TARA CARA DAN PERILAKU yang mencerminkan kesadaran diri menjadi tema sentral dalam diskusi Kenduri Cinta edisi April, Jum’at 11 April 2025 pekan lalu. Dalam kehidupan modern yang semakin kompleks, manusia sering kali melupakan nilai-nilai mendasar yang seharusnya menjadi fondasi dalam berinteraksi dengan sesama dan lingkungan. Tanpa pemahaman mendalam tentang bagaimana bertindak secara baik, bijaksana, dan penuh kesadaran, manusia rentan terjebak dalam sikap reaktif yang hanya memperkeruh suasana. Oleh karena itu, diperlukan sebuah panduan yang mengingatkan setiap individu untuk kembali kepada prinsip-prinsip universal, seperti kebenaran, kebaikan, dan keindahan, sebagaimana sering disampaikan oleh Mbah Nun.
Konsep ini dapat dipahami sebagai metodologi atau pedoman yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam semesta. Ia bukan sekadar aturan formal yang harus diikuti tanpa pemahaman, melainkan suatu refleksi tentang bagaimana setiap tindakan harus dilakukan dengan kesadaran penuh. Hal ini sejalan dengan tema besar Kenduri Cinta edisi ke-255, yakni Trapsila—sebuah konsep yang merujuk pada patrap tumraping sila, atau sikap patuh terhadap norma-norma yang mencakup aspek sosial, agama, hukum, dan ilahiah. Tema ini menjadi refleksi mendalam atas urgensi etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Jum’at kedua di bulan April, sesuai patrap-nya Kenduri Cinta, forum dihelat pada Jum’at kedua, kali ini jatuh pada 11 April 2025, setelah matahari tenggelam di ufuk barat, langit di atas Taman Ismail Marzuki (TIM) beranjak gelap. Hujan sore yang turun beberapa jam sebelumnya telah reda, meninggalkan udara segar yang menyelimuti area TIM. Jamaah Kenduri Cinta pun mulai berdatangan, namun kali ini dengan penyesuaian baru: panggung tidak berada di tempat biasa, melainkan menghadap ke arah Institut Kesenian Jakarta untuk menjaga harmoni dengan warga sekitar.
Seperti biasa, Kenduri Cinta dibuka dengan sholawat yang dimulai tepat pukul 20.00 WIB. Lantunan ayat suci dan pujian mengalun merdu, menciptakan atmosfer khidmat yang menenangkan hati. Setelah sholawat usai, jamaah mulai merapat ke sekitar panggung untuk bersiap mengikuti diskusi utama. Pada pukul 20.39 WIB, sesi pertama dimulai.
Forum dibuka oleh Mizani dan Rizal, yang malam itu bertugas sebagai moderator sesi pertama. Setelah memberikan sapaan hangat, ucapan selamat lebaran, dan permohonan maaf lahir batin, ia mengajak narasumber naik panggung dan memperkenalkan masing-masing narasumber: Nanda, Hadi, Amien, dan Pram.
Diskusi diawali dengan penjelasan Hadi mengenai Surat Al-Fatir ayat 43, yang menegaskan bahwa kesombongan dan rencana jahat hanya akan menimpa pelakunya sendiri. Ia juga mengaitkannya dengan konsep Trapsila, yang diilhami dari video berjudul Subasita di caknun.com. Dalam video itu, Mbah Nun menjelaskan bahwa subasita adalah tata krama atau etika. Hadi menambahkan, “Di Jakarta, teguran lembut seperti itu sepertinya kurang pas. Tidak cukup hanya dengan subasita, tetapi harus melalui proses dan tahapan yang baik, benar, dan indah untuk mencapai subasita.”
Hadi kemudian menganalogikan Trapsila seperti rukun sholat, sementara Subasita adalah peristiwa atau momentum khusyu’. Khusyu’ bukan bagian dari rukun, melainkan tata krama yang seharusnya muncul secara alami, layaknya menatap mata lawan bicara dengan sopan sebagai bentuk penghormatan. Ia juga menekankan bahwa untuk mencapai sesuatu yang baik, jalannya juga harus baik, sehingga subasita dan trapsila saling berkaitan seperti dua sisi mata koin.
Lebih lanjut, Hadi menjelaskan bahwa Tuhan menciptakan mekanisme kehidupan secara bertahap, dimulai dari Nur Muhammad, makhluk diam seperti batu, tumbuhan, hewan, hingga manusia sebagai makhluk paling sempurna—sebagaimana firman Allah dalam Surat At-Tin ayat 4. Manusia tidak hanya memiliki kemampuan tumbuh, bergerak, dan bernafsu, tetapi juga dilengkapi qalbun atau fuaadun sebagai alat pengendali diri. “Kalau kita tidak sadar bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk yang sempurna, kita akan downgrade ke level sebelumnya, menjadi hewan. Karena pada dasarnya manusia disebut sebagai hayawanun natiq, hewan yang berakal,” ujarnya.
Pram kemudian melanjutkan dengan perspektif budaya, menyatakan bahwa trapsila berkaitan erat dengan norma dan nilai inti dalam budaya, yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk hukum atau etika. Dalam tradisi Jawa, konsep ini diwujudkan melalui unggah-ungguh (tata krama), seperti penggunaan krama inggil saat berinteraksi dengan orang yang lebih tua. Namun, ia mengingatkan bahwa trapsila tidak boleh sekadar basa-basi, melainkan harus lahir dari kesadaran mendalam.
Beralih ke khazanah kebudayaan Jawa, Pram menjelaskan, “Dalam kebudayaan jawa, ada yang disebut dengan patrap dan lelaku.” Lelaku adalah upaya terus-menerus untuk menjadi pribadi mulia di sisi Allah, sementara patrap bersifat sosial. Seorang penipu mungkin terlihat sopan, tetapi kesopanan itu hanyalah alat, bukan refleksi jati diri. Semakin seseorang mampu mengendalikan diri, semakin ia merasa dipantau oleh Allah dalam setiap aktivitasnya, sehingga trapsila yang dijalankan tidak lagi sekadar formalitas.
Hadi menambahkan bahwa trapsila dapat dianalogikan sebagai sikap adil, sedangkan subasita adalah buah dari perilaku adil tersebut. Ia mengisahkan Nabi Muhammad yang bijaksana dalam menyelesaikan perselisihan peletakan Hajar Aswad, sehingga memperoleh gelar Al-Amin (yang dapat dipercaya). Mbah Nun juga sering menegaskan bahwa kebenaran dan kebaikan saja tidak cukup—output akhir yang harus dikejar adalah keindahan.
Diskusi malam itu tidak hanya menyuguhkan pemikiran tentang etika, tetapi juga mengajak jamaah untuk mendalami sejauh mana mereka telah menjalani hidup dengan kesadaran penuh.

“Trapsila dan subasita bukan sekadar konsep abstrak, melainkan cermin yang menantang setiap orang untuk bertanya: “Sudahkah tindakan kita lahir dari kejernihan hati, bukan sekadar kepatuhan formal?”
Trapsila dan Perjalanan Spiritual Manusia
Belakangan ini, banyak kejadian yang mencerminkan bahwa niat baik dan implementasinya sering terpisah jurang lebar, trapsila muncul sebagai jembatan yang mengaitkan kesadaran individu dengan tanggung jawab kolektif. Diskusi malam itu menyuguhkan harmoni pemikiran tentang trapsila dari berbagai sudut pandang. Sebuah tema yang sepintas terkesan sebagai pembahasan normatif, ternyata berkembang menjadi dialog dinamis yang menjembatani konsep etika, budaya, hingga spiritualitas.
Rizal membuka wacana dengan mengupas paradoks modernisasi yang justru menggerus prinsip dasar trapsila, memberi contoh ironis tentang upaya menaikkan gaji hakim untuk mencegah korupsi yang justru berpotensi melemahkan integritas nurani. “Niat baik saja tidak cukup,” tegasnya, “niat baik harus dilakukan dengan cara yang baik pula.” Pernyataan ini mengantarkan pada pemahaman bahwa etika tidak bisa hanya mengandalkan niat, tetapi juga memerlukan metode pelaksanaan yang tepat.
Amien kemudian menawarkan analogi menarik tentang duduk sila sebagai keseimbangan antara pesimisme dan optimisme, mengibaratkannya seperti dalang wayang yang aksinya berbicara lebih keras daripada penampilannya. Ia menekankan bahwa pertunjukan wayang bukan monopoli dalang semata—pesinden dan pemusik sama pentingnya dalam menciptakan harmoni, sebagaimana kehidupan membutuhkan peran setiap individu dengan kesadaran penuh.
Mengutip pepatah Jawa “desa mawa cara, negara mawa tata“, Nanda menjelaskan bahwa kearifan lokal desa justru menjadi kunci di tengah kepalsuan kota-kota modern. Baginya, selama masyarakat memegang teguh tata dan cara, nilai-nilai luhur akan tetap terjaga dan keadaan akan juga tetap baik.
Nanda melanjutkan dengan menjelaskan bahwa trapsila sebagai kerangka sistemis termasuk dalam cabang iman terhadap qada dan qadar. Manusia, sebagai hayawanun natiq, memiliki potensi mencapai ahsani takwim jika mengikuti teladan Nabi Muhammad. Namun, kerusakan terjadi ketika manusia lebih mengikuti hawa nafsu, padahal fitrah kebaikan telah ada sejak awal penciptaan manusia.
Ia kemudian memperluas pemahaman tentang ahsani takwim dengan menggambarkan perjalanan hidup manusia sebagai simulasi penciptaan alam semesta—dimulai dari sel sperma, berkembang melalui berbagai fase yang menyerupai makhluk lain, hingga akhirnya menjadi manusia sempurna. Proses ini menunjukkan bahwa manusia pernah mengalami segala bentuk kehidupan, sehingga seharusnya mampu topo sliro kepada semua makhluk. Trapsila dan subasita, meski sering dikaitkan dengan budaya Jawa, sejatinya bersifat universal karena berlandaskan fitrah kebaikan yang melekat pada setiap manusia.
Diskusi dilanjutkan dengan sesi tanya jawab, di mana Haikal, jamaah dari Tangerang, mempertanyakan cara memahami Al-Quran yang penuh kias dan bias. Nanda menjawab dengan konsep bashirah wa nadzirah—Al-Quran sebagai kabar gembira sekaligus peringatan. Bashirah dan nadzirah bukan sebuah pertentangan, tetapi kesempurnaan. Nanda juga menekankan bahwa iman pada qada dan qadar adalah gabungan ilmu dan seni. “Pelajari ukuran-ukuran melalui ilmu eksakta, tapi jangan menyandera kehendak Allah dengan logika semata,” paparnya, mengingatkan pentingnya keseimbangan antara rasionalitas dan penerimaan atas ketentuan ilahi.
Ika, jamaah dari Wonosobo, mempertanyakan simbol kabar dalam poster acara dan adakah ada kaitannya dengan isu terkini. Nanda menjelaskannya melalui konsep nation in arms—dwifungsi warga negara dalam membela republik. Ia mengkritik kecenderungan masyarakat yang sibuk menuntut hak tetapi lalai akan kewajiban, seraya menegaskan, “Kita harus menjadi dalang bagi diri sendiri.” Republik idealnya adalah negeri di mana setiap orang menjalankan nilai-nilai kepemimpinan, tanpa harus menduduki jabatan formal.
Amien menutup diskusi dengan menekankan bahwa trapsila adalah jalan transformasi dari status abdullah (hamba Allah) menuju khalifah (pemimpin). “Seperti dalang yang harus kuasai pakem sebelum membuat carangan, kita perlu memahami norma sebelum memimpin,” katanya. Trapsila bukan sekadar tata krama, melainkan proses menyeluruh untuk menyelaraskan kesadaran individu dengan tanggung jawab sosial. Sebagaimana wayang memadukan pakem dan kreativitas, manusia ditantang untuk menyeimbangkan tradisi dengan modernitas, kewajiban dengan hak, serta ilmu dengan seni kehidupan. Pada akhirnya, trapsila mengajak kita bukan hanya mengetahui kebaikan, tetapi mewujudkannya dalam setiap helaan napas.

“Iman pada qada dan qadar adalah gabungan ilmu dan seni.”
Akar Tradisi dalam Bayang Kolonialisme
Karim membuka sesi kedua dengan sebuah metafora, “Jika bulan lalu kita membahas Puasa sebagai puisi, kini kita beralih pada filosofi pohon kaktus yang tetap tumbuh subur di tanah gersang.” Pengantar ini menjadi pintu masuk sempurna untuk melanjutkan diskusi tentang trapsila, sebuah konsep yang justru menemukan relevansinya di tengah zaman yang semakin kompleks.
Ian L. Betts menguraikan ritme Islam yang berputar seperti siklus—Ramadan sebagai masa penyucian dan Idul Fitri sebagai puncak pembaruan. Dari situlah kita belajar bagaimana trapsila dalam Islam dibudayakan sebagai itikad baik yang tidak sekadar formalitas. Tahun 2017, Mbah Nun menulis tentang konstelasi sosiopolitik-ekonomi global, menegaskan bahwa kita sedang berada dalam masa peralihan zaman yang membutuhkan pendekatan baru. “Mungkin tidak mudah berjalan ke depan,” tulis Mbah Nun kepada Ian. Namun, optimisme tetap diperlukan, dan trapsila adalah salah satu metodologi dalam tradisi Maiyah yang bisa digunakan.
Bagus Muljadi kemudian membawa diskusi ke ranah sistem hukum dan pengaruhnya terhadap kebudayaan, membandingkan civil law Prancis dan common law Inggris. Prancis, dengan sistem hukumnya yang birokratis, berangkat dari ketidakpercayaan terhadap manusia—setiap hal harus tertulis dan terkodifikasi, karena default-nya manusia dianggap berbohong. Sebaliknya, Inggris menganggap manusia lahir dalam fitrah, sehingga keputusan hakim berdasarkan preseden kasus lebih dihargai.
Sistem hukum Prancis, yang diadopsi Indonesia melalui Belanda, membawa serta budaya birokrasi yang berbelit. Bagus memberi contoh sederhana: mencuri dalam civil law didefinisikan sebagai “mengambil barang milik orang lain secara melanggar hukum,” tanpa mempertimbangkan faktor moral. Berbeda dengan common law yang memasukkan unsur “tidak jujur” sebagai bagian dari definisi. Akibatnya, sistem administrasi di negara yang menerapkan civil law cenderung berlapis-lapis karena ketakutan akan pemeriksaan dokumen. Ironisnya, Indonesia yang dahulu memiliki hukum adat justru kehilangan dasar untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat lokal karena tergantikan oleh sistem hukum impor ini.
Dalam kebudayaan Jawa, ada prinsip ajining diri ana ing lathi, harga diri ada pada ucapan. Ungkapan tersebut menjelaskan bahwa dalam kebudayaan Jawa menempatkan tutur kata sebagai standar moral tertinggi. Namun, di Indonesia modern, ucapan justru kerap dianggap negatif—terlihat dari kata-kata seperti omong kosong atau ujaran kebencian. Padahal, dalam tradisi Yunani dan budaya Abrahamik, ucapan adalah fondasi penciptaan dan logika. “Bangsa yang tidak menghargai ucapan jujur berarti tidak menghargai intelektualitas,” tegas Bagus. Di Barat, perdebatan argumen justru dihargai sebagai jalan menuju kebenaran, sementara di Indonesia, gelar sering kali lebih penting daripada substansi pemikiran.
Indonesia sebenarnya memiliki landasan filosofis yang kuat untuk membangun sistem hukumnya sendiri. Konsep protorepublicanism sudah ada dalam budaya Bugis, di mana raja tidak bisa melewati dewan adat. Begitu pula dalam budaya Sunda, manusia dianggap sebagai cahaya yang suatu saat harus kembali kepada asalnya. Sayangnya, mental kolonial yang masih melekat membuat kita lupa pada akar sendiri.
Solusi yang ditawarkan Bagus radikal tapi sederhana: “Mulailah dari diri sendiri. Katakan ‘ya’ jika ya, ‘tidak’ jika tidak. Jika setiap individu berhenti berbohong, negara akan berubah.” Pesan ini menyentuh jantung diskusi tentang trapsila—bahwa perubahan hakiki dimulai dari transformasi personal.
Malam semakin larut, argumen demi argumen terajut menjadi sebuah permadani pemikiran. Trapsila muncul bukan sebagai doktrin kaku, melainkan kompas hidup yang mengajak kita merenungi kembali relasi antara aturan dan hati nurani, antara tradisi dan modernitas, antara kata dan tindakan. Seperti pohon kaktus dalam poster, diskusi ini mengingatkan kita bahwa nilai-nilai luhur bisa tetap tumbuh subur—bahkan di tengah gurun zaman yang semakin gersang.
Kenduri Cinta bukan sekadar mentransfer pengetahuan, tetapi juga memberikan undangan untuk melakukan muhasabah—evaluasi diri tentang sejauh mana kita telah hidup dengan tata yang tertib dan cara yang bijak. Perubahan menuju masyarakat yang lebih baik haruslah inklusif, menyeluruh, dan dimulai dari kesadaran masing-masing individu. Inilah esensi trapsila yang terus relevan dari masa ke masa: menjadi pengingat bahwa untuk memperbaiki sistem, kita harus terlebih dahulu memperbaiki diri.

“Mulailah dari diri sendiri. Katakan ‘ya’ jika ya, ‘tidak’ jika tidak. Jika setiap individu berhenti berbohong, negara akan berubah.”
Menyulam Keadilan
Diskusi bergerak dinamis menyentuh berbagai isu aktual di Indonesia, dimulai dengan Hendri Satrio yang menyoroti fenomena politik dan ekonomi terkini. Dari pertemuan Prabowo dengan pimpinan media hingga kebijakan tarif impor AS, Hendri mengingatkan bahwa kita sering hanya menangkap sensasi permukaan tanpa memahami makna dan dampak sebenarnya. “Dalam politik, kita mungkin membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan kekuasaan, tetapi belum tentu berdampak pada kepentingan kita,” tegas Hendri Satrio. Ia juga menekankan pentingnya berpikir kritis untuk menjaga kelangsungan Indonesia sebagai negara yang telah melalui berbagai transformasi sejarah.
Sabrang kemudian mengalihkan diskusi ke ranah filosofis dengan membedah konsep trapsila sebagai perpaduan patrap (tindakan/posisi) dan susila (tata cara yang baik). Ia menjelaskan bahwa kesadaran akan posisi menentukan cara berkomunikasi, baik melalui sinyal yang kontekstual maupun bahasa yang melampaui waktu. Pengalamannya menjadi pengamat dalam beberapa pertemuan Mbah Nun dengan banyak orang memberinya kepekaan membaca gestur kecil yang sering diabaikan.
Mendefinisikan ‘kebaikan’ dalam susila ternyata tidak sederhana, karena melibatkan multi-dimensionalitas—baik menurut diri sendiri, masyarakat, agama, atau hukum. Idealnya, ketiga dimensi ini selaras, sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad yang menolak aturan manusiawi yang bertentangan dengan hukum Tuhan. Sabrang menekankan bahwa sebelum membahas kebaikan, kita harus memiliki kesadaran posisi karena hal itu memengaruhi seluruh perilaku kita. Dalam pengalamannya, kemampuan membaca sinyal non-verbal justru sering memberikan pemahaman lebih mendalam daripada sekadar kata-kata.
Analisis sistem hukum menjadi titik temu menarik ketika Sabrang merespons paparan Bagus sebelumnya. Ia mempertanyakan relasi antara civil law dengan hukum Tuhan, sementara common law justru lebih mencerminkan pengakuan akan percikan ilahi dalam diri manusia. “Kebaikan menurut Tuhan, hukum, dan norma seharusnya saling menguatkan,” tegas Sabrang. Ia menjelaskan bahwa semua entitas memerlukan pengikat, dan dalam konteks masyarakat, fairness menjadi prinsip dasar yang diakui bahkan oleh dunia binatang sekalipun.
Eksperimen Frans de Waal tentang monyet yang menolak perlakuan tidak adil menjadi analogi kuat tentang kebutuhan universal akan fairness. Dalam eksperimen tahun 2003 tersebut, monyet yang menerima timun sementara rekannya mendapat anggur akhirnya marah dan melempari peneliti. “Monyet saja perlu fairness, apalagi manusia,” ujar Sabrang. Namun, masyarakat modern justru kehilangan infrastruktur kepercayaan yang menjadi penopang fairness tersebut.
“Sebagai sebuah perkumpulan, kita jadi tidak memiliki standar yang disebut dengan susila. Patrap menuju susila tidak disangga oleh infrastruktur yang bisa kita percaya untuk bersandar mendapatkan fairness,” jelas Sabrang. Ia memaparkan hierarki pengaturan masyarakat: norma bersifat lokal, hukum berusaha menyeragamkan, sementara agama menawarkan prinsip abadi. Kritik terhadap klaim “Indonesia baik-baik saja” didasarkan pada fakta bahwa tujuan bernegara belum tercapai.
Bagi Maiyah, Indonesia bukan sekadar entitas geografis, melainkan entitas bersama yang harus terus dirawat melalui kesadaran akan posisi dan pilihan-pilihan etis setiap warganya. “Maiyah sangat setuju dengan ide Indonesia. Tapi bukan Indonesia yang hanya ada. Melainkan entitas aktif dan paham posisinya, memilih kebenaran untuk mencapai mimpi yang kita tuliskan bersama,” tegas Sabrang.
Diskusi ini mengkristalkan pemahaman bahwa trapsila bukan sekadar wacana abstrak, melainkan kerangka kerja konkret untuk menyikapi tantangan negara mulai dari krisis ekonomi hingga defisit kepercayaan. Di tengah gejolak politik dan ekonomi, konsep ini menawarkan pendekatan holistik yang memadukan kesadaran individu (patrap) dengan prinsip moral universal (susila). Keberlangsungan Indonesia sebagai peradaban bergantung pada kemampuan kolektif kita menjaga fairness dan kejujuran dalam setiap lini kehidupan, dimulai dari transformasi personal setiap warganya.
Membangun Indonesia yang lebih baik tidak bisa hanya mengandalkan sistem atau hukum semata, tetapi harus dimulai dari kesadaran akan posisi dan tanggung jawab masing-masing individu. Trapsila hadir sebagai kompas etis yang mengingatkan kita bahwa sebelum memperbaiki sistem besar, kita harus terlebih dahulu memastikan bahwa patrap (tindakan) kita selaras dengan susila (tata cara yang baik). Hanya dengan demikian, Indonesia benar-benar dapat menjadi proyek bersama yang berkelanjutan dan bermartabat.

“Maiyah sangat setuju dengan ide Indonesia. Tapi bukan Indonesia yang hanya ada. Melainkan entitas aktif dan paham posisinya, memilih kebenaran untuk mencapai mimpi yang kita tuliskan bersama,”
Manusia Sejati dalam Cahaya Moralitas
Karim mengawali sesi terakhir diskusi dengan contoh nyata penerapan trapsila dalam tata ruang Kenduri Cinta. Ketika warga sekitar mengeluhkan kebisingan, penggiat segera memindahkan denah panggung, mencoba mengoptimalkan keseimbangan antara hak berkesenian dan penghormatan pada ketenangan lingkungan. “Nabi Muhammad diutus untuk menyempurnakan akhlak,” ungkap Karim, menekankan bahwa indikator tertinggi manusia berakhlak adalah kemampuannya memberi manfaat bagi sesama. Prinsip inilah yang seharusnya menjadi pondasi bernegara, jauh melampaui sekadar kepatuhan formal pada aturan.
Diskusi mengalir ke ranah praktis kehidupan sehari-hari. “Kata-kata adalah doa,” lanjut Karim, mengingatkan bahwa frasa seperti “panjang umur perjuangan” mungkin lebih baik diganti dengan “panjang umur kesejahteraan” atau “panjang umur kemakmuran”. Fenomena ketergantungan pada bansos (bantuan sosial) menjadi contoh nyata bagaimana solusi instan seringkali mengabaikan pendekatan trapsila yang lebih mendasar. “Trapsila ini tidak ada pelajarannya di sekolah,” tegasnya, merujuk pada praktik-praktik seperti sungkem yang sering dilakukan tanpa pemahaman maknanya.
Aldi, mahasiswa pascasarjana UI, kemudian mengangkat diskusi ke ranah filosofis hukum dengan mempertanyakan relasi antara hukum dan moral. Melalui debat pemikiran positivis dan moral, ia memperingatkan bahaya hukum positivistik yang terlepas dari nilai moral—seperti hukum Nazi yang sah tetapi tidak bermoral. Persoalan ini mendapat dimensi baru ketika Rani dari Psikologi UI mengutip konsep Ryu Hasan tentang “bangsa sebagai pengalaman intersubjektif”. Dengan contoh solidaritas untuk Palestina, ia mempertanyakan bagaimana rasa kebangsaan bisa melampaui ikatan imajiner menjadi kepedulian nyata.
Bagus menanggapi dengan analisis tajam tentang krisis falsafah Indonesia. “Pancasila sebagai falsafah harusnya mampu menjawab persoalan praktis seperti apakah pendidikan adalah hak atau komoditas,” tegasnya. Ia menggambarkan Indonesia seperti pohon tanpa akar – mengadopsi sistem hukum asing tanpa memahami konteks historisnya. “Civil law Prancis lahir dari trauma revolusi, sementara common law Inggris berangkat dari kepercayaan pada fitrah manusia,” jelas Bagus. Tanpa penyadaran kolektif akan jati diri, bangsa ini akan terus terjebak dalam siklus populisme dan kebijakan reaktif. “Demokrasi hanya sebagus sistem pendidikannya,” ujarnya.
Sabrang melengkapi dengan perspektif spiritual tentang hierarki nilai. Dalam kosmos kehidupan, negara bersandar pada bangsa, bangsa bersandar pada kemanusiaan, dan kemanusiaan bersandar pada ketuhanan. “Game manusia yang tidak selaras dengan game Tuhan akan cepat hancur,” katanya. Ia menjelaskan bahwa moral sebagai kemampuan membedakan benar dan salah harus bersandar pada value. “Apakah hukum kita bersandar pada value?” tanyanya retoris. Sabrang menggunakan analogi lapisan bawang untuk menggambarkan pencarian kebenaran sejati – semakin dekat dengan kebenaran Tuhan, semakin universal dan bertahan lama nilainya.
Diskusi semakin mendalam ketika Sabrang mempertanyakan sandaran NKRI sebagai negara. “NKRI memang sebuah konsep negara yang bersandar pada bangsa. Tapi apakah kita benar bersandar pada bangsa?” tanyanya. Ia mengkritik praktik adopsi sistem asing tanpa pertimbangan mendalam dengan analogi mobil: “Ketika kita ingin membuat mobil terbaik dengan mengambil part-part terbaik dari setiap merk, apakah otomatis akan menjadi mobil terbaik?” Untuk mengadopsi sistem luar, kita harus memahami konteks asalnya secara utuh – budaya, sejarah, dan sumber dayanya.
“Untuk mengubah Indonesia, kita harus bersandar pada sesuatu yang lebih fundamental: manusia,” tegas Sabrang. Ia menekankan pentingnya kesadaran individu sebagai awal perubahan. “Yang hidup dari individu hanya wadahnya, yang hidup pada negara adalah idenya, yang hidup dari bangsa adalah wisdomnya, yang hidup dari manusia adalah kesadaran ilahinya.” Sabrang menanggapi kritik bahwa Maiyah hanya berdiskusi tanpa aksi: “Coba cari sekolah dimanapun saja yang sebebas dan sedalam itu memberi insight.”

Malam itu, Kenduri Cinta menjadi laboratorium kesadaran dimana trapsila hadir sebagai metodologi hidup. Dari tata ruang yang menghargai tetangga hingga refleksi tentang sandaran nilai bernegara, setiap pembicara menegaskan bahwa perubahan harus bermula dari kesadaran individu. Sabrang menutup dengan metafora yang indah: “Novel yang bernama Indonesia ditulis oleh masing-masing penduduknya. Kita semua adalah huruf-huruf masa depan Indonesia. Mari kita tulis lebih baik chapter-chapter baru, belajar dari kesalahan lalu.”Di tengah kegelapan ketidakpastian, trapsila menjadi suluh yang mengingatkan prinsip dasar: sebelum menuntut hak, tunaikan kewajiban; untuk memperbaiki negara, perbaiki diri. Forum ditutup khidmat dengan indal qiyam, lantunan Shohibubaiti, dan doa penutup pada pukul 02.53 dini hari, meninggalkan pesan tentang jalan panjang menuju Indonesia sejati yang tidak hanya ada dalam peta, tetapi hidup dalam kesadaran setiap warganya.