KATA-KATA SELALU TERTINGGAL dalam menangkap yang tak kasatmata, namun ia terus dipaksa mengartikulasikannya. Seperti itulah puasa—ia bukan sekadar abstain dari makanan dan minuman. Jika hanya demikian, ia berhenti sebagai rutinitas biologis. Puasa sejati adalah perlawanan terhadap kepemilikan yang instan, sebuah pengosongan yang justru menyempurnakan isi.
Habib Ja’far Husein berbicara tentang puisi dan puasa pada Forum Kenduri Cinta Edisi Maret 2025, tentang bagaimana ia pernah terbiasa menjadi bagian dari perdebatan teologis dan cerita serta narasi ulama yang dibungkus dengan puisi atau syair. Para ulama menata kata-kata dalam baris-baris puitis, membentuk hujjah yang lebih dari sekadar argumen. Puisi tidak hanya menampung makna, tapi juga menyembunyikannya. Semacam enkripsi yang hanya bisa dipecahkan oleh yang bersedia mendengar dengan lebih dari sekadar telinga.
Kini, perdebatan agama telah bergeser. Media sosial meluruhkan lapisan-lapisan kehalusan itu. Tidak ada lagi ruang bagi enkripsi, karena yang kita inginkan bukan pemahaman, melainkan kepastian. Pertentangan di layar kaca dan ponsel kita bergerak dalam dikotomi yang sederhana: benar atau salah, hitam atau putih, beriman atau kafir. Puisi pun tersingkir, sebagaimana puasa sering kali dipahami sebagai perkara fikih belaka.
Habib Ja’far mengingatkan: puasa adalah kerja sunyi. Ia menahan yang tak terlihat, mengikis sesuatu yang lebih licin daripada sekadar keinginan makan dan minum. Setan, katanya, tidak benar-benar dipenjara di bulan Ramadan. Keburukan tetap terjadi, sebab ia bukan hanya berasal dari luar, tetapi juga dari dalam diri manusia sendiri. Puasa seharusnya mengikis kerak hati yang selama ini terakumulasi oleh kerakusan dan kesementaraan.
Dalam tafsir para sufi, puasa adalah upaya menjinakkan yang liar. Ia tidak sekadar mengajarkan kita tentang lapar, tetapi tentang mengisi kekosongan dengan sesuatu yang lebih bermakna. Asa dan isi, kata Habib Ja’far, harus berjalan beriringan. Putus asa terjadi bukan karena kita kekurangan sesuatu, tetapi karena kita merasa kosong tanpa isi yang sejati. Pada “isi” itu, dalam kepercayaan yang lebih luas, adalah sesuatu yang melampaui diri sendiri—entah itu Tuhan, makna, atau kebersamaan.
Habib Ja’far menekankan bahwa puasa tidak boleh berhenti pada dimensi fisik semata. Puasa yang sejati adalah perjalanan menuju pemurnian diri. Ia mengingatkan bahwa dalam tradisi tasawuf, puasa bukan hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan hati dari kegelisahan, menahan pikiran dari prasangka, dan menahan lisan dari ucapan yang menyakiti. Puasa adalah sarana membersihkan hati agar layak diisi oleh kehadiran Tuhan. Dalam istilah sufi, proses ini disebut takhalli, yaitu mengosongkan diri dari segala yang buruk sebelum akhirnya diisi dengan keindahan ilahi (tahalli), hingga mencapai tajalli, yakni penyatuan dengan cahaya ketuhanan.
Lebih jauh, Habib Ja’far menguraikan bahwa dalam pemahaman sufistik, manusia memiliki dua dimensi: jasmani dan ruhani. Jasmani diberi makan dengan makanan, sementara ruhani diberi makan dengan makna. Puasa, dalam esensinya adalah menempatkan dua aspek ini dalam keseimbangan. Ia bukan sekadar kelaparan fisik, melainkan kelaparan spiritual yang harus dipenuhi dengan kebijaksanaan, refleksi, dan cinta kasih kepada sesama. Itulah sebabnya, dalam banyak ajaran tasawuf, puasa menjadi alat untuk menundukkan ego, untuk menempatkan diri dalam keheningan, dan untuk mendengarkan suara yang lebih dalam dari sekadar kebutuhan duniawi.
Habib Ja’far juga menekankan pentingnya dimensi sosial dalam puasa. Ia bukan hanya latihan individu, tetapi juga latihan kolektif. Puasa mengajarkan kita untuk berbagi, untuk memahami bahwa lapar bukan sekadar ritual, tetapi juga realitas yang dialami oleh banyak orang setiap hari. Puasa, dalam pengertian ini, menjadi jembatan antara kesadaran spiritual dan kesadaran sosial. Ia mengingatkan kita bahwa keimanan yang sejati bukanlah yang terisolasi dalam ibadah pribadi semata, tetapi yang terwujud dalam tindakan nyata untuk membantu sesama.
Dalam pemahaman yang lebih mendalam, hati adalah ruang yang hanya bisa diisi satu hal dalam satu waktu. Jika ia penuh oleh kecemasan, maka harapan tak bisa masuk. Jika ia dipenuhi iblis—yang dalam etimologi bahasa berarti ‘putus asa’—maka segala hal baik menjadi sia-sia. Maka, puasa bukan sekadar tentang menahan, tetapi juga tentang memilih. Apa yang ingin kita isi dalam kekosongan ini?
Habib Ja’far mengingatkan bahwa tugas seorang ulama, seperti tugas seorang penyair, bukanlah menghakimi. Tugasnya adalah menyelamatkan, menunjukkan jalan, mengajak mereka yang tersesat kembali. Tetapi sering kali kita lebih sibuk menghitung dosa orang lain, mempertanyakan ketulusan mereka yang ingin kembali, daripada membuka ruang bagi harapan. Padahal iman selalu punya satu teman: harapan. Bagi mereka yang masih memiliki keduanya, tidak akan pernah benar-benar hilang.
Pada akhirnya, puasa tak meminta kita untuk sekadar lapar. Ia meminta kita untuk hadir. Sebagaimana puisi tidak bisa hanya dibaca, tapi juga dirasakan. Sebagaimana iman tidak sekadar diyakini, tapi juga dijaga. Pada titik itu, kita menemukan makna yang tak bisa sekadar dijelaskan oleh kata-kata.
Dalam sunyi puasa, dalam jeda antara lapar dan makna, kita menemukan kembali diri kita sendiri.