Beberapa waktu lalu, 2 atlet Indonesia berhasil meraih medali di Olimpiade 2024 yang dihelat di Paris. 2 medali emas dan 1 medali perunggu. Salah satu kebanggaan seluruh bangsa saat Olimpiade berlangsung adalah ketika lagu kebangsaan dinyanyikan, karena hanya Negara yang berhasil meraih medali emas saja yang lagu kebangsaannya dinyanyikan sesaat setelah penyerahan medali. Dan pada momen itu, banyak dari kita ikut terharu, bahkan tidak sedikit dari kita yang meneteskan air mata karena bahagia.
Padahal, kita sebelumnya sama sekali tidak mengenal dekat atlet yang meraih medali emas tersebut. Tapi, ada imajinasi tentang nasionalisme dan kebangsaan yang sama, yang kemudian kita bersepakat untuk memiliki kesamaan terhadap keyakinan tentang kerelaan untuk membela, bahkan rela mati demi bangsa dan negara. Sehingga, momen-momen heroik seperti momen Olimpiade itu menjadi salah satu momen dimana kita bersama-sama bisa merasakan rasa yang sama.
Bahkan mungkin, kita juga tidak pernah menyaksikan cabang olahraga yang kemudian 2 atlet Indonesia: Veddriq Leonardo pada cabang olahraga Panjat Tebing dan Rizky Juniansyah pada cabang olahraga Angkat Besi. Mayoritas dari kita tentu lebih banyak menyaksikan cabang olahraga Bulu Tangkis, yang kemarin salah satu atlet kita, Gregoria Mariska Tunjung berhasil meraih medali perunggu. Tapi, kita bisa merasakan atmosfer yang sama saat menyaksikan mereka bertanding di arena pertandingan Olimpiade.
Narasi tentang Nasionalisme adalah narasi yang sudah digagas sejak lama. Indonesia memiliki jalan panjang sejak era Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928 hingga Proklamasi 1945. Pun hingga hari ini, narasi tentang nasionalisme itu masih tetap ada. Kenduri Cinta edisi Agustus kali ini hendak mengupas kembali, seperti apa sebenarnya sebuah Negara itu digagas pada awalnya. Hingga akhirnya semua bersepakat untuk bersama-sama mendirikan sebuah Negara, dan menunjuk beberapa orang untuk memimpin sebuah Negara. Jika kita melihat ke belakang, Proklamasi 1945 diproklamirkan dalam kondisi bangsa yang tidak mudah. Proklamasi yang didengungkan pada 17 Agustus 1945 jam 10 pagi, tidak lantas bisa didengar langsung oleh seluruh masyarakat di Nusantara saat itu. Terlebih, saat itu masih dalam masa penjajahan Jepang. Bahkan Belanda pun masih belum benar-benar angkat kaki dari Nusantara. Tapi akhirnya, seluruh wilayah dan juga kerajaan di Nusantara saat itu bersepakat untuk bersatu dalam naungan Republik Indonesia. Bung Karno saat itu memekikkan pernyataan yang begitu tegas dalam naskah Proklamasinya: Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dll, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Sampai hari ini, yang kita fahami dari narasi pemindahan kekuasaan tersebut adalah pemindahan kekuasaan dari penjajah ke suasana yang merdeka dari penjajah. Padahal, saat itu di Indonesia ada banyak kekuasan-kekuasaan pada kerajaan-kerajaan yang tersebar di seluruh wilayah. Apakah kekuasaan itu juga yang kemudian dipindah tangankan? Dan ada banyak lagi penjelasan-penjelasan akademis mengenai pemindahan kekuasaan itu. Hingga pada akhirnya, Republik Indonesia ini pun melewati jalan terjal yang tidak mudah. Secara sistem pemerintahan, Indonesia pernah menjalani sistem Presidensial, kemudian mencoba sistem Parlementer, lalu hingga hari ini Presidensial. Tentu saja, sejak awal para pendiri bangsa ini mencari sistem politik yang akan diterapkan, dan akhirnya memutuskan bahwa Demokrasi adalah yang dipilih.
Dan hari ini, narasi tentang Nasionalisme, Demokrasi, semakin terkontaminasi dengan situasi politik yang terjadi. Semua narasi itu sudah tidak murni lagi seperti awalnya. Tentu saja, dengan berjalannya waktu, dan semakin banyak kepala yang mengurusi Negara dan memiliki kekuasaan untuk berkuasa, akan semakin banyak hal yang berevolusi dan berkembang. Sebuah konsekuensi logis dari berjalannya sebuah peradaban.
Mencari Alasan Kembali untuk Bernegara
Malam itu hadir di Kenduri Cinta dr. Ryu Hasan, salah satu neuroscientist dengan jam terbang tinggi di Indonesia. Beliau malam itu mengawali paparannya dengan contoh empirik yang dialami sendiri tentang social orientation disorder. Saat masih muda, dr. Ryu sangat mengagumi Bob Marley dan Che Guevara, sampai memasang foto kedua tokoh tersebut di kamarnya. Saat itu, dr. Ryu selalu membela mati-matian Bob dan Che jika ada orang yang menjelek-jelekkan kedua tokoh yang dikagumi itu. Bahkan, dr. Ryu saat ada orang yang menjelek-jelekkan kakek dan orang tuanya, lebih merasa biasa saja, bahkan dengan entengnya menimpali; “Memang jelek”. Hingga pada satu momen, dr. Ryu merasa ada yang salah, sehingga kemudian beliau mengganti foto Che dan Bob di kamarnya dengan gambar Lunar Module Appolo 11. Setelah itu, dr. Ryu merasa biasa-biasa saja ketika ada orang menjelek-jelekkan Che dan Bob.
Dan itu yang juga masih terjadi akhir-akhir ini dan dialami oleh anak-anak muda yang begitu menggandrungi K-Pop. Begitu mati-matian dibela, padahal mengenal secara dekat pun tidak. Namun demikian, dari Point of View yang lain, dr. Ryu merasa memang itu salah satu pondasi kapitalis hari ini. Adanya idol terbukti memutar roda perekonomian. Berapa banyak uang yang berputar pada industri K-Pop hari ini? Begitu banyak putaran uang itu dan menghidupi banyak orang. Setidaknya, dari POV tersebut, kita bisa melihat bahwa ada dampak ekonomi yang bisa dimanfaatkan.
Sedikit berbelok, dr. Ryu bercerita momen satu pertemuan dengan Cak Nun saat di Malang, pada medio 89 akhir, saat itu Cak Nun sedang rokokan di rumah Cak Fuad, sedang ngambek karena sebagai anggota ICMI tetapi dilarang masuk pertemuan ICMI karena mengenakan celana jeans. Memang, saat itu Cak Nun dimasukkan ke dalam struktur pengurus ICMI oleh B.J. Habibie, bersama beberapa tokoh yang lain. Pada pertemuan di Malang yang saat itu Cak Nun dilarang masuk karena Presiden Soeharto saat itu hadir, sementara protokoler kepresidenan mengharuskan tamu undangan mengenakan celana kain. Tentu saja Cak Nun lebih memilih untuk tidak mengikuti acara tersebut, dan memilih untuk rokok’an saja di rumah Cak Fuad.
Momen pertemuan secara langsung antara dr. Ryu dengan Cak Nun memang terjadi lebih dari 30 tahun lalu, diakui oleh dr. Ryu, setelahnya hanya bertemu Cak Nun melalui tulisan-tulisan di media massa. Dan memang dr. Ryu ini juga lain dari orang yang biasanya mengenal Cak Nun dari tulisan atau buku-buku. Biasanya, orang saat ditanya mengenal Cak Nun dari buku apa atau dari tulisan apa, banyak menyebut buku yang berjudul: Slilit Sang Kiai. Sementara dr. Ryu sangat terkesan dengan karya Cak Nun yang terkumpul dalam buku Arus Bawah. Sebuah buku yang menurut dr. Ryu mengkritik penguasa Orde Baru dengan pasemon yang keras namun dibalut dalam cerita pewayangan. Bagi orang yang tidak suka dengan cerita wayang, buku Arus Bawah tentu bukan buku yang menarik untuk dibaca.
Ditanya mengenai otak kanan dan otak kiri, dr. Ryu menjawab dengan tegas bahwa istilah itu tidak ada. Hanya mitos. Karena manusia itu sebenarnya menggunakan otak 100%. Melalui khasanah sains, dr. Ryu menjelaskan banyak hal mengenai struktur otak malam itu di Kenduri Cinta. Hal lain yang dijelaskan oleh dr. Ryu adalah, bahwa otak itu tidak bisa membedakan benar atau salah, otak dalam manusia hanya mampu memilih hal-hal yang disukai.
“Hampir semua orang menganggap bahwa dirinya adalah pusat alam semesta”, lanjut dr. Ryu. Membincangkan Negara, dr. Ryu menukil pembukaan dalam Undang-Undang Dasar 1945: “Bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa”, kemudian dr. Ryu berkelakar: “Kalau suku Jawa ingin merdeka, mau apa kalian?”. Grrrrrrr……
Juga mengenai Negara, dr. Ryu menyampaikan bahwa sebelumnya Negara itu tidak ada. “Negara itu pernah nggak ada, terus diada-adakan supaya kita punya alasan untuk ngumpul bareng”, sebut dr. Ryu. Yang kemudian oleh Yuval Noah Harari menyebut ada sebuah konsep berupa realita inter subjektif, sesuatu yang manusia mengada-adakan sehingga kemudian benar-benar ada, dan salah satu contohnya adalah Negara. Juga Indonesia ini, dr. Ryu mencontohkan pada 17 Agustus 1945 jam 07.00 pagi saat itu Indonesia belum ada, baru kemudian pada 17 Agustus 1945 jam 10.00 Indonesia menjadi ada, setelah Bung Karno membacakan naskah Proklamasi. Indonesia mendadak ada, dan kemudian saat itu ada orang yang rela mati untuk Indonesia yang dua jam sebelum Proklamasi itu Indonesia sendiri belum ada.
Membela mati-matian tentang sesuatu yang awalnya tidak ada dicontohkan oleh dr. Ryu dalam hal lain: Sepakbola. Saat berada dalam teritori yang kecil, misalnya Persebaya dan Arema. Ketika batas teritorial yang digunakan adalah area kabupaten, maka rivalitas Persebaya dengan Arema akan memanas. Ketika teritorialnya diperbesar, maka Persebaya dan Arema akan bergabung menjadi Jawa Timur, sehingga akan berhadapan dengan Provinsi lain. Begitu juga saat teritorialnya diperbesar lagi: Indonesia, maka nasionalismenya akan semakin meluas, sehingga saat bertanding melawan Malaysia, semua bergabung dalam satu barisan untuk membela Indonesia. “Apakah itu semua penting? Penting. Karena kita bersatu dalam bernegara ini untuk bekerjasama”, lanjut dr. Ryu.
Ditambahkan dr. Ryu, keluarga adalah inter subjective reality terkecil dalam kehidupan manusia. Kemudian keluarga dengan keluarga yang lain berkumpul menjadi sebuah gerombolan, membesar menjadi suku, lebih besar lagi menjadi kedatuan, hingga akhirnya kita mengenal konsep bangsa. Seperti halnya kepercayaan, pada awalnya manusia memiliki kepercayaan animism, kemudian berkembang menjadi dinamisme, kemudian politeisme, dualisme hingga akhirnya monoteisme. Dan sekarang, dalam otak manusia meskipun sudah mempercayai monoteisme, tetapi masih menyimpan jejak-jejak animism, dinamisme dan keyakinan-keyakinan lainnya.
Sama halnya dengan uang. Semua orang percaya bahwa selembar kertas yang berwarna itu adalah media yang sah untuk bertransaksi. Keyakinan manusia terhadap Tuhan bisa berbeda, tetapi terhadap uang sama di seluruh dunia.
Kembali membahas otak, dr. Ryu menegaskan bahwa otak manusia tidak pernah dilatih untuk menerima konsekuensi. Sehingga angan-angan tentang kehidupan tertib tidak akan pernah tercapai. Sesederhana melatih diri untuk patuh terhadap lampu lalu lintas, itu saja kita masih belum banyak yang lulus. Terkadang kita melihat masyarakat di Jepang misalnya, kita anggap sebagai masyarakat yang tertib. Karena di Jepang, sejak kecil anak-anak sudah dilatih dan dibiasakan dengan hal-hal yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan berdampingan dengan orang lain. Terhadap barang yang bukan miliknya, anak-anak di Jepang sudah dilatih sejak dini untuk tidak menyentuh barang yang bukan miliknya. Sementara di Indonesia, ada barang ketinggalan, handphone misalnya, kemudian ditemukan orang yang bukan pemiliknya, dengan mudahnya akan sesumbar: rejeki anak sholeh.
Menurut dr. Ryu, Jepang, bahkan Finlandia itu tidak lebih baik dari Indonesia. Hanya saja, mereka berbeda. Tertibnya Jepang, bahagianya Finlandia belum tentu lebih baik dari Indonesia. Pada setiap kumpulan masyarakat, ada atmosfer yang dibangun secara berbeda dan memang mungkin cocok dengan iklimnya. Misalnya di Indonesia, mungkin memang yang cocok adalah atmosfer kompetisi, sehingga anak-anak sejak kecil pun sudah dilatih untuk berkompetisi di Indonesia. Tidak jarang ibunya atau bapaknya membanding-bandingkan pencapaian anak orang lain, tujuannya mungkin baik agar anaknya juga terpacu bisa mencapai apa yang sudah dicapai oleh anak tetangganya. Tetapi hal itu justru menihilkan sesuatu yang sebenarnya disukai oleh anaknya. Bisa jadi saat ia dibandingkan dengan anak tetangganya yang pandai menghafal Al Qur`an memang bukan disitu keahliannya, bisa jadi anaknya justru bisa berprestasi di bidang olahraga atau kesenian.
Malam itu dr. Ryu memang melontarkan statemen-statemen yang lebih banyak membongkar logika kita sebagai manusia pada umumnya. Yang mungkin tidak mudah diterima oleh sebagian dari kita. Salah satu yang disindir oleh dr. Ryu adalah mengenai campaign isu perubahan iklim, save the earth. Menurut dr. Ryu, tanpa adanya manusia bumi pun mampu menyelamatkan dirinya, bahkan dulu sebelum ada manusia bumi juga dalam keadaan yang baik-baik saja.
Dalam kerangka berfikir medis, dr. Ryu menegaskan bahwa memang sebenarnya apa yang kita lakukan sehari-hari sebagai manusia adalah dalam rangka menunda kematian. Ini dalam tinjauan ilmu biologi tentu benar adanya. Setiap hari kita bekerja, mencari uang, untuk makan dan minum, mencari kesenangan dengan menonton film, membeli jajan, ngopi di kafe kekinian, adalah dalam rangka menunda kematian. Seperti halnya dokter menangani orang yang sakit, diupayakan agar kematiannya bisa ditunda. Hingga pada saatnya, jika semua usaha sudah dicoba dan memang sudah tidak bisa diupayakan lagi untuk bertahan hidup, maka kematian akan datang. Sekali lagi, ini tinjauan ilmu biologi.
Intersection between rationality, faith, science and its manifestation as nationalism
Bagus Muljadi malam itu hadir lagi di Kenduri Cinta setelah sebelumnya ia hadir pada Kenduri Cinta edisi Desember 2023 lalu. Sebelum ia memaparkan materi yang disampaikan, ia menyimak puisi Cak nun yang dibacakan oleh Munawir. “Cak Nun mengawali dengan keresahan tentang definisi, arti dan makna. Orang Indonesia kurang canggih dalam bermakna”, Bagus mengawali. “Waktu Vreddiq, Rizky dan Gregoria meraih medali di Olimpiade, saya menangis. Padahal saya tidak mengenal dekat dengan mereka”, lanjut Bagus.
“Apa yang membuat rasa itu muncul, walaupun nggak kenal, walaupun berada di lintas geografis yang berbeda? Imaji, jawabannya. Imajinasi akan teritori yang sama, akan rasa susah yang sama”, lanjut Bagus Muljadi. Edward Said, seorang orientalist di Eropa menulis sebuah thesis dengan judul Imagine Geography, dimana dalam thesis tersebut Edward menganalisa bagaimana menjadi orang Eropa dan orang non Eropa serta kaitannya dengan kecintaan terhadap teritorial yang sama. Argumennya adalah bukan hanya mental dan kebudayaan, tetapi juga teritori. Ben Anderson memiliki pemahaman: Nation is imagine community. Bahwa setiap orang yang tergabung dalam sebuah kelompok memiliki imajinasi yang sama.
Filsuf terbesar di dinasti Abbasiyah, Al Farabi menyatakan bahwa imajinasi yang didukung oleh narasi dan cerita adalah domainnya agama. Filosofi yang didukung oleh logika abstraksi dan eksperimen adalah domainnya sains atau ilmu. “Saya khawatir saat kalian mendengar kata imajinasi itu disamakan dengan takhayul, hal yang untuk disingkirkan dan tidak mungkin dibawa ke masa depan. Kita harus berbangga atau malu dengan imajinasi kita?”, lanjut Bagus Muljadi.
“Al Farabi bukan orang yang tidak faham tentang filosofi, ia juga bukan orang yang tidak faham matematika. Demikian juga Abu Hamid Al Ghazali, ia bukan sekadar sufi, dia juga ahli kalam”, Bagus melanjutkan. Ia menceritakan bahwa beberapa waktu terakhir ia membaca buku Tahafut Falasifah karya Imam Al Ghazali. Dari buku itu ia kemudian mencari banyak informasi pada era keemasan Islam di abad ke-12, bahwa selain terjadi penaklukan-penaklukan militer, dunia sains saat itu pun berkembang, karena para ilmuwan-ilmuwan juga saling beradu wacana, sehingga khasanah keilmuwan saat itu juga berkembang pesat.
Berbicara tentang filosofi, Bagus Muljadi mencontohkan Pablo Picasso, seorang pelukis ternama yang menguasai teknik melukis namun pada akhirnya ia mampu melukis tanpa harus menggunakan teknik melukis yang ia kuasai, karena ia menggunakan filosofi dalam melukis lukisan yang kemudian menjadi karya-karyanya. “Bangsa kita kurang canggih dalam bermakna, Tidak canggih berdansa diantara imajinasi dan filosofi. Kalau teman-teman melihat kesana dari Cak Nun, dia seakan-akan menggambarkan bangsa ini adalah sebuah pohon yang besar, yang tumbuh di atas tanah yang tidak cocok, sehingga akarnya bukan akar tunggal, namun bercabang, sehingga setiap ada goyangan, pohon itu akan bergeser, kebijakannya latah. Siapa yang viral akan dianggap benar”, Bagus melanjutkan.
“Narasi dan imajinasi itu adalah cara pertama anak kecil memahami tentang etika. Itu adalah elemen penting dalam perkembangan kognitif manusia. Itu bukan sekadar takhyil dalam arti konotatif yang kita tahu sekarang”, lanjutnya. Bagus Muljadi kemudian menyoroti UKT yang naik di Indonesia beberapa waktu lalu menjadi perbincangan banyak orang, menurut Bagus Muljadi yang juga adalah seorang akademis, naiknya UKT di kampus yang kemudian tiba-tiba dibatalkan adalah contoh dari tidak adanya narasi yang digaungkan. Bagus Muljadi mencontohkan bahwa di Inggris, untuk menentukan biaya kuliah naik atau tidak pada sebuah kampus, masyarakat akan melihat terlebih dahulu bagaimana ranking kampus tersebut yang sebelumnya dinilai oleh pemerintah. Kinerjanya sebagai lembaga pendidikan akan menentukan naik atau tidaknya biaya kuliah. Juga akan dilihat apakah mahasiswanya juga merasakan fasilitas yang baik atau tidak, ditopang fasilitas riset yang bagus atau tidak, lulusan dari kampus tersebut berkualitas atau tidak, dan seterusnya. Dari berbagai pertimbangan itu baru kemudian akan diputuskan apakah biaya kuliah di kampus tersebut akan naik atau tidak. Sementara di Indonesia, tidak memiliki narasi yang jelas untuk memutuskan kebijaksanaan itu. Ketika UKT naik menjadi perbincangan banyak orang, kemudian pemangku kebijakan melakukan pertemuan lalu membatalkan kebijakan tersebut.
“Darimana kita tahu bahwa kita punya narasi yang hebat?”, Bagus Muljadi kemudian mencontohkan perbandingan antara kisah apik Mahabarata dengan sinetron kejar tayang. Jelas bukan perbandingan yang sepadan. Kisah Mahabarata memiliki alur cerita dan plot yang konsisten, membawa narasi yang kuat dan memiliki pesan yang ingin disampaikan ke publik. Ada narasi yang kuat yang dibawa di Mahabarata. Sementara sinetron kejar tayang hanya mementingkan rating dan bisa tayang sesuai jadwal. Ia tidak konsisten dengan narasi yang dibangun di awal, sehingga tidak ada pesan yang hendak disampaikan ke publik. Hanya memainkan emosi publik yang menontonnya. Maka kisah Mahabarata lebih abadi dibandingkan sinetron kejar tayang.
Bagus Muljadi mengajak jamaah Kenduri Cinta malam itu untuk memetakan apakah bangsa Indonesia ini memiliki narasi yang kuat, yang memiliki nilai serta memiliki makna dan tujuan yang jelas. Dari situ kemudian kita akan mampu menentukan apakah bangsa Indonesia ini memiliki narasi yang hebat atau tidak. Bagus Muljadi memberi contoh yang sangat relate dengan kehidupan sehari-hari. Seorang Ayah memiliki arti yang sangat kuat bagi anaknya. Jika si Ayah menghilang seminggu, anaknya akan mencari Ayahnya. Sang Ayah memiliki arti yang sangat dalam bagi anaknya. Bagaimana dengan Indonesia? Jika suatu saat Indonesia ini hilang, apakah kita sebagai rakyat akan mencari? Apakah dengan hilangnya Indonesia kemudian kita tidak bisa melanjutkan hidup kita? Silakan dijawab sendiri. “Kalau Indonesia besok tidak ada, adakah yang merasa kehilangan?”, lanjut Bagus Muljadi.
Berbicara peradaban dunia saat ini, Bagus Muljadi menggambarkan bahwa jika kita bertanya kepada orang China mereka akan menganggap bahwa mereka adalah pusat dunia saat ini. Secara ilmiah, tidak bisa dibuktikan bahwa China adalah pusat dunia. Tetapi secara narasi, mereka berani membuktikan bahwa mereka adalah pusat dunia saat ini. Kita menyaksikan peradaban mereka berkembang pesat, teknologi berkembang pesat, roda ekonomi dan perputaran uang sangat tinggi di China. Bahkan produk-produk buatan China sudah menjangkau hampir di seluruh dunia dan seluruh sektor. Di awal, dr. Ryu sempat berkelakar: “Pada mulanya Tuhan menciptakan langit dan bumi. Sisanya buatan China!”. Grrrrr….
Itulah yang disebut narasi. Rusia punya narasi, Amerika punya narasi. Ini bukan dalam rangka mempertanyakan apakah narasi mereka untuk kita setujui atau tidak, tetapi yang perlu digarisbawahi adalah bahwa mereka memiliki narasi yang kuat, sehingga sebagai sebuah bangsa mereka memiliki rencana dan tujuan hendak kemana melangkah. “Narasi itu tidak bisa dibuat dalam semalam”, lanjut Bagus Muljadi.
“Narasi yang kuat tidak bisa dikarbit, itu harus tumbuh dari dasar. Dari mana kapitalisme berasal? Dari mana the idea of free speech berasal? Menurut Max Weber berasal dari narasi yang keagamaan, religious narative, terutama dari orang-orang protestan yang berfaham calvinisme yang menganggap bahwa bekerja keras dengan menyembah Tuhan itu sama”, Bagus Muljadi menerangkan.
Jika kita melihat betapa besarnya narasi yang dibawa oleh Mahabarata, sebenarnya Indonesia juga memilikinya. Bagus Muljadi menyebut La Galigo milik masyarakat Bugis adalah sebuah epos yang justru jauh lebih panjang alurnya dari Mahabarata dan juga memiliki narasi yang kuat. Naskah aslinya ada di Leiden, Belanda. Bagus Muljadi beberapa waktu lalu pergi ke Pulau Satonde di NTB, di sana ia menemukan bahwa ada kumpulan mikroorganisme yang sepadan dan setara dengan mikroorganisme yang sudah punah 6 juta tahun yang lalu. Dan dari penelitian dari tempat itu menghasilkan banyak obat-obatan penyembuhan kanker.
Bagus Muljadi mencoba menceritakan betapa Indonesia memiliki kekuatan narasi yang sangat hebat, namun tidak dikelola dengan baik, sehingga tidak nampak bahwa Indonesia memiliki narasi yang kuat. Di Yogyakarta, menurut Bagus Muljadi, saat abad ke-8, masyarakatnya sudah memahami bahwa ada hubungan keterikatan yang kuat antara penguasa pantai selatan dengan gunung merapi. Sekian tahun kemudian ilmuwan Amerika meneliti bahwa ada celah jalur yang membelah dari gunung merapi ke pantai selatan yang bisa dilewati oleh magma saat gunung merapi erupsi. Pada sekian abad kemudian Mbah Marijan memiliki keyakinan bahwa ia mampu bertahan hidup dalam ketidakpastian, sementara sebagian dari kita menganggap bahwa Mbah Marijan hanya menyebarkan takhayul.
“Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, bangsa yang hebat. Lalu mau diapakan? Imagine community itu membuat orang rela mati untuk negaranya. Narasi yang kuat yang dibawa apakah mampu membuat orang rela mati atau tidak. Negara kita bangsa yang besar. Lalu apa makna dan tujuannya untuk kita? Bangsa yang besar adalah bangsa yang bertanggungjawab. Bangsa yang besar memiliki makna hadir bagi rakyatnya. Dan saya ingin menyampaikan bahwa Indonesia adalah laboratorium dunia. Indonesia adalah tempat dimana orang mencari dan dapat jawabannya”, pungkas Bagus Muljadi.
Konsistensi Dalam Hidup Itu Penting
“Di setiap kepala manusia ada dunianya sendiri. Ada pengalamannya, ada kesimpulannya, dan memang berkumpulnya manusia akan seperti itu, masing-masing punya dunianya sendiri-sendiri dan kita saling ngintip satu sama lain”, Sabrang mengawali paparannya.
Forum Kenduri Cinta malam itu memang dihadiri narasumber yang beragam latar belakangnya, Sabrang melambari di awal paparannya karena mungkin saja ada jamaah yang baru sekali datang ke Kenduri Cinta, kemudian menyimak narasumber-narasumber malam itu yang memang sangat frontal dan saling berkebalikan antara satu dengan yang lainnya. “Kita hidup bareng-bareng kayak gini ini punya dunianya masing-masing yang semuanya benar dengan pengalamannya. Ada yang terekspos dengan banyaknya pengalaman kerja, ada yang terekspos karena banyaknya buku-buku yang dibaca, ada yang gampang cari informasi ada yang susah membaca tapi pengalaman hidupnya banyak, dan seterusnya, ini membuat hidup di dunia ini menjadi unik dan masing-masing benar pada konteksnya”, tambah Sabrang.
“Apa sih yang berbeda dari dunia ini? Kenapa manusia selalu mencoba membuat narasi? Mencoba ingin memperbaiki, ingin mencari yang benar. Saya merasa bahwa dalam dunia yang kita jalani ini kita mengalami sesuatu yang namanya konsistensi”, Sabrang melanjutkan.
“Dari seluruh pengalaman hidupmu ada yang namanya konsistensi alam semesta ini. Dari konsistensi, kemudian kita punya prediksi. Dari prediksi kemudian kita merasa aman, sedikit. Karena kita bisa mengetahui sedikit dari prediksi itu”, lanjut Sabrang. Maksudnya adalah bahwa karena kita sudah mengalami konsistensi, sehingga kita bisa memprediksi akan sesuatu hal yang menjadi dampak dari konsistensi itu, sehingga kita menjadi mengetahui sesuatu hal, meskipun hanya sedikit, namun bagian dari prediksi itu kemudian menjadi sesuatu yang terjadi secara faktual.
Kita pasti akan tidak nyaman jika tiba-tiba di jalan raya kita melihat Kucing terbang, burung melata, ular meloncat. Karena sesuatu yang tidak konsisten akan mengagetkan kita. “Saya mencoba menggali bahwa ternyata konsistensi itu penting. Konsistensi dalam menarasikan diri itu penting, sehingga kita hidup bisa lebih ‘nyaman’. Kemudian pada realita intrapersonal, pada realita kumpul sebagai Negara, kita kemudian membangun entitas yang bersedia mati untuk Negara”, lanjut Sabrang.
Membincangkan Indonesia, Sabrang suatu kali di Maiyahan pernah ditanya: “Emang masalah Indonesia itu apa? Kok kita belum pernah bisa mencapai apa yang seperti kita impikan?”. Ketika kita menuntut Negara belum berhasil mencapai cita-cita luhurnya, yang juga perlu kita pertanyakan adalah konsistensi dalam diri kita masing-masing. Ketika kita menuntut keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, apakah kita sendiri sudah berlaku adil? Pemerintah pun demikian, dijelaskan oleh Sabrang bahwa Pemerintah juga merupakan imagine community, sesuatu yang sebelumnya tidak ada kemudian kita adakan.
“Maiyah sendiri, tidak ngomong kemudian bahwa kita akan membereskan semuanya. Tapi Maiyah adalah tempat bagi kita untuk berefleksi, sebagai tempat untuk membagi dunia-dunia yang berbeda. Maiyah tidak mempunyai kewajiban pada setiap pertemuannya menghasilkan sebuah konklusi untuk menjadi kesepakatan bersama”, lanjut Sabrang. Karena sebagai forum terbuka, Kenduri Cinta dan juga Maiyahan di berbagai daerah memang menjadi arena untuk menguji konsistensi cara berfikirnya manusia. Setiap kita memiliki dunia kita masing-masing, ketika kita mendengar informasi di Maiyah yang bertabrakan dengan dunia kita, seharusnya pada saat itu juga kita memanfaatkan forum Maiyah untuk menguji konsistensi berfikir kita. Karena kebenaran yang kita yakini dan juga yang orang lain yakini juga bisa saja berkembang. “Sebuah konsistensi kebenaran tidak harus kita terima sebagai kebenaran dunia kita, tetapi kita bisa melihatnya sebagai sebuah konsistensi kebenaran yang berdiri sendiri. Tanda dari manusia yang dewasa adalah yang mampu menerima ide tanpa ada beban harus menerima atau menolaknya, tetapi memahami kebenaran sebagai kebenaran itu sendiri. Karena ketika kita sudah cukup dewasa untuk melihat itu semua kita menjadi cukup siap untuk melihat kebenaran yang lebih besar”, Sabrang menambahkan.
Pada akhirnya bukan tentang aku benar atau kamu benar, tetapi justru kita akan menemukan kebenaran yang paling banyak manfaatnya. Hidup kita itu penuh tipuan, apakah yang bekerja selalu senang dengan atasan kalian? Tapi apakah di depan atasanmu kemudian akan misuh-misuh? Dari satu perspektif, ketika kita berpura-pura sopan pada satu momen maka peristiwa itu adalah kriminal, karena kita berbohong. Dari sisi lain, kebohongan kecil itu pada beberapa individu di sebuah entitas melahirkan kestabilan. Mungkin ada karyawan yang tidak suka dengan atasannya, tetapi dia tetap mengimbangi dengan kinerjanya sehingga target perusahaan selalu tercapai. Ada konsistensi terhadap pekerjaannya ditengah pemberontakan dalam dirinya. Karena ada hal lain yang harus ia perjuangkan: menafkahi keluarga.
Sangat mungkin terjadi dalam kehidupan bernegara, jenis-jenis kebohongan-kebohongan itu terjadi. Dari perspektif lain bisa dikatakan adalah peristiwa kebohongan-kebohongan itu adalah dalam rangka upaya melahirkan kestabilan. “Tidak ada yang menanam pohon kemudian esok hari langsung berbuah. Sudah diklaimkan sama Simbah bahwa Maiyah ini adalah menanam pohon yang kemungkinan buahnya tidak dipetik oleh kita sendiri. Bisa dipetik oleh anak kita, bisa dipetik oleh cucu kita. Tetapi kalau pohon itu mengalami putus asa di tengah jalan, maka tidak akan ada yang mengalami buahnya itu”, lanjut Sabrang.
Sementara nasib manusia pun berbeda-beda. Ada manusia yang nasibnya susah mencari pasangan, tidak kaya dan tidak punya pekerjaan. Maka mimpinya adalah agar segera bisa menikah dan bekerja. Sementara ada manusia yang lain yang memiliki nasib memiliki wajah tampan dan rupawan, kaya raya, dan mudah menemukan pasangan, namun justru kemudian mencari artifisial tujuan hidup yang lain; ingin ditolak oleh perempuan. Sangat kontradiktif dan memang hidup ini penuh dengan paradoks. Sebelumnya, dr. Ryu menyatakan bahwa tidak penting memikirkan Negara, karena memang ada atau tidak adanya kita Negara pun akan berjalan seperti kodratnya. Tetapi ada alasan lain kenapa kemudian kita sampai hari ini masih Maiyahan, masih berbincang tentang Negara: mengisi kegiatan untuk menunggu kematian.
“Di balik semua permainan ini, kita tetap akan punya hidup yang akan mengalami kematian. Dan kita di depan mata punya cita-cita bersama untuk memperbaiki. Dari level personal, apa yang bisa kita lakukan: memahami banyak dunia agar kita bisa melakuan level imajinatif sebagai sebuah bangsa dan Negara. Maiyah semoga tetap menjadi lapangan kita bersama untuk having fun dan mengisi hidup dalam rangka antri menunggu mati”, pungkas Sabrang. Maiyah termasuk Kenduri Cinta semoga tetap menjadi sebuah arena untuk membuka dunia satu sama lain, untuk mengungkapkan cinta kepada Indonesia yang tidak ada dasarnya, dan kita akan terus melakukannya untuk kebaikan bersama, bukan tentang kebenaranku atau kebenaranmu.
Kenduri Cinta adalah Amigdala-nya Indonesia
Sebagai seorang komedian, Bintang Emon malam itu menjadi penyegar suasana, setelah narasumber-narasumber sebelumnya membahas hal-hal yang cukup berat. “Kita hadir di Kenduri Cinta ini untuk mendapatkan cipratan-cipratan kebijaksanaan, itu sudah cukup untuk kita pegang”, Bintang mengawali. Karena memang sejak awal datang ke Kenduri Cinta malam itu, saat di ruang transit, Bintang menyimak diskusi dan perdebatan antara dr. Ryu, Bagus Muljadi dan Sabrang mengenai sains. Yang dalam kacamata awam sudah pasti akan bergejolak dan berucap, untuk apa memperdebatkan hal-hal yang sudah pasti?
Momen malam itu diakui oleh Bintang sebagai titik awal dari perkenalan dirinya dengan Maiyah, Cak Nun, juga Kenduri Cinta. Ia sendiri mengakui awalnya mengenal Cak Nun dari seliweran konten di media sosial, hingga suatu hari ia bertemu dengan Bagus Muljadi dalam sebuah podcast, dan kemudian ia diajak oleh Bagus Muljadi untuk turut hadir di Kenduri Cinta edisi Agustus ini. “Saya rasa Kenduri Cinta ini adalah medium yang sangat luar biasa, bisa ngobrol dengan orang banyak dalam satu tempat, hadir dan mendengarkan”, lanjut Bintang. Tentu saja banyak celoteh dan kelakar Bintang Emon malam itu yang kemudian menyegarkan suasana Kenduri Cinta.
“Medium seperti Kenduri Cinta ini saya yakin sangat dibutuhkan untuk Indonesia untuk lebih diluaskan lagi. Seharusnya medium-medium seperti Kenduri Cinta ini untuk menguji siapa orang-orang yang akan memimpin kita kedepannya, untuk melihat bagaimana cara berfikirnya, kemampuan menyelesaikan masalah dan lain sebagainya”, Bintang berharap.
“Saya mungkin hidup belum cukup lama, tetapi saya memiliki keresahan di bawah payung yang sama dengan kawan-kawan di sini tentang bagaimana melihat demokrasi yang terjadi hari ini”, lanjutnya. Demokrasi ini seharusnya dibangun dalam koridor kekuatan dan kekuasaan tertinggi adalah di tangan rakyat, namun pada faktanya rakyat tidak benar-benar memiliki kedaulatan untuk memilih pemimpinnya. Hanya bisa menilai dari jauh, dan juga hanya bisa memilih pemimpin dari tokoh-tokoh yang sebelumnya sudah dipilih terlebih dahulu oleh partai.
Menyambung paparan Sabrang dan Bagus Muljadi sebelumnya tentang kesadaran dalam bernegara, Bintang Emon mengungkapkan keresahan bahwa kita memang sudah tidak bisa menolak fakta kita lahir di Indonesia kemudian kita diminta untuk bersaudara dari Sabang sampai Merauke. “Namun, sampai di titik mana kita harus bersaudara satu sama lain?”, Bintang melontarkan keresahannya. Kita yang hidup di Jawa menikmati banyak hal yang mungkin tidak dinikmati oleh saudara-saudara kita yang tinggal di pulau lain, bahkan mereka yang hidup di pulau 3T: tertinggal, terdepan, terluar. Kita di Jakarta menikmati akses internet yang cepat dan mudah, mereka yang di pulau lain belum tentu. Lantas, atas dasar apa mereka juga harus bertahan untuk tetap mencintai Negara ini?
Bintang Emon menarik refleksinya lebih personal, bahwa dalam kehidupan berkeluarga di keluarga kita masing-masing itu sudah sangat indah. Ia berharap bagaimana jika hubungan keluarga secara berbangsa dan bernegara juga dibalut dalam kasih sayang yang sama. Namun faktanya, yang berkeluarga sangat akrab dan penuh kasih sayang itu justru kita melihatnya dari hubungan para politisi lintas partai politik. Saat Pilpres kemarin bersebrangan, hari ini tampak begitu akrab satu sama lain.
“Saya pun sedang dalam proses mencari tentang apa yang harus diperbaiki dari keluarga besar Indonesia ini”, lanjut Bintang. Pada refleksi kehidupan sehari-hari, dari hal yang sederhana Bintang mencontohkan ada keresahan tentang kesalahan berfikir yang sudah berulang-ulang, tetapi sebagai rakyat kita juga tidak berani mengungkapkan. Ia mencontohkan ujian pembuatan SIM C untuk pengendara sepeda motor. Jika melihat langsung bagaimana proses ujian SIM C, tidak banyak orang yang mampu untuk lulus dari ujian mengendarai sepeda motor pada track yang sudah disiapkan oleh Korlantas POLRI. “Valentino Rossi aja mungkin tidak akan lulus”, kelakar Bintang.
Cak Nun pernah bercerita bagaimana Pak AR Fachrudin, salah satu tokoh besar Muhammadiyah, saat melewati track ujian SIM C itu justru beliau turun dari sepeda motor, kemudian menuntunnya. Lalu Polisi yang mengawasi bertanya: “Kok turun, Pak?”. Dijawab santai oleh Pak AR Fachrudin: “Lha saya ujian SIM ini karena ingin selamat, kalau saya ketemu jalan seperti ini ya saya mending turun dari sepeda motor dan saya tuntun sepeda motor saya”. Sebuah realita bahwa ketika aturan dibuat, seringkali pembuat aturan atau kebijakan itu tidak merasakan sendiri dampak dari aturan yang ditetapkan itu.
Begitu juga saat Pilpres kemarin, Bintang Emon sendiri dikirimi oleh banyak followersnya tentang kecurangan-kecurangan Pemilu bagaimana politik uang secara terang-terangan dilakukan oleh banyak politisi. Ada banyak bukti bertebaran, tetapi pada akhirnya tidak ada yang berani melaporkan ke Bawaslu. Aturannya ada, tempat aduannya ada, tetapi tidak ada yang berani melaporkan. “Sehingga ketika kita mempertanyakan apakah Negara ini sudah ideal, yaa tergantung posisi lu ada dimana”, ungkap Bintang disambut tawa jamaah.
Bintang Emon sendiri menganggap bahwa keberanian Cak Nun dalam memberikan kritik kepada penguasa adalah sesuatu yang memang lazim dibutuhkan dalam kehidupan demokrasi. Pada faktanya, kemampuan untuk mengkritik penguasa itu tidak dimiliki oleh banyak orang. Mereka yang ada di lingkaran kekuasaan tentu tidak memiliki keberanian untuk mengkritik penguasa, meskipun dalam hati mereka ada banyak hal yang berbenturan. Bintang Emon mengibaratkan bahwa orang-orang yang berani menyampaikan kritik, termasuk forum seperti Kenduri Cinta ini, jika Indonesia diibaratkan sebagai sebuah tubuh manusia maka orang-orang yang berani mengungkapkan kritik adalah bagian dari otak yang diesbut Amigdala.
“Menurut saya forum-forum seperti Kenduri Cintai ini yang ditokohi oleh Cak Nun dan juga berbagai médium lainnya yang gerakannya sama untuk kritik terhadap sesuatu yang dianggap salah, kalau saya mengibaratkan bahwa Indonesia sebagai satu tubuh, dan bagian yang protes dan kritik terhadap kebijakan, aturan dan lain sebagainya, kalau saya memposisikan bagian itu seperti bagian otak yang disebut Amigdala”, ungkap Bintang Emon, yang lagi-lagi disambut tawa jamaah, meskipun pada titik ini ia sangat serius menyampaikan.
Karena sesuai fungsinya, Amigdala adalah sensor dalam otak yang memberikan sinyal kepada tubuh manusia untuk memberi peringatan akan suatu hal yang seharusnya tidak dilakukan. Jangan berharap orang-orang yang berposisi sebagai Amigdala akan menyampaikan hal-hal yang baik dan menyenangkan.
Kenduri Cinta malam itu sangat meriah, penuh warna, penuh wacana dari banyak sudut pandang keilmuwan. Kehadiran narasumber yang beragam latar belakang memberikan atmosfer kegembiraan dan kebahagiaan dalam berbagi. Kita yang hadir di Kenduri Cinta maupun yang hanya menyimak vídeo di Youtube mungkin tidak mampu memberikan dampak apa-apa terhadap perbaikan keadaan Negara hari ini, namun setidaknya, seperti yang berulangkali disampaikan oleh Cak Nun, bahwa kita di Maiyah ini adalah generasi nandur, generasi yang menanam pohon, yang semoga suatu saat ada buah yang bisa dipetik dari pohon itu.