Sebuah Frekuensi yang Menyatukan
Seperti gelombang radio, kegembiraan muncul ketika kita mampu menyetel frekuensi diri kita dengan tepat. Dalam hidup, kegembiraan bukan hanya tentang menghindari kesedihan, melainkan memahami bahwa keduanya adalah bagian dari siklus kehidupan. Dengan memaknai kegembiraan sebagai keputusan, kita dapat menemukan kegembiraan meski dalam keadaan sulit.
Dalam khazanah Arab, kebahagiaan dan kegembiraan memiliki perbedaan mendasar. Kegembiraan diartikan sebagai faraha, sedangkan kebahagiaan adalah sa’adah. Kegembiraan dapat dibandingkan dengan cuaca yang bersifat sementara dan mudah berubah, sedangkan kebahagiaan menyerupai iklim, yang lebih stabil dan bertahan lama. Kegembiraan dan kebahagiaan saling terkait tapi punya porsinya masing-masing. Itulah mengapa kita mengenal istilah “keluarga bahagia,” tetapi tidak pernah mendengar “keluarga gembira.” Keluarga sakinah adalah perjuangan panjang yang didasari mawaddah dan rahmah, seperti yang sering disampaikan oleh Mbah Nun.
Menjelang pergantian kalender menuju tahun 2025, Kenduri Cinta mencoba untuk mengajak jamaah menutup tahun 2024 dengan merayakan kegembiraan. Sepanjang 2024, kita dihadapkan pada berbagai dialektika dalam kehidupan yang kemudian dirangkum dalam judul “Frekuensi Kegembiraan”, memberikan energi positif untuk menutup tahun, yang sekaligus menjadi pijakan menyambut 2025 dengan semangat baru.
Kenduri Cinta, lebih dari sekadar pertemuan rutin. Kenduri Cinta telah menjadi rumah bagi para pencari makna. Dalam suasana yang hangat dan penuh keakraban, jamaah saling berbagi cerita, pengalaman, dan harapan. Sama halnya dengan gelombang suara yang memiliki frekuensi tertentu, setiap individu memiliki frekuensi energi masing-masing. Kenduri Cinta menjadi ruang bagi kita untuk menemukan resonansi, bergetar pada frekuensi yang sama, dan saling mengisi.
Sebelum memulai sesi diskusi, Mas Karim memulai dengan pembacaan Al-Fatihah, mendoakan kesehatan Mbah Nun dan mengenang Mas Gandhie. Kemudian, Mas Karim melanjutkan dengan mengajukan pertanyaan kepada jamaah: “Apa yang membuat satu bulan terakhir ini tidak bergembira atau bahkan membuat hati nelangsa?”
Mas Taufiq dari Batang berbagi kisahnya selama sebulan terakhir yang terasa ruwet dan jauh dari kegembiraan. Namun, Mas Taufiq tetap menghadiri Kenduri Cinta untuk mencari frekuensi kegembiraan. Baginya, hadir di Kenduri Cinta adalah bentuk refreshment dari kesumpekan hidup. Di sisi lain, Mbak Fidya dari Ciputat berbagi bahwa meskipun Mbak Fidya merasakan kesedihan mendalam karena kehilangan adiknya tiga bulan lalu, Mbak Fidya masih merasakan kegembiraan-kegembiraan kecil di tengah perjalanannya kembali menyesuaikan hidup.
Kegembiraan tidak datang dengan sendirinya; ia adalah hasil dari keputusan yang kita ambil. Mas Nano menyampaikan bahwa kebahagiaan muncul ketika kita memutuskan untuk menikmati hidup dan merasakan kegembiraan meski dalam kondisi sulit. Menurutnya, ada empat hal utama yang sepenuhnya berada dalam kendali kita, yang juga menjadi resep anti baper: pikiran, tutur kata, tingkah laku, dan perasaan. Pikiran kita adalah lahan subur yang dapat kita tanam dengan benih-benih positif atau negatif. Kata-kata yang kita ucapkan adalah cerminan dari kondisi batin kita, sehingga dengan memilih kata-kata yang baik, kita dapat menciptakan suasana hati yang lebih baik pula. Tindakan yang kita lakukan, baik besar maupun kecil, adalah hasil dari pilihan sadar. Terakhir, perasaan kita bukanlah sesuatu yang pasif, melainkan hasil dari keputusan. Kita dapat memilih untuk membiarkan diri kita terjebak dalam emosi negatif atau berusaha bangkit dan melihat sisi positif dari setiap situasi.
Mas Nano juga mengutip prinsip “Event + Reaction = Outcome” dari Jack Canfield dalam buku The Success Principles. Peristiwa yang terjadi dalam hidup kita hanya memiliki proporsi sekitar 10%, sementara reaksi kita terhadap peristiwa tersebut menentukan 90% sisanya. Dengan kata lain, kegembiraan kita tidak ditentukan oleh apa peristiwa yang terjadi, tetapi tergantung pada bagaimana kita memilih untuk bereaksi atas suatu keadaan.
Kegembiraan sejati tidak hanya tentang tertawa atau merasa senang, tetapi tentang menemukan makna bahkan dalam situasi yang sulit. Kebahagiaan datang ketika kita berhenti membandingkan diri dengan orang lain dan mulai menikmati apa yang kita miliki. Setiap langkah kecil menuju kebahagiaan adalah keputusan untuk merasakan kegembiraan dalam hidup.
Aktivitas apa pun yang kita lakukan, baik duniawi maupun ukhrawi, bertujuan untuk menemukan kegembiraan dan kebahagiaan. Kenduri Cinta telah menjadi ruang untuk menemukan frekuensi kegembiraan. Dengan berbagi cerita dan pengalaman, kita diajak menyadari bahwa kegembiraan dan kebahagiaan adalah pilihan. Dengan menyetel frekuensi diri kita pada frekuensi kegembiraan, kita dapat menghadapi pasang surut kehidupan dengan penuh kegembiraan dan kedamaian.
Berbahagia Lewat Frekuensi Maiyah
Islam adalah kabar gembira yang membawa kegembiraan dalam setiap ajarannya. Hal ini tercermin dalam semua turunannya yang menyentuh berbagai aspek kehidupan dengan cara yang menggembirakan. Pengalaman Mas Rony Octa dengan Maiyah menjadi salah satu contoh nyata bagaimana memahami Islam dapat membawa perubahan positif.
Sekitar dua puluh tahun lalu, Mas Rony pertama kali bertemu dengan Mbah Nun, yang sepenuhnya mengubah perspektifnya tentang Islam. Sebelum mengenal Maiyah, Mas Rony memiliki persepsi yang berbeda tentang Islam. Mas Rony menganggap Islam sebagai agama yang konservatif dan para penganutnya cenderung fanatik. Namun, setelah mengikuti Kenduri Cinta dan mendengarkan Mbah Nun untuk pertama kali, pandangannya berubah. Mbah Nun mampu menyampaikan ajaran Islam dengan cara yang penuh kegembiraan, yang membuat Mas Rony merasa terinspirasi dan memutuskan untuk mendedikasikan hidupnya untuk melayani Mbah Nun. Sejak saat itu, kegembiraan dan kebahagiaan menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya.
Kenduri Cinta tidak hanya menjadi tempat untuk belajar, melainkan sebuah ruang eksplorasi yang kaya akan makna. Selain memperoleh ilmu dari apa yang disampaikan Mbah Nun, kita juga bisa belajar dari proses perkembangan forum-forum Maiyah, dalam hal ini kita bisa belajar dari proses dibalik Kenduri Cinta. Konsep partisipasi aktif yang dijunjung tinggi dalam Kenduri Cinta menciptakan suasana yang inklusif dan demokratis. Setiap individu, tanpa memandang latar belakang, memiliki kesempatan untuk berkontribusi dan merasa memiliki. Tujuan utama Kenduri Cinta adalah menciptakan ruang di mana semua suara dapat didengar dan semua orang merasa memiliki.
Konsep frekuensi menjadi salah satu kunci pemahaman dalam memahami kegembiraan dan kebahagiaan. Frekuensi ini dapat diibaratkan seperti gelombang yang menghubungkan kita satu sama lain. Dalam ruang kebersamaan Maiyah, tidak ada lagi sekat-sekat imajiner yang membedakan atas dan bawah, kiri dan kanan, timur dan barat. Kita semua bergetar dalam frekuensi yang sama, yaitu frekuensi kegembiraan.
Simbol ayunan dan anak kecil dalam poster Kenduri Cinta edisi 251 ini menjadi metafora yang mendalam tentang frekuensi kegembiraan. Ayunan merepresentasikan pasang surut kehidupan, sementara anak kecil melambangkan kegembiraan, menggambarkan fitrah manusia yang tak memiliki beban. Perumpamaan ini mengingatkan kita untuk kembali pada kegembiraan yang sesungguhnya. Pasang surut kehidupan adalah dinamika alami yang justru menjadi tanda kehidupan. Sebagaimana grafik elektrokardiograf, tanpa dinamika, artinya kehidupan dunia sudah berakhir.
Perjalanan hidup manusia adalah sebuah siklus yang dimulai dan diakhiri oleh Allah, dan dalam perjalanan itu, kita harus senantiasa bergembira. Gembira adalah sebuah keharusan bagi kita karena Allah sendiri yang memerintahkan kita untuk bergembira. Sesuai apa yang Allah sampaikan dalam Surat Yunus: 58, dengan fadhilah dan rahmat dari Allah, hendaknya manusia bergembira. Sejatinya, fadhilah dan rahmat Allah jauh lebih baik daripada apa yang bisa manusia kumpulkan sepanjang hidupnya.
Kita dapat meneladani Nabi Muhammad dalam menjalani hidup dengan gembira karena Nabi Muhammad adalah makhluk Allah yang paling berbahagia. Bukan berarti Nabi Muhammad tidak menjumpai penderitaan, tetapi reaksinya terhadap penderitaan bisa dikendalikan. Gembiranya seorang mu’min tidak hanya terjadi ketika diuji dengan kesenangan, tetapi juga terjadi ketika diuji dalam kesusahan. Meskipun, secara alami manusia akan gembira apabila mendapat yang baik, dan sebaliknya ketika mendapat yang buruk manusia akan sedih. Justru di situlah letak pahala atas ujian, ketika kita bisa berhadapan dengan ujian yang Allah berikan, apa pun bentuknya, tanpa harus berpaling dari Allah untuk mengejar kegembiraan sesaat.
Kegembiraan yang sejati hanya akan muncul ketika kita membersamai Allah karena dengan mengingat Allah hati akan menjadi tenang. Sebenarnya Allah selalu membersamai kita, tetapi kita saja yang sering lupa dengan fakta itu. Mas Nanda menebalkan konsep ini dengan mengutip gagasan Imam Tirmidzi dalam salah satu karyanya yang menjelaskan bahwa qalbu itu bisa dengan mudahnya terbolak-balik. Hanya dengan mengingat Allah, qalbu menjadi ajeg dan dengan qalbu yang stabil, naik turunnya gelombang kehidupan yang kita hadapi, tidak akan membuat kita merasa takut menghadapi keadaan.
Pengalaman Mas Nano, yang bangkit dari keterpurukan dalam merintis bisnis, semakin memperkuat gagasan ini. Mas Nano mengingatkan, “Masalah boleh besar, tetapi Allah Maha Besar.” Ungkapan ini mengajarkan kita bahwa menghadapi masalah dengan keimanan dan kegembiraan akan membuat hati lebih tangguh.
Kegembiraan bukanlah sekadar perasaan sesaat, melainkan sebuah pilihan hidup. Kita dapat memilih untuk merasa gembira dalam segala kondisi, baik suka maupun duka. Salah satu kunci untuk mencapai kegembiraan adalah dengan menyederhanakan keinginan dan menyadari bahwa kegembiraan duniawi hanyalah pelengkap, bukan tujuan utama hidup kita.
Kebahagiaan sejati bukan berarti selalu merasa gembira, tetapi lebih kepada kemampuan kita untuk menerima segala kondisi dengan lapang dada. Mas Nano juga menekankan pentingnya menjaga keseimbangan emosi. “Memperlebar toleransi untuk bergembira tidak akan membuat hidup terasa flat. Jika keadaan baik dan kita bersyukur dengan baik, maka gelombang akan naik. Ketika sedih dan kita bersabar dengan baik, efeknya gelombang juga akan tertarik naik,” ujarnya.
Dengan bersyukur saat senang dan bersabar saat sedih, kita sebenarnya sedang menapaki maqam kekasih Allah. Dalam perspektif ini, kebahagiaan sejati bukan berarti selalu merasa gembira, tetapi mampu menerima segala kondisi dengan lapang dada dan hati ajeg. Dalam Surat Al-Hajj: 46, Allah menyebutkan tentang qulubun ya’qiluuna biha, hati yang dengannya dapat berlogika. Hati kita memiliki peran yang sangat penting dalam memahami kehidupan. Orang yang bersabar dan bersyukur, sejatinya sedang melatih hati mereka untuk menjadi lebih tajam dan bijaksana.
Dunia ini hanyalah tempat singgah sementara. Kebahagiaan sejati tidak terletak pada harta benda atau kesenangan duniawi, melainkan pada kedekatan kita dengan Allah. Tidak ada jalan lain yang bisa kita lewati untuk dekat dengan Allah, kecuali melalui Nabi Muhammad. Kita mungkin tidak langsung bertemu dengan Nabi Muhammad, tetapi masih ada pewaris frekuensi Nabi Muhammad. Banyak yang mewarisi frekuensi Nabi Muhammad, salah satunya adalah Mbah Nun. Mas Nanda menjelaskan bahwa apa yang kita lakukan di Maiyah adalah bentuk dari tapping into the frequency of Mbah Nun dengan harapan kita juga akan sefrekuensi dengan Nabi Muhammad, dan akhirnya kita bisa sampai pada kebahagiaan sejati.
Kehidupan yang dinamis, dengan segala suka dan duka, adalah bagian alami dari perjalanan spiritual. Dengan berpegang teguh pada Islam dan semangat kebersamaan dalam Maiyah, kita selalu menemukan kekuatan untuk bangkit dan menjalani hidup dengan penuh makna. Mas Rizal mengakhiri sesi pertama dengan sebuah kesimpulan, “Kalau uripmu flat, uripmu tidak asyik.” Kehidupan yang dinamis menjadikan perjalanan spiritual semakin bermakna.
Tuma’ninah menuju Kebahagiaan
Hendri Satrio memulai sesi kedua dengan menjelaskan apa yang dimaksud dengan visi. Visi digambarkan sebagai sebuah peta jalan yang mengarahkan kita menuju masa depan yang lebih baik. Sebuah visi yang baik memiliki beberapa karakteristik, seperti adanya gambaran masa depan yang jelas, nilai-nilai yang dianut, serta tantangan yang memotivasi.
Dalam konteks Kenduri Cinta, visi salah satnya juga bisa diartikan sebagai frekuensi kegembiraan yang ingin kita raih bersama. Frekuensi kegembiraan menjadi nadi yang menggerakkan komunitas Kenduri Cinta selama 24 tahun, menciptakan ruang untuk berbagi makna dan kebahagiaan. Apa lagi yang bisa membuat kita berkumpul di Kenduri Cinta setiap bulan kalau bukan atas dasar kegembiraan dan kasih sayang? Kegembiraan yang dirasakan dalam Kenduri Cinta bukan hanya milik pribadi, tetapi juga bisa dibagi dan ditularkan kepada orang lain.
Kegembiraan yang hadir dalam Kenduri Cinta bukan sekadar euforia sesaat, melainkan sebuah pengalaman menyentuh jiwa dan memperkaya makna hidup kita. Hendri Satrio sendiri merasakan hal ini secara langsung, merasakan bagaimana interaksi dan proses belajar bersama telah memperkaya khazanah yang Hendri Satrio miliki. Kegembiraan yang kita rasakan di sini adalah sebuah investasi untuk masa depan yang lebih baik, bukan hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk orang lain.
Pandji Pragiwaksono, yang malam itu pertama kali hadir di Kenduri Cinta, menyoroti perbedaan antara kegembiraan dan kebahagiaan. Kegembiraan, menurutnya, adalah sesuatu yang lebih mudah dicapai, seperti saat kita tertawa lepas saat menonton stand-up comedy. Namun, kebahagiaan adalah sesuatu yang lebih dalam dan membutuhkan upaya yang lebih besar. Meskipun komedi bertujuan untuk menghibur, Pandji Pragiwaksono berharap bisa memberikan nilai yang lebih bermakna kepada penontonnya—sebuah wawasan hidup yang tidak hanya memunculkan kegembiraan, tetapi juga menumbuhkan kebahagiaan.
Berbeda dengan kegembiraan, kebahagiaan tidak bisa dicapai sendirian. Memerlukan kesadaran kolektif dan pemahaman yang mendalam. Kenduri Cinta menjadi salah satu ruang untuk memperjuangkan kebahagiaan bersama melalui kesadaran dan pemahaman yang selaras. Harapannya, setiap individu yang hadir dapat membawa pulang pemahaman baru yang bermanfaat dalam perjuangan mencapai kebahagiaan.
Habib Ja’far kemudian menyambung diskusi dengan penjelasan bahwa dalam berbagai sudut pandang, termasuk agama, kebahagiaan adalah tujuan hidup setiap manusia. Dalam Islam, konsep hayyatan thoyyibatan atau hidup yang baik mencakup kebahagiaan bagi diri sendiri dan orang lain. Namun, kebahagiaan sejati memerlukan kedaulatan dari dalam diri, tidak bergantung pada faktor eksternal. Habib Ja’far mencontohkan pendapat Victor Frankl, seorang psikolog kontemporer, bahwa kebahagiaan adalah hasil dari cara kita memandang hidup. Perspektif positif memungkinkan kita menemukan makna bahkan di tengah penderitaan.
Frekuensi kegembiraan dalam Islam digambarkan Habib Ja’far sebagai frekuensi tuma’ninah. Esensi dari tuma’ninah yang dimaksud adalah kemampuan kita untuk memberikan waktu yang cukup dalam merenungkan segala sesuatu dengan tenang. Ketika kita mampu merenungkan setiap peristiwa dengan sabar, kita akan menemukan hikmah di dalamnya dan melatih diri untuk lebih dekat kepada Allah. Allah, sebagai pemilik waktu, memberikan segala sesuatu kepada kita sesuai dengan sunnatullah. Namun, seringkali kita tidak sabar dan tidak memberikan waktu yang cukup untuk memahami kehendak-Nya. Akibatnya, kita merasa menderita ketika hal-hal tidak berjalan sesuai keinginan kita.
Allah mendorong kita untuk mencapai tuma’ninah melalui berbagai cara, salah satunya adalah dengan mendirikan sholat dengan khusyuk. Dalam sholat, kita dilatih untuk fokus pada Allah dan menenangkan hati. Habib Ja’far juga menambahkan bahwa sunnah-sunnah seperti mengenakan pakaian putih atau menggunakan parfum sebelum beribadah adalah bentuk pengondisian yang membantu kita memasuki frekuensi tuma’ninah dengan lebih mudah.
Dalam era digital yang serba cepat, tuma’ninah menjadi semakin relevan. Ketergesa-gesaan seringkali membuat kita hanya merasakan pahitnya hidup tanpa merasakan manisnya. Dengan melatih diri untuk selalu tenang dan sabar dalam menghadapi segala situasi, kita akan mampu menemukan hikmah di balik setiap peristiwa dan mendekatkan diri kepada Allah.
Ketergesa-gesaan di era modern ini, banyak orang yang terjebak dalam mengejar kesenangan sesaat. Liburan, misalnya, seringkali dianggap sebagai cara untuk mencari kebahagiaan. Namun, kenyataannya, kesenangan yang diperoleh dari liburan seringkali bersifat sementara. Kebahagiaan sejati tidak bisa dibeli dengan uang atau dicapai dengan cara yang instan.
Islam mengajarkan kita untuk mencari kebahagiaan yang sesungguhnya, yaitu kebahagiaan yang berasal dari dalam diri dan tidak bergantung pada faktor eksternal. Dengan memahami nilai-nilai Islam, kita dapat menemukan makna hidup yang lebih dalam dan menjalani kehidupan yang penuh kegembiraan dan kebahagiaan.
Kedaulatan Berbahagia
Pertanyaan mendasar tentang kebahagiaan mewarnai diskusi di sesi terakhir. Mas Alfredo memulai dengan pertanyaan: “Apakah kebahagiaan adalah sesuatu yang bisa kita olah atau hanya sekadar perasaan alami?” Pertanyaan ini mengundang kita untuk merenung lebih dalam tentang makna kebahagiaan dan bagaimana kita bisa mencapainya.
Mbak Refina juga berbagi pengalamannya tentang pergulatan mencari kebahagiaan dalam standar sosial di era digital. Mbak Refina mempertanyakan apakah yang didapatkan dari pencapaian materi dan pengakuan sosial benar-benar memberikan kebahagiaan sejati.
Dalam menjawab pertanyaan jamaah, Hendri Satrio menggunakan perspektif yang lebih personal, Hendri Satrio menceritakan kisah seorang mahasiswanya yang menghadapi dilema menjelang pernikahan. Pasangannya didekati orang lain dan akhirnya menerima lamaran teman tersebut. Dalam momen seperti ini, apakah ia harus tetap merasa bergembira atas apa yang terjadi? Hendri Satrio menjelaskan bahwa kegembiraan ternyata bersifat subjektif. Apa yang mungkin membuat seseorang bergembira, bisa jadi dirasakan sebagai penderitaan oleh orang lain. Sama seperti orang yang melawan arah, yang merasa bahagia meski mengganggu orang lain. Ini menunjukkan bahwa kegembiraan tidak selalu diterima oleh semua pihak.
Pandji Pragiwaksono kemudian menambahkan bahwa kebahagiaan bukanlah semata-mata hasil dari pencapaian materi atau kondisi eksternal. Kebahagiaan yang sejati, menurutnya, berasal dari dalam diri. Namun, ketimpangan sosial sering kali mengaburkan pandangan kita tentang kebahagiaan sejati. Ketika kita melihat orang lain memiliki lebih banyak, kita sering merasa iri dan kurang puas. Padahal, kebahagiaan sejati tidak bergantung pada perbandingan dengan orang lain.
Selain itu, Pandji Pragiwaksono juga menyoroti pentingnya partisipasi aktif dalam kehidupan bermasyarakat. Pandji Pragiwaksono menyayangkan masih banyak orang yang tidak peduli terhadap kondisi politik Indonesia. Padahal, kondisi politik sangat mempengaruhi kesejahteraan kita. Untuk mencapai kebahagiaan yang sejati, kita perlu terlibat dalam upaya membangun masyarakat yang lebih baik, dengan cita-cita mewujudkan sila ke-5, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Kenduri Cinta menjadi contoh nyata dari komunitas yang mengedepankan kebahagiaan bersama. Di Kenduri Cinta, orang-orang berkumpul bukan semata-mata untuk mencari keuntungan pribadi, tetapi untuk berbagi ilmu dan kebahagiaan. Habib Ja’far menegaskan, “Orang yang belum bahagia mustahil memberikan kebahagiaan pada orang lain.” Hal ini menunjukkan bahwa kebahagiaan adalah sesuatu yang bersifat menular. Ketika kita merasa bahagia, kita akan secara alami memancarkan kebahagiaan tersebut tanpa harus dibuat-buat.
Habib Ja’far mengungkapkan pentingnya berdaulat atas diri kita sendiri agar kita bisa mencapai kebahagiaan sejati. Sebagai manusia, kita diciptakan dengan kedaulatan yang sejati, bukan untuk menjadi budak atau bergantung pada pihak lain, kecuali hanya untuk Allah.
Untuk membentuk diri menjadi berdaulat, Habib Ja’far menjelaskan bahwa kuncinya terletak pada kemampuan kita mengelola perspektif. Suatu peristiwa itu terjadi di luar kendali kita, namun bagaimana kita menyikapinya sepenuhnya berada dalam kuasa kita. Keimanan, terutama khusnudzon , menjadi fondasi penting dalam membangun perspektif yang positif. Imam Ghazali mengatakan bahwa orang pintar akan memilih khusnudzon, meski ada banyak alasan untuk berprasangka buruk.
Khusnudzon bukan berarti menafikan kenyataan, melainkan memilih untuk melihat sisi baik dari setiap situasi. Dengan yakin bahwa Allah selalu mengatur segala sesuatu dengan baik, kita akan merasa lebih tenang dan bahagia. Kalimat sederhana seperti “sebentar lagi ini selesai” dapat menjadi mantra yang ampuh untuk meredakan kecemasan. Ingatlah, tragedi yang kita alami hari ini bisa menjadi bahan tertawaan di masa depan. Waktu memiliki kekuatan untuk mengubah perspektif kita.
Kemewahan hanyalah simbol kebahagiaan, bukan kebahagiaan itu sendiri. Kebahagiaan sejati datang dari dalam diri dan tidak bergantung pada materi. Jangan terjebak dalam perbandingan dengan orang lain. Setiap orang memiliki definisi kebahagiaan yang berbeda. Kedaulatan berbahagia adalah hidup seadanya, menerima apa yang ada dengan lapang dada. Jangan terjebak dalam penyesalan atas masa lalu atau kecemasan tentang masa depan. Fokuslah pada saat ini dan lakukan yang terbaik yang bisa kita lakukan.
Dalam Islam, kita diajarkan untuk bertakwa kepada Allah semampu kita. Tidak perlu memaksakan diri untuk menjadi sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Allah. Setiap individu memiliki kelebihan dan kekurangan yang berbeda-beda. Apa yang kita anggap sebagai kekurangan, bisa jadi adalah kelebihan di mata Allah.
Habib Ja’far menyampaikan konsep dari Martin Heidegger, Filsuf eksistensialis, membedakan antara das Man dan Dasein. Das Man adalah orang yang hidup mengikuti standar sosial, sedangkan Dasein adalah orang yang mengeksplorasi potensi dirinya. Untuk mencapai kebahagiaan sejati, kita perlu menjadi Dasein, yaitu dengan menemukan dan mengembangkan potensi yang telah Allah berikan kepada kita.
Mahasiswa Hendri Satrio, Mas Dika, menanyakan bagaimana menjaga kebahagiaan ketika kita sedang merindukan Allah. Mas Dika melihat sholat sebagai bukti bahwa Allah juga merindukan hamba-Nya. Di sisi lain, Habib Ja’far mengingatkan bahwa untuk mencapai kebahagiaan, kita harus memahami makna di balik setiap tindakan kita, termasuk ibadah. Banyak orang, terutama di Indonesia, menjalankan sholat sebagai ritual tanpa memahami makna yang terkandung di dalamnya. Habib Ja’far menekankan pentingnya melatih batin, dalam menjalani kehidupan agama agar dapat merasakan kebahagiaan sejati.
Di akhir diskusi, Pandji Pragiwaksono menyampaikan sebuah pesan: “Ingatlah bahwa malam ini kita tertawa bersama, bertahanlah untuk tertawa bersama lagi di kesempatan selanjutnya.” Pandji Pragiwaksono mengajak kita untuk tidak hanya mencari kebahagiaan melalui solusi eksternal, tetapi dengan bertahan dan mengandalkan Allah yang Maha Mengerti segala permasalahan kita.
Kenduri Cinta edisi Desember 20224 ditutup oleh Hendri Satrio dengan mengajak jamaah untuk bernyanyi, “Buat apa susah, buat apa susah, lebih baik kita bergembira.” Dalam lagu ini, Hendri Satrio mengajak kita untuk memilih kegembiraan, bukan penderitaan, karena sering kali kesulitan itu datang dari pikiran kita sendiri.
Penting untuk menyadari bahwa kebahagiaan sejati bukanlah sesuatu yang datang dari luar, tetapi berasal dari dalam diri kita. Ketika kita mampu menerima diri kita apa adanya dan tidak terjebak dalam perbandingan dengan orang lain, kebahagiaan akan mengikuti. Kembali ke diri yang sejati sebagai ciptaan Allah yang penuh cinta dan kasih, akan membawa kita pada kebahagiaan yang hakiki, yang tidak hanya dinikmati oleh diri kita sendiri, tetapi juga oleh orang-orang di sekitar kita.
Lewat pukul 01.30 dinihari, Kenduri Cinta dipuncaki dengan ‘Indal Qiyam, bersama-sama berdiri, khusyuk berdoa, diiringi lantunan Shohibu Baitiy. (RedKC/Haddad)