Memahami makna dari sebuah kata tidak lepas dari fenomena atau peristiwa, serta momentum saat kata tersebut dimunculkan. Ketika sebuah kata dilontarkan atau diucapkan, seringkali kita harus berfikir ulang untuk merangkai makna yang sebenarnya. Faktanya, sebuah kata mampu mempengaruhi evolusi peradaban manusia. Berlangsungnya kehidupan manusia dalam berbangsa dan berbudaya, melahirkan evolusi yang berlaku sedemikian rupa. Kata teknologi misalnya, ketika hari ini diucapkan maka yang ada di fikiran kita adalah IT, AI, pemrograman, aplikasi, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan dunia digital. Padahal, di awal kemunculannya, teknologi adalah tentang segala sesuatu yang digunakan untuk memecahkan sebuah persoalan. Satu contoh kata tersebut sudah menggambarkan betapa evolusi peradaban manusia mengubah pandangan manusia itu sendiri terhadap sebuah kata.
Denotasi Konotasi, tema yang diangkat Kenduri Cinta edisi Juli 2024 ini ditujukan untuk kembali menumbuhkan kesadaran atas kewaspadaan diri kita. Sebagai jamaah Maiyah di Kenduri Cinta, setidaknya kita harus senantiasa mendayagunakan akal fikiran kita pada setiap informasi yang kita dapatkan. Jika dibandingkan dengan tahun 80’an atau awal 90’an, informasi begitu sulit diakses oleh masyarakat, sehingga penguasa tidak hanya mampu membatasi, tetapi juga memfilter informasi mana saja yang layak didistribusikan kepada masyarakat luas. ”Layak” bagi penguasa tentunya.
Hari ini, pasca Reformasi 1998, banyak orang menganggap bahwa salah satu kemerdekaan yang dirasakan setelah Soeharto lengser adalah kebebasan berpendapat. Pada satu titik, kita memang merasakan kebebasan berpendapat, sehingga kita merasakan bahwa berpendapat di ruang publik tidak lagi dibatasi. Berbeda dengan saat Orde Baru berkuasa, jangankan Maiyahan, untuk membuat forum diskusi publik saja, jika mengumpulkan lebih dari 5 orang, kita harus mendapatkan izin dari aparat setempat. Jika tidak mendapatkan izin dan forum diskusi tetap dilakukan, maka kita akan dianggap subversif oleh penguasa. Mengerikan betul.
Sementara, di era kebebasan berpendapat hari ini, tantangan zaman pun semakin bertambah. Di beberapa tempat, masih terjadi tindakan represif aparat keamanan untuk mengamankan sebuah perkumpulan atau diskusi publik. Selain itu, masyarakat juga diharuskan memiliki kesadaran untuk menyaring informasi yang sampai pada mereka. Tentu ada plus-minus juga era kebebasan berpendapat seperti hari ini. Karena faktanya, semakin banyak corong informasi yang tersedia, semakin membingungkan pula bagi masyarakat untuk menentukan, mana corong informasi yang valid dan mana yang corong informasi yang tidak kredibel. Media sosial yang awalnya disangka akan menjadi media komunikasi untuk menjalin silaturahmi, pada akhirnya justru melampaui ekspektasi kita sebelumnya bukan?
Maka yang dibutuhkan adalah kepercayaan, trust. Kenduri Cinta ini adalah sebuah forum yang dilandasi atas kepercayaan satu dengan yang lainnya. Penggiatnya percaya bahwa gelaran forum ini dalam rangka untuk kebaikan, sehingga mereka memiliki etos kerja dan kesetiaan untuk merawatnya. Jamaah yang hadir juga merawat kepercayaan yang sama. Untuk terus hadir setiap bulan adalah kesetiaan tersendiri. Dan harmoni kebersamaan di Kenduri Cinta ini memang dibangun bersama-sama, atas kepercayaan satu sama lain. Bukan atas pamrih beberapa orang saja.
Denotasi Konotasi Dalam Tren Masa Kini
Seberapa sering kita mendengar istilah: mental health, work life balance, healing serta istilah-istilah lain yang saat ini menjadi tren percakapan anak muda Gen-Z dan Millenial, bahkan juga Generasi Alpha? Istilah-istilah yang pada akhirnya juga menjadi konotasi. Semakin menjauh dari denotasinya. Ada contoh, dalam persambungan profesional di dunia kerja lazim terjadi gesekan dan berbeda pandangan saat bekerja, namun ada segelintir orang yang kemudian menganggap bahwa ketidaksepahaman pendapat dalam ruang profesionalisme itu dianggap sebagai toxic relationship. Dan ketika mendapat tekanan atas pekerjaan di kantor, tidak sedikit yang merasa mental health-nya terganggu. Mungkin benar adanya, beberapa yang mengalami itu memang membutuhkan lingkungan yang mendukung agar mentalnya terjaga dengan baik. Idealnya, para kaum pekerja mendapat lingkungan kerja yang mendukung pengembangan karier, saling memahami, tidak terjadi gesekan, karena semua yang bekerja memiliki kesamaan visi misi serta cara pandang, sehingga tidak akan terjadi perdebatan argumen saat berdiskusi secara profesional. Kesehatan mentalnya terjaga. Ideal sekali bukan? Namun, bukan kah hidup justru sering kali berlaku tidak sesuai dengan keinginan kita?
Apakah adil jika kita yang bekerja profesional di sebuah kantor besar, dengan ruangan yang nyaman, dengan AC yang dingin, dilengkapi fasilitas yang menunjang pekerjaan, kemudian mengeluh karena tekanan pekerjaan dari atasan di kantor. Kemudian, sejenak coba lihat bagaimana sebagian orang di jalanan harus berpanas-panas, mencari uang menjadi driver ojek online, berjualan minuman, bahkan menjadi pemulung, mengais rezeki dari memungut sampah. Tidak ada kesempatan bagi mereka untuk memeriksa kesehatan mentalnya, karena yang utama adalah bagaimana caranya agar ia bisa makan hari itu, dan anak serta istrinya juga tercukupi asupan makanannya. Jangan tanya tentang asupan gizi apalagi kesehatan mental kepada mereka. Untuk bisa makan hari itu saja mereka masih tanda tanya.
Di sesi awal Kenduri Cinta malam itu narasumber menggiring tema Denotasi Konotasi pada hal-hal yang relevan dan dekat dengan kehidupan sekitar kita. Tujuannya sederhana, untuk menumbuhkan serta merawat kewaspadaan, agar tidak lagi salah dalam memaknai dan memahami kata-kata.
Contoh lain dari fenomena pemaknaan kata di masyarakat yang mungkin bisa jadi menjadi penyebab persoalan kehidupan sosial, yaitu uang. Bagaimana kita memaknai uang ini sebenarnya? Apakah kita benar-benar serius memaknai uang sebagai alat transaksi? Jika kita menggunakan uang yang kita dapatkan dari bekerja, berdagang, berusaha untuk kemudian menjadi media menafkahi keluarga, maka disitu kita meletakkan uang sebagai sesuatu yang sangat penting dalam hidup kita. Lain halnya jika kemudian jika ada sebagian orang di sekitar kita memaknai uang sebagai benda yang tidak dimaknai dengan serius. Fenomena judi online menjadi satu contoh bagaimana uang tidak dimaknai dengan serius. Imbasnya yang paling dekat adalah bagaimana judi online memiliki korelasi yang sangat dekat dengan pinjam online. Salah satu sebabnya adalah karena para pelakunya tidak memaknai uang dengan serius.
Begitu juga pemaknaan terhadap forum Kenduri Cinta ini. Banyak komentar yang muncul di channel Youtube baik CakNun.com maupun Kenduri Cinta, beberapa kali ada komentar: ”Isinya daging semua”. Ini tentu saja komentar yang sifatnya konotatif sekali. Bisa dibayangkan jika ada makanan yang isinya daging semua, tentu tidak enak. Tidak ada bumbu, tidak ada sayur, tidak ada kuah. Begitu juga forum Kenduri Cinta, sangat berlebihan jika disebut isinya daging semua. Maka manajemen pengelolaan forumnya pun diatur sedemikian rupa, ada sesi mukadimah, kemudian ada pengisi jeda hiburan musik, lalu narasumber utama dan juga ada tanya jawab.
Jika Konotasi Dihilangkan, Maka Sastra Tidak Akan Ada
Sabrang malam itu menyampaikan bahwa kata yang sudah menjadi konotasi itu tidak selamanya bermakna negatif. Bagi Sabrang, denotatif itu bukan hanya sekadar makna kata yang sebenarnya, karena kata yang sebenarnya itu hanya simbolisme dari kata itu sendiri. Misalkan kita sudah bersepakat menyebut sebuah benda dengan sebutan ”Sandal”, itu adalah kesepakatan kita bersama bahwa salah satu media untuk alas kaki kita sepakat menyebutnya sandal. Secara bentuk, ada banyak bentuk sandal, tetapi kita akan sepakat bahwa dengan berbagai macam bentuk dan model, juga merek yang berbeda-beda, kita sudah sepakat menyebut itu sebagai sandal.
Dan seterusnya, semua kata-kata yang kita kenal dan kita ketahui itu bukanlah kata yang sebenarnya. Itu hanya simbolisme bahasa. Menurut Sabrang, dengan kata-kata kita bisa saling berkomunikasi dan membangun ruangan abstrak di kepala kita bisa berbagi ruangan tersebut dengan manusia lain. ”Semua kata adalah simbol. Kalau semua kata adalah simbol, kata menyimbolkan apa itu akan berkembang sesuai dengan zamannya. Di awal diskusi ini kita harus memahami terlebih dahulu fungsi dari kata itu sendiri. Karena fungsi bahasa itu tidak absolut, dan fungsi bahsa adalah membagi dunia informasi yang ada di kepala kita kepada orang lain”, lanjut Sabrang.
Begitu juga dengan denotasi, itu tidak selalu baik atau positif. Karena kata-kata yang diucapkan pun agan bergantung pada nuansa yang dibangun saat itu. Sabrang mencontohkan, bahwa pada sebuah lingkaran pertemanan yang sudah sangat akrab, kata-kata yang diucapkan adalah simbol kemesraan. Pada saat salah satu teman ditinggal mati oleh Bapaknya, saat berjalan kembali ke rumah setelah mengantarkan jenazah bapaknya di kuburkan, seorang temannya akan dengan santai menyapa temannya yang sedang berduka; ”Hei, Yatim, gimana rasanya menjadi yatim?”. Kalimat itu tidak mungkin diucapkan kepada orang yang tidak kita kenali, hanya bisa diucapkan pada nuansa keakraban yang sudah terjalin lama. Kata ”Yatim” adalah denotasi, tetapi jika diucapkan pada nuansa yang tidak tepat, juga bisa bermakna negatif.
Bagi Sabrang, makna positif atau negatif dari sebuah kata itu tidak bersifat univariat, tetapi multivariat. Denotasi bisa menjadi buruk pada situasi tertentu, sebaliknya konotasi juga bisa menjadi baik pada situasi tertentu. Ada banyak variabel yang melatarbelakanginya. Maka, ketika kata yang bersifat denotasi digunakan untuk misdirection maka juga akan bermakna buruk, begitu juga dengan kata yang bersifat konotasi, jika digunakan untuk melakukan penipuan, maka itu menjadi hal yang buruk. Sebaliknya, jika sebuah kata digunakan untuk hal-hal yang positif, mau itu denotasi atau konotasi, maka itu baik.
”Yang harus kita waspadai adalah bagaimana bahasa itu digunakan”, lanjut Sabrang. Dalam bahasa, kita juga mengenal banyak sekali variannya, ada sarkas, majas, satir, ironi dan lain sebagainya. Maka ada ungkapan bahwa ballpoint itu lebih tajam dari pedang. Karena kalau pedang hanya satu dimensi yang dihancurkan, tetapi dengan kata-kata yang dituliskan menggunakan ballpoint itu bisa menghancurkan kepalamu.
Tapi sebaliknya, potensi menghancurkannya kata-kata juga seimbang dengan potensi menumbuhkannya. Ayat-ayat dalam kitab suci disampaikan dalam kata-kata. Ribuan Ayat difirmankan oleh Tuhan untuk kebaikan manusia dan seluruh makhluk di alam semesta. Terkadang, informasi yang baik dan benar dapat disampaikan dengan cara yang halus, namun ada juga hinaan, cercaan, sindiran pada satu situasi tertentu juga harus disampaikan dengan intonasi yang keras.
Kritik Cak Nun Lebih Keras Dari Kritik Kami
Feri Amsari, seorang pakar hukum Tata Negara yang beberapa bulan lalu terlibat dalam film Dirty Vote turut hadir di Kenduri Cinta edisi Juli ini. ”Perjumpaan saya yang pertama dengan Cak Nun dan KiaiKanjeng adalah dalam sebuah Maiyahan di RRI tahun 2009. Tetapi jika dari bacaan, saya mengenal Cak Nun dari buku Slilit Sang Kiai, dan juga dari media-media terkemuka. Dan satu-satunya tokoh intelektual Indonesia yang menulis satu halaman penuh di sebuah media adalah Cak Nun”, Feri Amsari membuka bahasannya. Suatu hari, Feri diajak oleh Zainal Arifin Mukhtar untuk bertemu secara langsung dengan Cak Nun di Yogyakarta. ”Kalau teman-teman mengatakan bahwa kami itu sangat keras mengkritik penguasa, saya fikir bahkan kami belum sampai pada level beliau (Cak Nun)”, lanjut Feri.
Feri Amsari mengakui bahwa ia lebih banyak tersambung dengan Cak Nun melalui karya-karya tulisan Cak Nun, baik yang dipublikasikan di media massa maupun yang dicetak di buku-buku. Karena pada era itu, saat Feri masih muda, tulisan Cak Nun selalu dinantikan di media massa nasional. Maka, ketika Cak Nun memutuskan menarik diri dari media massa nasional, bagi Feri itu adalah momen yang sangat disayangkan, karena ia tidak bisa lagi membaca tulisan-tulisan Cak Nun melalui media massa. Padahal, salah satu impian kaum intelektual nasional adalah bahwa tulisannya dipublikasikan di media massa nasional Tier 1 seperti Kompas, Tempo dll. Cak Nun justru memutuskan untuk menarik diri, bahkan melakukan boikot.
”Menurut saya menarik untuk kita telaah kenapa Cak Nun bisa seberani itu. Mungkin karena tidak ada beban juga. Orang yang tidak ada beban dosa kan dia akan ngomong seadanya, apa adanya dirinya”, lanjut Feri. Persoalannya hari ini menurut Feri Amsari adalah banyak tokoh politik melakukan dosa, sehingga ia terpenjara sendiri dengan dosa-dosa yang ia lakukan. Sehingga tidak berani melawan kepada penguasa. ”Selain karena faktor bahwa tidak ada partai politik di Indonesia sebenarnya. Partai politik itu tidak ada di Indonesia, yang ada adalah perusahaan keluarga yang diberi nama partai politik”, ujar Feri.
”Dan pola kritik tajam, berani, lugas dilakukan oleh Cak Nun itu sudah dari dulu dilakukan oleh beliau”, lanjut Feri. Salah satu yang juga diingat oleh Feri adalah, jika ada satu acara yang dihadiri oleh Cak Nun sebagai narasumber, ia selalu diajak oleh teman-teman aktivisnya. Baginya, menyimak paparan Cak Nun juga dalam rangka re-charge. Bagi Feri Amsari, salah satu kemampuan yang dimiliki oleh Cak Nun adalah membumikan bahasan-bahasan yang sifatnya filsafat untuk kemudian dijelaskan dalam kalimat yang sederhana, sehingga dapat difahami oleh banyak orang dari berbagai kalangan.
”Mudah-mudahan, forum Kenduri Cinta yang digagas oleh Cak Nun, dengan gagasan-gagasan melalui tulisan-tulisannya, mengajak generasi-generasi baru untuk memikirkan bangsa ini, akan ada perubahan mendasar di Negara ini”, pungkasnya.
Malam itu, hadir juga Isti Nugroho, seorang aktivis senior kelompok studi palagan yang pernah dibui oleh rezim Orde Baru di Nusakambangan karena menggelar diskusi tanpa izin ke aparat setempat. Saat itu, Isti Nugroho divonis dengan tuntutan: Terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan diskusi di rumah/gedung lebih dari 5 orang tanpa izin. Isti Nugroho sedikit menceritakan betapa represifnya rezim Orde Baru saat itu menggunakan Militer (tentara) sebagai kaki tangan penguasa untuk melakukan pengamanan hingga di tingkat terbawah. Acara diskusi yang digelar Isti Nugroho pun digrebek oleh Tentara, bukan Polisi. Bagi Isti, Polisi saat itu tidak begitu menakutkan.
Cak Nun, diceritakan oleh Isti Nugroho, saat di pengadilan menjadi saksi yang meringankan bagi Isti Nugroho. Saat itu Cak Nun berujar: ”Seharusnya yang ditangkap itu saya, bukan Isti Nugroho. Karena yang disampaikan oleh Isti Nugroho itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan yang saya ucapkan”. Isti mengenang peristiwa itu sebagai persambungan yang hangat antara dirinya dengan Cak Nun. Cak Nun sendiri memang dekat dengan banyak orang dari berbagai kalangan, termasuk aktivis seperti Isti Nugroho ini. Juga, kita mengenal Yai Toto Raharjo dan Simon HT yang juga merupakan ”dedengkot” aktivis di Indonesia.
Menurut Isti Nugroho, kritik kepada penguasa itu tidak mudah dan tidak sederhana dilakukan saat ia menjadi aktivis era 80’an. Pemerintah Orde Baru begitu represif saat itu, sehingga kebebasan berpendapat adalah sesuatu hal yang sangat mahal harganya dan sulit dilakukan. Maka, perjuangan Isti Nugroho dan kawan-kawan aktivis saat itu pun tidak muluk-muluk, ia hanya ingin Indonesia menjadi negara yang demokratis, dimana setiap orang berhak dan bebas bersuara dan mengungkapkan pendapatnya. Meskipun kemudian, diakui juga oleh Isti Nugroho bahwa setelah Reformasi 1998 ternyata tidak ada kemajuan yang signifikan di Indonesia.
”Bayangkan, saya hanya menggelar diskusi, lalu dibui di Nusakambangan”, ujar Isti Nugroho menceritakan pengalamannya. Isti Nugroho menekankan bahwa kebebasan berpendapat yang kita rasakan saat ini di Indonesia adalah sesuatu yang dulu diperjuangkan dengan berdarah-darah dan memakan korban jiwa yang tidak sedikit. Mirisnya, bangsa Indonesia hari ini tidak benar-benar menghargai arti kebebasan itu. Fenomena media sosial yang kita saksikan hari ini justru tidak mencerminkan rasa syukur atas kebebasan berpendapat yang sudah diraih.
Isti Nugroho menceritakan perbedaan yang paling mendasar di era Orde Baru dan era Reformasi hari ini. Menurut Isti, dahulu menjadi seorang aktivis itu yang dibutuhkan adalah keberanian, bukan kepintaran. Itu menjadi syarat nomor satu. Jika memang berani untuk menyampaikan perlawanan kepada penguasa yang otoriter, maka itu yang harus dilakukan. Tidak dibutuhkan kepintaran saat itu. Berbeda dengan hari ini, tidak hanya berani tetapi juga dibutuhkan kecakapan intelektual untuk menyampaikan perlawanan kepada penguasa. Sementara, tantangan zamannya pun semakin bertambah dan jauh berbeda dari tantangan yang dihadapi oleh aktivis era 80’an atau 90’an. ”Tetapi setelah Reformasi, adanya demokrasi dan kebebasan, ternyata Indonesia nggak maju-maju amat. Setelah adanya Reformasi, korupsinya malah menjadi-jadi”, ujar Isti Nugroho.
”Saya dulu berani juga karena Cak Nun. Saya baca tulisan-tulisan Cak Nun, tinggal bersama Cak Nun. Bahkan saat sudah di Jakarta pun, saya tinggal bersama Cak Nun di Tebet, bersama Munzir Madjid juga. Bagaimanapun, Cak Nun itu paling bisa memformulasikan keadaan Indonesia. Baik tahun 70’an, 80’an, 90’an bahkan setelah Reformasi pun, Cak Nun tidak ada lelahnya. Sebenarnya, Negara ini sangat berutang kepada Cak Nun, termasuk masyarakatnya juga. Karena perjuangan yang dilakukan oleh Cak Nun itu sudah sangat banyak”, ungkap Isti Nugroho.
”Kalian hari ini menghadapi persoalan yang lebih kompleks dari yang saya hadapi dulu”, lanjut Isti. Digambarkan olehnya bahwa tantangan kita hari ini begitu banyak, dari kehidupan sosial, seperti pandemi Covid lalu yang juga efeknya masih kita rasakan sampai saat ini. Di bidang teknologi, AI menjadi tantangan tersendiri juga yang harus dihadapi. Sementara tantang politiknya pun semakin besar, variabelnya semakin banyak.
Isti Nugroho menyampaikan bahwa dalam waktu dekat bersama Yai Toto Raharjo dan Simon HT akan mementasakan sebuah naskah teater berjudul ”The Jongos”, yang akan dimainkan oleh Joko Kamto, Nevi Budianto dan Eko Winardi. Naskah teater ini diawali dari kalimat: Di luar oligarki adalah korban.
Diskusi Kenduri Cinta malam itu sangat meriah, semakin malam semakin akrab, hadir juga Hendri Satrio yang dalam beberapa bulan terakhir ini selalu datang di Kenduri Cinta. Ia sendiri mengaku bahwa forum seperti Kenduri Cinta adalah forum yang sangat ia rindukan, sehingga ia pun merasa untuk ingin selalu hadir, bertemu langsung dengan teman-teman Jamaah Maiyah di Jakarta, berbagi cerita, berbagi wawasan, dan tentu saja gaya kocaknya yang khas selalu menjadi penyegar suasana forum.
”Jadi kalau dalam teori komunikasi itu ada 3 unsur yang harus dipenuhi: yang menyampaikan pesan, yang menerima pesan dan ada pesan yang disampaikan”, Hendri Satrio membuka. Pada sebuah pesan yang disampaikan, apakah bisa dipahami oleh pihak yang menerima pesan? Apakah pemahamannya sama dengan yang dimaksud oleh si pengirim pesan? Menurut Hendri Satrio, denotasi konotasi berada di wilayah komunikasi itu. Persepsi adalah realita, apa yang kita persepsikan adalah realita.
”Dalam ilmu komunikasi itu diperjelas, bahwa dalam sebuah komunikasi kita harus mengerti siapa yang bicara, bicara tentang apa, untuk apa dia bicara, kapan dia bicara, dampak dari pembicaraannya seperti apa itu yang harus kita fikirkan. Sayangnya, kita terjebak pada konotasi-konotasi yang sifatnya instan atau cepat”, lanjut Hendri Satrio.
Seperti akhir-akhir ini ada kebijakan Organisasi Masyarakat diizinkan untuk mengelola tambang di Indonesia oleh Pemerintah, bagi Hendri Satrio ada kemungkinan bahwa yang dimaksudkan oleh Pemerintah adalah agar Organisasi Masyarakat dapat terlibat untuk mengelola tambang, sehingga ummat yang dinaungi oleh Ormas itu dapat juga turut terlibat dan mendapat pekerjaan. Tetapi, sebagai rakyat kita juga boleh memiliki respon yang berbeda. Begitu juga yang akhirnya kita melihat pada faktanya Ormas-ormas yang lain pun berpendapat bahwa izin pengelolaan tambang itu tidak sesuai jika diberikan kepada Ormas. Dan hal ini juga ternyata menjadi polemik di tengah masyarakat.
Termasuk juga isu yang sudah muncul akhir-akhir ini bahwa Wantimpres akan diganti kembali menjadi Dewan Pertimbangan Agung. Hal ini juga memunculkan polemik di masyarakat bahwa perubahan ini dilakukan sebagai upaya agar kekuasaan seseorang masih akan berlanjut. Seperti halnya sebelumnya kita melihat putusan MK terkait batas usia Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden yang diubah hanya beberapa saat menjelang proses pendaftaran kandidat Capres-Cawapres tahun lalu. Dan masih banyak lagi hal-hal diluar nalar sehat, bagaimana Pemerintah yang berkuasa saat ini sepertinya memaksakan banyak kebijakan-kebijakan yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh rakyat Indonesia hari ini.
Lagi-lagi, Hendri Satrio mengingatkan bahwa sebentar lagi kita akan menghadapi Pemilu tingkat daerah untuk memilih Kepala Daerah. Bagi para politisi, denotasi konotasi tentang Pilkada adalah untuk mendapatkan kekuasaan. Sementara bagi rakyat? Mungkin kita hanya akan menjadi pelengkap penderita yang hanya dibutuhkan lima tahun sekali untuk datang ke bilik suara. Berapa banyak dari kita yang menganggap bahwa Pilkada bulan November nanti adalah dalam rangka untuk memilih pemimpin yang baru, yang akan membawa rakyatnya menuju kondisi dan situasi yang lebih baik?
Itulah tantangan bangsa Indonesia saat ini. Setelah pemilihan Presiden selesai dilakukan, ada pemilihan Kepala Daerah yang sebentar lagi harus juga dilakukan. Gonjang-ganjing mengenai Pilkada ini pun sudah semakin bergemuruh. Rakyat Indonesia akan dihadapkan pada denotasi konotasi lagi mengenai apa itu pemimpin, apa itu partai politik, apa itu koalisi hingga apa itu kekuasaan.
Sebagai Jamaah Maiyah, sudah sepatutnya kita bersyukur bahwa adanya forum Maiyah seperti Kenduri Cinta ini sebagai sebuah early warning system yang kita bangun bersama. Di forum ini, kita tidak hanya duduk berkumpul dan melingkar sebulan sekali, tetapi kita juga tetap mengaktivasi kesadaran kita. Setidaknya, kita tidak ikut menambahkan kerusakan-kerusakan di Negara yang kita cintai ini.