberapa kali Cak Nun dicekal, tidak diperbolehkan tampil membaca puisi, namun Soeharto justru akhirnya “takluk” oleh Cak Nun pada akhir masa jabatannya.

Kepingan-kepingan sejarah dan informasi inilah yang sedang dikumpulkan, dan Progress membuka pintu kepada setiap kita yang memiliki ketertarikan dalam dunia literasi untuk bergabung dalam gerakan riset dan pengumpulan data sejarah perjalanan Cak Nun.

“Semangat di Malang saat itu lebih kepada semangat menumbuhkan tradisi shalawatan, semangat inilah yang mengawali maiyahan-maiyahan, seperti juga kemunculan awalnya di Jakarta pasca pergolakan politik 1998.”
Effendi

Menanggapi pembahasan sebelumnya tentang gerakan Cak Nun, Dono Satrio, aktivis kelompok belajar COINS di UIN Syarif Hidayatullah, menilai bahwa Cak Nun adalah sosok yang mampu melihat sebuah permasalahan dengan menggunakan kacamata multi perspektif. Salah satu hal yang menjadi kelemahan berpikir masyarakat saat ini, menurut Dono, adalah dikarenakan masyarakat dengan mudahnya menelan informasi mentah-mentah tanpa dicerna terlebih dahulu. Seperti misal informasi terbitnya matahari setiap pagi, yang banyak dipahami adalah matahari terbit dari timur, padahal sebenarnya bumi lah yang berputar mengelilingi matahari sehingga kemudian manusia bersepakat menentukan satuan waktu dalam satu hari, satu minggu, satu bulan hingga satu tahun berdasarkan perputaran bumi pada porosnya. Cara pandang yang seperti itulah yang digunakan oleh Cak Nun dalam melihat sebuah persoalan, Cak Nun lebih sering menggunakan kacamata berbeda dari kebanyakan orang. Disitulah letak otentiknya seorang Cak Nun.

Cak Nun juga seorang pendobrak status quo. Hal itu bisa dilihat dari pergerakan Cak Nun di berbagai bidang. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, dalam Lautan Jilbab yang diperjuangkan oleh Cak Nun sebenarnya bukanlah jilbab itu sendiri, melainkan hak perempuan dalam menentukan apa yang ingin dipakainya. Atau dalam wilayah politik, ketika pergolakan reformasi tahun 1998 digaungkan, ada yang mengerahkan mahasiswa untuk demonstrasi turun ke jalan, kemudian terjadi kerusuhan dan huru-hara di beberapa kota, Cak Nun justru memberi solusi lain untuk menaklukan seorang Soeharto untuk mau lengser dari kursi kekuasaannya.

PERADABAN ORA ISIN

Melanjutkan forum malam itu, Suryo AB, dosen geopolitik yang juga pemerhati pendidikan, mengawali pendapatnya dengan mempertanyakan karakter asli Indonesia yang makin lama makin memudar. Berdasar pengalamannya saat berkuliah di Perancis, ia terkesan dengan karakter masyarakat disana. Hal itu ia rasakan saat menggunakan transportasi umum, masyarakat di sana mudah bertegur sapa satu dengan yang lain, baik itu dikenalnya atau tidak. Meskipun hanya sekadar ucapan “selamat malam” atau “selamat pagi” namun itu menunjukkan budaya masyarakatnya yang ramah. Hal seperti itu tidak banyak ia temukan saat ia kembali ke Indonesia.

Terkait tema, Suryo mengambil “Ora Isin” sebagai landasan pemaparannya. Menurutnya, budaya malu di Indonesia saat ini sudah mengalami degradasi pemaknaan, sehingga istilah “Ora Isin” lebih cenderung kepada perilaku tidak punya rasa malu. Dahulu, sedari kecil kita dididik untuk “Ora Isin” agar punya keberanian tampil, hal tersebut merupakan bentuk dorongan dari orang tua agar si anak memiliki keberanian tetapi masih dalam ruang lingkup yang memiliki rasa malu, bukan malu-maluin.

Dalam kesempatan itu, Suryo juga mengkritisi pemerintahan Indonesia yang tidak memiliki undang-undang administrasi negara. Menurutnya, tanpa adanya undang-undang ini maka sebuah kebijakan atau perencanaan yang belum diselesaikan oleh pemerintahan sebelumnya tidak bisa dituntut untuk diselesaikan apabila kebijakan tersebut berhenti di tengah jalan. Sehingga bila di kemudian hari ada sebuah proyek infrastruktur yang dilaksanakan oleh pemerintah dan ternyata tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang sudah ditentukan, maka rakyat tidak bisa menuntut siapapun untuk bertanggung jawab. Hal ini menurut Suryo yang menjadikan para pejabat di Indonesia memiliki mental “Ora Isin”, alias tidak punya rasa malu.

“Dengan tidak adanya undang-undang administrasi negara, artinya anda tidak akan pernah bisa menghukum siapapun pemimpin Indonesia yang membuat kebijakan dan tidak bisa melanjutkan untuk diselesaikan.”
Suryo AB

Setelah melalui fase diskusi yang kuat dengan nuansa intelektual, forum Kenduri Cinta malam itu kemudian dihangatkan oleh penampilan musik dari The Last String, sebuah kelompok musik yang terbentuk dan terinspirasi penciptaan lagu-lagunya dari Kenduri Cinta. Mereka membawakan lagu-lagu bernuansa akustik dengan lirik-lirik yang indah, tampak sempurna dengan dipadu vokal wanita yang bersuara halus dan merdu. Sebelum menyanyikan lagu ciptaannya, The Last String menjelaskan bagaimana proses lagu-lagu itu tercipta. Seperti pada nomor lagu Waktu, yang terinspirasi saat Cak Nun mengatakan “jeda itu penting”. Uniknya, mereka baru mengetahui bahwa forum inilah yang disebut dengan maiyahan setelah 8 tahun melingkar bersama.

Salah satu kekhasan maiyahan adalah bahwa penyajian musik dan kesenian tidak ditempatkan sebagai selingan, sebab panggung di Kenduri Cinta bukanlah panggung hiburan. Musik dan kesenian lebih untuk menguatkan nuansa kultural dalam forum. Maka setiap penyaji musik dalam forum Kenduri Cinta juga memiliki “kewajiban” untuk berbagi ilmu, tidak mengherankan bahwa para pengisi musik justru kemudian juga menjadi narasumber dalam diskusi.

Oraisinalitas — Kenduri Cinta

MONYET DAN TATA SOSIAL BARU

Menjelang tengah malam, Sabrang kemudian diminta moderator untuk ikut berbagi. Mengawali paparannya, Sabrang memberikan hasil dari sebuah studi eksperimen yang dilakukan oleh sekelompok ilmuwan. Di eksperimen itu, dibuatlah kandang yang berisi 5 ekor monyet dan sebuah tangga yang diatasnya diletakkan buah pisang. Ketika salah satu monyet memanjat tangga untuk mengambil pisang, 4 ekor monyet lainnya (yang berada dibawah tidak naik tangga mengambil pisang) disiram air dingin. Hal itu dilakukan berulangkali, sehingga pada waktu tertentu apabila ada salah satu monyet yang mencoba menaiki tangga maka monyet lainnya menarik dan memukulinya. Seperti terjadi sebuah kesepakatan diantara mereka, sebuah aturan yang tidak tertulis, bahwa barang siapa yang mencoba untuk menaiki tangga dan mengambil pisang, maka monyet tersebut akan dipukuli oleh 4 ekor monyet lainnya. Eksperimen menghasilkan sebuah tata kehidupan dalam kandang, terbentuk sistem yang stabil: tidak ada monyet yang berani menaiki tangga untuk mengambil pisang.

Eksperimen dilanjutkan dengan metode baru, satu ekor monyet yang ada dalam kandang dikeluarkan dan digantikan dengan monyet yang baru. Monyet yang baru—mungkin karena dia tidak tahu aturan yang sebelumnya berlaku—kemudian mencoba menaiki tangga dengan maksud ingin mengambil pisang. Belum sempat ia mengambil pisang, ia sudah diseret oleh 4 ekor monyet lainnya dan dipukuli. Terciptalah sebuah cara berpikir pada monyet yang baru ini bahwa jika ada monyet yang berani menaiki tangga, maka ia akan dipukuli. Dan itu membuatnya tidak berani menaiki tangga.

Eksperimen dilanjutkan dengan mengganti semua monyet yang ada di dalam kandang sebelumnya, kelima-limanya, dengan monyet-monyet yang baru. Menariknya, monyet-monyet yang baru dimasukkan di kandang itu juga memiliki pengetahuan yang sama (tidak berani menaiki tangga karena takut dipukuli), meskipun mereka tidak mengalami langsung proses sebelumnya.

“Kalau kita tidak memiliki kedaulatan atas diri kita, kalau kita tidak berdaulat atas apa yang kita putuskan sebagai belief system dalam diri kita maka orisinalitas tidak akan kita temukan.”
Sabrang

Pernahkah kita mempertanyakan akar permasalahan sebelum kita mengambil kesimpulan?” Sabrang melempar pertanyaan. Eksperimen “monyet” tadi dijadikan Sabrang sebagai landasan awal untuk mempertanyakan asal muasal sebuah informasi atau ilmu pengetahuan yang kita miliki. “Pernahkah anda mempertanyakan konsep demokrasi yang sebenarnya, konsep komunisme, sosialisme, negara, kerajaan dan sebagainya dalam kehidupan anda?” lanjutnya.

Sabrang mempertanyakan, jangan-jangan apa yang kita pahami tentang konsep suatu hal adalah sama dengan yang dialami oleh 5 monyet baru dalam eksperimen tadi. “Menurut saya yang nomor satu dari orisinalitas adalah kita mengetahui betul pengetahuan yang kita ketahui. Apakah kita hanya mengikuti yang sudah ada dan mengiyakan kebenaran informasi tersebut atau kita memang benar-benar mengetahui asal muasal kebenaran dari informasi yang kita terima?” kata Sabrang.

Sabrang mengingatkan bahwa elemen yang paling mudah menipu manusia justru adalah akal manusia itu sendiri. Saat ini manusia mudah terpola dalam sebuah arus pemikiran. Ia mengambil contoh bagaimana pola pada kehidupan pekerja setiap harinya, ketika ia bangun pagi, pola sudah terbangun maka ia akan terus bangun pagi, kemudian mandi dan menyiapkan segala sesuatunya, hingga ia berangkat ke kantor dengan kendaraannya, ia sudah memiliki pola yang sudah teratur. Kebiasaan ini menurut Sabrang cukup “membahayakan” bagi akal manusia, karena dengan kebiasaan-kebiasaan yang terpola seperti itu maka akan meminimkan kemampuan manusia untuk memecah pola, sehingga akhirnya kreativitas untuk menemukan pola baru menjadi jarang ditemukan.

Mengenai “sumber informasi”, Sabrang mengibaratkan seperti hasil foto-copy, semakin banyak sebuah informasi di foto-copy maka hasilnya akan semakin kabur dari dokumen aslinya. “Kalau kita tidak memiliki kedaulatan atas diri kita, kalau kita tidak berdaulat atas apa yang kita putuskan sebagai belief system dalam diri kita maka orisinalitas tidak akan kita temukan. Yang ada dalam diri kita hanyalah copy-paste tanpa mengetahui secara pasti struktur kebenaran atas informasi yang kita terima,” jelasnya.

“Dua pesan yang paling utama dari naskah proklamasi, pancasila dan UUD 1945: pesan moralitas dan rasionalitas.”
Harun Sangge

Menjelang pukul satu dinihari, hujan turun deras. Jamaah sebagian merapat ke panggung, sebagian memilih berteduh di gedung-gedung sekitar pelataran TIM, sebagian lainnya menggunakan alas terpal yang diangkat bersama-sama untuk dijadikan semacam payung. Luqman Baehaqi yang malam itu berperan sebagai moderator lalu ikut meredakan suasana, mengajak jamaah untuk mensyukuri hujan sebagai bentuk rahmat Tuhan dan beradaptasi menyesuaikan letak duduk dan berdirinya, agar forum dapat kembali dilanjutkan dengan nyaman.

Luqman kemudian mempersilakan narasumber berikutnya: Harun Sangge. Harun mengutip ayat Alquran, dimana sebuah pohon yang baik itu apabila akarnya menghunjam ke dalam tanah, tegak lurus pohonnya, daunnya rindang dan buahnya lebat. Menurutnya ada 3 naskah besar yang menjadi landasan berdirinya Indonesia: naskah Proklamasi, Pancasila dan UUD 1945. 3 naskah itu menurut Harun Sangge menyiratkan 2 pesan utama, yaitu: moralitas dan rasionalitas.

Situasi politik terkini yang carut marut terjadi akibat dari ketidaksanggupan para pemimpin mengemban pesan utama tadi; moralitas dan rasionalitas yang terkandung dalam Proklamasi, Pancasila dan UUD 1945. Secara khusus Harun Sangge menyatakan bahwa forum Kenduri Cinta ini merupakan salah satu sendi spiritual yang sangat dibutuhkan oleh bangsa saat ini. Perjalanan 15 tahun Kenduri Cinta yang tidak begitu jauh jaraknya dari pergolakan politik 1998 memiliki peran yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Melalui forum Kenduri Cinta ini kita diingatkan kembali tentang kesadaran kebangsaan kita dan kesadaran kesetaraan dalam kehidupan berbangsa kita.

Bangsa Indonesia ini merupakan sebuah pohon besar yang sangat rindang, dengan akar yang kuat dan buah yang lebat. Namun apabila kita tidak mampu menjaga amanat dari para pendiri bangsa ini, maka Indonesia tidak jauh berbeda dengan sebuah pohon yang rapuh, yang tidak memiliki akar yang kuat, tidak rindang daunnya dan tidak lebat buahnya. Maka jika ditarik ke teori eksperimen monyet di awal pemaparan Sabrang, menurut Harun apabila kita tidak mampu menjaga amanah para pendiri bangsa ini, kita tidak ada bedanya dengan monyet-monyet yang ada di dalam kandang itu.

Menyinggung isu-isu yang menyudutkan Islam akhir-akhir ini, Harun Sangge menyatakan bahwa dihembuskannya isu-isu radikal merupakan sebuah bentuk rekayasa besar untuk mengintimidasi nasionalisme rakyat Indonesia, secara bersamaan isu liberalisasi dan kapitalisasi dimasukkan secara masif kedalam kultur bangsa ini, hingga pada akhirnya kelak kita menjadi bangsa yang miskin yang tidak memiliki apa-apa. Harun mengingatkan, setiap dari kita memiliki andil dalam mempertahankan eksistensi nasionalisme Indonesia.

Oraisinalitas — Kenduri Cinta

KEYATIMAN RASULLULLAH WUJUD ORISINALITAS NUR MUHAMMAD

Menjelang dinihari, Ust. Noorshofa mengajak jamaah bershalawat, dan mengingatkan bahwa ketika kita benar-benar berpegang teguh kepada ajaran agama, meyakini bahwa agama pasti menjadikan kita sebagai manusia yang utuh, manusia yang sejati.

Pada kesempatan malam itu, Ust. Noorshofa berbagi tentang kisah Rasulullah SAW yang seringkali mengajarkan kita untuk menyayangi anak yatim. Rasulullah SAW mengibaratkan kedekatannya dengan anak yatim di surga kelak ibarat dua jari telunjuk dan jari tengah, begitu dekat jaraknya.

Jatidiri Rasulullah SAW justru muncul dalam keyatiman beliau. Salah satu kunci kesuksesan Rasulullah SAW juga karena beliau adalah seorang yatim, tidak ada peluang bagi beliau untuk membanggakan ayah dan ibunya ketika beliau dewasa, begitu juga sebaliknya tidak ada sedikit pun keburukan dari ayah dan ibunya yang menempel dalam diri Nabi Muhammad SAW, betapa Allah sangat menjaga kesucian Nabi Muhammad SAW.

Peristiwa yatim kedua dalam kehidupan Rasulullah SAW adalah bahwa beliau diyatimkan dari lingkungan yang ada saat itu. Muhammad bin Abdullah tidak terjebak dalam golongan-golongan, Muhammad bin Abdullah benar-benar diasingkan dari lingkungannya saat itu. Bahkan kemudian Muhammad bin Abdullah dibawa oleh Halimatussa’diyah ke tempat yang jauh dari keramaian kota Mekkah.

Peristiwa yatim ketiga yang dialami oleh Muhammad bin Abdullah adalah ketika beliau menerima wahyu pertama, saat beliau didatangi malaikat Jibril dan diperintah untuk membaca, “Iqra‘!”, Muhammad menjawab, “Maa anaa bi qaari’“, hingga diulang tiga kali dan akhirnya Jibril menuntun Muhammad untuk membaca: Iqra’ bismirabbika-l-ladzii kholaq. Kalimat maa anaa bi qaari’, bukan berarti bahwa Nabi Muhammad SAW buta huruf. Dalam sejarahnya, ketika beliau berusia 6 tahun, beliau sudah berdagang hingga ke negeri Syams, bahkan beliau mendapat julukan Al Amiin karena menjadi orang yang sangat bisa dipercaya saat itu. Tetapi ketika Allah SWT menurunkan wahyu berupa Alquran melalui malaikat Jibril, Allah meyatimkan Nabi Muhammad SAW dari bacaannya, sebagai bukti betapa agungnya Alquran sebagai mukjizat kerasulan.

Tiga peristiwa keyatiman yang dialami oleh Rasulullah SAW tersebut adalah bukti bahwa Allah SWT menjaga kemurnian Nur Muhammad yang kemudian diwujudkan menjadi sosok Rasulullah SAW yang sangat terjaga dari kontaminasi dunia, Nur Muhammad dalam diri Rasulullah SAW adalah cahaya suci dan murni. Bahkan Rasulullah SAW sendiri mengakui bahwa yang mendidiknya adalah Allah SWT.

“Dalam diri manusia tertanam sebuah sistem yang mampu mengatur dirinya sebagai aktor sekaligus sebagai sutradara.”
Sabrang

Memasuki pukul dua dinihari, hujan tampak sudah reda, jamaah kemudian menata kembali posisi duduknya. Beben Jazz yang telah hadir di forum sejak awal, bersama Agus dari Komunitas Jazz Kemayoran kemudian membawakan dua nomor lagunya.

Menanggapi pertanyaan dari Wahyu tentang jatidiri bangsa, Sabrang meres[pon dengan pemikiran yang agak nyleneh. Menurutnya, mungkin memang jatidiri kita saat ini adalah “maling”, tetapi kita diuntungkan karena diciptakan sebagai manusia yang memiliki kemungkinan untuk berkembang dan memilih, sehingga meskipun kita memiliki potensi sebagai maling, tetapi kita memiliki opsi lain untuk tidak menjadi maling. Manusia memiliki kesadaran untuk memilih menjadi makhluk yang lebih baik, tidak seperti hewan.

Singa misalnya, pilihan hidupnya adalah memangsa binatang yang lebih lemah darinya agar ia bisa bertahan hidup, ia tidak memiliki pilihan memakan rumput untuk mengenyangkan perutnya. Menurut Sabrang, manusia harus memiliki kesadaran aktor dan sutradara dalam dirinya. Karena manusia memiliki pilihan dalam setiap keputusan yang diambilnya dan sudah pasti manusia itu sendiri yang akan melaksanakan pilihan hidupnya itu sendiri.

Dalam diri manusia harus tertanam sebuah sistem yang mampu mengatur dirinya sebagai aktor sekaligus sebagai sutradara. Ketika ia berlaku sebagai aktor, ia akan melakukan apa yang sudah ia rencanakan. Dan ketika ia menjadi sutradara, ia akan melakukan peninjauan kembali atas apa yang sudah dipilihnya dan apa yang sudah dilakukannya.

“Saya tidak menganggap bahwa jatidiri adalah hal yang statis,” terang Sabrang, “Dalam satu kelompok manusia saja yang terdiri dari beberapa orang seperti di Kenduri Cinta ini, akan terlihat banyak sekali jenis jatidiri manusia yang sangat dinamis. Tidak mungkin semua manusia memiliki jatidiri yang sama. Seseorang yang memiliki sifat keras pada titik tertentu bahkan dapat berlaku sangat lembut, bahkan bisa lebih lembut jika dibandingkan dengan orang yang memiliki sifat lembut.”

Oraisinalitas — Kenduri Cinta

“Jika kita tidak berani berharap kepada generasi tua, maka kita sebagai generasi yang muda harus mampu lahir dengan prinsip-prinsip baru, sehingga generasi yang muda akan menjadi generasi pembaharu.”
Sabrang

Menyambung pertanyaan kedua oleh Bagus yang bertanya bagaimana andil kita yang seharusnya dalam mengurusi Indonesia ini khususnya dalam pengelolaan sumber daya alam yang ada, Sabrang sampaikan, “Ketika anda berpikir aku dan Indonesia, apakah di saat yang bersamaan ‘aku’ yang anda maksudkan bukan merupakan bagian dari Indonesia? Sehingga apa yang anda lakukan tidak ada hubungannya dengan Indonesia?”

Dalam perspektif lain, Sabrang menjelaskan bahwa ketika kita bekerja untuk diri kita sendiri, sebisa mungkin kita harus memposisikan apa yang kita kerjakan itu juga untuk Indonesia. Karena jika kita masih memikirkan skala ruang lingkup dalam beraktivitas, maka kita akan terus menganggap diri kita tidak bekerja untuk Indonesia. Jika menggunakan konsep taktis, setidaknya kita membangun sebuah komunitas yang terdiri dari orang-orang yang memiliki cara berpikir yang sama terhadap Indonesia. Karena sejatinya tidak ada satupun yang menuntut kita untuk mengurusi Indonesia yang begitu luas ini. “Kalau anda beres, lingkungan anda beres dan semua memiliki prinsip yang sama dengan anda, maka otomatis Indonesia akan beres. Mungkin klise, tetapi memang harus dimulai dari diri kita sendiri,” jelas Sabrang.

Dalam konteks yang lebih luas, Sabrang mengingatkan jangan sampai mengulangi perilaku orang yang sudah-sudah, ketika ia berada di luar pusaran pemerintahan ia berteriak lantang mengkritisi kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah, namun ketika ia berada dalam pusaran kekuasaan, mulutnya justru kehilangan kekuatan untuk berteriak.

Generasi akan terus berganti, yang tua akan mati, yang muda akan menjadi tua. Jika prinsip-prinsip kemurnian dalam diri kita pegang teguh maka kita tidak perlu malu kepada orang lain terhadap konsistensi diri kita, cukuplah kita malu kepada diri sendiri ketika kita mengevaluasi diri kita. Jika kita tidak berani berharap kepada generasi tua, maka kita sebagai generasi yang muda harus mampu lahir dengan prinsip-prinsip baru. Sehingga generasi yang muda akan menjadi generasi pembaharu bukan generasi penerus yang hanya mampu meneruskan apa yang sudah dilakukan oleh generasi sebelumnya, tidak memperbaharui.

Sabrang menyarankan agar tidak menjadi generasi pendobrak, karena generasi pendobrak adalah generasi yang menggantikan prinsip generasi sebelumnya dengan cara menghilangkan dan melupakan sejarah generasi sebelumnya, “Kita harus tetap memiliki pengetahuan bahwa generasi sebelum kita sudah mampu berbuat dan menjawab persoalan dan menjawab tantangan zamannya sendiri. Kita harus mampu mengambil beberapa pelajaran dan hikmah dari mereka, mungkin apa yang mereka lakukan tidak cocok untuk diaplikasikan di generasi kita sekarang, tetapi pasti ada beberapa kepingan-kepingan yang bisa kita adaptasi dari mereka. Sehingga kita tetap memiliki kemampuan untuk orisinil dalam menjawab tantangan yang kita hadapi di zaman kita sendiri.”

“Ketika anda baik, maka minimal seperduaratus lima puluh juta Indonesia akan baik.”
Sabrang

Mendapat kesempatan, Sudharno ikut bertanya: apakah seorang yang berlaku sebagai gay atau lesbian dan juga transgender serta bisexual akan dilaknat oleh Allah SWT di akhirat kelak seperti yang sudah ditamsilkan kepada kaum Nabi Luth AS?

Sabrang menanggapi, bahwa kita harus mampu melihat dari cara pandang yang lain. Sebagai dasar berpikir, Sabrang mengingatkan agar jangan pernah mempertanyakan apakah mereka akan dilaknat oleh Allah atau tidak, karena itu merupakan hak prerogatifnya Allah, bukan manusia. Bahwa kita diberi peringatan oleh Allah SWT dalam Alquran melalui kisah kaum Nabi Luth, itu merupakan pegangan bagi kita untuk menghindarinya.

Ditambahkan, setiap manusia sejak sebelum lahir sudah diberi bakat masing-masing yang tentu berbeda satu sama lain. Ada yang memiliki bakat pemarah sehingga ia terlahir sebagai manusia yang tidak bisa menahan amarah, ada juga manusia yang memiliki bakat penuh kasih sayang. Sehingga yang harus dilakukan dalam hidupnya adalah bagaimana mengatur irama hidupnya yang sudah diberi bakat demikian, bagi yang dilahirkan sebagai seorang yang penuh amarah maka tantangan dalam hidupnya adalah menahan amarah sehingga potensi dirinya membahayakan orang lain semakin kecil. Begitu juga dengan apa yang terjadi pada manusia yang memutuskan hidupnya untuk menjadi gay atau lesbian. Yang perlu kita sadari adalah bahwa pilihan hidup orang yang memilih untuk menjadi gay atau lesbian merupakan pilihan yang berdasarkan kedaulatan terhadap dirinya, bukan karena ikut-ikutan, bukan juga karena pengaruh dari kanan-kirinya.

Yang semestinya dalam menyikapi, terhadap orang-orang yang memilih jalur berbeda dari yang kita pilih, adalah kita memandang mereka sebagai manusia, bukan sebagai laki-laki atau perempuan. Kita memposisikan diri kita sebagai manusia yang menemani manusia lainnya yang telah memilih pilihan hidupnya atas kedaulatan terhadap dirinya sendiri. Kita tidak perlu mempertanyakan apakah Allah SWT akan memberi mereka hukuman atau tidak terhadap pilihannya itu. Jika kita mampu menemani mereka sebagai manusia, maka tugas kita tunai sebagai manusia yang menemani manusia lainnya atas pilihan hidupnya itu.

Oraisinalitas — Kenduri Cinta

Tidak usah merasa paling suci, tetapi berusahalah untuk menjadi suci. Tidak usah merasa paling Islam, tetapi berusahalah untuk menjadi Islam.
Sabrang

Menjelang akhir, Angga Sulaiman ikut menambahkan terkait jatidiri bangsa, ia mengajak untuk kembali belajar menilik sejarah, saat dulu pada masa kerajaan, persoalan keris (Mpu Gandring) saja dapat menyebabkan pertumpahan darah hingga tujuh turunan. Dendam-dendam seperti itulah yang kini banyak terjadi di pemimpin bangsa.

Suryo AB memiliki penjelasan tersendiri tentang jatidiri bangsa. Suryo berpendapat bahwa jatidiri bangsa kita adalah keikhlasan. Menarik ke masa sebelum kemerdekaan, Raja-raja merelakan wilayah teritorialnya untuk bergabung bersama Negara Indonesia. Begitu juga pada momen Sumpah Pemuda 1928, peristiwa yang juga merupakan peristiwa kesadaran dalam berbangsa. Juga bagaimana sejarah bendera pusaka merah putih yang digunakan untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Begitu juga dengan keputusan Bung Karno memilih burung garuda sebagai lambang negara. Semua itu bermuara pada sebuah nilai yang paling luhur: keikhlasan.

Harun Sangge ikut melengkapi. Satu pesannya, bahwa setiap kita sebagai individu rakyat Indonesia memiliki tanggung jawab terhadap masa depan Indonesia. Kesadaran setiap individu harus ditumbuhkan bahwa Indonesia adalah milik kita bersama, bukan hanya milik para elit politik pemegang kekuasaan dalam pemerintahan.

Sabrang memuncaki Kenduri Cinta edisi April malam itu dengan mencuplik kalimat yang pernah dilontarkan oleh Cak Nun, “Tidak usah merasa paling suci, tetapi berusahalah untuk menjadi suci. Tidak usah merasa paling Islam, tetapi berusahalah untuk menjadi Islam. Tidak usah merasa paling bisa memperbaiki Indonesia, tetapi tidak pernah berhenti untuk mencoba memperbaiki Indonesia. Dan semoga Maiyah menjadi tonggak masa depan Indonesia.”

Tepat pukul tiga dinihari Kenduri Cinta ditutup dengan doa bersama yang dipimpin oleh Angga Sulaiman.