Gelar Karya Para Rajawali

Sebagai penggembira Gelar Karya Para Maestro Yogya, saya ingin turut merayakan kegembiraan dan optimisme peristiwa ini dengan sebuah wacana klasik tentang Burung Rajawali. Pada awalnya saya ingin bersegera mensyukuri dua hal. Pertama, telah lahirnya satu Genre Baru Masyarakat budaya yang otentik dan orisinal, satu dua tahun terahir ini di Yogyakarta, melalui berbagai peristiwa kreativitas di sejumlah laboratorium kebudayaan, termasuk Taman Budaya Yogyakarta.Akan tetapi saya menekan diri saya sendiri untuk bersabar dengan terlebih dahulu bercerita tentang Rajawali, sebab ada kemungkinan Sang Rajawali itu terdapat pada Genre baru itu. Alkisah, burung Rajawali itu oleh Tuhan dikasih rangsum usia relatif sama dengan umumnya makhluk manusia, yakni 60-80 an tahun, naik turun. Kalau manusia Yogyakarta menggunakan wacana “katuranggan” dan menemukan dirinya adalah Rajawali, bukan mprit atau Cipret, atau sekurang-kurangnya ia menemukan potensi Rajawali di dalam dirinya: maka ia tinggal bercermin pada burung itu, karena hidup pada irama dan skala waktu yang relatif sama.Manusia Yogya memiliki potensial untuk “hamengku” alias sikap memangku berbagai formulasi peradaban. Semua hasil “ijtihad” kosmologi diakomodasikan olehnya. Berbagai satuan tahun —dari Yunani, Mesir Kuno, Sanskrit, Jawi, Java— satuan bulan, siklus hari, bahkan weton dan neptu, dielus-elus oleh manusia Yogya dari pangkuanya.

Sudah pasti itu disebabkan oleh keistimewaan manusia Yogya, sehingga daerah ini tidak perlu dilegarisir oleh otoritas apapun untuk menjadi istimewa, karena keistimewaan Yogya sudah lama ‘niscaya’ oleh dirinya sendiri, ada atau tidak ada NKRI, dengan atau tanpa Indonesia.

Keistimewaan itu akan memuat dan menerbitkan kepantasan kepemimpinan nasional secara politik dan internasional secara kebudayaan. Hal itu akan mewujud atau tidak, Yogya tidak pusing, sebab de facto ia tetap istimewa dan pemimpin. Kalau sejarah tidak menerimanya, maka kehancuran sejarah tidak akan mengurangi keistimewaan dan kepemimpinan kultural Yogya.

Pada usia 40 tahun, burung Rajawali terbang ke gunung jauh, mencari batu karang, memilih yang paling baja dari bebatuan itu, mematuknya, menggigitnya, sekeras-kerasnya, sekuat-kuatnya, dan takkan dilepaskanya sampai paruhnyatanggal dari mulut dan kepalanya.

Demikian juga cakar-cakar kedua kakinya. Ia cengkeramkan ke batu paling karang, dengan daya cengkeram sekali seumur hidup, dan takkan dibatalkanya sampai lepas tanggal kuku-kukunya dari jari-jemari kedua kakinya.

Kemudian dia akan kesakitan, tergeletak, terbang dengan lemah, hinggap di seberang tempat tanpa kekuatan untuk berpegang. Rajawali mengambil keputusan untuk menderita, untuk mereguk sakit dan kesengsaraan, sampai akhirnya hari demi hari paruh dan kuku-kukunya tumbuh kembali.

Nanti setelah sempurna pertumbuhan paruh dan kuku-kuku barunya, maka barulah itu yang sejati bernama bernama paruh dan kuku-kuku Rajawali, yang membuatnya pantas disebut Garuda.

Tariklah garis pengandaian: Rajawali itu adalah Anda. Sesungguhnya yang anda lakukan adalah, pertama: keberanian mental, ketahanan jasad, ketangguhan hati dan keikhlasan rohani untuk menyelenggarakan perubahan yang bukan hanya mendasar dan mengakar, melainkan ekstra-eksistensial, kegagahan untuk merelakan segala perolehan sejarah untuk di-nol-kan kembali, dan itu probabilitasnya benar-benar terletak diantara hidup dan mati.

Kedua, pengambilan keputusan Anda sang Rajawali itu tidak mempersyaratkan sekedar keputusan hati, tapi juga keputusan akal dan nalar dengan pengetahuan yang sempurna tentang alur waktu ke depan. Keputusan itu bukan sekedar tindakan mental, tapi juga intelektual dan rohaniah. Rajawali diakui dan digelari Sang Garuda karena mengerti dan berani betapa beratnya menyangga kalimat sehari-hari yang sederhana dari Bapak Mbok dan para tetangganya di desa: yakni “mati sakjroning urip”.

Garuda Rajawali atau Rajawali Garuda itu pastilah Anda semua yang kini ada dihadapan saya. Sebab nyuwun sewu saya tidak menjumpai potensi dan kecenderungan itu di wilayah pemerintahan, di hamparan keummatan dan gerombolan-gerombolan kemasyarakatan. Termasuk di kalangan yang disebut Kaum Intelektual atau Kelas Menengah. Apalagi kaum Selebritis, meskipun gebyar beiau-beliau sangat penuh dengan kata ‘dahsyat’, ‘super’, ‘luar biasa’ dan banyak lagi ungapan-ungkapan yang penuh ketidakpercayaan diri.

Kita sedang mengalami hukuman dari suatu Negri yang terlanjur mengalami kesalahan-kesalahan sangat substansial pada filosofi kebangsaan dan kostitusi kenegaraanya. Kita sedang berada di dalam berbagai cengkeraman global dan reaksi kita adalah berjuang untuk siapa tahu bisa menjadi bagian dari pencengkeram, atau minimal sanggup membangun kenikmatan di dalam cengkeraman.

Hukuman sejarah itu berupa kehancuran logika, kemusnahan nalar sosial, ketidakmengertian tentang apa yang layak dikagumi dan apa yang menghancurkan martabat kemanusiaan, kebutaan untuk menentukan tokoh, pemimpin, idola, dan panutan. Kita dihukum dengan mengalami Negara yang hampir selalu gagal sebagai Negara, dengan Pemerintah yang benar-benar tidak mengerti pada tingkat elementer pun di mana sebenarnya letak Pemerintah, peranya, fungsinya, hak, dan kewajiban.

Kita dihukum dengan memiliki kekayaan alam yang melimpah dan harus membeli sangat mahal hasil kekayaan kita sendiri itu, setelah kita sewa para tetangga mancanegara untuk mengolah kekayaan itu dengan bayaran yang harus kita tanggung dengan menelan kenyataan bahwa kekayaan itu ternyata akhirnya menjadi milik mereka.

Bangsa ini sungguh-sungguh memerlukan “pengambilan keputusan paruh dan kuku Rajawali”. Namun lihatlah, potensi untuk itu betapa rendahnya, kecuali pada Anda semua yang kini berada di depan saya.

Maka di Yogya kita menggelar karya para Rajawali: Umar Kayam yang memelihara dan menjaga karakter bangsanya, Kuntowijoyo yang sungguh-sungguh berilmu Rajawali, Nasyah Djamin yang allround sanggup terbang sanggup pula melata, Muhammad Diponegoro yang mampu memasak nasi sastra di atas kompor budaya Agama lingkunganya yang hampir tanpa sumbu dan api, Linus Suryadi AG yang menyelam di latan kemesraan dan estika ‘Jawi’ gen-nya, Suryanto Sastro atmojo penjaga simpul tali sejarah dari Astinapura, Lemoria Atlantis, Anglingdharma Batik madrim hingga Kemusu, Romo YB Mangun Wijaya yang mewasiti manusia dan masyarakat kemanusiaan, Rendra yang tidak sedia membiarkan anak-anak bangsanya merunduk rendah diri, yang senantiasa gagah karena menjaga pertanda manusia adalah kreativitasnya, serta Pak Besut yang dengan suaranyamembangun kegembiraan hidup menjadi kebesaran sehingga mengatasi segala yang bukan kegembiraan.

Siapakah yang belajar kepada Rajawali, selain Rajawali? Siapakah Rajawali itu, selain anda yang berkumpul di sini belajar kepada Gelar Karya Para Rajawali? Itulah yang diawal tulisan ini saya sebut Genre Baru Masyarakat Kebudayaan di Yogya.

Terhisap oleh hidungku bau darah dari kandungan jiwa Rajawali-Rajawali, berhembus dari kaum muda yang dating berduyun-duyun, yang hadir dan belajar dengan otentisitas dan orisinalitasnya, yang melangkahkan kaki mereka dan mengerubungi medan pembelajaran Rajawali dengan sukses mentransendensikan dirinya dari arus pusaran sejarah yang terlalu penuh sampah sepuluh tahun terahir ini.

Kadipiro, 6 Agustus 2010