Jakarta, kota yang tak berjiwa, sekumpulan tanah, beton dan aspal yang berdiri tanpa dapat merubah dirinya sendiri. Tak seperti manusia yang menghuni tanahnya, makhluk paling kompleks di bumi, dengan dialektika dan dinamika yang naik-turun. Mereka menghadapi banjir, kebakaran, gempa, tsunami, dan berbagai bencana lainnya bahkan dalam dirinya sendiri. Manusia, sebagai manifestasi bumi, dengan kesadaran atau tanpa sadar, dapat meletupkan kekecewaan, kegembiraan, kekesalan, dan kekhawatiran. Dalam dinamika diri tersebut, kita perlu membersihkannya agar tetap berada dalam kondisi paling ideal. Mustahil bagi manusia untuk selalu konsisten seratus persen. Jika pun bisa, itu adalah rahmat luar biasa dari Tuhan. Inilah yang mendasari tema Kenduri Cinta Edisi 253 yang bertajuk “ESTAFET SYUKUR”.
Pada Jumat, 14 Februari 2025, Kenduri Cinta kembali digelar di Taman Ismail Marzuki (TIM). Namun, kali ini ada yang berbeda dengan bulan sebelumnya: forum bulanan rutin berlangsung di area terbuka Teater Kecil TIM. Ruang yang lebih intim ini segera dipenuhi oleh jamaah, mayoritas dari mereka adalah kelas pekerja yang baru saja usai dari rutinitas harian. Ada yang masih mengenakan baju kerja, beberapa lupa menyimpan lanyard yang masih menggantung di leher, sementara lainnya—mahasiswa yang menyempatkan diri di tengah kesibukan akademik—datang dengan ransel masih tersampir di punggung. Ada juga yang hadir dari luar Kota Jakarta yang sudah antusias hadir beberapa hari bahkan minggu sebelumnya. Mereka dengan latar belakang pekerjaan dan aktivitas yang beragam itu, tanpa banyak basa-basi, langsung duduk bersila di lantai, larut dalam suasana yang membawa ketenangan di tengah hiruk-pikuk Jakarta.
Di tengah segala dinamika, rasa syukur menjadi cara untuk menemukan ketenangan. Bukan berarti pasrah, tetapi menyadari bahwa masih ada hal-hal yang patut dihargai. Syukur adalah bentuk penerimaan, yang tidak membuat kita berhenti berusaha, melainkan memberi perspektif baru dalam melihat kehidupan. Al-Qur’an mencatatnya: “Jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangatlah pedih.” (QS. Ibrahim: 7). Ini adalah pengingat bahwa mensyukuri hal-hal kecil dapat membawa dampak besar bagi cara kita menjalani hidup. Syukur juga berdampak pada kesehatan mental dan fisik. Dengan bersyukur, kita dapat meredakan stres, menghadapi kecemasan dengan lebih baik, serta membangun hubungan yang lebih harmonis dengan orang lain. Syukur bukan hanya soal hubungan dengan Tuhan, tetapi juga bagaimana kita melihat dan merespons dunia di sekitar kita. Jakarta mungkin tidak banyak berubah, tetapi dalam hiruk-pikuknya, kita selalu bisa menemukan alasan untuk bersyukur. Dengan begitu, kita bisa menghadapi hidup dengan lebih tenang dan lebih siap menyongsong hari esok. Setidaknya inilah yang ada di beberapa kepala Jamaah Maiyah malam itu yang hadir dengan banyak intensinya masing-masing.

Forum dimulai sekitar pukul 19.30 WIB dengan lantunan sholawat yang dipimpin oleh Awan, Mizani, Munawir, dan Alfa. Suara mereka menggema, membawa jamaah dalam kekhusyukan doa dan kebersamaan. Setelah itu, Karim dan Mizani mengambil alih sebagai moderator, membuka sesi pertama dengan penuh antusiasme. Karim menyampaikan ke forum bahwa setelah tiga minggu membahas tema Estafet Syukur, para penggiat Kenduri Cinta memiliki banyak sudut pandang mengenai makna syukur itu sendiri. Mizani yang juga sebagai moderator menambahkan. Hakikat syukur, sebagaimana ditemukan di Kenduri Cinta, tidak sekadar kata-kata, melainkan sebuah kesadaran mendalam yang menuntut kedaulatan diri. Untuk bisa bersyukur dengan tulus, seseorang harus berdaulat sehingga tidak perlu membandingkan diri dengan orang lain. Bahkan, dalam sifat-Nya yang Maha Sempurna, Allah sendiri disebut sebagai Maha Bersyukur. Karim lanjut menegaskan bahwa sesi malam itu berangkat dari rasa syukur terhadap keberadaan Forum Reboan—sebuah wadah diskusi yang telah menjadi bagian penting dalam perjalanan Kenduri Cinta. Dalam semangat syukur yang lebih luas, malam itu juga menjadi momentum untuk mensyukuri perjalanan hampir seperempat abad Kenduri Cinta.

Syukur dalam Perspektif Budaya dan Ilmu
Pada awal forum, Karim bertanya kepada Jamaah, adakah forum lain seperti Kenduri Cinta yang secara konsisten menyelenggarakan pengajian dan pengkajian di tempat yang syarat dengan aktivitas kebudayaan seperti TIM? Siapakah yang lebih layak bersyukur: TIM atau Kenduri Cinta? Jawabannya, tentu saja, keduanya. Diterimanya Kenduri Cinta sebagai bagian dari elemen dan aktivitas kebudayaan adalah sesuatu yang patut disyukuri.
Syukur dalam kajian malam itu tidak hanya dipandang sebagai ungkapan verbal, tetapi juga sebagai tindakan nyata. Ada aktivitas yang hanya manusia lakukan tetapi Tuhan tidak, yakni memaknai. Manusia diberi tugas untuk memaknai, sementara Tuhan tidak memiliki sifat lupa seperti manusia. Dalam Al-Quran, syukur tidak disandingkan dengan sabar, melainkan dengan kufur. Syukur berarti membuka, sedangkan kufur berarti menutupi. Dalam dinamika kehidupan kolektif dan individu, apakah kita lebih layak untuk bersyukur atau bersabar? Pertanyaan ini menjadi renungan yang menggugah yang dilempar oleh Karim.
Moderator kemudian meminta Ansa, salah seorang penggiat Kenduri Cinta untuk menyampaikan pendapatnya. Ansa berbagi pengalaman pribadinya. Pertama kali mengenal Kenduri Cinta sepuluh tahun yang lalu, ia menemukan banyak wawasan baru yang tidak ia dapatkan di bangku kuliah. Di Forum Reboan, ia belajar bahwa memahami ilmu tidak hanya dari ontologi, epistemologi, aksiologi, sebagaimana pada filsafat ilmu, tetapi juga dengan pendekatan yang lebih luas. Pendidikan saat ini semakin mahal, namun Kenduri Cinta menyediakan ruang ilmu secara cuma-cuma, sebuah anugerah yang patut disyukuri.
Syukur juga dapat dipahami dalam ranah ilmiah. Berpikir ilmiah berarti berpikir secara rasional, empiris, dan logis. Namun, di Kenduri Cinta, pendekatan ilmu lebih luas dan tidak terbatas pada dimensi duniawi seperti universitas–yang harusnya bermuatan universal– tetapi juga multiversal. Di sini, kebenaran tidak diperdebatkan secara biner sebagai benar atau salah, tetapi lebih kepada baik dan buruk, dengan luaran, tujuan, dan niat yang baik. Ansa menyampaikan bahwa ada dua terminologi yang dapat digunakan agar lebih mudah memahami syukur, yakni syukur kultural dan syukur natural.
Ansa menambahkan, syukur kultural sangat bergantung pada dinamika dan dialektika kehidupan sehari-hari. Apa pun yang kita peroleh dalam hidup patut kita syukuri, meskipun tidak semuanya bisa kita pertahankan dalam jangka panjang. Selain itu, ada juga syukur natural—kesadaran bahwa kita dapat menanam, tetapi tidak bisa menumbuhkan. Dalam hakikatnya, manusia tidak bisa tidak bersyukur. Dalam perspektif biologis pun, syukur memiliki dasar. Ansa mencontohkan bahwa kita patut bersyukur karena alis kita berhenti tumbuh, sebuah mekanisme biologis yang Allah tetapkan untuk kemudahan manusia. Setiap nikmat yang kita peroleh adalah pemberian Allah yang cuma-cuma. Namun, apakah kita benar-benar menyadarinya? Bersyukur bukan sekadar menerima, tetapi juga mendayagunakan nikmat tersebut untuk kebaikan. Ansa pun menutup dan meminta kepada moderator untuk melanjutkan diskusi.
Karim melanjutkan bahwa syukur juga memiliki elemen khasanah leluhur, yakni sabar, menerima dan ngalah. Dalam ruang publik seperti Kenduri Cinta, berbagai jenis manusia dan gagasan bertemu, membentuk harmoni dalam keberagaman. Kenduri Cinta bahkan berkontribusi pada diversitas pengunjung Taman Ismail Marzuki (TIM). Di era modern ini, banyak podcast yang membahas peradaban lampau untuk mengambil nilai-nilai darinya. Namun, budaya yang diwariskan sejatinya adalah budaya berkumpul dan bertatap muka, yang menjadi ciri khas Kenduri Cinta.
Syukur dan Peradaban
Karim dan Mizani kemudian meminta Pram berbagi khazanah pengetahuannya kepada Jamaah. Pram menyoroti bahwa sejak zaman VOC, praktik jual beli jabatan dan korupsi telah terjadi. Narasi yang dibangun oleh penjajah sering kali membuat kita merasa inferior. Padahal, dalam perspektif Islam, manusia adalah ciptaan yang istimewa karena Allah sendiri meniupkan ruh ke dalam dirinya. Bahkan malaikat pun diperintahkan untuk sujud kepada Adam. Islam, ketika datang ke Jawa, menemukan keselarasan yang sempurna seperti tutup bertemu botol.
Dalam konteks pemikiran kritis, Pram memperkenalkan konsep atrofi—penyusutan otot akibat tidak digunakan. Begitu pula dengan otak, yang akan menyusut jika tidak digunakan untuk berpikir. Maiyah menjadi wadah yang mencegah atrofi pemikiran melalui dialektika dan pertukaran gagasan. Bersyukur sebenarnya semudah mengubah sudut pandang. Algoritma media sosial juga mencerminkan cara kita memaknai hidup. Reel, short, atau konten serupa adalah cerminan dari apa yang kita konsumsi setiap hari, yang dapat menjadi alat evaluasi untuk mengukur seberapa bersyukur kita.
Nanda menambahkan perspektif tentang beban dalam kehidupan. Penyusutan otot dalam kondisi tanpa gravitasi menunjukkan bahwa beban diperlukan agar kita tetap berkembang. Kendala yang ada dalam hidup justru merupakan alat yang mengembalikan manusia pada fitrahnya. Allah telah membebankan segala sesuatu dengan adil, dan syukur adalah kunci untuk memaknainya.

Isra’ Mi’raj dan Syukur sebagai Misi Kenabian
Pertanyaan sisipan diberikan Mizani kepada Nanda mengenai Isra’ Mi’raj yang belum lama kita sama-sama rayakan. Nanda menyampaikan Isra’ Mi’raj adalah perjalanan horizontal (Isra’) dan vertikal (Mi’raj) yang dilakukan Nabi Muhammad. Dalam peristiwa ini, Rasulullah mengimami para nabi sebagai tanda kepemimpinan spiritual tertinggi. Perjalanan ini tidak hanya tentang kenaikan fisik, tetapi juga membuka jalur komunikasi antara langit dan bumi hingga hari kiamat. Malaikat Jibril pun tidak mampu menemani Nabi dalam tahap akhir perjalanan ini, menunjukkan keagungan pengalaman tersebut. Nanda menyampaikan bahwa adanya keterikatan yang tidak kebetulan antara jumlah ayat Al-Fatihah dan tujuh langit peristiwa Isra’ Mi’raj yang sama-sama berjumlah tujuh.
Nabi Muhammad bertemu dengan para nabi di setiap langit:
- Langit pertama: Nabi Adam, yang diajari langsung oleh Allah.
- Langit kedua: Nabi Isa, yang hingga kini pengikutnya masih mengucapkan “Haleluya”, mirip dengan “Alhamdulillah”.
- Langit ketiga: Nabi Yusuf, simbol setengah kebaikan berupa ketampanan.
- Langit keempat: Nabi Idris, yang telah menyaksikan kiamat sebelum terjadi.
- Langit kelima: Nabi Harun, juru bicara Nabi Musa.
- Langit keenam: Nabi Musa, yang ingin menjadi bagian dari umat Nabi Muhammad.
- Langit ketujuh: Nabi Ibrahim, yang bukan bagian dari golongan yang dimurkai (maghdlub) maupun sesat (dzaallin).
Namun, di manakah Nabi Muhammad? Beliau memiliki keleluasaan untuk naik dan turun sesuka hatinya. Karim menutup sesi pertama dengan mengajak para jamaah untuk menjadikan “Muhammadkan Hamba” sebagai pekerjaan rumah (PR) bersama, sebuah tantangan untuk terus menggali makna syukur lebih dalam. Sejatinya, syukur adalah bentuk penghambaan yang paling tinggi, sebuah jembatan yang menghubungkan manusia dengan Tuhannya.
***
Semakin malam, antusiasme jamaah justru kian memuncak. Usai sesi pertama, semakin banyak orang berdatangan, memenuhi forum dengan semangat yang tak surut. Suasana semakin hangat ketika jeda diskusi diisi dengan penampilan solo yang mendalam dari Amis. Ia membawakan empat lagu penuh makna: Darurat Judi, Selamat Hari Raya Social Media, Jalan Sunyi—dengan lirik dari Mbah Nun—dan Bagaimana Jika Kristen yang Masuk Surga?. Ekspresi jamaah menggambarkan keterhanyutan dalam lirik dan melodi. Ada yang terdiam merenung, ada pula yang larut dalam kebahagiaan. Musik menjadi jembatan yang memperdalam pemaknaan syukur yang telah dibahas sebelumnya. Setelah suasana kembali tenang, forum dilanjutkan dengan penuh energi, kali ini dipandu oleh Fahmi dan Hadi sebagai moderator. Diskusi kembali mengalir, membawa jamaah ke dalam perenungan yang lebih dalam. Hadi dan Fahmi menebalkan alas diskusi dan memperkenalkan Pembicara pada sesi utama: Nanda, Hendri Satrio, David Nurbianto, Boim, dan Ustad Noorshofa Thohir. Sebelum masuk sesi utama, Munawir ikut menyumbang pembacaan puisi karya Mbah Nun yang berjudul “Bimbingan Belajar Dajjal”.
Estafet Syukur dalam Perspektif Spiritual Islam
Membuka diskusi Nanda sebagai narasumber menekankan pentingnya refleksi mendalam mengenai konsep divine quadrant atau quadrant of divine credential. Konsep ini merujuk pada empat kondisi manusia dalam kaitannya dengan kehendak Allah: diperintah, diizinkan, dibiarkan, atau dijerumuskan oleh Allah.
Rasulullah Muhammad SAW merupakan representasi tertinggi dari kategori “diperintah Allah.” Ayat Wama yantiku ‘anil hawa menegaskan bahwa segala perkataan dan tindakan beliau tidak didasarkan pada hawa nafsu, melainkan murni atas petunjuk Ilahi. Sebaliknya, Dajjal menjadi simbol dari kategori “dijerumuskan oleh Allah,” yang menggambarkan peradaban yang menutupi syukur atau kufur.
Nanda menekankan bahwa estafet peradaban syukur seharusnya tetap mengacu kepada Rasulullah SAW dan para penerusnya, bukan kepada Dajjal. Dalam kehidupan sehari-hari, terdapat perbedaan nyata antara mereka yang hidup dalam peradaban syukur—yakni mereka yang berjalan di sirat al-mustaqim—dengan mereka yang terjerumus dalam jalan yang menyimpang. Namun, di dunia yang penuh ilusi, sering kali mereka yang dijerumuskan Allah justru tampak lebih berpengaruh dan hebat secara lahiriah. Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk tidak hanya mengandalkan penglihatan lahiriah, melainkan juga menggunakan basiroh fil qalb—mata hati yang tajam.
Nanda juga mengangkat kritik terhadap materialisme yang hanya mengandalkan apa yang dapat ditangkap oleh indra. Dalam kajian fisika, disebutkan bahwa spektrum cahaya memiliki batasan—apa yang tampak hanya berkisar antara inframerah dan ultraungu. Namun, keberadaan energi seperti sinar gamma atau gelombang radio membuktikan bahwa ada banyak hal yang tidak kasat mata tetapi nyata. Demikian pula dalam spiritualitas, cahaya Ilahi sering kali diingkari oleh mereka yang hanya percaya pada hal-hal empiris.

Salah satu contoh nyata dari pertentangan antara peradaban syukur dan kufur adalah kisah Nabi Isa AS. Dalam sejarah, Nabi Isa AS menghadapi penindasan karena membongkar praktik riba yang berkedok agama. Ia dan para pengikutnya menentang sistem yang memanipulasi ekonomi dengan cara yang tidak adil. Nabi Isa AS menegaskan bahwa para pemuka agama saat itu telah menjadikan rumah Allah sebagai “sarang penyamun.” Sikapnya yang menentang praktik riba akhirnya membuatnya menjadi target pembunuhan, yang dalam Islam disebut sebagai upaya prophesied—yakni pembasmian terhadap seorang nabi.
Nanda mengakhiri pendapatnya dengan pesan yang mendalam: setiap generasi memiliki tanggung jawab untuk meneruskan estafet syukur. Sebagaimana Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang menjalankan ibadah dengan penuh ketulusan, umat Islam juga harus berusaha meneladani beliau dalam menjaga ketakwaan dan menghindari jebakan hawa nafsu yang membawa kepada sifat dajali. Nanda berharap bahwa kita semua dapat mengambil hikmah dari diskusi yang telah berlangsung. Sebagaimana yang disampaikan dalam ayat-ayat suci, mereka yang berjalan di jalan kebenaran akan selalu berada dalam naungan rahmat Allah. Estafet syukur bukan sekadar konsep, melainkan sebuah perjalanan spiritual yang harus dijalani dengan kesadaran dan ketulusan.
Perjuangan dan Syukur dalam Kenduri Cinta
Fahmi melanjutkan diskusi dengan mengucapkan terima kasih kepada Mas Nanda atas tambahan wacana spiritual Islam yang diberikan. Fahmi kemudian meminta Boim untuk menyampaikan gagasannya. Boim, salah satu senior di Kenduri Cinta, hadir untuk berbagi cerita tentang perjuangan masa-masa awal Kenduri Cinta. Ia mengisahkan era ketika Kenduri Cinta masih belum dikenal luas, bahkan sempat mengalami masa-masa sulit. “Era Bang Boim ini adalah era perjuangan, masa kelam Kenduri Cinta,” ujar Fahmi, mengenang kembali perjalanan panjang komunitas ini.
Boim membuka dengan pantun khas Betawi. Ia menekankan pentingnya bersyukur, terutama dalam menghadapi berbagai tantangan hidup. Ia menceritakan pengalamannya saat menjabat sebagai komisaris di salah satu BUMN DKI Jakarta. Meski banyak godaan dan tekanan, ia tetap berpegang pada prinsip untuk tidak korupsi dan bekerja secara profesional. Ia juga menceritakan bagaimana ia berhasil mengatasi tekanan dari berbagai pihak, termasuk saat menghadapi isu-isu korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
Boim mengajak semua hadirin untuk selalu bersyukur, meski dalam keadaan sulit sekalipun. Ia mencontohkan bagaimana orang Tionghoa merayakan Imlek dengan penuh syukur, bahkan saat banjir melanda. “Mereka tidak komplain, mereka tetap bersyukur. Ini pelajaran yang bisa kita ambil,” ujarnya. Ia juga mengkritik kebiasaan sebagian masyarakat yang terlalu mudah mengeluh dan menyalahkan orang lain, termasuk pemerintah, saat menghadapi musibah.
Boim pun tak lupa mengapresiasi keberlangsungan Kenduri Cinta yang tetap eksis hingga saat ini. Di akhir kesempatan, Boim membacakan puisi yang ia tulis pada tahun 2017, yang berjudul “Orang Pesisir dan Reklamasi”. Puisi ini menggambarkan keprihatinannya terhadap nasib masyarakat pesisir yang terpinggirkan akibat proyek reklamasi. “Reklamasi bukanlah solusi, melainkan jalan bagi korupsi para pejabat yang mengkhianati rakyat,” demikian penggalan puisi yang dibacakan dengan penuh penghayatan.
Budaya Betawi dan Sikap Bersyukur
Setelah Boim, moderator menyerahkan kesempatan David Nurbianto untuk berbicara. Ini adalah kali pertama David hadir di Kenduri Cinta. David sudah lama dikenal sebagai Standup Comedian, persona ini yang membuat Jamaah menunggu punchline komedinya mala itu. David menyampaikan pandangannya tentang kehidupan, budaya Betawi, dan berbagai fenomena sosial yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya.
Setelah diberikan kesempatan berbicara oleh moderator, David membuka pembicaraannya dengan gaya khasnya. Ia melontarkan candaan yang langsung mengundang gelak tawa Jamaah. “Saya tanya nih ke Mas Fahmi, saya sedang diizinkan atau dijerumuskan? Biar jelas dulu nih,” ujarnya yang langsung mencairkan suasana. David pun tidak lupa membuka dengan pantun.
Dalam diskusinya, David membahas berbagai aspek budaya Betawi dan fenomena sosial di Jakarta. Ia menekankan bahwa orang Betawi adalah orang yang paling bersyukur, bahkan hingga kelewatan. “Kita sering tuh sehari makan, dua hari bengong. Sering! Kebangetan bersyukur itu enggak mau kerja,” ujarnya dengan nada bercanda.
David juga menggambarkan bagaimana orang Betawi hidup dengan memanfaatkan apa yang ada di sekitar mereka. Rumah-rumah tradisional Betawi, menurutnya, selalu memiliki kebun dengan pagar hidup, seperti pohon rambutan dan sirih, yang bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, modernisasi membuat kebiasaan itu mulai menghilang. “Sekarang mesti ke Century, sama Guardian. Ampun dah,” katanya yang kembali disambut tawa pecah Jamaah.

Selain budaya Betawi, David juga menyoroti berbagai ironi di Jakarta, salah satunya mengenai maskot kota, Elang Bondol dan Salak Pondoh. “Sementara kalau lu googling populasi Elang Bondol di Jakarta, sangat kecil. Padahal maskot loh ini. Di Jakarta sekarang lebih banyak cewek bondol,” ujarnya, mengundang tawa meriah.
Ia juga menyampaikan kegelisahannya tentang prediksi Jakarta yang akan tenggelam pada tahun 2050. Namun, menurutnya, berita ini kurang mendapatkan perhatian. “Padahal harusnya rame bang, apalagi buat orang yang enggak bisa berenang,” ujarnya dengan nada satir.
Dalam diskusinya, David menekankan bahwa budaya Betawi tidak hanya sekadar tradisi, tetapi juga memiliki nilai-nilai luhur yang perlu dijaga. Ia mencontohkan bagaimana kepercayaan leluhur digunakan sebagai cara untuk menjaga alam, agar masyarakat lebih menghargai lingkungan dan tidak sembarangan menggusur lahan hijau.
Menutup pembicaraannya, David berharap agar forum Kenduri Cinta tidak hanya menjadi ajang refleksi bagi para peserta, tetapi juga bisa menular kepada orang-orang terdekat. “Tidak harus diajak ke sini, tapi paling tidak apa yang kita dapat di sini kita ceritain di pos ronda,” pesannya. Ia pun menutup sesinya dengan salam, yang disambut tepuk tangan meriah dari seluruh Jamaah.
Syukur dalam Perspektif Islam
Malam semakin syahdu ketika Ustadz Noorsofa mengambil alih panggung. Ia mengawali dengan bacaan doa, kemudian menyampaikan refleksi mendalam tentang makna syukur dalam Islam. Ia mengutip kisah Nabi Daud yang bertanya kepada Allah, “Bagaimana aku bisa bersyukur kepada-Mu, sedangkan dapat bersyukur saja sudah merupakan nikmat dari-Mu?”
Beliau juga menyoroti bagaimana syukur seharusnya menjadi warisan turun-temurun, sebagaimana Nabi Sulaiman yang meminta kepada Allah agar diajarkan bagaimana bisa bersyukur seperti orang tuanya. “Estafet syukur tidak boleh terputus. Kita bersyukur punya orang tua yang bersyukur, sehingga kita pun harus meneruskan tradisi itu”.
Selain itu, Ustadz Noorsofa membagikan kisah seorang jamaahnya yang menjalani hidup penuh syukur meski dalam kesederhanaan. “Ustadz, saya mah sudah tua begini, tidak mau ngapa-ngapain, sudah bersyukur saja kepada Allah. Habis Subuh baca Quran, ngopi, rezeki ada saja yang datang dari yang sewa kontrakan” ceritanya, menegaskan bahwa bersyukur bukan hanya tentang menerima nikmat, tetapi juga mengakui bahwa semua yang kita miliki berasal dari Allah.

Kenduri Cinta edisi Februari 2025 ini tidak hanya diisi dengan refleksi mendalam, tetapi juga bumbu humor yang khas. Ustadz Noorsofa menghibur hadirin dengan cerita tentang pantun yang diberikan ibunya saat ia melamar istrinya. “Cincau gula laksa dijual di tukang kain, dia nggak mau lu nggak paksa, masih banyak orang lain.” Kisah ini memancing gelak tawa dan mencairkan suasana.
Ia juga menambahkan anekdot tentang seseorang yang mencoba menunda ajal dengan cara kreatif. Kisah ini membawa tawa, tetapi juga menyimpan pesan moral bahwa kehidupan ini memiliki batasnya, sehingga bersyukur dan memanfaatkan waktu dengan baik adalah hal yang penting.
Menjalin Rasa Syukur di Tengah Tantangan
Hadi melanjutkan moderasi dan memberikan pelantang kepada Hendri Satrio. Suasana semakin hidup ketika Hendri Satrio mendapat giliran berbicara. Dengan gaya khasnya yang santai dan penuh humor, ia mengawali dengan sapaan ringan kepada jamaah.
Hendri mengangkat tema syukur sebagai inti pembicaraannya. Ia menyoroti bagaimana situasi ekonomi saat ini mengajarkan kita untuk lebih memahami perbedaan antara kebutuhan (needs) dan keinginan (wants). Dengan gaya menggelitik, ia menyentil kebijakan pemotongan anggaran yang terjadi di berbagai sektor. “Biasanya naik ke lantai 20 pakai lift, sekarang pakai tangga. Tapi kita harus bersyukur,” candanya yang disambut tawa Jamaah.
Ia juga menyoroti program-program pemerintah yang menuntut pengelolaan keuangan negara dengan bijak. “Sekarang negara lagi diajari mana yang harus (needs) dan mana yang ingin (wants). Misalnya, Ibu Kota Negara (IKN) itu perlu atau ingin? Itu pertanyaan besar. Kalau kita lihat sekarang, semak belukar sudah mulai tumbuh lagi di sana,” ujarnya sambil tersenyum.
Tak hanya berbicara soal ekonomi, Hensa juga menyinggung kebersamaan yang unik antara Presiden Joko Widodo dan Presiden terpilih Prabowo Subianto. “Ini pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, mantan presiden dan presiden terpilih punya komunikasi yang baik. Biasanya kan saling menjauh, ini malah makin dekat. Seperti lagunya Inka Christie, ‘Jangan Pisahkan Aku’,” tambahnya, mengundang gelak tawa Jamaah berikutnya.
Dalam refleksi mendalamnya, Hensa menegaskan bahwa rasa syukur adalah kunci menghadapi segala ujian. Ia bahkan mengangkat pertanyaan reflektif yang menarik, “Kenapa ada orang yang ibadahnya biasa saja, tapi rezekinya melimpah? Jangan-jangan karena mereka bersyukur terus?” Sebuah pertanyaan yang menantang pemikiran Jamaah.
***
Malam makin larut, Jamaah masih bertahan duduk bersila. Diskusi dijeda sejenak oleh penampilan dari Bedur yang membawakan total tiga lagu andalannya. Semilir angin dan musik Bedur berhasil menghibur Jamaah. Setelah itu, Hadi pun melanjutkan forum dan mulai memoderasi kembali. Hadi meminta Hensa untuk menyampaikan poin-poin tambahan yang ingin ia sampaikan kepada jamaah.
Kepuasan Publik, Tantangan Ekonomi, dan Estafet Syukur: Refleksi atas Pemerintahan dan Kesejahteraan
Menurut Hensa, tingkat kepuasan terhadap pemerintahan Prabowo mencapai 80%, sementara hasil survei Kedai Kopi sebesar 72%. Meski demikian, masih terdapat 28% masyarakat yang merasa tidak puas, terutama karena perilaku beberapa pejabat yang dianggap kurang mencerminkan kepentingan rakyat. Masyarakat kelas menengah bawah tetap mendukung Jokowi berkat berbagai bantuan sosial yang mempererat hubungan pemerintah dengan rakyat.
Gerakan “Adili Jokowi” kurang mendapatkan dukungan luas karena adanya kesepakatan elite politik serta tingginya tingkat penerimaan rakyat terhadap kepemimpinan Jokowi. Prabowo dinilai telah belajar dari strategi Jokowi dalam membangun kedekatan dengan masyarakat. Meskipun pertumbuhan ekonomi terlihat positif, dampaknya justru dirasakan menyulitkan rakyat. Hendry mengutip laporan Kompas yang menunjukkan bahwa kekayaan oligarki semakin meningkat, sementara kelas menengah semakin tergerus ke garis kemiskinan. Hal ini menjadi indikasi nyata dari ketimpangan ekonomi yang semakin melebar.
Dalam konteks tema “Estafet Bersyukur”, Hensa mengajak Jamaah untuk tidak hanya bersyukur secara pasif, tetapi menjadikannya sebagai dorongan untuk melakukan perubahan. Indonesia memiliki kekayaan sumber daya yang melimpah, namun acap kali kurang dimanfaatkan secara optimal karena sikap pasrah dan kurangnya inisiatif. “Bersyukur harus diiringi dengan usaha untuk menjadi lebih baik,” ujar Hensa, menyoroti kebiasaan masyarakat yang cenderung cepat puas dengan bantuan sosial tanpa upaya meningkatkan taraf hidup. Diskusi menekankan pentingnya kesadaran dalam menghadapi tantangan ekonomi dan pemerintahan guna mencapai kesejahteraan yang berkelanjutan.
Ruang Kritik dan Harapan
Tibalah pada sesi akhir yang berisi tanya jawab Jamaah dengan Pembicara. Hadi memberi kesempatan kepada Jamaah untuk bertanya. Beberapa Jamaah menyampaikan pertanyaan mendalam yang mengangkat isu politik, sosial, dan nilai-nilai kehidupan, termasuk makna syukur dalam berbagai konteks.
Wartini dari Serang mengajukan pertanyaan kepada Hensa mengenai hubungan politik antara Prabowo Subianto dan Presiden Joko Widodo. Ia menyinggung romantisme politik yang terjalin di antara keduanya dan mempertanyakan kapan waktu yang tepat bagi Prabowo untuk melepaskan diri dari Jokowi dalam perspektif politik?
Rafi dari Cilacap mengajukan pertanyaan kepada seluruh pembicara mengenai polarisasi politik yang sering kali menghambat perubahan. Ia bertanya apakah gerakan intelektual seperti yang dilakukan Mbah Nun dapat diterapkan saat ini untuk menciptakan pemerintahan yang lebih baik?
Terakhir, Arnold dari Cikarang mengajukan pertanyaan kepada Nanda mengenai bagaimana menemukan rasa syukur dalam situasi keluarga yang penuh chaos serta bagaimana memaafkan orang tua. Ia juga bertanya kepada Pembicara apakah ada batasan dalam bersyukur atau apakah ada yang disebut “terlalu bersyukur”?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut disambut hangat oleh semua pembicara. Ruang dialog yang penuh tawa dan kegembiraan pada sesi ini adalah bukti bahwa kebersamaan dalam lindungan kasih dan sayang akan mengaktifkan energi positif. Sahut-sahutan antara Hensa dan David mewarnai akhir perjumpaan malam itu. Banyak momen yang tak dapat digambarkan untuk dalam bentuk tulisan reportase. Ada momen yang mesti dialami, diasyiki, dan dirasakan langsung.
***
Seiring berjalannya malam, Kenduri Cinta semakin terasa sebagai ruang yang tidak hanya memberikan pencerahan intelektual dan spiritual, tetapi juga sebagai ajang kebersamaan. Suasana tetap hangat dan penuh semangat. pengingat bahwa syukur bukan hanya tentang menerima, tetapi juga tentang memberi, mengapresiasi, dan meneruskan nilai-nilai baik dalam kehidupan. Sebuah malam yang penuh hikmah, tawa, dan kebersamaan.
Mendekati pukul tiga, Kenduri Cinta edisi Februari 2025 mencapai ujungnya. Indal Qiyam dan Shohibu Baiti mengalun pelan, seperti irama perpisahan yang telah dihafal waktu. Wajah-wajah yang hadir tak sekadar mencerminkan kelelahan malam, tetapi juga kesungguhan—sebuah isyarat bahwa pertemuan ini bukan hanya jeda, melainkan rumah bagi mereka yang mencari makna.
Hadi memimpin doa, mengantarkan harapan yang menguap bersama udara dini hari, menjangkau hati-hati yang mungkin datang dengan beban, luka, atau sekadar pertanyaan. Namun di sini, setidaknya untuk beberapa jam, mereka menemukan jeda—di mana pikiran dibersihkan, hati diredam. Lalu fajar merekah, dan hidup kembali berjalan seperti biasa. Tapi siapa tahu? Mungkin ada sesuatu yang tersisa, sebaris makna yang tetap tinggal di sudut jiwa, mengendap dalam sunyi, menunggu saatnya untuk kembali dipahami.
(RedKC/Ansa)