MESKIPUN PERISTIWA mudik sudah lama berlalu, saya ingin mencoba mengingat kembali sebuah perjalanan mudik. Pada lebaran tahun ini kebetulan menjadi jatah Kampung istri untuk kita datangi. Sebelumnya kami sudah bersepakat kalau tahun lalu kita mudik ke Tegal (kampung halaman saya), maka di tahun ini kita mudik ke kampung istri di Parepare, Sulawesi Selatan.
Perjalanan mudik kali ini tidak mudah karena dalam hati masih berat untuk tidak berlebaran bersama keluarga sendiri di Tegal. Rasa ego merajai hati, tapi istri juga punya hak untuk menuai rindu bersama sanak-saudaranya di kampung halamannya. Sehari sebelum mudik, saya menelepon Ibu untuk pamit dan minta doa restu dan memastikan bahwa tahun ini kami mudik ke Makassar dengan suara terbata-bata. Ibu memberikan restu meskipun saya yakin Ibu sangat berat untuk merelakannya.
Setelah memastikan keberangkatan mudik, saya merasa sedikit lebih tenang. Istri saya juga terlihat bahagia, wajahnya terlihat segar dan sumringah karena bisa pulang kampung dan berkumpul dengan keluarganya. Kami berdua mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk perjalanan jauh ini. Dari packing tas hingga memeriksa kembali dan memastikan semua barang tidak ada yang tertinggal.
Saat hari H tiba, kami berangkat dengan perasaan yang campur aduk. Ada rasa rindu yang mendalam terhadap keluarga di kampung halaman masing-masing, tapi juga ada rasa bahagia karena bisa berbagi momen lebaran dengan keluarga istri. Perjalanan panjang yang kami tempuh membawa kami melewati berbagai pemandangan indah dan pengalaman baru.
Setelah beberapa jam perjalanan, kami akhirnya tiba di Parepare, Sulawesi Selatan. Disambut dengan hangat oleh keluarga istri. Kami merasa seperti bagian dari keluarga mereka. Momen lebaran diisi dengan berbagai kegiatan yang sarat akan makna dan kebersamaan. Meskipun jauh dari kampung halaman sendiri, saya merasa bahagia bisa melihat istri saya tersenyum bahagia bersama keluarganya.
Mudik tahun ini mengajarkan saya tentang arti kompromi dan memahami perasaan orang lain. Saya sadar bahwa kebahagiaan tidak hanya tentang memenuhi keinginan sendiri, tapi juga tentang membuat orang yang kita cintai bahagia. Semoga pengalaman ini bisa menjadi kenangan indah yang tak terlupakan, terutama untuk anak kami.
Setelah beberapa minggu lebaran berlalu, rumah kembali mengenakan selimut kesunyian, meninggalkan kenangan indah di balik tirai waktu. Karpet yang digelar hanya setahun sekali, kini telah kembali digulung dan berdiri di pojok tembok menyimpan kenangan langkah kaki tamu yang membawa kebahagiaan. Suara gelak tawa sanak-saudara yang kegirangan selepas menerima THR, kini hanya menjadi kenangan, meninggalkan kesunyian yang hanya diisi oleh suara binatang malam. Kini yang tersisa hanya barisan kaleng biskuit Khong Guan yang berisi rengginang.
Kaleng biskuit Khong Guan telah lama menjadi simbol kebersamaan di setiap perayaan, kini tergeletak di sudut dapur, penuh dengan rengginang, cemilan yang menjadi pelengkap obrolan ringan dan tawa hangat. Setiap kaleng yang terbuka, berisi lebih dari sekedar makanan ringan. Ia mengingatkan kita pada proses kehidupan itu sendiri. Rengginang yang renyah, meskipun sederhana, mengajarkan bahwa segala sesuatu yang terasa manis dan nikmat datang dengan usaha dan waktu. Seperti biskuit yang dulu dihias dengan rapi, kini ada sesuatu yang tak terlihat. Sebuah bentuk kenyataan bahwa kesederhanaan memiliki kekuatan untuk menyatukan, memberi kenangan yang jauh lebih dalam daripada kelezatan yang sesaat.
Biskuit Khong Guan yang terlihat sepele juga memberi pelajaran tentang bagaimana kita seringkali merindukan sesuatu yang biasa, yang sudah ada, namun hanya kita hargai setelah ia pergi. Rengginang dalam kaleng ini, yang tertinggal di rak rumah atau meja makan, mengingatkan kita bahwa kehidupan adalah tentang menghargai hal-hal sederhana. Terkadang, kita terlalu sibuk mengejar yang besar, yang mewah, hingga melupakan bahwa kebahagiaan sejati terletak pada kenangan yang sederhana, yakni pada pertemuan yang penuh kehangatan, pada pelukan yang tulus, dan pada canda tawa yang menggema di meja makan.
Mudik adalah perjalanan yang panjang dan berliku, di sana terdapat sebuah tempat yang menanti dengan hangat. Pulang, bukan sekadar kembali ke tempat asal, melainkan menemukan kembali kehangatan yang tak tergantikan. Wajah-wajah yang mengenali tanpa syarat, menanti dengan senyum yang tulus dan hangat. Di sana, hati dapat beristirahat, dan jiwa dapat menemukan kedamaian yang sejati. Maka, seberat apapun perjalanan, pulang selalu menjadi candu yang manis. Perjalanan mudik kali ini akan lekat di kening dan dalam kenang.