JOKOWINGIT

reportase kenduri cinta agustus 2013

Setelah dibuka dengan pembacaan surat As-Sajadah, Kenduri Cinta edisi Agustus 2013 dilanjutkan dengan salawatan bersama kelompok hadrah dari Cilincing. Kemudian khusus untuk almarhum Bapak Budi Santosa yang telah berpulang beberapa hari menjelang Idul Fitri lalu, jamaah bacakan Al-Fatihah untuk beliau.

Sebagai pengantar atas tema Jokowingit, perlu diingat bahwa titik berat dari tema tersebut bukanlah menyorot satu sosok—yang sedang hangat diliput di media-media massa—melainkan lebih pada perenungan terhadap arus kerusakan yang sedang terjadi hari-hari ini dan upaya-upaya kecil yang mampu kita jalankan untuk mengetuk perkenan perubahan dari Allah, entah itu dalam bentuk figur pemimpin maupun dalam bentuk yang lebih halus, yakni sistem kepemimpinan.

Untuk menyambung ke sesi berikutnya, Yopie Doank membawakan dua lagunya yang berjudul Palu Hakim dan Kecap Nomor Satu. Tampil pula seorang musisi jalanan dari Sudirman yang biasa dipanggil Bondan karena kepiawaiannya nge-rap.

Dalam sesi diskusi pertama, enam orang diberi kesempatan untuk menyampaikan apa saja yang berkaitan dengan tema. Muhammad Taufik, Ketua Umum Gerindra DPD DKI Jakarta, katakan bahwa Jokowi merupakan tokoh yang turun dari langit. Kalau bukan karena ijin Tuhan, Jokowi—yang tidak unggul dalam pengetahuan mengenai Jakarta maupun dalam dana kampanye—tidak mungkin terpilih. Setelah menjabat pun, menurut Taufik, Jokowi telah mencetak prestasi dengan membereskan Tanah Abang. Sebagai perantara naiknya Jokowi, Taufik tidak setuju dengan wacana kemungkinan Jokowi mencalonkan diri sebagai presiden di 2014 nanti, karena menurutnya presiden ideal saat ini adalah Prabowo Subianto.

Max Siso, mantan anggota DPRD Sangir Talaud, menyampaikan bahwa untuk menjadi pemimpin yang baik, yang utama diperlukan bukanlah kepandaian dan jenjang pendidikan yang tinggi, melainkan kerendahan hati. Kekuatan inilah yang dimiliki oleh Jokowi sehingga bisa memimpin Jakarta dengan baik. “Kalau tidak milih Jokowi, mati kita,” ujarnya.

Eki Pitung, ketua Brigade Anak Jakarta (Braja) menyebutkan kegagalan pemerintahan Jokowi yang  sudah hampir satu tahun lamanya tapi penyerapan APBD baru 23%. Menurutnya, ini bisa menghambat pembangunan, dan oleh karena itu Jokowi harus mempertanggungjawabkan ini kepada DPRD, bukan kepada masyarakat.

Mujahidin, S.E, ketua umum PBB DKI Jakarta, berpendapat bahwa dengan cinta masyarakat bisa menerima pemimpin siapapun orangnya. Inilah yang terjadi pada diri Jokowi yang dengan segala kelemahannya tetap mendapat banyak dukungan. Sebagai poin tambahan, menurutnya ada lima hal dasar yang harus dimiliki siapapun yang ingin terjun ke dunia politik: keturunan, pengetahuan akan agama, punya harta yang cukup sehingga ketika menjabat tidak dalam rangka mencari kekayaan, mempunyai jiwa sosial yang tinggi dan baik kepada tetangga-tetangganya.

Faisal Assegaf, seorang wartawan, menceritakan pengalamannya ketika meliput Gaza, Libya dan beberapa konflik di Timur Tengah. Di sana, pertanyaan yang selalu dilontarkan adalah: anda sunni atau syiah? Menurutnya, agama Islam sekarang justru menimbulkan rasa tidak aman kepada minoritas. Amsar Dulmanan menyambung, bahwa realitas keindonesiaan sekarang ini penuh manipulasi melalui logika konstitusional. Yang bisa kita lakukan dalam kondisi seperti ini adalah kesadaran bahwa postulasi kebenaran bukan terletak pada hasil akhir, melainkan pada konsep yang konsisten, madhep yang jelas, dan istiqomah dalam perjalanan.

“Kita bukan hanya harus mampu melayani, tapi juga harus mampu menikmati pekerjaan melayani itu. Kita harus mampu menikmati baik kekayaan maupun kemelaratan.”

Emha Ainun Nadjib

KSATRIA DARI LANGIT

Setelah penampilan musiktiga dari jamaah melontarkan pertanyaan. Penanya pertama, Novan, mempertanyakan kenapa pembicara-pembicara justru membicarakan Jokowi, bukannya membicarakan tema, ia juga bertanya bagaimana kalau ciri pemimpin yang baik justru ada pada diri minoritas. Muhammad Sanusi dari Tanah Abang menyatakan salutnya kepada Ahok yang namanya saja sudah membuat pejabat-pejabat lain ciut nyalinya.

Pertanyaan ketiga datang dari Azis, yang juga mengkritisi bahasan para pembicara. Yang menjadi bahan elaborasi seharusnya bukan Jokowi-nya, melainkan pada rijalun mahjub, satrio piningit, the hidden master. Kalau memang sekarang Jokowi bisa sedemikian fenomenal, bisa saja itu karena masyarakat diarahkan kesana oleh media massa.

Menanggapi berbagai respon dari Jamaah, para membicara merespon:

“Jokowi itu memang turun dari langit, oleh karena itu dalam memperbaiki Jakarta langkahnya mesti teratur dan pelan-pelan. Jakarta ini kronis kondisinya. Dan soal pemimpin ini memang masalah garis tangan. Media sifatnya hanya menopang. Kami tidak menggunakan strategi aneh-aneh. Ahok itu bukan kapitalis, meskipun memang kaya. Tangan Tuhan-lah yang njawil Ahok,” jawab Taufik menanggapi pertanyaan.

Sementara Max Siso berpendapat bahwa media mempunyai proporsi pemberitaan, maka tidak bisa dikatakan bahwa media lah yang membesarkan Jokowi. Kalau tentang minoritas sebagai pemimpin, dalam demokrasi tidak ada istilah minoritas. Persoalan terpilih atau tidak sebagai pemimpin merupakan domain sosiologis.

“Allah kadang menentukan sesuatu yang bukan kita rencanakan. Kadang-kadang di luar nalar. Kita sebagai manusia sudah ditegur bahwa takabur merupakan hal negatif yang bisa mengalahkan hal-hal positif,” ujar Mujahidin. “Kedekatan Jokowi dengan masyarakat memang terlalu diekspose oleh media sehingga pemberitaan tidak selalu sama dengan yang kita lihat dan kita rasakan,” Eki Pitung menambahkan.

Sesuatu yang pada mulanya berangkat dari keikhlasan, begitu berada dalam sistem dan mekanisme, darinya muncul potensi untuk dikuasai, begitu Amsar Dulmanan merespon pertanyaan-pertanyaan tadi. Yang diaku sebagai keikhlasan seringkali hanya icon-nya saja, yang memang dibuat secara artifisial. Akarnya, lagi-lagi soal proyek. Dalam ilmu politik, ada upaya-upaya bagaimana ketika satu pihak mengatakan A, masyarakat luas akan terpengaruh sehingga ikut mengatakan A. Dalam dunia politik semua bisa direkayasa. Dan masalah siapa yang jadi pemimpin, itu tidak ada hubungannya dengan keturunan tapi semata-mata tentang kesempatan. Siapa diberi, jadilah dia. Maka satu-satunya yang bisa dijadikan pegangan dalam dunia politik adalah hati nurani.

“Saya pribadi mengakui, media memang terlalu mengekspos Jokowi. Rakyat sudah kebablasan dalam mencintai Jokowi, sehingga ketika suatu saat media memberitakan yang negatif media justru dihujat oleh pembaca. Masyarakat belum siap menelan kenyataan pahit sepertinya,” jawab Faisal Assegaf.

“Jokowingit menyimpan satu fenomena lain karena kata ‘wingit’ adalah sesuatu yang substansinya tidak terletak pada yang tampak atau lahiriahnya, melainkan pada sir-nya. Dimensi di balik yang tampak inilah yang dinamakan wingit.”

Emha Ainun Nadjib

SATRIO PINANDHITA SINISIHAN WAHYU

Setelah dua lagu dari kelompok musik Es Coret, sesi diskusi yang kedua dimulai. Sayangnya, para pembicara sesi sebelumnya memilih untuk pulang tak mengikuti sesi berikutnya. Cak Nun yang masuk pada diskusi sesi kedua, menyesalkan hal itu. “Audiens utama sesi ini seharusnya adalah yang tadi ngomong. Kalau sekarang sudah nggak ada, kami mau ngomong untuk siapa? Kalau untuk anda semua, saya rasa nggak perlu karena anda punya mekanisme sendiri untuk memahami sesuatu secara proporsional. Anda tidak tertutupi oleh kepentingan dan kebutuhan. Anda mampu melihat dengan kejujuran karena anda berada pada posisi jarak yang memang jujur terhadap itu semua,” Cak Nun mengawali.

“Kembali ke ilmu dasar, tema Jokowingit ini tidak ada kaitannya dengan siapapun. Kita harus memahaminya sebagai fenomena sejarah sepanjang masa di segala bangsa. Setiap bangsa, dari zaman Namrud, pemerintahan di masa Nabi Hud, pemerintahan Firaun, sampai sekarang, pernah mengalami kesedihan-kesedihan, ketidakadilan dan kecurangan-kecurangan. Jika hal itu terjadi dalam jangka waktu yang panjang, mereka tidak menemukan cara untuk mengatasi dan melawan kecurangan-kecurangan itu sehingga mereka melarikan diri kepada harapan-harapan akan datangnya pertolongan dari langit. Ini di-support juga oleh wacana-wacana agama tertentu. Maka jawaban rakyat menghadapi krisis-krisis itu sederhana saja: memohon kepada Allah agar Dia menurunkan ksatria dari langit untuk mengatasi keadaan karena rakyat sudah tidak mampu mengatasinya.

“Maka muncullah wacana messianisme, Ratu Adil, Imam Mahdi, dan ini ada di seluruh dunia. Setiap masyarakat memiliki sebutan-sebutan sendiri untuk itu, tapi ide dasarnya sama. Kalau di Jawa, ksatria dari langit itu bernama satrio piningit. Kata piningit ini berasal dari kata pingit yang mendapat sisipan -in, sehingga artinya menjadi dipingit. Pola bahasa seperti ini serupa dengan yang terdapat dalam bahasa Tagalog.

Jokowingit menyimpan satu fenomena lain karena kata wingit adalah sesuatu yang substansinya tidak terletak pada yang tampak atau lahiriahnya, melainkan pada sir-nya. Dimensi di balik yang tampak inilah yang dinamakan wingit. Wingit adalah suasana senja hari ketika awan mulai gelap dan angin berdesir aneh. Wingit juga ketika kita tertekan oleh rasa kangen kepada ibu di kampung sehingga seolah-olah udara kamar juga ikut mengekspresikan kerinduan itu. Wingit bisa berlaku pada benda, orang, keadaan, dan pada apa saja. Kalau ada Jokowingit, berarti ada seseorang atau gejala dalam masyarakat yang harus kita pahami agak panjang karena ada fenomena-fenomena yang tidak bisa didekati dengan teori-teori yang biasanya berlaku.

“Bicara Jokowingit, satrio piningit, Imam Mahdi, Mesiah, itu skalanya bukan lagi provinsi atau nasional, tapi dunia. Dajjal datang dari bukit di antara Mekkah dan Madinah, ia menerjang seluruh negeri. Barangsiapa tidak mematuhinya, akan kering kerontang pepohonan dan tanah yang ditinggalinya sehingga mereka akan mati. Barangsiapa mematuhi Dajjal, untuk mereka kesuburan.

“Hanya kota Mekkah dan Madinah yang Dajjal tidak berani memasukinya. Semua orang panik mendengar informasi ini, khususnya mereka yang hidup di luar tanah Mekkah—Madinah. Tapi jamaah Maiyah ini tidak jadi masalah, karena Mekkah dan Madinah ada dalam diri kita. Aura peracunan (toksifikasi) dari Dajjal ini sudah berlangsung sedemikian rupa sehingga jadilah negara Republik Indonesia. Negara ini mengatur satu cara berpikir seperti yang Dajjal kehendaki, yakni menganggap surga sebagai neraka dan sebagainya.

JOWO DIGOWO, ARAB DIGARAP, BARAT DIRUWAT

“Saya ingin memberikan Tsalatsa wa Tsalatsa. Ini judul pidato penyesalan Abu Bakar Ash-Shidiq terhadap perlakuannya kepada Sayyidina Ali. Saya tidak akan membahas secara detail, tapi ini sudah saya cicil di Pati, Jombang, Jogja dan Surabaya. Tiga gelombang dan tiga gelombang. Kalau sekarang anda merasakan ada kerusakan, pertanyaannya adalah: seberapa rusaknya, sejak kapan dia rusak.

“Apakah berdirinya NKRI ini merupakan bagian dari yang dirusak, atau bagian dari perusakan? Ini harus kita cari, karena NKRI lahir tidak dari dirinya sendiri. Idenya saja bukan ide Indonesia. Ide negara datang dari Yunani Kuno, trias politica. Dan parameter yang kita gunakan untuk menilai Jokowi dan juga untuk menilai apa saja di bidang politik, ekonomi, kebudayaan, bahkan cara beragama, adalah filosofi Yunani. Maka sehebat-hebat lenong atau ketoprak, tetap tidak akan dianggap sebagai teater karena ukuran teater adalah teater versi Yunani.

“Padahal di dunia ini ada tiga sesepuh, yakni Nusantara tua, Mesir tua, dan Yunani tua. Saya pribadi sejak kecil menggabungkan ketiganya. Saya punya kesadaran Yunani, maka saya belajar intelektualitas yang sedang dipelajari doktor-doktor. Tapi saya juga sekaligus mendialektikakannya dengan kesadaran-kesadaran Mesir tua yang kemudian memusat di Timur Tengah, yang berinti di Arab. Dan saya juga mengakomodasi seluruh yang kita miliki, yakni Nusantara tua—meliputi Sunda, Jawa, Melayu, Tagalog—yang di dalamnya terdapat peradaban paling tua yang berbeda dari peradaban Yunani dan Mesir.

“Jadi kalau ngomong jati diri, kita tidak lantas anti Yunani dan anti Mesir. Kalau kata orang merapi, jowo digowo, arab digarap, barat diruwat. Sekarang ini yang terjadi adalah: orang Betawi, Jawa atau Bugis tidak punya kemungkinan untuk maju kemanapun. Untuk bisa maju, orang Betawi harus menjadi orang Indonesia. Sampai  kapan pun Lenong itu kemarin dan tidak mungkin menjadi masa depan karena kearifan lokal kita sudah kita bunuh. Kita harus menjadi orang Indonesia, sementara Indonesia itu siapa? Indonesia sekarang ini Yunani, baik sistem politik maupun pendidikannya. Begitu sekolah, kita menjadi orang Yunani. Begitu umroh, kita menjadi orang Arab. Kita tidak pernah menjadi orang Jawa, orang Bugis, orang Betawi.

“Terserah kerusakan-kerusakan itu datang dari Yunani, Mesir atau Jawa. Tapi begitu kerusakan itu tidak mampu diatasi oleh masyarakat, secara sadar maupun tidak sadar mereka memunculkan wacana Imam Mahdi, Jokowingit dan seterusnya. Kalau dalam wacana Islam, Dajjal ditandingi oleh Imam Mahdi. Mereka seimbang kekuatannya. Sampai kemudian datanglah Isa Al-Masih untuk membereskan Dajjal. Tapi setelah itu terjadi bencana dalam skala yang lebih besar, skala jagad raya.


“Dari Nabi Adam sampai sekarang ini baru 7.000 tahun lamanya, sementara fosil manusia purba di Mojokerto atau Sragen umurnya sudah jutaan tahun. Air zamzam masih akan memancar 2,5 miliar tahun lagi. Jarak antara Big Bang dengan terbentuknya planet-planet itu juga miliaran tahun. Ketika bumi mulai teduh, dikasih air, tumbuhan, binatang, evolusi bermacam-macam, itu jaraknya sangat jauh. Dan idola kita yang bernama Muhammad itu bukan hanya yang hidup selama 63 tahun di Mekkah dan Madinah. Muhammad bin Abdullah adalah casting nur Muhammad pada ruang waktu itu. Nur Muhammad sudah hidup sejak sebelum ada Big Bang. Karena Allah sangat mencintai ciptaan-Nya ini, maka Dia ciptakan alam semesta.

“Bencana jagad raya, yang terkenal disebut sebagai Yakjuj wa Makjuj tidak disebutkan dalam Al-Quran maupun hadits. Siapakah yang diutus membereskannya? Pada puncak kehidupan alam semesta nanti akan ada solusi besar yang dilakukan oleh saudara tertua kita, yaitu Muhammad, satrio piningit yang sebenarnya. Maka jangan sedih dan jangan takut, ini semua hanya drama, skenarionya Allah. Yang penting anda manja dan cinta bener sama Allah,” jelas Cak Nun.

Cak Nun kemudian menyambung dengan sebuah kisah mengenai waliyullah di Pambusuang, Sulawesi Selatan. Beliau ini orang alim, pendiam, tidak punya pamrih keduniaan, dan meniadakan materialisme. Karena itu, diangkatlah ia menjadi ulama sesepuh oleh Raja Mandar. Tapi agar raja tidak diktator memilih secara langsung, diselenggarakanlah sayembara. Warga dikumpulkan untuk menyaksikan tiga calon sesepuh menebak isi dari sebuah kotak yang ditutupi kain Mandar yang telah dipersiapkan raja.

Calon pertama menebak isinya: kain Mandar. Raja tersenyum karena bukan kain yang tadi ditaruhnya di kotak. Calon kedua menebak: badik. Raja agak kaget karena memang badik isinya. Calon ketiga, waliyullah tadi, tahu bahwa isinya badik, tapi karena sudah terlanjur ditebak calon kedua maka dia berdoa dalam hati, “Ya Allah, jangan permalukan aku. Kalau memang Kau mencintaiku, kalau memang Kau ijinkan untuk memenuhi apa yang diidamkan rakyat Mandar, jangan permalukan aku. Dia sudah terlanjur menebak badik, jadi tolong dong turutin apa yang saya omongkan nanti.” Waliyullah itu menebak, “Kosong!”, dan benar saja, ketika kain disingkap, tak ada apa-apa di dalam kotak. Bukan berarti lalu Allah seperti yang kita omongkan, tapi bagaimana kita bisa membicarakan-Nya kalau tidak dalam bahasa budaya kita? Sementara Allah sendiri berfirman menggunakan bahasa kita.

1185473_10151832396712139_1365038912_n

“Allah menyesuaikan diri dengan kita. Qul audzu birabbinnaas—Allah sangat sayang kepada manusia, maka dia Rabbun, maka dia memangku dan memeluk manusia. Malikinnaas—Aku bisa mengasuhmu karena Aku ini Raja Diraja kamu. Illahinnaas—tapi kamu jangan lupa, Aku bukan hanya Raja. Aku ini nggak ada kamu nggak masalah. Tidak masalah kalau Aku bunuh kalian semua lalu Kuganti dengan yang baru.

“Illah merupakan lambang gagah perkasanya Allah sebagai individu. Maka yang disebut ngaji itu bukan menghafalkan lagu, melainkan mengekspresikan pemahaman kita terhadap kalimat-kalimat Allah. harus kita pahami urutannya.

Messianism dalam wacana Jawa—juga dimiliki oleh Sunda dan lainnya—bisa kita ambil dari Jayabaya dan Ranggawarsita. Jayabaya adalah seorang muslim syiah yang memiliki tiga guru dari Persi, Turki dan Roma, ketiganya syekh. Guru yang berasal dari Persi banyak mengajarkan spiritualitas sehingga mereka banyak berdiskusi. Jayabaya lalu menuliskan hasil diskusi itu dalam Ramalan Jayabaya. Sekian abad kemudian ada Ranggawarsita mengungkapkan hal serupa dalam bahasa yang lebih dekat dengan kita. Yang disebut sebagai satrio piningit itu rumusnya satrio pinandhita sinisihan wahyu.

Satrio—satrio piningit harus seorang ksatria: pandai, berani bertanding, jujur, sportif, berempati kepada siapapun yang dilawannya, seperti Sultan Salahuddin yang menyembuhkan jenderal pimpinan perang salib. Pinandhita—dia dipendetakan oleh kehidupan, bukan memendetakan dirinya, bukan meng-ustaz-kan dirinya.

Pandhita adalah orang yang sudah tidak kesengsem sama uang, tidak ada transaksi, tidak eman, tidak dapat gaji tidak eman. Dunia sudah kecil baginya. Ada makanan atau tidak, senang atau sedih, miskin atau kaya, tidak ada bedanya karena semuanya membuat pandhita semakin kuat dari sebelumnya. Kemiskinan harus kita gunakan untuk memperkuat diri kita, kekayaan juga harus memperkuat. Ada masalah atau tidak ada masalah, puasa atau berbuka, semuanya memperkuat kita. Firasat-firasat buruk memang ada, tapi kita harus mampu mengubahnya menjadi kebaikan.

Pandhita tidak mungkin korupsi. Dia yang mengikat uang, bukan sebaliknya. Di tangannya uang menjadi berkah untuk sesama. Dalam diri pandhita tidak ada dirinya; yang ada hanya Allah dan rakyatnya. Tidak ada dunia, uang, materialisme. Dia tidak akan menyakiti Tuhan karena rakyatnya akan sengsara, dan dia tidak akan menyakiti rakyat karena Tuhannya akan marah. Pemimpin yang sejati adalah pemimpin yang punya mekanisme kejiwaan manunggaling kawula Gusti.

Sinisihan wahyu—wahyu di sini merupakan idiom Jawa, bukan idiom Islam. Pemimpin harus terus-menerus berada dalam bimbingan Allah dalam setiap langkah-langkahnya.

“Kemiskinan harus kita gunakan untuk memperkuat diri kita, kekayaan juga harus memperkuat. Ada masalah atau tidak ada masalah, puasa atau berbuka, semuanya memperkuat kita.”

Emha Ainun Nadjib

Pudji Asmanto selanjutnya memberikan tambahan dari perspektif berbeda. Dipercaya, orang pintar kalahnya sama orang bejo. Nah, orang Indonesia adalah orang bejo karena kita hidup di bumi yang sangat subur. Bejo ini letaknya di dalam rasa syukur kita. Yang mengalahkan orang bejo adalah orang licik. Orang licik melakukan penipuan dan pengelabuan dengan sangat halus melalui food, fashion, fear, dan fair. Makanan dan pakaian kita diatur untuk terlihat modern atau terlihat alim. Kita juga ditakut-takuti dengan menggunakan kata bidah. Kita juga dipameri gemerlap demokrasi. Kalau hal ini berlangsung terus dalam waktu yang lama, ini menjadi faith, menjadi persepsi, kemudian memproduk perilaku. Kita dituntun untuk mempunyai persepsi diri sebagai bangsa inferior yang harus menjiplak Yunani. Ini membutuhkan perenungan lebih dalam dan menjadi tugas kita untuk saling mengingatkan.

Cak Nun ikut menambahkan, “Ada teori Dajjal menipu kita lewat food, fashion dan sebagainya. Saya akan ambil idiom roti dan tahi. Orang Indonesia mestinya dapat roti, tapi kenyataannya dapat tahi terus. Tapi karena memiliki teknologi internal, mereka bisa menelan tahi sepahit apapun dengan tetap tertawa sebagaimana makan roti. Pada tahap pertama ini merupakan kehebatan. Pada tahap kedua, mereka mulai bingung bagaimana cara membedakan roti dengan tahi karena toh rasanya sama-sama enak. Pada tahap ketiga lebih parah lagi, yaitu generasi sekarang, yang sudah tak punya wacana tentang tahi karena koran dan politisi ngomongnya tentang roti melulu, jadi kalau suatu hari dikasih tahu bahwa itu tahi, mereka marah-marah.

“Semoga kita punya kejernihan untuk melihat dan membedakan mana tahi dan mana roti, di bidang apapun. Kalau ada pemimpin baru, kita harus mampu mengidentifikasikannya sebagai roti atau tahi. Harus ada kejernihan untuk menilai dengan sungguh-sungguh. Kita tidak akan mengklaim apapun, ini hanya forum untuk anda benar-benar menelusuri pengetahuan dan menggunakan teknologi ilmu supaya akal dan nurani kita mengerti benar mana roti dan mana tahi.

“Jokowingit merupakan sesuatu yang sebenarnya sudah kita tahu tapi belum kita lakukan sehingga dia tetap wingit, tetap piningit.”

“Kalau sudah punya ilmu mbathang (mematikan diri), kamu tidak akan terpesona lagi sama dunia. Apa yang semua orang kejar-kejar tidak akan membuatmu terpesona. Sel-selmu akan kuat, hatimu kuat, kamu nggak akan nelangsa oleh apa saja. Maka pintar-pintarlah mematikan diri.’

Emha Ainun Nadjib

Seperti yang telah disampaikan di Relegi Malang, Pak Cuk berbagi pengetahuan mengenai puasa. Tubuh kita terbangun dari 300 triliun sel yang bekerja bersama secara harmonis tanpa ada sel pemimpin. Yang memimpin adalah manusianya sendiri. Ada perbedaan antara fasting dengan starvation. Dalam puasa, kita menyengajakan diri untuk tidak makan dan minum. Sementara starvation adalah ketidakberdayaan mengupayakan asupan makanan bagi tubuh. Selama ini banyak orang yang tidak yakin terhadap puasa karena logika kita dibentuk untuk meyakini bahwa tubuh membutuhkan makanan. Kalau kita tidak makan, sel-sel tubuh akan rusak. Kenyataannya tidak begitu.

Dalam puasa, sel-sel yang mati lebih dulu adalah sel-sel buruk atau yang mengandung penyakit. Kalau selama puasa kita masih marah-marah, berarti kebanyakan sahurnya. Semestinya cukup air putih saja. Nabi Daud menggunakan metode mematikan diri ini dengan cara: sehari mati sehari hidup. Puasa ini serupa dengan metode reset pada komputer untuk memisahkan yang default dengan yang aksesoris.

“Saya mengartikan satrio piningit dengan puasa, ketika kita puasa yang jelek-jelek mati, menyisakan yang baik-baik. Yang baik inilah yang dinamakan satrio pinandhita sinisihan wahyu. Karena prinsipnya setiap orang lahir memiliki perjanjian dengan Allah,” demikian kata Pak Cuk.

Menanggapi uraian dari Pak Cuk, Cak Nun menyambung, “Sabrang pernah mengatakan bahwa kalau anda lapar, sel-sel anda memperkuat dirinya. Tapi jangan sampai melewati batas sampai kelaparan. Secara sosial, ada perbedaan antara miskin dan fakir. Rasulullah memilih miskin, tapi melarang kefakiran. Kemiskinan itu relatif baik karena di situ orang berpuasa. Kekayaan cepat membuat kita lemah. Kalau dalam peristiwa sehari-hari, lapar itu baik, tapi kelaparan itu tidak boleh. Maka kalau sudah terasa kelaparan, segera ganjal sedikit saja, tidak usah makan sampai kenyang, yang penting terhindar dari kelaparan. Inilah kunci kesehatan.

“Sama seperti metode olah raga. Hidup adalah jatah detak jantung. Kalau kamu lari, maka jantungmu dipercepat. Olahraga itu harus lengkap. Anda boleh lari pagi sehari, tapi besoknya anda diam, jangan bergerak, dan tahan napas sepanjang-panjangnya. Besok lari pagi, lusa kembali diam tidak bernapas selama mungkin. Lama-lama akan semakin panjang napas anda.

“Mereka pikir saya tidak olah raga. Memangnya maiyahan tiap hari begini bukan olah raga? Dan yang bergerak bukan hanya badan saya. Yang bergerak adalah seluruh unsur dalam diri saya. Itu olah raga luar biasa. Dan di dalam olah raga itu saya diam, karena gerak ada dalam diam dan diam ada di dalam gerak. Tapa ngrame, namanya. Anda ingat ini dan praktekkan masing-masing. Jangan peduli-peduli amat sama makan. Saya kalau pengen makan nasi sepiring, yang saya ambil seperempat piring. Saya harus mengambil seperempat dari keinginan saya. Seperempat piring itu lebih efektif daripada sepiring karena yang tiga perempat akan menjadi beban hidupmu. Yang seperempatlah yang akan menjadi kesehatanmu.

“Kalau sudah punya ilmu mbathang (red: mematikan diri), kamu tidak akan terpesona lagi sama dunia. Apa yang semua orang kejar-kejar tidak akan membuatmu terpesona. Sel-selmu akan kuat, hatimu kuat, kamu nggak akan nelangsa oleh apa saja. Maka pintar-pintarlah mematikan diri,” tutup Cak Nun.

MANUNGGALING KAWULA GUSTI

Syekh Nursamad Kamba memberikan kunci berupa kutipan: la ta’riful haqqa birrijali wa ta’riful haqqa ta’rif ahlahu—jangan mengenal kebenaran melalui figur idola tapi kenalilah kebenaran supaya kamu tahu siapa yang layak kamu idolakan. Yang dimaksud “mengenal” adalah mengetahui detil dari berbagai sisi seperti seorang ibu mengenali anaknya sendiri. Mengenal kebenaran itu harus dari A sampai Z.

Filosofi maiyatullah berangkat dari dua fenomena krusial dalam sejarah Islam. Pertama, kisah Nabi Muhammad di gua tsur ketika dikejar-kejar dalam perjalanan hijrah. Beliau tiba-tiba mengatakan kepada sahabatnya, Abu Bakar: la tahzan innallaha ma’ana. Abu Bakar merasa heran karena tidak dirasakannya ketakutan. Kalaupun meninggal saat itu, justru itu lebih baik. Kesedihan di dalam relung hatinya muncul justru karena merasa kasihan kepada penduduk Mekkah yang mengejar Nabi Muhammad. Kalau sampai mereka menciderai nabi, mereka akan disiksa Allah. Maka, intisari dari Maiyah adalah sebuah gerakan di mana orang-orang bisa berteduh di bawahnya untuk berlindung dan mendapat ketenangan jiwa.

Secara simbolis, gagasan Maiyah yang muncul pada saat hijrah merupakan satu gagasan tentang intilaqoh (tinggal landas). Di gua itu Allah menyapa Abu Bakar melalui Nabi Muhammad dengan mesra. Di samping itu, Maiyah juga merupakan tema sentral dalam tradisi literatur sufisme. Segala teori dan gagasan sejak awal sampai akhir intinya adalah maiyatullah, kebersamaan dengan Allah, yang bisa diekspresikan dengan fana, tauhid, atau manunggaling kawula Gusti. Tauhid itu wahada yuwahidu. Wahada adalah mempersatukan sesuatu yang bercerai-berai, bukan menyatukan dua entitas yang berbeda.

Manusia itu sangat dihargai oleh Allah sampai-sampai Dia tiupkan ruh-Nya sendiri ke dalam diri manusia. Manusia diamanahi untuk membawa ruh Allah, maka kalau melihat wacana ksatria atau pemimpin, semua manusia memiliki kesaktian atau sifat-sifat yang sesungguhnya berasal dari Tuhan. Dan kalau kita melihat sejarah agama-agama, tidak ada satu agama pun yang tidak memiliki wacana mengenai pemimpin yang ditunggu atau Imam Mahdi yang akan datang membawa kesaktian untuk menegakkan keadilan.

Persepsi manusia terbentuk oleh narasi, maka persepsi manusia akan Allah pun juga tergantung pada narasi—apakah Allah itu personal atau impersonal. Persepsi kita akan kepemimpinan juga begitu. Kepemimpinan personal kita kaitkan dengan figur, sementara kepemimpinan impersonal kita kaitkan dengan sistem kepemimpinan dalam kebersamaan.

Kalau kita memahami bahwa Tuhan itu personal, kita cenderung membayangkan Tuhannya orang Islam saja. Kalau seandainya semut bisa berkata, dia juga akan menggambarkan Tuhan sebagai semut raksasa. Tapi kalau kita pahami Tuhan sebagai impersonal, kita temukan Dia yang Maha Kuasa dan menguasai segala sesuatu. Maka pemimpin juga belum tentu orang tertentu, bisa jadi dia dalam wujud sistem yang adil. Bahkan Nabi Ibrahim pun belum tentu personal. Bisa jadi dia adalah kualitas konsistensi perjalanan menuju Allah.

Al-Quran tidak bisa diperlakukan sebagai sesuatu yang murni tekstual dan skriptual karena dia adalah firman Allah, dan Allah sendiri tidak bisa dipersepsikan. Potong tangan untuk pencuri misalnya, bisa dipahami sebagai pemotongan seluruh jaringan pencuri atau koruptor supaya benar-benar tuntas kasusnya.

Tauhid itu wahada yuwahidu. Wahada adalah mempersatukan sesuatu yang bercerai-berai, bukan menyatukan dua entitas yang berbeda.”

Setengah jam terakhir, Cak Nun menyampaikan beberapa poin tambahan sekaligus penegasan, yaitu:

— Karena tadi sudah diarahkan pada sosok Jokowi, yang perlu diingat adalah bahwa dia merupakan makhluk Allah dan kita semua punya kewajiban untuk mencintainya. Cara mencintai adalah dengan tidak membesar-besarkan melebihi kebesarannya, tidak membaik-baikkan melebihi kebaikannya, tidak membenar-benarkan melebihi kebenarannya, tidak mengkerdil-kerdilkan melebihi kekerdilannya. Kita harus memperlakukan Jokowi dengan husnudzan, dengan kejernihan dan kejujuran pikiran. Semua tetap menjadi misteri Allah dan kita berharap saja agat apa yang ditakdirkan Allah menjadi kebaikan untuk kita semua. Di Maiyah tidak ada kebencian kepada siapapun.

— Apa yang kita sukai belum tentu benar, yang kita dukung belum tentu baik, yang kita junjung-junjung bisa jadi mencelakakan kita, yang kita butuhkan belum tentu benar-benar kita butuhkan, yang kita tidak sukai bisa saja mendatangkan manfaat. Ini harus  dicari sungguh-sungguh, karena kalau tidak kita akan tersesat dalam diri kita sendiri. Ini merupakan peringatan frontal dari Allah. Cara untuk menemukannya adalah dengan rumus yang telah disampaikan Syekh Nurshamad Kamba tadi: jangan mengenali kebenaran melalui figur, tapi carilah kebenaran untuk bisa menemukan siapa yang layak dijadikan tokoh. Oleh karena itu sistem penanggalan Islam meletakkan dasar bukan pada kelahiran Muhammad melainkan pada peristiwa hijrah beliau. Yang diutamakan adalah kualitas, bukan figur. Maka bisa saja memang, Nabi Ibrahim adalah kualitas

— Kunci kesehatan adalah jangan pernah berpikir untuk tidak jujur. Begitu kita berpikir untuk tidak jujur akan tercipta korslet-korslet dan disharmoni pada sel-sel tubuh kita dan ini akan menimbulkan penyakit.

— Tidak apa-apa kalau kita hanya mampu makan tahi, tapi kita harus tetap tahu bahwa itu tahi. Tidak apa-apa tidak mampu melawan kezaliman, tapi jangan lantas mengatakan bahwa itu bukan kezaliman. Ilmu dan pengetahuan bahwa peristiwa itu merupakan pengetahuan harus tetap dipegang.

— Syekh Siti Jenar itu tidak ada. Dia merupakan simbol eksperimentasi simulasi bahwa ada yang harus jadi wingit dalam masyarakat, jangan diumum-umumkan kepada yang belum siap. Ini merupakan bagian dari kesadaran Sunan Kalijaga, satu-satunya wali yang mengerti bahwa dakwah Islam harus dielaborasi secara kultural dan strategi kejawaan karena beliau mengurusi orang Jawa.

— Jangan bersikap seperti penumpang kapal karam. Saking takutnya mati, apa saja diambil supaya tidak tenggelam, lantas memonumenkan dan mempahlawankan benda yang pada saat itu menyelamatkan kita. Terhadap Jokowi harus tetap obyektif dan memberi kesempatan. Bagaimanapun dia bermaksud baik. Bahwa di sekitarnya banyak setan-setan, itu sudah pasti karena setiap densitas positif harus diseimbangkan dengan densitas negatif.

— Manusia dipelihara oleh Allah dengan kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan dan tantangan-tantangan supaya dia tetap waspada dan memperkuat sel-selnya.

— Ciri agama adalah punya ibadah mahdoh yang penentuan waktu dan tata caranya langsung oleh Allah.

— Nabi-nabi dan orang-orang besar tidak pernah menangis. Muhammad tidak pernah menangis di salat tahajjud-nya. Beliau menangisi. Menangis itu untuk diri sendiri, menangisi itu untuk orang banyak. Menangisi merupakan peristiwa sosial, sementara menangis merupakan peristiwa individu.

— Cita-cita Maiyah sederhana saja: kita semua berproses untuk menjadi manusia yang seharusnya. Selama ini kita disuruh oleh sistem untuk tidak menjadi diri kita sendiri. Siapa saja disuruh menjadi orang yang sama, padahal Allah tidak pernah menciptakan satu sidik jari pun yang sama.

— Puncak pengetahuan adalah ketidaktahuan, dan kita harus menghormati, menghargai, dan merasakan manfaat dari tidak tahu. Banyak hal yang kita sebaiknya tidak tahu. Mampu menjangkau dimensi di luar jangkauan kita saat ini akan sangat merepotkan. Maka, bukan hanya pengetahuan yang perlu disyukuri; ketidaktahuan juga merupakan rahmat sangat besar. Etos pendidikan Yunani yang mengatakan bahwa kita harus memperbanyak informasi terus-menerus itu salah. Satu ayat dulu selesaikan baru ke ayat berikutnya. Kita menguasai informasi bukan dengan cara menelan semua informasi, melainkan dengan cara menjadi sumber informasi. Kalau hanya bisa menampung dan mempercayai semua informasi yang disuguhkan, itu namanya menjadi narapidana informasi.

— Yang kita lakukan selama ini adalah sekadar pasang sajen sama Allah. Siapa tahu dengan merombak diri sendiri menjadi yang seharusnya, Allah menyelamatkan Indonesia. Atau, bisa juga Allah memberikan porsi amanat kepada kita untuk terjun mengurusi Indonesia. Itu terserah Allah.

— Tidak mungkin Allah tidak memberikan kenikmatan kepada kita. Hasbunallah wa nikmal wakil, nikmal maula wa nikmannasir, aksennya pada kenikmatan. Kita bukan hanya harus mampu melayani, tapi juga harus mampu menikmati pekerjaan melayani itu. Kita harus mampu menikmati baik kekayaan maupun kemelaratan.


Mengakhiri acara maiyahan malam itu, Cak Nun mengajak para jamaah untuk berdiri dan berdoa bersama.

“Saya memohon kepada Allah agar seluruh tarekat anda, khalwat anda malam hari ini, benar-benar memperkuat sel-sel anda, kehidupan anda, seluruh kuda-kuda dari pekerjaan dan perjuangan anda, serta menjadikan seluruh anak-istri dan keluarga anda diberi kesehatan jasmani-rohani,” tutup Cak Nun.

Kemudian Syekh Nursamad Kamba memimpin doa penutup untuk kebersamaan.