Tagged Emha

Kenapa Tidak Kudeta

Kenapa Kalijaga hanya meletakkan diri di pinggiran. Memandu proses transformasi. Bedhol negoro. Transmigrasi atau Imigrasi massal. Membagi wilayah-wilayah martabat semua pihak secara bijaksana. Mengkader kepemimpinan sebagian dari 117 putra Brawijaya V untuk mengayomi penduduk-penduduk Jawa dan Nusantara. Mengalihkan secara strategis wilayah pijak pemerintahan baru. Termasuk mengayomi dan menyiapkan Pesanggrahan proses “mendita”nya Brawijaya V di tlatah Gunung Lawu. Karena Raja terakhir Majapahit ini tidak mau memotong rambut panjangnya, sebagai sanepan bahwa ia tidak mau begitu saja “ditelan” atau “menelan” Islam. Melepas secara demokratis mobilitas bedhol negoro ke arah barat maupun ke timur hingga wilayah Kerajaan Klungkung, yang memang merupakan imigran perintis dari Majapahit.

KODE “SIRNA ILANG”

Surat Sunan Kalijaga yang disampaikan oleh Sunan Kudus kepada Brawijaya V mengubah segala-galanya. Itu bukan sekadar kematangan diplomasi, tapi juga kebijaksanaan kemanusiaan dan karamah dari langit. Surat itu memenggal dendam sejarah, meskipun tidak seluruhnya, karena masih menyisakan ratusan tahun bara api Sabdopalon Noyogenggong, yang mewacana sampai ke Keraton Yogyakarta ketika erupsi Merapi 2006 dan 2010, bahkan sampai hari ini.

Terjadilah Bedhol Negoro. Semacam transmigrasi besar-besaran dari Trowulan ke Demak. Majapahit sendiri sedang dalam keadaan krisis ekonomi dan mengalami labilitas politik karena bencana besar semburan lumpur di Canggu dekat Delta Brantas yang beranak Porong dan Kalimas. Semua pihak berpikir perlu recovery dan mungkin transformasi.

Bedhol Negoro (1)

Proses verifikasi sejarah yang kemudian dicampuri oleh program kekuasaan, proyek politik, persaingan antar Agama, dalam skala nasional maupun global – bahkan sudah sampai pada “hawa” wacana di mana Walisongo bisa dianggap tidak ada, atau sekadar dongeng rakyat. Karena sumbernya adalah Babat dan informasi turun-temurun. Yang sama sekali tidak bisa dibenarkan oleh metode akademik yang berlaku resmi di Sekolah dan Universitas. Bagi metode sejarah resmi, Walisongo bisa secara kuat dihipotesiskan sebagai mitologi.

Di era 1970-80-an peneliti Kirdjomuljo bahkan, dengan metoda “Honocoroko” untuk meneliti sejarah, menghasilkan konklusi bahwa lokasi Kerajaan Majapahit tidak di Trowulan Mojokerto, melainkan sekitar Bogor. Majapahit secara keseluruhan bukanlah Kerajaan yang didirikan oleh Raden Wijaya pada 1293 dan berakhir pada 1498 M. Yang dicatat resmi oleh buku-buku sejarah sebagai Majapahit sebenarnya adalah ujung dari rentang panjang Dinasti “Hit”, sesudah Dinasti “Ma” kemudian “Ja” lantas “Pa”.

Asalkan Engkau Tak Marah Kepadaku

“Kalau pendapat saya tugas Ulama itu Dakwah Khoir. Khoir itu kebaikan yang masih cair, bersifat universal, benih, serbuk, energi, glepung. Kebenaran dan kebaikan yang masih umum, hanya bisa disampaikan, dianjurkan atau direkomendasikan. Itulah posisi tugas Ulama, Kiai, Ustadz. Beliau-beliau ini tidak memerintahkan atau melarang, melainkan menyampaikan dan merekomendasikan. Jadi, dakwah khoir. Kalau Pemerintah, jangan menghimbau, tetapi memerintahkan, melarang, menindak tegas”

“Kalau Nahi Munkar?”
“Itu tugas bersama. Setiap manusia harus menghindarkan dirinya dan orang lain untuk tidak melakukan destruksi, penggerogotan nilai kebenaran dan kebaikan, penghancuran kemanusiaan, kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan”

Lima Tantangan Perubahan

Hanya delapan puluh orang ikut naik kapal Nuh. Hanya 80 orang, sesudah berdakwah hampir semilenium. Jutaan lainnya tidak percaya, tidak menemukan gejala-gejala akan datangnya banjir bah yang menenggelamkan hampir dua pertiga permukaan bumi. Tidak ada peringatan ilmiah untuk itu. Tidak ada pengumuman untuk waspada atau siaga bencana. Apalagi Mbah Rono belum lahir waktu itu, dan Badan Meteorologi Klimatogi dan Geofisika belum didirikan.

Tetapi andaikanpun ada yang percaya akan ada banjir besar, belum tentu nanti di dalam kapal mereka memberikan persaksian atas nilai yang disosialisasikan oleh Nabi Nuh. Andaikan peristiwa banjir Nuh terjadi sekarang, kapal akan penuh penumpang. Bukan karena percaya kepada Nuh, bukan karena beriman, melainkan demi keselamatan pragmatis. Siapa yang kira-kira menang, didukung. Siapapun saja yang berkuasa, baik Nuh ataupun Iblis, banyak orang bergabung. Kemudian bersama-sama mereka merajut dan menerapkan kebenaran versi mereka sendiri, untuk dijadikan kebenaran tunggal nasional.

Mad-Soc, Semacam Sorga

Di Mad Society tidak ada aturan, etika atau sistem kontrol bagi setiap orang untuk memanifestasikan isi perasaan dan muatan pikirannya. Ibarat media, setiap orang bisa menerbitkan korannya sendiri-sendiri, bisa menayangkan siaran tevenya sendiri-sendiri. Tidak harus berpikir untuk mempertimbangkan, menakar, menghitung resonansinya, atau mensimulasi akibat-akibatnya.

Mad Society adalah sorga. Setiap warganya punya peluang penuh untuk jujur atau curang. Untuk objektif atau subjektif. Untuk apa adanya atau menambahi. Silahkan mengutip ungkapan orang lain dengan mengurangi, mengubah, memotong-motong, memanipulasi dan mengeksploitasi, sesuai dengan visi misi Sampeyan. Ibarat pedagang sop buntut, kalau ada sapi lewat, silahkan potong buntutnya, untuk dimasak menjadi Sop Buntut sesuai dengan selera dan kepentingan masing-masing.

Tak Bisa Benar Tanpa Menyalahkan

Di wilayah hukum, harus jelas benar dan salahnya. Tetapi di wilayah budaya, ada faktor kebijaksanaan. Di wilayah poilitik, ada kewajiban untuk mempersatukan. Agama menuntun kita dengan menghamparkan betapa kayanya dialektika antara Sabil (arah perjalanan), Syari’ (pilihan jalan), Thariq (cara menempuh jalan) dan Shirath (presisi keselamatan bersama di ujung jalan).

Itulah “kemanusiaan yang adil dan beradab”, “persatuan Indonesia”, “hikmat kebijaksanaan” serta “keadilan sosial bagi seluruh”, bukan “bagi sebagian”. Tetapi kita muter-muter di dalam lingkaran setan, di mana kita harus selalu menyalahkan, demi supaya kita benar. Supaya kita benar, diperlukan orang dan pihak lain yang salah. Kita tidak bisa benar dengan kebenaran itu sendiri secara otentik dan mandiri.

Matematika Nan Suci

Allah tidak butuh matematika, tetapi Ia mempermudah manusia dengan perkenan ijtihad dan ilmu, yang antara lain merumuskan satuan angka, di mana 6X6 = 36. Sepanjang hidup saya menikmati kepatuhan 6X6 = 36. Dua tahun 1965-1966 saya hanya makan gaplèk alias bugik, tidak nasi, di samping banyak tarikat dan riyadlat lain yang saya lakukan di masa kanak-kanak. Supaya saya punya bekal mental untuk sampai mati nanti 6X6 = 36. Dan kesimpulan dari perjalanan panjang hidup saya adalah tidak ada kenikmatan melebihi selalu berterima kasih kepada Big Boss-nya 6X6 = 36. Saya memuaikan dan memperdalam terus cinta dan setia kepada Big Boss.

Pernah saya coba mem-Boss-kan diri saya sendiri, mematuhi kemauan saya sendiri, bahkan menyatakan “Allah yang harus berterima kasih kepada saya karena saya mau Ia ciptakan dan Ia jadikan manusia”. Tapi lantas dicegat oleh “min haitsu la yahtasib”, oleh sesuatu yang tidak saya perhitungkan. Oleh peristiwa yang saya tidak memperhitungkannya. Bahkan memang tidak mungkin mampu memperhitungkannya. Termasuk urusan 2017 sekarang ini, yang sudah banyak ditinggalkan oleh para pemimpin, karena mereka sudah memijakkan kaki di 2019, 2025 maupun 2045.

The Scary Khilafah

Konsep Khilafah dengan pelaku Khalifah adalah bagian dari desain Tuhan atas kehidupan manusia di alam semesta. Adalah skrip-Nya, visi missi-Nya, Garis Besar Haluan Kehendak-Nya. Khilafah adalah UUD-nya Allah swt. Para Wali membumikannya dengan mendendangkan: di alam semesta atau al’alamin yang harus dirahmatkan oleh Khilafah manusia, adalah “tandure wis sumilir, tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar”. Tugas Khalifah adalah “pènèkno blimbing kuwi”. Etos kerja, amal saleh, daya juang upayakan tidak mencekung ke bawah: “lunyu-lunyu yo penekno”. Selicin apapun jalanan di zaman ini, terus panjatlah, terus memanjatlah, untuk memetik “blimbing” yang bergigir lima.

Khilafah adalah desain Tuhan agar manusia mencapai “keadilan sosial”, “gemah ripah loh jinawi”, “rahmatan lil’alamin” atau “baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghofur”. Apanya yang ditakutkan? Apalagi Ummat Islam sudah terpecah belah mempertengkarkan hukum kenduri dan ziarah kubur, celana congklang dan musik haram, atau Masjid jadi ajang kudeta untuk boleh tidaknya tahlilan dan shalawatan. Mungkin butuh satu milenium untuk mulai takut kepada “masuklah ke dalam Islam sepenuh-penuhnya dan bersama-sama”. Itu pun sebenarnya tidak menakutkan. Apalagi dunia sekarang justru diayomi oleh “udkhulu fis-silmi kaffah”: masuklah ke dalam Silmi sejauh kemampuanmu untuk mempersatukan dan membersamakan.

Negerinya Pak Amin

Semua teman saya di bumi menyebut saya seorang Muslim. Saya tidak pernah membantah demi sopan santun dan persaudaraan. Tapi bagi saya Islam bukan identitas. Orang tidak bisa menyimpulkan kemusliman saya melalui peci, qiro’ah Qur`an dan shalawat saya, jumpa di Jum’atan atau Maiyahan di sana sini. Sebab itu semua bisa merupakan penipuan atau penyamaran. Kalau saya berbuat baik, teman-teman Budha atau Kebatinan juga bisa melakukan kebaikan yang sama dengan yang saya lakukan. Maka bisa saja disimpulkan teman itu Muslim dan saya Budhist.

Bahkan kalaupun mereka mendengar saya bersyahadat dengan suara keras, tidak serta merta merupakan tanda pasti bahwa saya Muslim. Bisa saja saya pura-pura di depan mereka. Kalau mau memperdaya, saya bisa pakai gamis dan surban, hadir di pengajian, ikut jamaah shalat di Masjid, mendaftar di organisasi atau parpol yang dikenal sebagai lembaga Islam. Tetapi di balik itu perilaku saya hewan dan nafsu saya bara api neraka.