Hendri Satrio diberi sebuah pertanyaan oleh Hadi Aksara yang memoderasi Kenduri Cinta edisi Januari 2024 lalu. Hadi menanyakan, bagaimana menurut Hendri Satrio mengenai Kenduri Cinta sebagai sebuah forum, apakah secara konsep komunikasi publik sudah benar atau belum? Bagi orang yang pertama kali datang ke Maiyahan, Hendri Satrio tidak terlalu sulit untuk menjawab pertanyaan itu. Ia jawab dengan pernyataan yang singkat: “Bagaimana mungkin saya tidak menjawab ini nggak benar, yang datang orang sebanyak ini, kalau nggak benar kan nggak ada yang datang”, ungkapnya.
Hendri Satrio kemudian berkelakar: “Yang datang ini nggak dikasih makan, kan? Nggak dibagi-bagi sembako kan?”, dan langsung disambut tawa jamaah yang hadir malam itu. Dan memang begitulah adanya Maiyahan selama ini. Jamaah Maiyah yang datang ke Padhangmbulan, Mocopat Syafaat, Kenduri Cinta dan forum Maiyahan lainnya bukanlah jamaah yang dimobilisasi, apalagi diiming-imingi akan mendapat sesuatu jika datang ke Maiyahan. Kita semua, sebagai Jamaah Maiyah secara sadar datang atas kemauan kita sendiri. Kita keluar biaya sendiri, minimal untuk beli bensin kendaraan, atau untuk beli kopi saat di lokasi.
Begitu juga dengan narasumber. Mereka datang membawa ide dan gagasan yang akan disampaikan. Dengan tanggung jawab masing-masing. Apa yang disampaikan harus bisa dipertanggungjawabkan. Sementara bagi audiens, tidak ada paksaan untuk sepakat dengan apa yang disampaikan oleh narasumber. Jamaah Maiyah, seperti yang seringkali ditekankan oleh Mbah Nun, memiliki kedaulatan penuh untuk menentukan apa yang akan mereka ambil dari Maiyahan, nilai mana yang akan mereka sepakati, dan mana yang akan mereka tinggalkan. Maka di Maiyahan seperti Kenduri Cinta ini tidak akan pernah ada doktrin, fatwa atau apapun itu yang sifatnya mengikat.
Hendri Satrio pun malam itu tampak santai-santai saja menyampaikan materi diskusi yang akhir-akhir ini memang sedang banyak diperbincangkan. Seperti dalam dokumentasi yang bisa kita saksikan pada salah satu video di Youtube caknun.com ini. Hendri Satrio tampak begitu bebas, menyampaikan paparannya, melontarkan celetukan-celetukan yang bisa jadi tidak akan sevulgar itu ia sampaikan di forum lain. Namun di Kenduri Cinta, ia sangat luwes menyampaikan itu, dengan santai.
Sementara, resiko yang sebenarnya sedang ia hadapi adalah, jika ada Jamaah yang tidak suka dengan apa yang ia sampaikan, bisa saja tiba-tiba ada yang meirngsek maju ke depan, kemudian menginterupsinya saat ia berbicara. Bahkan mungkin bisa lebih parah dari itu, ada orang yang tidak suka dengan apa yang disampaikan narasumber, kemudian maju ke depan mendekat ke panggung, lalu melempar sandal ke muka narasumber. Hal ini pernah terjadi ketika Mbah Nun dan KiaiKanjeng hadir dalam sebuah forum dimana salah satu pejabat daerah ikut duduk di sebelah Mbah Nun. Tiba-tiba ada seorang pemuda yang memang memiliki catatan ketidakbecusan pejabat itu dalam memimpin daerahnya, ia meringsek ke depan panggung dan melempar sandal ke hadapan pejabat itu. Tentu saja Mbah Nun dan KiaiKanjeng sigap merespons peristiwa itu, sang pemuda kemudian diamankan oleh KiaiKanjeng untuk ditenangkan di ruang transit.
Begitulah adanya forum Maiyahan. Siapapun boleh datang, siapapun boleh berbicara apa saja, dan sebaliknya Jamaah Maiyah sebagai audiens juga memiliki kebebasan yang sama untuk setuju atau tidak setuju. Bahkan atas ketidaksetujuan terhadap sebuah narasi yang disampaikan di forum Maiyahan, Jamaah Maiyah pun diberi hak untuk membantah. Kenduri Cinta sebagaimana forum Maiyahan yang lainnya sangat membuka kesempatan itu. Sehingga forum ini terbangun dalam nuansa ruang diskusi publik yang sangat terbuka. Tidak hanya egaliter untuk membuktikan kesetaraannya, tetapi juga memang menjadikan forum ini sebagai podium bagi siapa saja yang hadir. Dan tidak harus berbicara membincangkan tema-tema diskusi yang berat, para seniman pun memiliki ruang untuk menampilkan karya seninya di forum ini.
Di Kenduri Cinta edisi Januari lalu, dan seperti halnya forum-forum Maiyahan biasanya, saat sesi tanya jawab dibuka, selalu muncul pertanyaan-pertanyaan yang spontan, yang narasumber belum tentu menyiapkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Seperti yang bisa disaksikan dalam salah satu tayangan video di Youtube caknun.com ini, setelah para narasumber menyampaikan paparan tema diskusinya, mereka dihadapkan pertanyaan-pertanyaan yang diluar prediksi. Salah satu pertanyaan yang muncul saat itu adalah mengenai sebuah protes dari jamaah mengenai format Debat Calon Presiden dan Wakil Presiden yang dianggapnya tidak menampilkan substansi dari debat itu sendiri sehingga ia meminta agar format debat itu diubah. Sebuah pertanyaan yang tentu saja salah alamat, karena seharusnya pertanyaan atau protes itu ia tujukan kepada KPU selaku penyelenggara debat tersebut.
Namun bukan kemudian pertanyaan itu tidak direspon. Ismail Fahmi merespons bahwa sesungguhnya debat itu sangat diperlukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bangsa Indonesia ini bahkan lahir dari perdebatan-perdebatan anak muda yang sangat sehat. Menurut Ismail Fahmi, Bangsa ini memang harus dibenturkan pemikirannnya dan gagasannya. Namun, apa yang terjadi di debat Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden memang masih jauh dari kata ideal. Yang kemudian menjadi perdebatan publik pasca debat resmi itu justru celetukan-celetukan yang tidak perlu, kemudian dibahas berhari-hari, yang pada akhirnya juga menghilangkan substansi dari gelaran pesta demokrasi 5 tahunan ini.
Pilpres atau Pemilu, seharusnya menjadi ajang perdebatan untuk adu ide dan gagasan dari masing-masing kandidat. Bukan hanya Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden saja, tetapi juga dari Calon Anggota Legislatif yang juga akan bertarung memeprebutkan suara rakyat Indonesia pada Pemilihan Umum nanti. Namun, yang dipertontonkan ke publik ternyata bukan tentang perdebatan adu ide dan gagasan itu. Yang terjadi akhir-akhir ini justru perdebatan yang jauh dari substansi visi misi masing-masing Calon Presiden dan Wakil Presiden. Memang tetap ada, tetapi porsinya sangat sedikit. Publik hanya disajikan perdebatan-perdebatan yang sifatnya bertujuan untuk menunjukkan siapa yang menang siapa yang kalah, siapa yang akan dihina dan siapa yang akan menghina. Hanya berkutat di situ saja.
Dan jika kita melihat, bagaimana para politisi yang mewakili masing-masing Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden saat diundang dalam sebuah forum pun tidak kemudian mencoba menetralisir keresahan publik itu mengenai kurangnya visi misi mereka yang dibedah dengan detail. Yang terjadi justru seperti menyiram minyak ke dalam bara yang sedang menyala.
Sabrang turut merespons pertanyaan mengenai debat itu tadi. ”Kita bisa melihat respon para pemimpin kepada ’musuh debatnya’. Anda akan bisa membayangkan, kalau dia memimpin, kamu tidak setuju dengan dia, bakal aiapain”, ungkap Sabrang. Sejatinya, forum Debat itu dapat digunakan untuk mengasah kemampuan seseorang untuk merespon sebuah situasi yang rumit dalam waktu yang singkat. Dan kemampuan seperti itu sangat dibutuhkan dalam diri seorang Pemimpin. Pada edisi Kenduri Cinta bulan Desember 2023 lalu, Prof. Bagus Muljadi pun memaparkan pentingnya sebuah perdebatan dalam sebuah bangsa.
Sabrang kembali mengingatkan agar di Pemilu nanti kita harus memiliki preferensi dan alasan yang jelas mengapa kita memilih salah satu kandidat. Ide dan gagasan yang dibawa menjadi landasan bagi kita apakah pemikirannya sejalan dengan apa yang kita harapkan atau tidak. Tidak perlu kita membaca detail sekian ratus halaman visi misi yang sudah disusun oleh masing-masing kandidat, toh itu juga disusun oleh masing-masing tim suksesnya, tidak sepenuhnya disusun oleh masing-masing kandidat. Maka setidaknya, kita memiliki landasan atas dasar kesamaan visi dan misi kita sendiri mengenai persoalan-persoalan yang relate dengan kehidupan kita sehari-hari.
Karena memang tidak mungkin seseorang itu berkuasa sendirian. Seorang Pemimpin tidak mungkin berkuasa hanya dengan dirinya sendiri. Ia membutuhkan orang lain untuk berkuasa. Ia membutuhkan pihak lain untuk membantu menjalankan ide dan gagasannya.
Kita yang mungkin aktif di dunia pendidikan, sudah semestinya akan memilih kandidat yang memiliki rencana strategis yang baik tentang dunia pendidikan. Bagi yang memiliki concern di bidang isu perempuan dan kekerasan seksual, misalnya, pasti juga akan memilih salah satu kandidat berdasarkan paparan visi misinya yang membahas detail mengenai isu tersebut. Begitu juga seterusnya, diantara kita yang memiliki concern dalam dunia kesehatan, ekonomi, hukum, budaya dan lain sebagainya, sudah semestinya kita mempelajari ide dan gagasan dari masing-masing kandidat untuk kemudian kita menentukan, kandidat yang mana yang memiliki kesamaan ide dan gagasan dengan bayangan kita masing-masing. Jika tidak, maka kita hanya akan mengulangi kesalahan yang sama dari Pemilu sebelumnya, kita hanya memilih berdasarkan pilihan emocional saja, bukan berdasarkan rasionalitas kita dalam menentukan pilihan.
Sekarang ini, kita sangat mudah untuk mendapatkan informasi. Sabrang mencontohkan melalui teknologi AI yang saat ini ia juga sedang mengembangkan pada sebuah platform podium2024.id. Melalui teknologi AI itu, Sabrang menawarkan satu solusi kepada kita untuk memudahkan kita menentukan pilihan. Dan saat ini, begitu banyak platform-platform yang memanfaatkan teknologi termasuk AI yang memudahkan bagi kita untuk menentukan pilihan yang tepat, yang sesuai dengan kesamaan visi dan misi yang kita sepakati. Sehingga, kita sudah semestinya mencapai pada tingkat dimana kita bukan lagi memilih berdasarkan siapa orangnya, melainkan berdasarkan kesamaan ide dan gagasan yang kita bawa.
Kita memang saat ini belum benar-benar memilih berdasarkan kehendak kita. Kita hanya disodorkan pilihan yang sudah dimonopoli sebelumnya oleh elit politik di Negara ini. Tidak pernah ada partai politik yang sebelumnya mengajak kita berdiskusi dan rembug untuk menentukan kandidat yang akan mereka usung. Mereka sendiri yang ribut sendiri, kemudian menentukan kandidat berdasarkan kepentingan politik yang tentu saja menguntungkan mereka sendiri, lalu kemudian menyodorkan kepada publik, lantas melemparkan pilihan-pilihan itu dengan dalih: ”Rakyat bebas untuk menentukan pilihannya”.
Absurd memang. Kita sama sekali tidak pernah diajak berdiskusi, kemudian dipaksa untuk memilih pilihan yang ada.
Kembali ke pembahasan mengenai debat, Sabrang menegaskan bahwa memang kita ini tidak terbiasa berdebat karena kita tidak terbiasa berbeda pendapat. Pemimpin seharusnya menyadari bahwa sebuah ide tidak datang hanya dari dirinya sendiri. Ketika ide dan gagasannya didebat oleh orang lain, seharusnya jangan dimasukkan ke hati. Secara rasional, ide dan gagasan itu akan berkembang setiap hari. Sangat mungkin terjadi ide dan gagasan dari salah satu kandidat jika dikombinasikan dengan ide dan gagasan kandidat yang lain justru bisa saling melengkapi.