Anak-Anak Yatim Sejarah

Salah satu kelompok manusia yang paling memperoleh empati dan kasih Allah adalah anak-anak yatim. Ketika Ia “mendaftari” delapan jenis (posisi sosial) manusia yang harus disantuni: anak yatim menempati urutan pertama. Kriteria pendustaan terhadap ibadat shalat, misalnya, oleh Allah disebutkan hal ‘mengabaikan anak yatim” sebagal indikator utama.

Atau contoh lain, tatkala Allah menuturkan betapa Ia telah menolong manusia dari kesukaran menuju kemudahan: “imbalan” yang paling Ia mintakan untuk diprioritaskan ialah “jangan berlaku sewenang-wenang terhadap anak yatim”. Rupanya tak ada hamba yang lebih “menyentuh hati Allah” melebihi anak-anak yatim. “Dunia modern adalah produser utama anak-anak yatim!” berkata Kiai Sudrun pada suatu halaqah. Orang tak begitu paham. “Apa maksud Kiai?” “Dunia modern sangat menawarkan suatu tata hidup yang merenggangkan hubungan kasih kemanusiaan. Hati manusia sangat berjarak satu sama lain.

Segala sistem yang dihasilkan merupakan potret dan saling tak percayaan antar manusia. Dunia modern, atau dunia yang disebut modern oleh orang-orang yang merasa modern, sangat mengabdi kepada penaklukan. Struktur sosialnya berupa kekuasaan dan ketakberdayaan. Format keberlangsungan hidupnya berupa kemenangan dan kekalahan. Bahkan alam semesta dan segala isinya, sejauh bisa dijangkau oleh manusia “modern”, selalu jadikan “anak-anak yatim”. “Di kota-kota besar, anak-anak diyatimkan oleh orang tua mereka sendiri. Hak waktu mereka untuk bertemu dengan orang tua mereka sangat dikurangi. Hak mereka untuk memperoleh tingkat dan kualitas kasih sayang seperti yang seharusnya diperoleh dan peradaban orang pandai yang modern itu diterlantarkan. Hak mereka untuk memperoleh pendidikan akal budi yang baik, tanggungjawab sosial, kesadaran ke alam semestaan, atau pengenalan atas nurani dirinya sendiri, amat sedikit dipenuhi.

Hak mereka untuk memperoleh informasi dan peluang empiris dalam meniti kembali jalan menuju Tuhannya, dibutuhkan sejak sebelum siang hari kehidupan mereka. Mereka menjadi jauh tidak saja dan orang tuanya, tapi juga dan dirinya sendiri, dan segala bentuk kasih sayang kebudayaan kemanusiaan yang semestinya terhampar di bumi dan cakrawala mereka. Jarak dari itu semua membuat mereka berada dalam kegelapan di tengah sesuatu yang seolah-olah merupakan cahaya. Maka mereka berkelahi satu sama lain, menonjok dan mengalahkan satu sama lain. Langsung maupun tak langsung”. Berlagak seperti seorang pujangga, Sudrun melanjutkan: “Di negeri orang-orang berpengetahuan tinggi yang menyebut diri modern ini dalam banyak hal, negara meyatimkan rakyatnya, pamong meyatimkan penduduknya, pemimpin meyatimkan ummatnya — kemudian Sudrun tertawa kecil — “Seperti Saudara-saudara sekalian ini, sebagai ummat, siapakah Bapak Ibu sejarah Anda?”