Kenduri Cinta edisi Maret 2025 bertajuk “Puisi Puasa” tak dapat dipungkiri berjejak pada pemikiran Emha Ainun Nadjib dalam “Tuhan pun Berpuasa”, yang mengelaborasi puasa sebagai cara Tuhan mendidik manusia tentang batas, keseimbangan, dan kebebasan yang sejati. Gagasan ini kemudian bersanding dengan makna kata “puisi”, yang menghadirkan puasa bukan sekadar sebagai ibadah, tetapi juga sebagai seni hidup—sebuah laku yang menciptakan jeda agar kebijaksanaan tumbuh, keheningan berbicara, dan agar manusia menyadari bahwa dalam menahan tersimpan penemuan, dalam diam tersembunyi pemahaman, dalam keterbatasan justru terbentang keluasan makna.
Dalam sejarah peradaban, perdebatan acapkali berpusat pada dikotomi antara benar dan salah. Namun, semakin tinggi jenjang pemikiran, manusia mulai memahami bahwa yang lebih mendasar adalah dialektika antara yang baik dan buruk, antara yang bijaksana dan sia-sia. Di puncak perenungan itu, kebijaksanaan menemukan manifestasinya dalam keindahan—dan dalam praktik puasa, keindahan itu bersemayam dalam bentuk yang paling subtil.
Puasa bukan sekadar latihan asketisme, bukan pula semata-mata ritual penahanan jasmani. Ia adalah isyarat metafisik dari Tuhan bahwa tatanan semesta bekerja dalam prinsip pengendalian. Alam raya tidak bergerak dalam chaos, melainkan dalam harmoni keterbatasan yang memungkinkan keseimbangan. Jika gravitasi tak menahan, jika rotasi dan revolusi tak diatur dalam perhitungan yang presisi, maka keteraturan akan luruh dalam kehancuran. Demikian pula manusia, yang dihadapkan pada dua arus besar: dunia yang menggoda untuk melampiaskan hasrat, dan agama yang membimbing untuk menahannya. Dalam ketegangan antara konsumsi dan kontemplasi, manusia dipanggil untuk memilih jalan menuju esensi dirinya.
Sejarah umat manusia adalah kisah panjang penaklukan atas hasrat. Tanpa kendali, manusia akan terjerembab dalam primitivisme instingtual yang liar, menjelma menjadi bagian dari alam yang buas dan tak terkendali. Revolusi puasa adalah ikhtiar epistemik untuk mengembalikan manusia ke poros keseimbangannya, menjembatani tauhid vertikal dan tauhid horizontal. Tauhid vertikal menegaskan kesadaran akan keberadaan Tuhan sebagai entitas transendental yang melampaui keterbatasan manusia, sementara tauhid horizontal menegaskan bahwa manusia adalah entitas sosial yang hidup dalam ekosistem kemanusiaan yang saling terhubung. Dalam praksisnya, puasa mengajarkan kedua prinsip ini secara simultan: menahan diri demi menggapai dimensi ketuhanan, sekaligus menahan serta mengendalikan diri demi harmoni sosial.
Dalam ranah eksistensial, puasa bukan sekadar pengosongan jasmani, melainkan juga proses deindividualisasi. Ia adalah upaya menanggalkan ego, membebaskan diri dari determinasi sosial, serta mereduksi keterikatan terhadap materialitas. Puasa adalah negasi terhadap hegemoni konsumtif yang menguasai peradaban modern, sebuah bentuk dematerialisasi yang memungkinkan manusia menapaki jalan spiritualitas yang lebih hakiki. Sebagaimana padi yang mengalami transformasi menjadi beras, lalu nasi, lalu bisa jadi bubur—berubah dalam bentuk, tetapi tidak dalam esensi—demikian pula manusia yang berpuasa mengalami metamorfosis menuju substansi yang lebih sublim.
Namun, jika manusia berpuasa, mungkinkah Tuhan pun berpuasa? Tentu, Tuhan tidak mengenal lapar atau dahaga. Namun, dalam kemahakuasaan-Nya, Tuhan memilih untuk menahan diri. Ia dapat menciptakan dunia yang steril dari keburukan, tetapi Ia tidak melakukannya. Ia dapat mengintervensi setiap kebatilan, tetapi Ia menunda hukuman-Nya. Tuhan membiarkan manusia berproses, belajar dari kesalahan, mengalami keterjatuhan, meraba-raba dalam kegelapan sebelum menemukan kebenaran. Dalam penangguhan itu, terdapat kebijaksanaan ilahiah—sebuah bentuk puasa yang jauh lebih agung dari yang manusia pahami.
Tuhan menunjukkan sikap posesif terhadap puasa. Jika ibadah lain dipersembahkan kepada manusia dengan konsekuensi pahala yang terdistribusi, puasa justru diklaim sebagai milik eksklusif-Nya. Ia tidak membutuhkannya, tetapi Ia menghendakinya. Sikap ini bukan representasi dari defisit, tetapi dari kedalaman kasih sayang-Nya kepada manusia. Seolah-olah, dalam penghayatan puasa, manusia diajak untuk memahami hakikat kehidupan sebagaimana yang Tuhan kehendaki: bahwa hidup bukanlah pelampiasan, melainkan pengendalian. Bahwa kebebasan sejati bukan terletak pada tiadanya batasan, tetapi pada kesanggupan untuk menahan diri.
Allah sendiri memberikan teladan tentang puasa dalam manifestasi paling sublim. Ia menerbitkan matahari tanpa pamrih, meski manusia kerap lalai mensyukurinya. Ia mencurahkan rahmat tanpa mengalkulasi pengkhianatan manusia terhadap hukum-hukum-Nya. Ia menahan murka-Nya, padahal terdapat alasan rasional yang tak terhitung banyaknya untuk melenyapkan peradaban yang sarat ketamakan. Tuhan berpuasa, sebab jika Ia tidak menahan diri, kita mungkin sudah sirna sejak lama.
Dalam perjalanan spiritual ini, ada harapan bahwa manusia tidak sekadar bergerak dalam tataran hukum dan etika, tetapi benar-benar mencapai kesadaran tertinggi: takwa yang sejati. Revolusi puasa adalah resistensi terhadap hedonisme yang menjebak manusia dalam siklus kepuasan semu. Ia adalah latihan untuk melampaui godaan duniawi, membangun ketangguhan batin, serta mendekati makna eksistensi yang lebih abadi. Sebagaimana Tuhan yang menahan diri, manusia pun diajarkan untuk menahan—demi kebijaksanaan, demi keseimbangan, dan demi keindahan yang lebih luhur.
(RedKC/Ansa)