DI HADAPAN AIR YANG TENANG, bulan menemukan bayangannya sendiri. Tetapi jika permukaan itu bergetar—karena angin, karena riak, karena tangan manusia yang gelisah—pantulan itu pudar. Bukan karena bulan lenyap, tetapi karena medium yang menampungnya kehilangan keseimbangannya.
Begitu pula Indonesia hari ini—sebuah refleksi yang buram.
Dalam diskusi yang mengalir di Forum Kenduri Cinta edisi Maret 2025, Sabrang Mowo Damar Panuluh menyinggung politik, kepercayaan, dan mekanisme sosial yang tak ubahnya relasi personal. Negara, katanya, bukan sekadar struktur, melainkan ekosistem emosi. Hubungan rakyat dan pemerintah adalah hubungan suami-istri, dan di dalamnya ada harapan, ada pengkhianatan, ada kecemburuan yang tak terhindarkan.
Pernyataan politik yang viral bukan sekadar tentang kebenaran atau kekeliruan; ia adalah refleksi dari ketidakseimbangan relasi kuasa. Rakyat tak akan cemburu jika tak pernah berharap. Dan kekecewaan yang berulang adalah tanah subur bagi apatisme. Kita telah lama hidup dalam paradoks: negara menuntut kepercayaan dari rakyatnya, tetapi menolak transparansi sebagai balasannya.
Indonesia, sebagaimana dicita-citakan para pendirinya, adalah konstruksi gagasan. Presiden, para pejabat, sistem hukum—semua hanyalah instrumen yang bekerja untuk mendekatkan bangsa ini pada visinya. Tetapi ke mana sebenarnya kita melangkah? Apakah kita semakin dekat pada negara kesejahteraan, atau justru semakin jauh, terjerumus dalam siklus kegagalan yang berulang?
Di bulan Maret 2025 ini, paradoks itu terasa lebih akut: rakyat membayar pajak, pemerintah membagikan tunjangan hari raya, sementara korupsi tetap merajalela. Pajak adalah kontrak sosial, sebuah janji yang diikrarkan dengan keyakinan bahwa pengorbanan individu akan dikonversi menjadi kesejahteraan kolektif. Namun, ketika angka-angka dalam anggaran negara lebih menyerupai skema distribusi rente, bagaimana rakyat bisa bertahan tanpa merasa ditipu?
Indonesia tak pernah kekurangan gagasan. Seminar diadakan, diskusi digelar, naskah kebijakan disusun. Tetapi bangsa ini sering lupa bahwa ide hanyalah awal, bukan akhir. Nabi Muhammad tak mewariskan rancangan negara; yang ia tinggalkan adalah prinsip. Struktur pemerintahan bisa berubah—monarki, republik, atau yang lainnya—tetapi jika para pemimpinnya tak memiliki kejujuran sebagai landasan, sistem apa pun akan runtuh di bawah bobot kebohongan.
Kepercayaan, seperti air di dalam gelas, bisa jernih atau keruh. Dan hari ini, kepercayaan adalah barang langka. Dulu, sebelum algoritma mengatur segalanya, kita menawar harga ojek karena kita tak sepenuhnya percaya kepada pengemudinya. Pengemudi pun ragu apakah penumpang akan membayar sesuai kesepakatan. Kini, teknologi telah mengambil alih fungsi kepercayaan: sebuah kontrak yang tidak perlu lagi diikat oleh janji lisan, melainkan oleh sistem yang tak berpihak.
Hukum semestinya bekerja dengan cara yang sama. Hakim tak boleh condong, hukum tak boleh sekadar alat legitimasi kekuasaan. Tetapi ketika pencuri ayam dihukum lebih berat daripada pejabat yang merampok miliaran, hukum kehilangan fungsinya. Di titik itu, institusi bukan lagi sarana keadilan, tetapi mekanisme untuk melanggengkan dominasi.
Pernah, kata Sabrang, ia hampir menyerah. Bagaimana mungkin membangun sistem keadilan yang imparsial jika manusia yang menjalankannya selalu tunduk pada kepentingan? Setiap upaya menciptakan lembaga pengawas justru melahirkan paradoks baru: siapa yang mengawasi para pengawas? Maka transparansi menjadi satu-satunya jawaban. Tetapi transparansi pun bukan tanpa risiko—sebab dalam negara, ada rahasia yang tak selalu bisa dibuka begitu saja.
Lalu, ke mana kita harus berpegang?
Jawabannya mungkin terletak pada puasa—bukan sekadar dalam arti ritual, tetapi dalam makna yang lebih subtil: menahan diri dari impuls yang menggoyahkan kejernihan. Puasa bukan semata menolak lapar atau dahaga; ia adalah upaya untuk meredakan riak dalam diri, agar air itu kembali jernih, agar refleksi kembali tampak tanpa distorsi. Jika nafsu kuasa menguasai seorang pemimpin, bagaimana mungkin ia mendengar suara rakyatnya dengan jernih?
Setiap orang punya bentuk puasanya masing-masing. Ada yang menahan makan, ada yang menahan bicara, ada yang menahan diri dari media sosial agar pikirannya tidak dihantam gelombang informasi yang membingungkan. Tetapi esensinya tetap sama: puasa adalah latihan untuk mencapai kejernihan.
Sebab hanya dalam kejernihan, kita bisa melihat bayangan yang sebenarnya.
Indonesia hari ini bukanlah negeri yang kekurangan cahaya, tetapi negeri dengan cermin yang bergetar. Sebuah negara yang sering kali terlalu gaduh dengan ambisi, terlalu riuh dengan kecemasan, hingga kehilangan kepekaan terhadap pantulan dirinya sendiri.
Dan jika kita cukup sabar untuk menenangkan air itu, mungkin, di akhirnya, kita bukan hanya bisa melihat bulan—tetapi juga seluruh semesta.