DI DALAM setiap sendi masyarakat, ada sebuah kebutuhan yang tak terucapkan, namun nyata: kebutuhan akan tata cara hidup yang benar. Bukan hanya aturan yang tercatat, tetapi sebuah cara yang mendalam—cara yang menyentuh hati dan akal yang menghubungkan kita dengan sesuatu yang lebih besar dari sekadar hukum. Inilah yang disebut Trapsila, yang dalam bahasa sederhana berarti ‘tata dan cara’, namun dalam pemahaman lebih luas, ia mengandung metodologi yang menghubungkan etika dengan kesadaran posisi kita dalam sebuah komunitas. Bukan hanya soal berperilaku dengan benar, tetapi juga mengetahui posisi kita dalam relasi sosial yang lebih besar.
Sebagai sebuah konsep, Trapsila membuka cakrawala baru dalam cara kita memahami hukum dan keadilan. Dalam diskursus di Kenduri Cinta April Edisi ke-255, ada pembahasan dimana banyak dari kita yang terjebak pada ketidakpastian antara state dan nation, antara negara dan bangsa, sebuah pertanyaan yang seharusnya sederhana namun sering kali menjadi rumit karena campur tangan ideologi dan interpretasi agama. Ketika Piagam Madinah pertama kali ditulis, tidak ada satu kata pun yang secara eksplisit membahas konsep negara. Yang ada adalah sebuah tatanan etika sosial antar umat beragama dan antarsuku. Ada suatu pemahaman bahwa negara, dalam bentuk yang kita kenal sekarang, bukanlah tujuan akhir, melainkan sebuah instrumen untuk mengatur hubungan antar manusia yang saling berbeda.
Pada realitas di dalam kehidupan sehari-hari, hukum justru seringkali hanya menjadi alat untuk mencapai ketertiban yang semu. Seperti dalam sistem civil law, hukum baru dianggap sah ketika tertulis dan disepakati, tetapi hukum yang hanya mengandalkan bentuknya tanpa memperhatikan esensinya, pada akhirnya tidak lebih dari sekadar sebuah dokumen mati. Hukum seperti ini, meskipun tertib secara struktural, gagal mengakar pada kesadaran moral yang mendalam.
Apa yang disebut Trapsila dalam konteks ini adalah seruan untuk kembali pada kesadaran yang lebih hakiki: kesadaran akan posisi kita di dalam jaringan sosial yang lebih luas. Ketika kita berbicara tentang patrap (posisi) dan susila (tata cara yang baik), kita bukan hanya bicara tentang tindakan yang benar, tetapi juga tentang kesadaran akan apa yang melatarbelakangi setiap tindakan itu. Ada dimensi lain yang harus kita perhatikan: komunikasi bukan hanya melalui kata-kata, tetapi juga melalui sinyal-sinyal yang tak terucapkan. Dalam setiap interaksi, kita merasakan sesuatu yang lebih daripada yang tampak di permukaan. Sesuatu yang meskipun tidak tertulis, memiliki makna yang lebih dalam. Inilah esensi dari Trapsila: memahami dan meresapi setiap isyarat yang datang, baik dari Tuhan, masyarakat, maupun hukum.
Pada akhirnya, Trapsila mengingatkan kita tentang pentingnya keseimbangan antara kebaikan yang datang dari Tuhan, kebaikan yang datang dari hukum, dan kebaikan yang datang dari norma sosial. Ketiganya seharusnya berjalan seiring, tanpa saling meniadakan. Di dunia yang serba terbuka dan penuh konflik ini, kita sering kali merasa kehilangan arah. Apa yang menjadi kebaikan menurut Tuhan, terkadang tidak sama dengan apa yang dianggap baik oleh hukum manusia. Islam, misalnya, menawarkan sebuah pandangan yang lintas zaman—sebuah pandangan yang bisa menjawab tantangan zaman, tanpa kehilangan relevansinya. Namun, bagaimana dengan hukum yang kita anut? Adakah ia cukup adil untuk menjamin keadilan bagi semua?
Sebuah eksperimen yang pernah dilakukan terhadap monyet memberi kita gambaran sederhana tentang keadilan. Dua monyet diberi hadiah timun setiap kali mereka memberikan batu kepada peneliti. Namun, ketika salah satu monyet diberi anggur sebagai hadiah, monyet lainnya yang hanya menerima timun mulai menunjukkan tanda-tanda ketidakadilan: ia marah dan melemparkan timun itu ke arah peneliti. Keadilan, ternyata, tidak hanya menjadi milik manusia. Keadilan adalah insting yang ada pada setiap makhluk hidup. Jika makhluk sekelas monyet pun merasakan ketidakadilan, bagaimana dengan manusia yang lebih kompleks? Keadilan, yang menurut Trapsila, adalah permainan Tuhan—suatu yang diberikan secara alami kepada alam semesta, namun harus dijaga oleh infrastruktur sosial yang dapat dipercaya.
Tantangan terbesar Indonesia saat ini adalah ketidakmampuan menciptakan infrastruktur sosial yang dapat diandalkan untuk menjaga keadilan. Ketika sistem hukum tidak lagi dapat diandalkan untuk mewujudkan keadilan, ketika kepercayaan terhadap institusi semakin luntur, maka yang terjadi adalah kerusakan sosial yang lebih dalam. Dalam hal ini, Trapsila mengingatkan kita untuk kembali kepada nilai-nilai fundamental yang berlaku lintas ruang dan waktu. Tanpa keadilan yang didasarkan pada nilai-nilai ini, Indonesia akan terus terombang-ambing dalam ketidakpastian dan ketidakadilan.
Kata Sabrang di dalam Forum Kenduri Cinta: Harapan tidak boleh padam. Trapsila adalah ajakan untuk melihat kembali posisi kita, untuk merenungkan kembali tujuan kita sebagai bangsa. Bukan sekadar menjadi sebuah entitas yang ada, tetapi sebagai sebuah entitas yang sadar akan posisinya dan memilih kebenaran untuk mencapai tujuan bersama. Hanya dengan pemahaman yang mendalam tentang kebaikan, keadilan, dan kesadaran posisi, kita dapat membangun masa depan yang lebih adil bagi Indonesia. Dalam perjalanan ini, kita harus terus bertanya: apakah hukum yang kita jalankan cukup adil? Apakah norma yang kita anut mampu mengakomodasi keberagaman yang ada? Dan yang lebih penting lagi, apakah kita sudah benar-benar memahami posisi kita dalam permainan besar ini?
Sebagaimana Nabi Muhammad mengajarkan, kita harus meninggalkan peraturan yang membuat kita mengingkari peraturan Tuhan. Hanya peraturan yang selaras dengan prinsip-prinsip ilahiah yang akan bertahan lama. Dalam permainan besar ini, Tuhan telah memberi petunjuk. Hukum yang mengabaikan petunjuk tersebut, pada akhirnya akan gagal.