Aku Melihat Indonesia

Reportase: Orasi Budaya “Aku Melihat Indonesia” bersama Cak Nun di Aksaray, Turki

Senin 17 Juni 2013, bertempat di kantor Pacific Countries Social and Economic Solidarity Association (PASIAD), Aksaray, Turki, terselenggara Orasi Budaya bersama Cak Nun dengan tajuk Aku Melihat Indonesia. Berlangsung dari pukul 15.00 – 18.00 waktu setempat (atau 20.00-23.00 waktu Indonesia Barat), acara ini disiarkan langsung oleh Radio Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Turki.

Setelah dibuka dengan alunan Wirid Padhangmbulan, Syanana, Kelahiran, Kain Cinta Pembasuh Luka, dan sedikit pengantar, Cak Nun menggelitik hadirin dengan mempertanyakan apa kedudukan SBY dalam sistem negara Indonesia, sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan. Mahasiswa-mahasiswa pasca sarjana yang hadir menjawab kompak, “Keduanya!”

“Lho kok keduanya? Kalau ibarat dalam rumah tangga, ada kepala rumah tangga dan kepala urusan rumah tangga. Kepala urusan rumah tangga ini yang mengatur urusan air minum, mengkoordinir urusan sehari-hari. Dalam negara itu namanya eksekutif. Tapi lalu pendapatan uang si bapak atau kepala rumah tangga ke mana? SBY ini kepala rumah tangga atau kepala urusan rumah tangga? APBN itu dari mana asal-usulnya? BUMN bekerja dengan bikin macam-macam, uang dari hasil pendapatan itu ke mana? Siapa yang punya? Kepala negara.

“KPK itu lembaga negara atau lembaga pemerintah? Kalau lembaga negara, yang seharusnya berhak memilih adalah rakyat – yang dalam hal ini direpresentasikan oleh DPR. Tapi kok kemudian yang melantik Presiden? Presiden kan kepala urusan negara? KPK itu siapa? Yang paling utama harus diawasi KPK adalah kepala pemerintahan, tapi di Indonesia justru kepala pemerintahanlah yang melantiknya.”

Cak Nun menekankan bahwa yang diinginkannya adalah dialog, bukan orasi. Cak Nun melemparkan pertanyaan-pertanyaan pemantik: SBY itu Orba atau reformis? Apakah Jusuf Kalla itu politisi atau pedagang, apakah Taufiq Kiemas itu politisi, negarawan, atau pedagang – kita harus bisa tepat mengidentifikasikannya. Harus jelas mana yang haq dan mana yang bathil.

Sebagai ilustrasi, Cak Nun mengambil contoh bank syariah. Kalau memang bank syariah itu urusannya dengan prinsip, harusnya Mandiri atau BNI membubarkan bank konvensional mereka dan menggantinya dengan bank syariah. Tapi yang terjadi adalah: keduanya tetap ada, tergantung segmen mana yang dituju. Di Indonesia, mau kafir atau mau muslim itu hanya soal mana yang mbatheni.

“Kalau anak muda seperti anda yang nanti memimpin Indonesia, harus jelas identifikasi persoalan bukan secara ilmu saja, melainkan juga bagaimana mau memasuki ranah kenyataan-kenyataan di Indonesia. Mungkin, Orba dan reformasi bukanlah polarisasi, melainkan dinamika. Ada orang Orba yang kemudian berkembang menjadi reformis yang baik, dan ada juga reformis yang lebih kotor daripada tokoh Orba. Jadi, kita tidak boleh menilainya secara statis,” ungkap Cak Nun.

Untuk menggambarkan apa yang sedang terjadi di Indonesia, Cak Nun menggunakan perumpamaan roti dan tahi sebagai simbol. Dengan seluruh kekayaan yang dimilikinya, bangsa Indonesia memegang hak penuh untuk mendapat roti. Tapi, akibat sistem pemerintahan yang tidak benar, mereka hanya mendapat tahi. Beruntunglah, bangsa satu ini punya kemampuan mental yang luar biasa. Mereka sanggup menyulap penderitaan-penderitaan akibat penindasan menjadi sesuatu yang mengasyikkan. Teknologi mental itulah yang membuat mereka sanggup merotikan tahi.

Tapi karena terlalu lama merotikan tahi, bangsa Indonesia mulai lupa bagaimana membedakan roti dengan tahi. Mereka sudah tak ingat lagi bahwa yang mereka makan setiap hari adalah tahi.

“Anda boleh saja tidak mampu mengubah Indonesia, karena persoalannya memang sangat ruwet. Masih lebih gampang ngurus Turki daripada Indonesia, karena orang Turki punya akhlak, ngerti bahwa salat itu tidak kompatibel dengan maling. Kalaupun kalian tidak bisa melawan, tidak mampu bersikap, harus jelas dalam kesadaran anda mana yang roti dan mana yang tahi. Anda pulang dengan kebenaran yang jelas. Allaahumma arinal haqqa haqqaa warzuqnaa tibaa’ah wa arinal baathila baathilaa,” jelas Cak Nun.


Dua pertanyaan datang dari hadirin. Yang pertama mengenai bagaimana menjadikan roti yang benar-benar enak. Yang kedua mempertanyakan pertanggungjawaban Cak Nun sebagai tokoh reformasi yang belakangan mengeluarkan pernyataan di majalah bahwa reformasi palsu belaka.

Untuk menanggapi pertanyaan mengenai reformasi, Cak Nun meminta Mbak Via turut menceritakan kesaksiannya sepanjang proses reformasi. Pertemuan pertama terjadi tanggal 15, dalam rangka menggodok formula untuk meminta Pak Harto turun tanpa membuat beliau ‘ngamuk’. Ada lima orang di dalamnya: Utomo Dananjaya, Cak Nur, Malik Fajar, S. Drajat, dan Cak Nun sendiri. Hasil pertemuan itu disosialisasikan tanggal 16 di Hotel Wisata, yang intinya adalah kelima orang tersebut meminta Pak Harto turun dan akan digantikan dengan Komite Reformasi yang terdiri dari 45 aktivis.

Komite Reformasi ini dibuat untuk menggantikan fungsi MPR, karena ketika Pak Harto sudah turun, MPR dan semua lembaga harus dibubarkan karena hanya merupakan rekayasa Pak Harto. Sebagai MPRS, Komite Reformasi bertugas mengangkat presiden sementara dan mengadakan Pemilu sesegera mungkin, selambat-lambatnya dalam waktu enam bulan.

Pada tanggal 17, konsep diserahkan kepada Mensesneg Saadilah Mursyid, dan besok sorenya sudah sampai di tangan Pak Harto. Pak Harto bersedia turun, tapi minta untuk dipertemukan dengan para pembuat konsep pada tanggal 19, jam 08.00 pagi.

“Malam itu Pak Saadilah Mursyid telepon, saya yang terima, meminta Cak Nun untuk ikut mendampingi proses turunnya Pak Harto,” ujar Mbak Via, “Dan besoknya jam 7 pagi, Cak Nun berangkat ke Istana dari rumah. Dalam pertemuan itu ditambah 4 tokoh lagi, salah satunya Gus Dur. Pak Amien Rais sengaja tidak dilibatkan karena dirasa kurang cocok dengan tipe Pak Harto,” ungkap Mbak Via.

Pada tanggal 20, jam 11 siang di Kantor Republika, Amien Rais menolak gagasan Komite Reformasi karena curiga itu merupakan akal-akalan Pak Harto, dengan alasan di dalamnya masih terdapat 3 orang Orba: Pak Harto, Wiranto, dan Akbar Tandjung.

“Padahal sudah saya bilang: Sampean tenang saja, nanti Sampean juga akan jadi presiden, saya akan atur. Silahkan anda selidiki siapa yang berperan dalam naiknya Gus Dur jadi presiden. Yang diketahui masyarakat hanyalah resepsinya, sementara 80%-nya, akadnya, sama sekali tidak diketahui.”

Karena konsep Komite Reformasi ditolak, tanggal 20 Cak Nun mengejar-ngejar Cak Nur dan tokoh-tokoh lain yang sudah sangat kecapekan. Pak Harto sudah ‘ngambek’, Cak Nur juga ‘ngambek’. Dengan berunding bersama Cak Nur, Cak Nun menyusun, mengetik, dan mencetak naskah yang menyatakan bahwa Habibie hanya merupakan presiden transisional, bukan presiden permanen.

Berdasar rencana, malam itu Malik Fajar membuka konferensi pers, kemudian Cak Nun memberikan pengantar mengenai akan turunnya Pak Harto, barulah Cak Nur membacakan naskah. Tapi secara tiba-tiba, Cak Nur masuk dan langsung membacakannya. Di ujungnya, Cak Nur membacakan: Tertanda Nurcholish Madjid dan Amien Rais.

“Kami kaget. Bukan mau sok pahlawan, saya nggak patheken tidak dicatat sejarah, karena saya yang mencatat sejarah, tapi kalau tiba-tiba ada bintang film baru yang tiba-tiba muncul di film yang sudah kita skenariokan, kan terkejut juga. Dan ini serius masalahnya. Begitu selesai konferensi, wartawan merubung, saya jadi nggak mau. Dan begitulah wartawan, mereka tidak mengerti fakta. Yang mereka tahu adalah siapa yang marketable,” tambah Cak Nun.

Tambah lagi, ada beberapa tokoh yang selama ini turut menggodok reformasi ternyata melobi Habibie untuk menjadi menteri. “Saya nggak apa-apa orang cari uang atau jadi menteri, tapi kan semua ada tempatnya. Kalau anda umroh ya jangan disamakan dengan ke Gunung Kawi. Orang tahunya umroh, nggak tahu kalau di dalam hatimu ada konsep merdukun.”

Mulai saat itu, Cak Nun menyatakan tidak berhubungan lagi dengan reformasi. Dan saat itu pula Cak Nun berkata kepada adiknya, “Dil, mulai saat ini saya nggak ikut reformasi. Yuk kita mulai keliling Indonesia, shalawatan.” Maka terbentuklah Himpunan Masyarakat Shalawat (HAMAS).


Menjawab pertanyaan mengenai bagaimana membuat “roti” yang enak, Cak Nun berkata, “Tergantung menurut anda, apa yang sedang terjadi di Indonesia, dari konstitusi, undang-undang, sampai budaya dan sistem politiknya itu bisa nggak untuk mengubah? Atau justru itulah yang harus diubah? Kalau menurut anda warungnya bisa untuk mengubah, persoalannya tinggal memilih orang di 2014 nanti. Tapi kalau justru warungnya yang harus diubah, pertanyaannya adalah: masih kita teruskan nggak sistem politik yang seperti ini?

“Jangan lupa, sejak dulu Indonesia bukan negara kesatuan. Gajahmada adalah perdana menteri (direktur utama), sementara Hayam Wuruk merupakan pemilik dan penguasa seluruh saham yang tidak punya hak dalam eksekusi pemerintahan. Wilayah-wilayah Majapahit sampai ke Thailand, ke India Selatan, itu merupakan teman se-commonwealth, bukan negara jajahan. Dan tiap 35 hari sekali mereka minum air kendi emas di Trowulan. Bayangkan, menggunakan apa mereka menempuh perjalanan sejauh itu?

“Di masa silam nenek moyang kita sudah memiliki teknologi-teknologi yang bahkan pada hari ini kita belum memilikinya. Sebagai contoh sederhana, mengapa pabrik gula terletak di Jawa Timur kalau pusat VOC di Batavia? Mengapa pabrik kereta api di Madiun, juga bukan di Batavia atau sekitarnya? Berarti, sebelum Belanda datang pabrik-pabrik itu sudah ada. Orang Jawa mengatasi hujan bukan melalui teknologi eksternal, melainkan melalui teknologi internal. Filosofi dasarnya, alam semesta ada di dalam diri anda.”


Pertanyaan terakhir datang dari seorang panitia Pemilu luar negeri di Iran yang meminta saran mengenai Pemilu 2014 dan menanyakan siapa tokoh ideal untuk memimpin Indonesia.

“Menurut saya, tidak perlu meletakkan cara berpikir pada yang tadi kita bicarakan. Kalau yang tadi kan kita sebagai intelektual. Tapi dalam hidup, tidak setiap yang anda alami dan anda lihat harus yang anda setujui. Lakukan nggak apa-apa, tapi sarankan sedikit kepada mereka untuk berdoa supaya Tuhan ikut Pemilu, karena kalau Allah ikut Pemilu bukan menambah satu suara melainkan Dia menjadi serbuk kebaikan yang memasuki alam pikiran sebanyak mungkin orang.

“Kalau siapa yang ideal, saya kira di Indonesia tidak betul-betul ada parameter karena keadaannya berubah terus-menerus. Tapi keadaan mutakhirnya, para investor di Indonesia sudah siap-siap karena mereka melihat gejala-gejala nasionalisasi. Misal ada pembatasan untuk Freeport, tidak boleh mengambil tambang mentah langsung tapi harus ada pengolahan di Indonesia terlebih dulu. Atau dalam peternakan sapi, tidak boleh hanya menyewa petani untuk memelihara sapi. Harus ada budidaya daging, kulit, sehingga orang Indonesia punya akses atas proses dagang sapi tadi.

“Banyak orang mengira yang akan melakukan itu adalah Prabowo karena dia dinilai agak ultranasionalis. Saya ingin katakan: ini mungkin terjadi, tapi mungkin yang melakukan bukan Prabowo.

“Kelemahan utama di Indonesia adalah kita tidak saling percaya. Kita tidak menemukan motivasi untuk bayar pajak, untuk berbuat baik. Anda pikir koalisi itu benar-benar jam’iyyah? Koalisi hanya hasil kompromi dari mekanisme saling mengancam.

“PKS, misalnya. Kalau PKS tidak hancur setelah ini, kita akan sakit lebih lama. Kalau presidenmu terbukti bersalah, yang bagus itu kan kalau hancur, karena setelah kehancuran akan muncul kebangkitan. Tapi kalau mempertahankan korps dengan mencari-cari alasan pembenaran, tidak akan ada kebangkitan.

“Saya selalu berdoa di depan teman-teman KPK: Ya Allah segeralah bubarkan KPK. Mereka kaget, maka saya terpaksa jelaskan di tengah doa saya: Kalau Engkau telah merasa saatnya tiba untuk meniadakan KPK, berarti negara ini sistem hukumnya telah kembali kepada yang seharusnya. KPK tidak diperlukan sepanjang lembaga-lembaga yang baku tidak beres. KPK ada karena kepolisian dan kejaksaan nggak beres. Tapi kalah sama sepak bola, pemain yang digantikan tidak keluar lapangan. kepolisian dan kejaksaan tetap ada. Minimum berbagi wilayah lah.”

Setelah lantunan beberapa lagu dari Mbak Via dan Haya, acara ditutup dengan beberapa kalimat dari Cak Nun. “Indonesia boleh jatuh sejatuh apapun, tapi nanti ketika dia bangkit, tidak ada yang melebihinya. Indonesia akan menjadi ibunya dunia, akan mengasuh dunia dengan kasih sayangnya.”

[Teks: Ratri Dian Ariani]