MESKI ACARA BARU dimulai beberapa jam lagi, jamaah sudah mulai berdatangan ke Taman Ismail Marzuki sejak pukul 18.00. Hujan deras siang itu meninggalkan udara sejuk, membuat suasana ngabuburit bagi beberapa jamaah dalam lingkar kecil di berbagai sudut Taman Ismail Marzuki terasa menyegarkan.
Menjelang pembukaan, hangatnya kebersamaan semakin terasa. Jamaah mulai merapat ke area panggung dan beberapa penggiat mulai naik panggung, seperti tradisi yang selalu menjadi bagian integral dari setiap edisi Kenduri Cinta, forum diawali dengan pembacaan sholawat. Hari itu memang forum dibuka sedikit lebih malam dari biasanya, untuk menyesuaikan dengan jamaah tarawih di Masjid Amir Hamzah—yang terletak di sebelah Teater Besar, lokasi Kenduri Cinta malam itu.
Dalam perjalanan Maiyah, Mbah Nun tak lepas dari puisi dan puasa. Beliau konsisten menulis puisi dan mendalami puasa sebagai manifestasi nilai spiritual dalam kehidupan. Dinamika Maiyah sering disebut sebagai puisi—ekspresi keindahan dan penciptaan makna. Mbah Nun juga tetap sederhana tanpa atribut formal seperti gelar sastrawan, menteri, atau kiai.

Kenduri Cinta edisi ke-254 kali ini mengangkat tema Puisi Puasa. Forum Reboan membahas puasa selama tiga minggu dari dimensi spiritual hingga refleksi personal. Proses penentuan judul untuk tema-tema Kenduri Cinta sering memakan waktu cukup panjang. Ada semacam “puasa” dalam menetapkan judul, di mana ide-ide perlu dikaji ulang, direnungkan, dan dipertimbangkan secara matang agar mampu mencerminkan esensi pembahasan. Mizani mengungkapkan bahwa puasa sering dipahami secara sederhana—hanya sebagai pergeseran jam makan. Apakah Allah meminta hamba-Nya berpuasa semata-mata karena itu? Pertanyaan ini menjadi pijakan awal diskusi malam itu.
Karim memulai diskusi dengan bertanya, “Adakah di antara kita yang seumur hidupnya tidak pernah membaca puisi?” Pertanyaan ini menggugah kenangan lama. Ketika ditanyakan lebih spesifik, “Siapa yang dalam satu minggu ini membaca atau menulis puisi?” banyak jamaah mengangkat tangan. Puisi ternyata memiliki tempat penting dalam kehidupan sehari-hari.
Secara etimologi, puisi berasal dari kata “to create”. Sementara keindahan, yang sering dikaitkan dengan puisi, adalah output dari puisi. Ketika kita serius mempelajari puisi, kita akan belajar untuk menciptakan sesuatu dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Bahkan, kalaupun suatu saat kita diamanahi jabatan, pemahaman terhadap puisi ini akan membuat kita menghindari korupsi. Mengapa? Karena keindahan adalah output dari proses penciptaan.
Karim juga menyinggung buku Tuhan Pun Berpuasa karya Mbah Nun, yang menyimpan banyak refleksi tentang esensi puasa. Dalam satu bagian di buku itu, dijelaskan bahwa puasa memiliki dua dimensi yang sangat penting: cinta dan kebebasan dari hawa nafsu. Puasa mengajarkan kita untuk mencintai dengan cara menahan diri, serta membebaskan diri dari belenggu nafsu yang sering kali merusak hubungan antar manusia. Jika kita benar-benar memahami kedua dimensi ini, seharusnya kehidupan sosial hari ini bisa menjadi jauh lebih baik.
Ibadah, meski tidak dibutuhkan Allah karena Ia Maha Kaya, menjadi sarana bagi manusia untuk mendekat kepada-Nya. Pram menyinggung hadis tentang jihad terbesar, yakni menahan hawa nafsu. Dalam perspektif Jawa, nafsu terbagi menjadi empat: amarah, lawwamah, supiah, dan mutmainnah. Tujuan puasa adalah mengendalikan tiga nafsu pertama agar mencapai nafsu mutmainnah , yakni nafsu yang tenang dan dekat dengan Allah. Puasa melatih kita menghadapi godaan dan memperkuat kendali diri, sehingga kita lebih peka terhadap kehidupan sosial. Jika berhasil, puasa membuat kita mampu merasakan penderitaan orang lain dan berusaha meringankannya.
Pram melanjutkan diskusi dengan mengutip Surah Az-Dzariyat ayat 56 dan Surah Al-Baqarah ayat 30, yang menyebut bahwa manusia diciptakan sebagai Abdullah sekaligus Khalifatullah di bumi. Keduanya harus berjalan beriringan. Pram kemudian bertanya, “Kapan terakhir kali kita melakukan sesuatu yang kita sukai, sekaligus bermanfaat bagi orang lain?” Pertanyaan ini mengajak kita merefleksikan peran sebagai Abdullah dan Khalifatullah. Ketika keinginan pribadi selaras dengan kontribusi kepada sesama, barulah kedua peran itu dapat dijalankan dengan seimbang.
Jembatan Dimensi Spiritual dan Sosial
Selama Ramadhan, kita dilatih menahan diri dari hal fisik seperti lapar dan haus, serta non-fisik seperti ego yang dapat merusak hubungan dengan Allah dan sesama. Ini bukan hanya ujian sebulan, tetapi juga tantangan untuk menjaga nilai-nilai tersebut setelah Ramadhan berakhir. Pertanyaannya, mampukah puasa benar-benar mengubah perilaku kita?
Menariknya, puasa juga merupakan fenomena alami dalam kehidupan. Seperti kata Mbah Nun di forum Maiyah, “Bagaimana jika gigi kita tidak pernah ‘berpuasa’ dan tumbuh tanpa batas?” Kehidupan adalah harmoni alami, di mana segala sesuatu memiliki batas. Melalui puasa, kita belajar pentingnya mengetahui batas demi mencapai keseimbangan.
Refleksi tentang keseimbangan ini muncul dalam email panjang Mbah Nun kepada Ian L. Betts pada 2015. Dalam diskusi lanjutan, Ian menyampaikan paparannya dalam bahasa Inggris. Ia mengungkapkan bahwa Mbah Nun mengekspresikan perasaan senang, kecewa, patah hati, namun tetap optimis terhadap dinamika politik dan ekonomi Indonesia pasca-reformasi. Mbah Nun juga menyoroti bahwa bangsa Indonesia belum sepenuhnya belajar dari pengalaman masa lalu. Namun, di tengah tantangan itu, beliau tetap yakin bahwa kemanusiaan terus mencari dan perlahan menemukan kebenaran. “Humanity continues to search and slowly finds the truth ,” tulisnya. Maiyah, sebagai bagian dari perjalanan ini, mengajarkan jamaah untuk menemukan nilai kemanusiaan sejati di tengah tantangan.
Dinamika yang kita alami di setiap forum Maiyah adalah bagian dari perjalanan kolektif menuju kebaikan. Tantangan besar tak menghalangi kita untuk terus hadir di Maiyah. Forum ini tidak hanya mengajarkan ketahanan, tetapi juga menjadikan dinamika sebagai batu loncatan menuju kebaikan yang lebih besar. Pesan Mbah Nun untuk membawa nilai-nilai Maiyah ke luar Indonesia pun terbukti relevan, karena Maiyah diterima dan dirayakan secara global.
Salah satu momen berkesan malam itu adalah ketika Ian membacakan puisi terjemahan Bahasa Inggris karya Mbah Nun, Doa yang Kusembunyikan, yang mengekspresikan harapannya bertemu manusia sejati—yang hidup secara fisik sekaligus memiliki kedalaman spiritual, empati, dan kesadaran terhadap sesama. Menutup pemaparannya, Ian menyampaikan “Even if you don’t understand, we need to continue learning. The impact of Maiyah should reach global level. So let us show to the world.”

Ansa menyampaikan pendapatnya bahwa apa yang dilakukan Ian adalah bentuk puasa. Meskipun Ian fasih berbahasa Indonesia, ia memberikan tantangan pada jamaah untuk memahami bahasa Inggris. Ia juga menyoroti keindahan dialektika di Kenduri Cinta, yang menciptakan harmoni dialog, kedalaman refleksi, dan optimisme. Mbah Nun kerap mengingatkan agar kita melampaui dikotomi benar-salah dan fokus pada dimensi keindahan sebagai output puisi.
Dalam buku Tuhan Pun Berpuasa, khususnya esai Revolusi Puasa, Ansa menggarisbawahi bahwa puasa mencakup tauhid vertikal dan horizontal. Ansa memperkuat gagasan ini dengan pandangan Cak Fuad: 96,5% isi Al-Qur’an membahas hubungan manusia dengan manusia, sementara hanya 3,5% tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Dengan demikian, puasa harus mengajarkan perbaikan hubungan sosial.
Buku tersebut juga mengkritik fenomena orang yang mengejar kekayaan hanya untuk diri sendiri, alih-alih membantu yang miskin menjadi sejahtera. Jika kita paham esensi puasa, seharusnya puasa menjadi alat untuk menjembatani kesenjangan sosial. Namun, merujuk pada pembelajaran Maiyah tentang spectrum of control —lingkar peduli, perhatian, dan pengaruh—ketimpangan sosial masih berada di lingkar peduli dan perhatian. Meski belum memiliki pengaruh besar, setiap individu dapat berkontribusi di lingkar terdekat. “Bayangkan jika semua orang melakukan hal serupa,” kata Ansa. Meski dampaknya kecil, hasilnya bisa signifikan jika dikalikan dengan banyaknya orang.
Puasa adalah latihan selama 1 bulan agar selama 11 bulan berikutnya, nilai-nilai puasa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Jika puasa tidak mengubah perilaku sosial kita, apakah kita benar-benar sedang berpuasa, atau justru sekadar “berpuas-kah”?
Puasa sebagai Puisi Jiwa Raga
Sebelum sesi kedua, The Thambel menghibur jamaah dengan beberapa lagu. Sesi jeda di Kenduri Cinta bukan sekadar hiburan, melainkan bagian integral dari jalannya forum. Melalui musik, pesan reflektif disampaikan. Lagu Haruskah, misalnya, mengingatkan bahwa segala sesuatu yang kita miliki adalah titipan, sebagaimana yang disampaikan vokalis The Thambel, “Kadang yang membuat sakit hati adalah merasa memiliki apa yang sebenarnya titipan.”
Sebelum diskusi dimulai, suasana semakin khidmat ketika Munawwir membacakan puisi Tak Pandai Berpuasa karya Mbah Nun. Puisi ini menggambarkan keterbatasan manusia dalam menjalankan puasa, terutama ketika pemahaman puasa hanya sebatas menahan lapar dan haus. Pembacaan puisi ini menjadi pintu masuk bagi pembahasan lebih lanjut di sesi dua.
Tema-tema dalam Kenduri Cinta dan Maiyah selalu memiliki kedalaman dan relevansi dengan kehidupan sosial, spiritual, serta intelektual jamaah. Misalnya, judul Puisi Puasa dapat dilihat sebagai pengingat untuk mengenali batas-batas diri—fisik, emosi, dan spiritual. Puasa adalah jembatan untuk mengenal Allah, sebagaimana sabda Nabi: “Man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu”
Fahmi memulai diskusi dengan Mbah Nun, yang menjelaskan bahwa shoum merujuk pada menahan hawa nafsu, sedangkan syiam adalah bentuk diklat untuk menahan diri agar kita memahami batas-batas kita. “Puasa adalah ‘menidakkan yang iya’ ,” kata Fahmi mengutip kalimat Mbah Nun. Puasa adalah upaya menahan hal-hal yang biasa dianggap wajar agar kita belajar kendali diri, mengajak kita mengenali batas fisik, emosional, dan spiritual.
Selain itu, Fahmi menyoroti buku Tuhan Pun Berpuasa, yang membahas puasa dari dimensi spiritual, sosial, dan personal. Refleksi ini menekankan bahwa puasa bukan sekadar ritual ibadah, tetapi juga transformasi diri. “Apakah kita berlebaran untuk benar-benar berbuka, atau justru meneruskan puasa dalam bentuk lain?” tanyanya.
Mengikuti teladan Nabi menjadi tantangan lebih besar. Beliau hanya berbuka dan sahur dengan kurma dan air zam-zam, sangat sederhana. Namun, hari ini, pengeluaran bulan puasa cenderung membengkak akibat buka bersama, belanja THR, hingga mudik. Alih-alih menahan diri, kita sering terjebak pola konsumsi berlebihan.
Nanda melanjutkan diskusi dengan menjelaskan bahwa Islam bukanlah agama baru; umurnya sama dengan alam semesta. “Semua peradaban pada dasarnya adalah Islam,” katanya. Meski nama-nama lain muncul, sering kali nama itu berasal dari lokasi geografis tertentu, sumbernya tetap satu: Islam. “Islam bersifat universal, bahkan multiversal,” tegas Nanda.
Puasa juga bukan hanya ibadah umat Nabi Muhammad. Nabi-nabi sebelumnya, bahkan Nabi Adam, telah melakukannya. Ketika pertama kali diturunkan ke bumi, Nabi Adam berpuasa selama tiga hari untuk bertaubat, “Robbana dzolamna anfusana wa illam taghfirlana watarhamna lana kunanna minal khasyirin.” Peristiwa ini kemudian diadopsi sebagai puasa tanggal 13, 14, dan 15 dalam kalender Hijriah.
Puasa lain juga disebutkan dalam Al-Quran, seperti kisah Sayyidah Maryam. Saat menghadapi fitnah terkait kelahiran Nabi Isa, Allah memerintahkannya untuk tidak berbicara—sebuah bentuk syiam. Orang-orang Yahudi menuduhnya, namun bayi Nabi Isa menjawab dengan mukjizat,“Innii ‘abdullaahi aataaniyal Kitaaba wa ja’alanii Nabiyyaa.” Allah memberikan perlindungan pada Sayyidah Maryam karena beliau telah menyempurnakan syiam-nya.
Menurut Nanda, puasa adalah menahan jasad agar ruh mendapat energi dari hal-hal non-materi. Dalam buku Tuhan Pun Berpuasa , Mbah Nun menggambarkan puasa sebagai tamasya menuju “mautnya jasad.” Makan dan minum memberi energi untuk jasad, sedangkan ruh mendapatkan makanannya ketika jasad “mati” dari nafsu duniawi.
Nanda melanjutkan bahwa dalam diri manusia terdapat shodr, tempat bertemunya wahyu Allah dan was-was setan. Puasa adalah cara menurunkan riuh pertempuran ini sehingga kita bisa membedakan mana bisikan ilahi dan mana godaan setan. Was-was hanya bisa diisolasi melalui ketenangan, yang dicapai dengan menahan diri dari makan dan minum. Namun, ini hanyalah pintu awal. Keheningan semacam ini harus ada dalam semua ibadah, karena dalam keheningan itulah kita menemukan kasunyatan —kebenaran hakiki yang mendekatkan kita kepada Allah.
Menjernihkan Refleksi Indonesia
Diskusi semakin menarik ketika Tri bertanya tentang isu politik kepada Sabrang, termasuk tanggapan soal viral-nya video orasi “hidup rakyat” dan konsep Danantara—apakah ini bagian dari risk management dalam puasa atau terkait buka puasa.
Sabrang menjelaskan bahwa hubungan suami-istri dapat menjadi metafora untuk memahami dinamika pemerintah dan rakyat. “Pernyataan yang viral di media sosial bukan soal benar-salah, tapi bentuk kecemburuan,” katanya. Kecemburuan ini muncul karena adanya cinta dan harapan. Ketika pemimpin tidak menjadikan rakyat sebagai prioritas utama, wajar jika rakyat merasa dikhianati. “Fokuslah pada esensi kecemburuannya, bukan objeknya,” tegasnya.
Indonesia adalah ide besar dalam konstitusi, dan presiden dipandang sebagai salah satu champion untuk memperjuangkan ide ini. Tolak ukur keberhasilan bukan siapa yang bertindak, melainkan sejauh mana upaya tersebut mendekatkan kita pada impian para pendiri bangsa. “Apakah kita menuju kondisi ideal atau justru menjauh?” tanya Sabrang retoris.
Mimpi besar Indonesia adalah mencapai kemakmuran. Namun, bulan ini menjadi momen menyedihkan karena beban pajak dan THR harus dibayar bersamaan. Pajak adalah kontrak sosial, tetapi ketika uang pajak dikorupsi, sulit bagi rakyat untuk tidak kecewa. “Kita akan ikhlas membayar pajak jika hasilnya untuk kemaslahatan bersama,” katanya. Yang perlu dilawan adalah ketidak-konsistenan terhadap kontrak sosial, bukan pajak itu sendiri.
Lebih lanjut lagi, Sabrang juga menjelaskan bahwa Indonesia tidak pernah kekurangan ide-ide. Setiap masalah selalu dibahas dalam berbagai simposium dan diskusi. Namun, problem utama Indonesia bukan terletak pada ide, melainkan pada pelaksanaannya. “Nabi Muhammad dan semua nabi tidak mengajarkan struktur negara tertentu, tetapi menekankan pentingnya kesempurnaan akhlak,” kata Sabrang. Apa pun sistem atau struktur yang dianut—baik kerajaan, republik, atau apa pun—jika akhlak pemimpin dan masyarakatnya baik, maka segalanya akan berjalan dengan baik.
Ide seperti Danantara sebenarnya menjanjikan, namun terhambat oleh lemahnya infrastruktur trust di Indonesia. Sabrang memberi contoh bahwa dulu tawar-menawar harga ojek mencerminkan ketidakpercayaan antara penumpang dan pengemudi, sementara sistem otomatis yang imparsial kini menghapus masalah itu. Dalam hukum, hakim seharusnya bersifat imparsial, tetapi ketidakadilan kerap terjadi, seperti hukuman mencuri ayam yang hampir setara dengan korupsi besar. Ketidakadilan ini menghambat pembangunan kepercayaan.

Sabrang mengungkapkan, 3-4 tahun lalu ia putus asa karena sulit menciptakan infrastruktur trust yang imparsial selama manusia terlibat. Membentuk badan pengawas bertingkat hanya menciptakan lingkaran tanpa akhir. Menurutnya, transparansi adalah solusi. Meski transparansi total berisiko membuka rahasia negara, perkembangan AI belakangan ini memberi harapan. “AI bisa menciptakan transparansi tanpa membahayakan rahasia, sehingga memungkinkan kontrol lebih adil,” tambahnya.
“Kami tidak mengabdi kepada siapa pun kecuali mimpi Indonesia,” tegas Sabrang. Semua yang mendukung cita-cita ini adalah teman, dan yang melawan adalah musuh. Dengan prinsip ini, ia membangun bangsa berlandaskan kepercayaan, transparansi, dan komitmen terhadap Indonesia.
Diskusi kemudian kembali ke tema Puisi Puasa. “Sejak awal, kita banyak membahas karya Mbah Nun tentang puasa. Sekarang, biar karya Mbah Nun sendiri yang menjelaskan,” kata Sabrang, mengundang tawa jamaah.
Mengawali penjelasannya tentang puasa, Sabrang mengungkapkan bahwa semua informasi agama sering kali disampaikan dalam bentuk analogi atau amsal. “Kita memahami bentuk rumah karena kita mengalaminya sendiri,” kata Sabrang. Namun, menjelaskan rumah kepada orang lain bukanlah hal yang mudah. Kita hanya bisa menggunakan blueprint, hanya gambaran soal rumah. Demikian pula dengan ilmu agama; informasi yang kita dapatkan sering kali sepotong-sepotong, dan tugas kita adalah menyatukan potongan-potongan itu untuk memahaminya secara utuh.
“Hidup hanya refleksi dari Tuhan,” tegas Sabrang. Hidup kita ibarat ember berisi air. Ketika bulan purnama datang, kita bisa melihat pantulan bulan di dalam ember. Namun, jika air dalam ember bergolak akibat nafsu kita, apakah bulan akan terlihat jelas? Tentu tidak. Puasa dilakukan untuk menenangkan air tersebut sehingga pantulan bulan menjadi jelas.
Kebutuhan puasa setiap orang bisa berbeda-beda, namun intinya sama: mengurangi ketergantungan pada impuls luar. Kita sendiri yang paling tahu cara puasa yang efektif untuk mencapai kejernihan. “Perhatikan apa yang membuat kita goyah dan lakukan puasa atas itu,” saran Sabrang. Banyak orang berpuasa dengan menahan makan dan minum sebagai bentuk latihan dasar menahan diri. Namun, ada variasi lain, seperti Syekh Belabelu yang justru berpuasa dengan makan karena nafsunya terletak pada puasa itu sendiri. Di era digital ini, puasa dari media sosial juga semakin relevan untuk menghindari FOMO (Fear Of Missing Out). “Kita sering lupa bahwa informasi dari dalam diri justru lebih penting,” tambahnya. Melalui puasa, kita dilatih menahan diri, menemukan keseimbangan, dan melihat refleksi kebenaran dengan lebih jernih.
“Jika kita mampu menemukan ketenangan, kita tidak hanya akan melihat refleksi bulan, tetapi juga seluruh jagad raya,” kata Sabrang. Ketenangan adalah kunci memahami esensi kehidupan serta menjaga nilai-nilai besar seperti keadilan, kepercayaan, dan cinta kepada bangsa dan Tuhan. Dengan menenangkan diri, kita bisa melihat arah perjuangan menuju Indonesia ideal—tempat mimpi para pendiri bangsa dan harapan rakyat terus bergema tanpa distorsi nafsu atau ketidakadilan.
Isi dan Asa
Malam semakin larut, kehadiran Krist Sagara membawakan beberapa lagu turut memberikan kehangatan. Suaranya yang khas berhasil membius penonton, menciptakan momen kebersamaan yang intim di tengah diskusi. Tidak hanya itu, Sabrang juga turut menghangatkan suasana dengan lagu Sebelum Cahaya bersama Krist Sagara.
Setelah sesi jeda berakhir, narasumber kembali naik panggung. Habib Ja’far yang baru saja datang, langsung naik ke panggung, membawa energi baru dalam forum. Selanjutnya, Sabrang meminta Seno, juru bicara PDI yang pernah aktif di Bang Bang Wetan, untuk bergabung di atas panggung. Kehadiran keduanya memberikan perspektif lain yang memperkaya diskusi, menjadikan sesi ini semakin dinamis.
Habib Ja’far mengawali diskusi dengan menjelaskan bahwa puisi lebih dari sekadar kata-kata; ia adalah perpaduan rasio dan spiritualitas. Kisah para nabi sering ditulis secara puitis karena prosa tak cukup untuk menangkap kedalaman maknanya. Dulu, ulama menggunakan puisi dalam debat agama, menciptakan keindahan sekaligus enkripsi. Namun, hari ini pendekatan itu jarang ditemui. Debat agama di media sosial cenderung langsung dan dipertontonkan.
Puasa, sebagai ibadah utama dalam Islam, juga harus dipahami secara puitis, bukan hanya teknis fikih. Anggapan bahwa setan “dipenjara” selama Ramadhan sering disalahartikan, karena keburukan yang terjadi berasal dari sifat buruk manusia sendiri. Puasa harus membakar penyakit hati dan dosa-dosa. Para sufi mengibaratkan puasa sebagai batu penahan balon—mencegah hati dan pikiran melayang akibat pengaruh perut yang penuh.
“Puasa minimal harus mencapai titik sosial, yaitu kemampuan mengendalikan relasi dengan baik,” kata Habib Ja’far. Lebih ideal lagi jika mencapai transformasi spiritual. Meskipun belum pada level tertinggi, puasa yang puitis setidaknya menumbuhkan empati. Melalui puasa, kita diajarkan merasakan lapar dan haus agar peduli pada penderitaan orang lain.

Selain itu, Habib Ja’far juga menanggapi judul Puisi Puasa yang mengandung dua hal penting: asa dan isi. Menurutnya, asa tidak akan pudar selama hati dipenuhi kehadiran Allah. Sebaliknya, putus asa terjadi ketika hati kosong dikuasai oleh iblis, yang secara bahasa berarti “putus asa”. Menjaga hati agar senantiasa dipenuhi Allah menjadi kunci untuk bertahan dan tidak putus asa.
Menurut para ulama, hati hanya bisa diisi satu “senyawa” pada satu waktu. Jika senyawanya adalah Allah, kebaikan akan mudah masuk. Namun, jika yang menguasai hati adalah iblis, hal-hal positif tidak akan mampu menembusnya. Itulah mengapa dalam tradisi sufi, proses spiritual dimulai dengan takhalli (membersihkan diri dari pengaruh buruk), dilanjutkan tahalli (mengisi hati dengan Allah), hingga mencapai tajalli (penyatuan dengan Allah). Orang yang sholat dengan khusyuk, misalnya, tidak akan melakukan korupsi karena ia menjaga hatinya melalui dzikir kepada Allah.
Tugas ulama seharusnya menyelamatkan yang sesat, seburuk apa pun kondisinya. Hari ini, sering kali kita malah mempersoalkan mereka yang sedang berusaha kembali ke jalan kebaikan. Padahal, orang yang memiliki iman dan harapan tidak akan pernah putus asa. Karena pada akhirnya Allah adalah sebaik-baik penjaga, dan Dia Maha Penyayang. Cinta Allah melebihi cinta kita pada diri sendiri. Oleh karena itu, pesan pentingnya adalah: “La tahzan innallaha ma’ana.” Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.
Politik, Ideologi, dan Nilai Bersama
Seno menyoroti puasa dalam fenomena sehari-hari, khususnya di Jakarta. Ia melihat Jakarta sebagai pusat perjuangan. “Banyak dari kita menjalani puasa sepanjang hari, menahan diri dari kemewahan Jakarta yang tak selalu bisa kita nikmati,” ujarnya. Namun, Kenduri Cinta menjadi ruang untuk merayakan penderitaan dan perjuangan bersama. Jakarta adalah kota para pejuang, tempat manusia nothing to lose berkumpul.
Meski dihadapkan pada krisis, penderitaan, dan ketidakpastian, kita tidak gentar. “Indonesia mungkin tertinggal dalam banyak hal, tapi tidak dalam ketahanan berpuasa,” tegas Seno. Puasa tertinggi adalah mengisinya dengan berpuisi, ekspresi spiritual dan intelektual yang melampaui kata-kata. Dari Maiyah, kita belajar bahwa di tengah perjuangan sehari-hari, puisi menjadi cara merawat harapan dan memelihara makna.
Diskusi kemudian berlanjut ke sesi tanya jawab. Aqil, jamaah yang tinggal di Depok, bertanya, ”Apakah ketika Allah ‘menahan’ azab-Nya hari ini adalah bentuk puasa Tuhan? Jika iya, lalu kapan Allah akan ‘berbuka’?”

Habib Ja’far menjawab, “Karena itu adalah permintaan Nabi Muhammad.” Hal ini menunjukkan betapa besar cinta Nabi kepada umatnya, seburuk apa pun kondisi kita. Habib Ja’far melanjutkan dengan riwayat yang menyebutkan bahwa di Padang Mahsyar kelak, umat manusia akan mendatangi para nabi untuk memohon syafaat, namun semua nabi akan menjawab, “Nafsi, nafsi.” Hanya Nabi Muhammad yang akan bersujud kepada Allah, memohon agar umatnya dimasukkan ke surga. Allah pun berfirman, “Angkat wajahmu wahai Muhammad. Mintalah apa yang kau minta. Syafaatilah siapa pun yang ingin kau berikan syafaat.”
Dalam kesempatan yang sama, Husein juga bertanya, “Jika berpuasa memberi makan ruh. Lalu, ke mana energi dari puasa ini dialirkan?”
Habib Ja’far kembali menjawab bahwa tenaga ruh yang kita dapatkan dari puasa digunakan untuk menuju Allah. Menurut ulama seperti Imam Abdullah bin Alawi Al-Haddad, perjalanan menuju Allah sangat jauh. Syaikh Akbar Ibnu Arabi bahkan menggambarkan bahwa ada 1000 tingkatan dalam perjalanan menuju Allah. Tingkat pertama saja digambarkan ketika seseorang mampu merasakan panas yang memancar dari apa pun yang haram. Karena perjalanan ini begitu panjang, maka bekal ruh harus diperkuat. Kuatkan ruh kita agar perjalanan ini bisa kita tempuh hingga akhir.
Iqbal juga turut serta bertanya dalam aspek politik, “Apakah pemimpin terpilih yang mengikuti retreat dapat dianggap sebagai bentuk puasa sehingga menunjukkan sikap ketaatan yang tinggi kepada pemimpinnya?”
Sabrang mengingatkan bahwa alasan utama seseorang bergabung dengan partai seharusnya adalah kesamaan ideologi, bukan kekuasaan. Dalam hal ini, ideologi menjadi “master,” bukan individu atau kekuasaan. Saat seorang pemimpin terpilih, ia harus mewakili seluruh rakyat, meski nilai-nilainya berasal dari partainya. Namun, banyak orang yang bergabung dengan partai demi kekuasaan, sehingga mereka lebih mengabdi pada individu daripada ideologi.
Banyaknya jumlah partai juga membuat perbedaan ideologis semakin kabur, menyisakan hanya simbol seperti warna atau logo. Sabrang menekankan bahwa jika partai-partai masih berpegang teguh pada ideologi, Maiyah harusnya menjadi tempat ideal untuk beradu pandangan. Namun, jika tujuan mereka hanya mencari kekuasaan, keberadaannya di Maiyah tidak relevan karena Maiyah memberikan kebebasan memilih tanpa paksaan.Sabrang menutup diskusi dengan pesan bahwa kita mengabdi pada nilai-nilai bersama, seperti mimpi Indonesia yang berlandaskan kebersamaan. Manusia menciptakan masalah dan bertanggung jawab menyelesaikannya. Meski Tuhan dapat turut campur, hal itu bukan karena keharusan, melainkan karena terharu atas usaha manusia. Usaha adalah bagian dari perjalanan hidup, meski hasilnya tak pasti. Forum ditutup khidmat dengan Indal Qiyam, lantunan Shohibubaiti, dan doa penutup pada pukul 3.20 dini hari. (RedKC/Haddad)