MANUSIA ADALAH MAKHLUK yang tak terlepas dari dialektika kehidupan. Dalam eksistensinya, manusia terus-menerus berinteraksi dengan berbagai elemen dunia, termasuk dengan teks-teks suci yang penuh dengan simbolisme dan makna yang dalam. Haikal, seorang Jamaah yang hadir di Forum Kenduri Cinta April 2025 dalam pandangannya, mengungkapkan sebuah perenungan tentang Al-Quran, kitab yang dalam pemahamannya sarat dengan chaos—sebuah kondisi yang penuh ketegangan, kontradiksi, dan tantangan untuk dipahami secara sederhana. Al-Quran, menurutnya, adalah sebuah teks yang penuh dengan kiasan dan bias, yang membuatnya lebih mirip dengan sebuah medan pertarungan makna daripada sekadar petunjuk yang mudah dipahami. Keterbukaan Al-Quran terhadap interpretasi yang beragam, tentu, memunculkan pertanyaan mendalam: apakah ada rumusan konkret untuk memahami wahyu yang datang dengan segala kompleksitas dan nuansanya ini?
Di sisi lain, Ika, Seorang Jamaah Perempuan, merenungkan makna dari simbol pisau dalam poster Kenduri Cinta Edisi April 2025, menyuguhkan sebuah perspektif yang mencengangkan. Pisau dalam simbolisme tersebut, digambarkan sebagai senjata yang memiliki dua wajah: di satu sisi, ia dapat menjadi simbol kekuasaan, tetapi di sisi lain, ia juga bisa menjadi simbol kekerasan. Ika mempertanyakan, apakah sebenarnya Trapsila—sebuah konsep yang seharusnya berada di ranah kekuasaan—telah terperosok dalam kekuasaan yang bersifat kekerasan? Apa makna di balik representasi pisau ini? Pertanyaan yang ditanyakan membuka ruang untuk menggali lebih dalam tentang bagaimana kekuasaan dan kekerasan sering kali berjalan beriringan, bahkan ketika nilai-nilai moral yang lebih luhur seharusnya mendasari penguasaannya.
Nanda, dengan pendalamannya tentang Al-Quran, memberikan sebuah interpretasi yang lebih integratif mengenai wahyu Tuhan yang disebutnya sebagai bashirah wa nadzirah—sebuah sumber kabar gembira bagi yang beriman sekaligus peringatan bagi yang tidak. Bagi Nanda, bashirah dan nadzirah bukanlah dua kutub yang bertentangan, melainkan keduanya adalah kesatuan yang melengkapi. Hal ini menggugah pemahaman bahwa kebenaran dalam Al-Quran tidak hanya tercermin dalam kata-kata yang jelas, tetapi juga dalam keseimbangan antara aspek ilmiah dan seni. Sebagaimana ilmu yang mempelajari qadar, yang membutuhkan pemahaman mendalam akan hukum alam, di atasnya ada dimensi seni, yaitu seni ketundukan terhadap qada’ Allah, yang tidak dapat diukur dengan kecermatan ilmiah semata. Karya ini mengingatkan kita akan pentingnya memahami ilmu dalam batasannya, namun tidak mengabaikan keberadaan takdir ilahi yang lebih tinggi, yang pada akhirnya memutuskan segala sesuatu.
Di ranah pemerintahan, Nanda juga mengingatkan kita akan pentingnya dwifungsi warga negara dalam konteks negara bangsa. Dulu, hanya monarki yang memegang kekuasaan senjata, namun revolusi Perancis telah mengubahnya menjadi semangat kebangsaan. Negara, menurut Nanda, seharusnya melibatkan seluruh warganya dalam tanggung jawab bersama, bukan hanya segelintir orang yang memikul beban tersebut. Dengan satrio pinandito, sebuah konsep yang menyandingkan keberanian dalam perang dan kebijaksanaan dalam rohani, seorang warga negara seharusnya mampu menggabungkan keberanian dan kearifan dalam setiap tindakan.
Sementara itu, Amien dalam forum menegaskan bahwa perjalanan menuju khalifah, sebagai pemimpin di muka bumi, bukanlah proses yang instan. Untuk menjadi khalifah yang benar-benar membawa peradaban, diperlukan pemahaman yang mendalam tentang pakem—aturan dasar yang harus dikuasai sebelum menciptakan inovasi baru. Sebagaimana seorang dalang yang tidak dapat langsung membuat cerita baru tanpa memahami pakem terlebih dahulu, manusia pun harus mempersiapkan diri dengan pemahaman yang mendalam tentang tata laku yang baik dan benar, sebelum mampu membawa perubahan yang berkelanjutan.
Dalam perjalanan panjang ini, Trapsila menawarkan sebuah kerangka etika yang mengarahkan manusia untuk memahami dan menguasai tata laku dalam dimensi sosial dan spiritual. Ia bukan sekadar aturan yang dihafal dan dipatuhi, melainkan sebuah seni kehidupan yang melibatkan penghayatan mendalam terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan. Kebaikan, dalam kerangka ini, bukan sekadar sesuatu yang dicari, tetapi suatu kualitas yang ditumbuhkan dalam diri dengan kesadaran penuh akan tanggung jawab sosial dan spiritual.
Trapsila mengajarkan kita bahwa dalam setiap langkah kehidupan, kita seharusnya mengutamakan kewajiban terlebih dahulu, sebelum menuntut hak. Sebuah republik yang sejati adalah republik di mana setiap individu memahami bahwa mereka adalah pemimpin, bukan hanya dalam peran mereka di dunia, tetapi juga dalam tanggung jawab moral dan spiritual mereka. Dalam dunia yang sering kali dipenuhi dengan gesekan kekuasaan dan kekerasan, Trapsila hadir sebagai sebuah penuntun untuk membawa keseimbangan dalam tindakan—agar setiap individu tidak hanya sekadar bertindak, tetapi bertindak dengan kesadaran yang mendalam akan tujuannya.
Akhirnya, perjalanan ini mengingatkan kita bahwa proses menjadi khalifah adalah sebuah proses panjang yang membutuhkan ketekunan, pemahaman, dan penghormatan terhadap nilai-nilai dasar yang ada. Dalam dunia yang sering kali terperosok dalam kepentingan sesaat, Trapsila mengajak untuk mengingatkan kembali tentang nilai-nilai luhur yang harus diterapkan dalam setiap tindakan dan keputusan, baik dalam pemerintahan, masyarakat, maupun dalam perjalanan spiritual pribadi. Trapsila dengan demikian, bukan sekadar konsep atau slogan, melainkan panggilan untuk menjalani kehidupan dengan penuh kesadaran dan kebijaksanaan.