Tagged EAN

Mempelajari Hukum Rimba

Maiyahan di mana-mana di berbagai titik di Nusantara, dengan atau tanpa saya. Tidak ada panitia resminya. Tidak ada anggaran biaya resmi. Tidak ada tim keamanan. Tidak ada sponsor. Semua yang datang bersedekah untuk saling-silang kebersamaan. Mereka belajar mempraktikkan hukum rimba. Mempelajari Organisme karya Allah untuk menata Organisasi kebersamaan mereka. Hukum rimba adalah contoh organisme ciptaan Tuhan, sehingga pasti baik dan sempurna.

Yang tidak baik adalah kalau manusia berlaku seperti komponen-komponen rimba. Manusia bertindak seperti harimau memakan kijang. Manusia tidak berpikir dan pasif seperti pepohonan yang bergantung penuh pada kehendak Tuhan. Manusia mau diinjak-injak seperti tanah. Hukum rimbanya manusia bukan hukum rimbanya pepohonan dan hewan. Organisasi sosial manusia bukan organisme alam, meskipun di dalam dzat dan wujud manusia terkandung komponen alam.

Mad-Soc, Semacam Sorga

Di Mad Society tidak ada aturan, etika atau sistem kontrol bagi setiap orang untuk memanifestasikan isi perasaan dan muatan pikirannya. Ibarat media, setiap orang bisa menerbitkan korannya sendiri-sendiri, bisa menayangkan siaran tevenya sendiri-sendiri. Tidak harus berpikir untuk mempertimbangkan, menakar, menghitung resonansinya, atau mensimulasi akibat-akibatnya.

Mad Society adalah sorga. Setiap warganya punya peluang penuh untuk jujur atau curang. Untuk objektif atau subjektif. Untuk apa adanya atau menambahi. Silahkan mengutip ungkapan orang lain dengan mengurangi, mengubah, memotong-motong, memanipulasi dan mengeksploitasi, sesuai dengan visi misi Sampeyan. Ibarat pedagang sop buntut, kalau ada sapi lewat, silahkan potong buntutnya, untuk dimasak menjadi Sop Buntut sesuai dengan selera dan kepentingan masing-masing.

Tak Bisa Benar Tanpa Menyalahkan

Di wilayah hukum, harus jelas benar dan salahnya. Tetapi di wilayah budaya, ada faktor kebijaksanaan. Di wilayah poilitik, ada kewajiban untuk mempersatukan. Agama menuntun kita dengan menghamparkan betapa kayanya dialektika antara Sabil (arah perjalanan), Syari’ (pilihan jalan), Thariq (cara menempuh jalan) dan Shirath (presisi keselamatan bersama di ujung jalan).

Itulah “kemanusiaan yang adil dan beradab”, “persatuan Indonesia”, “hikmat kebijaksanaan” serta “keadilan sosial bagi seluruh”, bukan “bagi sebagian”. Tetapi kita muter-muter di dalam lingkaran setan, di mana kita harus selalu menyalahkan, demi supaya kita benar. Supaya kita benar, diperlukan orang dan pihak lain yang salah. Kita tidak bisa benar dengan kebenaran itu sendiri secara otentik dan mandiri.

Indonesia Makam Pancasila

Di Negara Pancasila, Pemerintah menentukan haluan Negara berdasarkan pembelajaran tentang bagaimana Tuhan mengkonsep manusia dan dunia. Setiap rapat pucuk pimpinan dan sidang kabinet, tidak mengambil keputusan apapun sebelum mengkonfirmasikan program-programnya dengan policy Tuhan. Vox dei vox populi. Kemauan Tuhan adalah kemauan rakyat. Negara dan Pemerintah mematuhinya. Presiden dan para Menteri beristikharah menanyakan kepada Tuhan tentang apa saja yang mereka rencanakan: menggali tambang, mengolah darat dan laut, menarik pajak, menaikkan harga, berhutang, mengurut skala prioritas atau wajib sunnah pembangunannya.

Lomba Ajal di Gerbang Perubahan

Dalam Bahasa Indonesia, kata “ajal” dimengerti hanya sebagai kematian. “Jika datang ajalnya, tak bisa ditunda waktunya”, Tuhan sendiri berfirman begitu. Saya memahami ajal adalah momentum. Kalau pelawak terlambat sepersepuluh detik mengucapkan suatu kata atau melakukan suatu gerakan, penonton tidak tertawa. Kalau drum, bass atau saron berbunyi terlalu cepat satu tel, harus retake di studio. Kalau penyanyi membunyikan Do minus seperdelapan nada, ia menyakiti telinga pendengarnya. Kalau striker sepakbola terlalu cepat menendang, sehingga sudut kaki sepatunya yang menjadi pucuk eksekutornya tidak tepat derajatnya, kiper lawan mudah menangkapnya.

Tongkat Perppu dan Tongkat Musa

Pandangan saya tentang Khilafah berbeda dengan HTI. Bagi HTI Khilafah itu “barang jadi” semacam makanan yang sudah matang dan sedang dinegosiasikan untuk diprasmanankan di atas meja Al-Maidah (hidangan). Sementara bagi saya Khilafah itu benih atau biji. Ia akan berjodoh dengan kondisi tanah yang berbeda-beda, cuaca dan sifat-sifat alam yang berbeda. Benih Khilafah akan menjadi tanaman yang tidak sama di medan kebudayaan dan peta antropologis-sosiologi yang berbeda. Kesuburan dan jenis kimiawi tanah yang berbeda akan menumbuhkan Khilafah yang juga tidak sama. Termasuk kadar tumbuhnya: bisa 30%, 50%, 80%. Saya bersyukur andaikan kadar Khilafah hanya 10%. Saya belum seorang yang lulus di hadapan Allah sebagai Muslim. Maka saya selalu mendoakan semua manusia dengan segala kelemahan dan kekurangannya, mungkin keterpelesetan dan kesesatannya, kelak tetap memperoleh kedermawanan hati Allah untuk diampuni.

Ummat Islam Indonesia Dijadikan Gelandangan Di Negerinya Sendiri

Sukar saya hindari penglihatan bahwa yang paling sengsara di antara bangsa dan rakyat Indonesia adalah Ummat Islam, karena mereka didera dua penjajahan. Di samping ada paket penguasaan atas NKRI, terdapat juga disain untuk mendevaliditasi Islam di kalangan pemeluknya. Ini berposisi sebagai cara atau strategi penguasaan NKRI, maupun sebagai tujuan itu sendiri untuk memaksimalkan deIslamisasi kehidupan bangsa Indonesia. NKRI tidak boleh menjadi Negara Islam, artinya boleh menjadi Negara Agama selain Islam.

Hampir selama 40 tahun, intensif 20-an tahun belakangan, saya keliling jumpa rakyat rata-rata 10.000 orang perminggu, untuk ikut memelihara keIndonesia, keutuhan NKRI, persatuan dan kesatuan antar golongan apapun yang dinding-dindingnya mungkin etnik, agama, parpol, madzhab, aliran, muara-muara kepentingan, segmen-segmen dan level. Agenda saya adalah membesarkan hati mereka, merabuki optimisme penghidupan dan keyakinan akan masa depan mereka. Kalau orang bilang pluralisme, mereka saya himpun dan ayomi sebagai semacam keindahan orkestrasi. Kalau disebut toleransi, saya carikan formula, aransemen, modulasi sosial untuk puzzling dan saling paham atas batas-batas di tengah kemerdekaan.

Cak Nun: Jangan Percaya Saya

bagaimana komentar Cak Nun terhadap situasi kehidupan beragama di Indonesia yang saat ini banyak “dihiasi” dengan aksi kekerasan dan berbagai praktek intoleransi? Dan apa pendapatnya mengenai peran pemerintah dalam mengatasi soal tersebut?