Puisi dan puasa. Dua kata yang pada pandangan pertama, tampak berdiri sendiri, namun di kedalaman makna, keduanya berkelindan dalam sebuah tarian reflektif. Seperti puisi, puasa adalah laku penciptaan: menahan, menimbang, menyusun, hingga akhirnya membentuk keindahan. Dalam sunyi yang terjaga, dalam jeda yang diciptakan, manusia belajar membentuk keseimbangan.
Kenduri Cinta edisi ke-254 di Taman Ismail Marzuki mengambil tajuk “Puisi Puasa”—sebuah tema yang tidak sekadar permainan kata, tetapi refleksi atas keseharian. Dalam forum ini, Maiyah kembali menghadirkan dimensi puasa yang lebih dari sekadar pergeseran jam makan. Sebagaimana Mbah Nun menulis dalam bukunya Tuhan Pun Berpuasa, puasa adalah latihan menahan, bukan hanya lapar, tetapi juga hasrat, ego, dan kecenderungan untuk berlebih-lebihan.
Dalam refleksi ini, kita menemukan bahwa puasa dan puisi adalah bentuk pengendalian diri. Puisi, dalam etimologinya, berasal dari kata to create—sebuah proses penciptaan yang membutuhkan kesadaran penuh. Sebagaimana seorang penyair menimbang setiap kata, memilih diksi yang tepat, dan mengatur irama, seorang yang berpuasa juga menjalani laku serupa. Ia mengelola keinginan, menakar kebutuhan, dan akhirnya menciptakan harmoni dalam dirinya.
Dalam diskusi di Kenduri Cinta pada 14 Maret 2025 itu, Karim, sebagai Pembicara pada sesi awal diskusi bertanya kepada jamaah: “Adakah di antara kita yang seumur hidupnya tidak pernah membaca puisi?” Pertanyaan ini menggugah, sebab tanpa sadar, kita semua pernah menyelami puisi dalam berbagai bentuknya. Entah dalam doa yang kita panjatkan, dalam bisikan hati yang sunyi, atau dalam refleksi terhadap dunia yang bergerak tanpa jeda. Puasa, dalam konteks ini, adalah puisi yang ditulis dengan laku, bukan dengan kata-kata.
Lebih jauh, diskusi menyinggung konsep keseimbangan dalam puasa. Jika organ tubuh manusia, seperti: gigi, alis, jari, kaki, dan sebagainya tidak pernah “berpuasa” dan terus tumbuh tanpa henti, maka keseimbangan akan terganggu. Begitu pula dengan manusia. Dalam sunyi puasa, kita belajar menakar batas, memahami bahwa hidup tidak hanya tentang menambah, tetapi juga tentang mengurangi, menahan, dan menyisakan ruang bagi refleksi.
Esensi puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus. Puasa adalah jembatan antara dimensi spiritual dan sosial. Dalam Islam, hubungan manusia dengan Tuhan hanya mencakup 3,5% isi Al-Qur’an, sementara 96,5% lainnya berbicara tentang hubungan antarmanusia. Maka, puasa tidak hanya tentang mendekatkan diri kepada Tuhan, tetapi juga tentang bagaimana kita mengelola hubungan dengan sesama.
Dalam tataran sosial, puasa adalah sebuah revolusi kecil yang idealnya menjembatani ketimpangan. Namun, di tengah laju zaman, sering kali makna ini tersisih. Ramadan yang seharusnya menjadi momen pengendalian diri justru diiringi dengan konsumsi berlebihan. Belanja meningkat, jamuan berbuka berlimpah, dan keheningan puasa seolah tergantikan oleh euforia yang paradoksal. Dalam refleksi ini, pertanyaannya menjadi tajam: apakah kita benar-benar berpuasa, atau sekadar “berpuas-kah”?
Nanda sebagai Pembicara sesi utama forum Kenduri Cinta, menegaskan bahwa Islam bukanlah agama yang baru lahir. Ia setua alam semesta, mengalir dalam setiap peradaban. Puasa pun demikian. Nabi Adam berpuasa dalam taubatnya, Sayyidah Maryam berpuasa dalam diamnya. Puasa bukan sekadar ritual, melainkan jalan sunyi menuju kasunyatan—kebenaran yang hakiki.
Pada akhirnya, puisi dan puasa sama-sama melatih kita untuk memahami batas. Seorang penyair menahan kata-kata yang berlebih, seorang yang berpuasa menahan diri dari keinginan yang meluap. Dalam jeda itu, keindahan lahir. Sebagaimana puisi, puasa adalah bentuk seni tertinggi dari pengelolaan diri. Sebab, di dalamnya, kita tidak sekadar menahan, tetapi juga mencipta: mencipta ruang untuk menjadi lebih manusia.