Leluhur Masa Depan

Malam itu (15/8) ramai. Hampir setiap wilayah di Banyumas, baik di desa dan di kota banyak warga merayakan agustusan, Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Juguran Syafaat (JS) sejenak minggir dari keramaian mainstream. Menyepi di sudut kota, berdiskusi, mengangkat tema Leluhur Masa Depan.

Acara dimulai pukul 21.00 WIB. Dulur-dulur Juguran Syafaat mulai menggenapi forum menjadi lingkaran, tampak beberapa sedang sibuk membaca Buletin JS, lainnya saling berdiskusi pelan-pelan. Juguran Syafaat diawali dengan tadarus arrahman dan al waqiah oleh Kukuh dan Anggi.

Kusworo memoderatori forum Juguran Syafaat malam itu. Ia memulai dengan menyapa dulur-dulur JS yang sudah hadir. Untuk sebuah lingkaran yang tidak begitu besar, moderator bisa menyapa satu-persatu dulur JS yang sudah hadir. Beberapa dulur-dulur memperkenalkan diri, nama dan asal mereka.

Sebelum memasuki tema, Kukuh memulai diskusi dengan bercerita tentang pasar Madinah dan pasar Yahudi. Sharing selanjutnya oleh Hilmy, ia bercerita tentang Mbah Nun ke Korea Utara. Rizky mengawali, “Mbah Nun selalu datang di Juguran Syafaat. Kita tidak terputus persambungan dengan beliau secara keilmuan. Kita tidak bisa berdiri sendiri. Secara ruhani dan substansi, beliau selalu hadir.

“Pikiran kita sering sejangkal. Ketika kita mengatakan masa depan, berarti kalau sekarang 2014 masa depan kita itu tahun 2015, 2020, 2025. Kita kejar, kita siapkan habis-habisan untuk masa depan yang kita bayangkan. Kemudian, mesti ndak kita sampai kesana? Kemudian ada alternatif, kata masa depan adalah dimensi setelah hidup ini. Ini adalah masa depan yang lebih pasti,” ujar Kusworo.

“Kenapa cita-cita jadi bupati, jadi Insinyur, jadi dokter, lebih dipersiapkan daripada masa depan kita menuju mati, itu karena di dunia ini disediakan fakultas ilmu ekonomi pembangunan, fakultas teknik sipil, fakultas kedokteran, yang itu menjadi cara untuk mencapai masa depan itu. Tapi tidak ada fakultas kematian,” menurut Rizky.

js2


Kusworo mempersilahkan salah satu tamu yaitu Anas Rosyadi dan Mira Safar, suami istri pendiri Sekolah Alam Baturraden, Banyumas, untuk sharing tentang bagaimana sistem pendidikan yang berlangsung di sekolahnya, dan dimana ilmu-ilmu kematian diselipkan dalam kurikulumnya.

“Berangkat ke tema, saya memulai dari ziarah Walisongo. Menurut saya, ziarah itu bukan bidah atau tidaknya, melainkan apa tujuan orang berziarah. Ada batas yang tipis sekali, antara syirik dan tauhid. Ada satu sisi, orang datang itu untuk meminta sesuatu, kita tidak bisa pungkiri itu,“ tukas Anas.

“Konsep pendidikan yang ada saat ini, orang tua, guru dan orang-orang yang berkecimpung di dunia pendidikan itu hanya memperdulikan masalah dunia saja. Yang ada di sekolah adalah bagaimana anak-anak mendapatkan nilai Matematika 9, Bahasa Inggris 9, IPA 9, sehingga besok bisa kuliah di universitas favorit. Saya pernah membaca buku-buku sastra, jaman dulu itu ada teknologi-teknologi yang luar biasa yang diciptakan oleh ilmuwan-ilmuwan di masa lalu. Pertama, karena mereka belajar dari sang maestro, yaitu alam semesta. Yang kedua, orang-orang jaman dulu tidak punya kepentingan apapun dalam melakukan sesuatu. Jadi kalau arsitek jaman dulu bikin pendopo ya sudah, passion-nya adalah bikin pendopo, dan kepuasan saya adalah ketika pendopo ini berdiri tegak dan bermanfaat untuk orang lain. Tetapi kalau jaman sekarang, orang melakukan sesuatu untuk uang,” kata Mira.

Mira bercerita tentang Sekolah Alam Baturraden, tentang konsep sekolahnya hingga perjalanannya hingga sekarang. Sharing pula tentang kondisi saat ini dimana anak-anak dekat sekali dengan gadget.

“Sekolah kami mempunyai dua mimpi besar, yang pertama adalah ingin mengembalikan fungsi manusia sebagai abdullah dan khalifatullah. Dan yang kedua adalah mewujudkan Indonesia yang hijau dan damai. Walaupun kami tidak berseragam, walaupun kami tidak setiap hari Senin mengadakan upacara bendera, tetapi yang kami tanamkan adalah bagaimana anak-anak menjadi muslim yang baik, bagaimana mereka menjadi pemimpin Indonesia yang lebih baik. Itu saja, tidak ada kepentingan apapun. Dan kenapa harus di alam? Agar anak-anak punya kesempatan belajar lebih banyak bersama alam,” kata Mira

Agus Sukoco menambahkan uraian dari Mira, “Anda harus tahu bahwa kehidupan yang sejati adalah setelah mati. Maka sekarang ini semua adalah fakultas kematian. Yaitu ilmu-ilmu yang berorientasi hanya pada radius waktu dunia. Padahal kehidupan yang sejati adalah setelah mati. Dan ini yang tidak ada fakultasnya, yaitu fakultas kehidupan. Bangsa kita telah salah jalan dalam mengambil kebijakan-kebijakan untuk kesejahteraan. Kita ini ibarat anak yang diwarisi tanah 10 hektar, tapi kita malah malas, tanah digadaikan dan bekerja kepada yang lebih miskin. Potensi alam darat dan laut adalah ibu kandung kita, sedang sekarang kita menyusu pada ibu tiri peradaban, yaitu industrialisasi.

“Bahaya manusia yang sesungguhnya adalah tergelincirnya kita dari tauhid. Bagi saya, dalam ziarah, batas antara tauhid dan syirik masih agak tebal. Sangat mudah untuk dibedakan. Semakin cerdas masa iya, minta ke kuburan, gampang sekali dibedakan. Yang batasnya sangat tipis dan susah dibedakan adalah ketika ada orang mengatakan: saya kaya karena saya kerja keras. Ini bencana tauhid yang paling dahsyat, yang sedang kita alami bersama dan sedang berlangsung. Kita kira rejeki bukan dari Tuhan, itu hanya produk kontribusi kerja keras kita. Dan tidak pernah ada curiga sedikitpun bahwa ini adalah ancaman bagi supremasi tauhid.

“Pekerjaan Maiyah adalah untuk membedakan mana syirik mana tidak ketika kita menyikapi datangnya rejeki saja. Jadi kita, setiap hari sudah datang bertumpuk-tumpuk kesyirikan kita sambil menuduh orang lain bidah, sambil menuduh orang lain syirik, hanya karena ziarah, padahal kita diam-diam hanya karena mendapatkan rejeki saja sudah syirik bertumpuk-tumpuk.

“Kita selama ini mengalami banyak sekali penyanderaan-penyanderaan makna kata. Contohnya: hidayah. Bahwa dikira kita tiap detik dapat hidayah itu selama ini direduksi bahwa hidayah itu hanya sekedar orang mau salat, mau ngaji, tidak maksiat. Padahal, anak kita ketika pertama kali tahu bahwa dua tambah dua sama dengan empat, itu hidayah. Itu ilmu Tuhan yang disampaikan melalui guru dan diterima oleh anak. Selama ini dikira itu adalah kemampuan sekolah, kemampuan guru, sehingga sekolah-sekolah merasa berhak menjualnya,” Agus Sukoco menutup.

Ditambahkan oleh Pur, jamaah dari Yogyakarta, menceritakan aktivitasnya dalam berbisnis dengan cara memanusiakan manusia.


Diskusi memasuki tengah malam. Kemudian salah satu jamaah, Fikry, berbagi tentang pengalamannya mengaplikasikan ilmu krenteg atau kekuatan pikiran dalam hidup sehari-hari.

Kusworo menyambung diskusi dengan mengembalikan diskusi ke tema awal. Kusworo menceritakan tentang ilmu-ilmu leluhur yang sesungguhnya sangat rasional dan ilmiah. Contohnya tentang bagaimana sesungguhnya leluhur bisa seperti berada di banyak tempat, ini adalah tentang pancaran frekuensi rendah seperti halnya dalam elektronika telekomunikasi.

Azmy menambahkan perspektif jamaah tentang ziarah. “Ziarah adalah peristiwa tapak tilas atas keluhuran orang dahulu. Dan orang sekarang tidak membangun tempat-tempat dimana kita bisa mendapatkan stimulan dari keluhuran orang terdahulu. Inilah subtansi daripada ziarah,” kata Azmy.

“Tidak ada nabi yang bisa mengatasi masalah kalau tidak ditolong Tuhan, dalam teks agama peristiwa supra rasional itu disebut dengan mukjizat. Peristiwa mukjizat Musa, Ibrahim, Nabi Muhammad, dan nabi-nabi yang lain, apakah tidak terjadi dalam hidup kita? Ada pengalaman teman yang sedang susah, untuk rokok sehari saja tidak pasti bisa beli. Dimarahin istri dan mertua karena tidak berpenghasilan. Tapi dia percaya ada mekanisme Tuhan, suatu saat ketemu tidak sengaja dengan orang yang dia menitipkan modalnya 40 juta untuk membuat percetakan hingga sekarang. Kalau dipikir secara rasional, bisa jadi perlu ratusan tahun untuk teman saya itu bisa mengumpulkan modal sebanyak itu. Apakah ini tidak disebut mukjizat?” tambah Agus Sukoco.

Nael dari Purbalingga berprofesi sebagai pendidik menceritakan tentang kegelisahannya dengan sistem pendidikan yang ada di Indonesia, yang berganti-ganti kurikulum tidak jelas. Nael berpendapat, sistem terbaik pendidikan saat ini ada pada pondok pesantren. Dia menceritakan bagaimana selama satu tahun bolos sekolah formal, tapi hanya membantu membangun masjid pondok pesantren, sekarang malah menjadi guru dan diangkat menjadi PNS. Ada hal-hal yang sulit dijelaskan secara teori terkait pendidikan di Pesantren seperti karomah, keberkahan, dsb.

Juguran Syafaat diakhiri pukul 01.30 pagi, ditutup dengan lantunan Hasbunallah bersama-sama.

[Teks: Hilmy Nugraha]