Kenduri Cinta
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Jadwal
  • Kontak
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Jadwal
  • Kontak
No Result
View All Result
Home Esensia

Logos yang Terkubur, Trapsila yang Terlupa

Putra Ansa Gaora by Putra Ansa Gaora
April 27, 2025
in Esensia
Reading Time: 3 mins read
Logos yang Terkubur, Trapsila yang Terlupa

MUNGKIN BANGSA INI bukan kekurangan gagasan, melainkan kehilangan hasrat untuk menggali kembali akarnya. Di Forum Kenduri Cinta Edisi Edisi ke-25 yang lebih menyerupai pertemuan jiwa daripada diskusi biasa, orang-orang datang bukan sekadar untuk tahu, tetapi untuk merasa—bahwa berpikir dan bertindak, subasita dan trapsila, semestinya tidak terpisah.

Ada kalanya sebuah bangsa lupa bukan karena tidak tahu, melainkan karena terlalu lama mengadopsi metode berpikir orang lain. Sistem hukum pun menjadi sebuah peta asing yang kita baca dengan logika orang lain, bukan dengan intuisi kebudayaan kita sendiri.

Barat memiliki dua wajah hukum yang menjelma dalam bentuk civil law dan common law. Di satu sisi, Prancis, dengan deduksi revolusionernya, menciptakan hukum yang tertulis, statuta, tak mengenal moralitas sebagai variabel. Di sisi lain, Inggris dengan warisan common law-nya, percaya bahwa manusia dilahirkan dalam fitrah, bahwa kejujuran adalah titik tolak hukum. Indonesia, alih-alih menjahit benang warisan lokal, lebih senang memungut sisa potongan dari barat. Hukum adat direduksi menjadi arsip, bukan prinsip.

Logika ini membawa kita ke satu titik: bahwa ucapan kehilangan marwahnya. Ketika “kata” tak lagi dipercaya, kita kehilangan logos—kata sebagai instrumen kebenaran. Di kebudayaan Jawa, ajining diri ana ing lathi. Tapi hari ini, ucapan adalah distraksi, bukan premis. Ia menjadi tersangka utama dalam sistem hukum yang menyaratkan segala sesuatu harus tertulis. Seolah kebenaran hanya bisa dibuktikan oleh kertas, bukan kejujuran.

Dalam ruang sempit itulah trapsila kehilangan konteks. Ia menjadi tata-cara, kehilangan ‘tata’ dan ‘cara’—hanya prosedur, bukan laku. Padahal jika kita menelusuri makna awalnya, trapsila adalah etika praksis, dialektika antara niat dan tindakan. “The art of doing” bukanlah seni manipulasi, tetapi disiplin spiritual yang menuntut keterjagaan kesadaran dalam setiap tindakan. Ia bukan hanya metodologi, melainkan moralitas yang dibudayakan.

Dari geosains, Bagus Muljadi menemukan bahwa bumi tidak pernah bohong. Ia menyimpan jejak, tapi tidak pernah mengklaim kebenaran. Sama halnya dengan Indonesia: ia adalah mikrokosmos dari dunia, tapi sering tak mengenali dirinya sendiri. Ia menyimpan nilai, tapi lebih memilih mengadopsi mekanisme luar. Indonesia adalah tanah tempat subasita dan trapsila tumbuh, namun ia tumbuh dalam senyap, tak dikenali, hanya karena tidak tertulis di jurnal-jurnal akademik barat.

Ketika ucapan dianggap sebagai ornamen, bukan fondasi, saat hukum lebih percaya pada dokumen daripada integritas, saat trapsila direduksi menjadi SOP dan subasita jadi retorika—di sanalah bangsa ini perlahan kehilangan fitrahnya.

Ian L. Betts berkata di dalam forum Kenduri Cinta April, dunia sedang menuju kefitrian baru. Tetapi sebelum sampai di sana, ada yang harus hancur. Barangkali yang harus kita runtuhkan lebih dulu adalah kebiasaan berdusta, bahkan kepada diri sendiri.

Kita hidup dalam ambiguitas. Bahkan “senang bertemu dengan Anda” bisa jadi sekadar strategi diplomatik, bukan perasaan otentik. Bahasa telah menjelma strategi, bukan kejujuran. Seperti dalam bahasa Jerman, mungkin kita perlu struktur gramatikal yang lebih rigid, agar dusta lebih sulit disembunyikan. Tapi barangkali, yang lebih kita butuhkan bukan sistem bahasa, melainkan kejujuran eksistensial.

Sabrang pernah berujar, perubahan datang dari individu. Maka, jangan tunggu reformasi datang dari undang-undang. Mulailah dari satu niat yang sederhana—untuk mengatakan ya ketika ya, dan tidak ketika tidak.

Karena sebuah bangsa tidak runtuh karena tidak punya teknologi, tetapi karena kehilangan keberanian untuk berkata jujur.

SendTweetShare
Previous Post

Trapsila: Dialektika, Kekuasan, dan Perjalanan Manusia Menuju Khalifah

Next Post

Trapsila: Kejujuran yang Mengakar

Putra Ansa Gaora

Putra Ansa Gaora

Related Posts

Trapsila: Tata Cara, Etika dan Keadilan Menghadapi Krisis Sosial
Esensia

Trapsila: Tata Cara, Etika dan Keadilan Menghadapi Krisis Sosial

May 9, 2025
Rengginang di Kaleng Biskuit Khong Guan
Esensia

Rengginang di Kaleng Biskuit Khong Guan

May 8, 2025
Trapsila: Kejujuran yang Mengakar
Esensia

Trapsila: Kejujuran yang Mengakar

May 8, 2025
Trapsila: Dialektika, Kekuasan, dan Perjalanan Manusia Menuju Khalifah
Esensia

Trapsila: Dialektika, Kekuasan, dan Perjalanan Manusia Menuju Khalifah

April 24, 2025
Tata Laku, Tata Nurani: Trapsila dan Metodologi Etika dalam Peradaban
Esensia

Tata Laku, Tata Nurani: Trapsila dan Metodologi Etika dalam Peradaban

April 22, 2025
Pergeseran arah panggung Kenduri Cinta
Esensia

Pergeseran arah panggung Kenduri Cinta

April 14, 2025

Copyright © 2025 Kenduri Cinta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Jadwal
  • Kontak

Copyright © 2025 Kenduri Cinta