Sejauh mata memandang, seluas semesta pengalaman dan ilmu pengetahuan kita-manusia hanyalah tetes dari samudra cakrawala ke-Maha Besar-Nya. Kita dihadapan-Nya tak berdaya apa-apa, namun bersama di dalam Rahman-Rahim-Nya kita dapat bahagia-bergembira menjalani menghadapi la’ibun wa lahwun kehidupan dunia. Kalimat ini jadi penutup Tulisan Mukadimah Kenduri Cinta edisi ke-250 pada November 2024 sekaligus menjadi pengantar tema Kenduri Cinta bulan ini yang bertajuk Cakrawala Anallah.
Sehabis waktu Maghrib, awan gelap mulai menyelimuti langit di Taman Ismail Marzuki (TIM) sebuah tanda bahwa kemungkinan besar hujan akan segera turun. Semua penggiat seperti biasa, bersiap dan memastikan segala rencana serta segala hal teknis tidak ada kendala sejak siang hari. Betapapun dan bagaimanapun bentuk langit sore menjelang malam itu, semua tetap siaga, terbiasa “mengasyiki” segala hal yang datangnya dari Allah. Seolah beracah-acah pada kemungkinan: akan selebat apa hujan malam itu, dan pada kemungkinan setelahnya? Apakah forum akan tetap dijalankan? Semua masih pada kuda-kuda solid, bahwa kita mesti mengoptimalkan apa yang dapat kita kerjakan, seraya memasrahkan yang tak bisa kita pastikan-yang merupakan domain Tuhan yang Maha Segala.
Pada Jumat malam, kita juga menyaksikan tim nasional sepak bola Indonesia bertanding melawan Jepang di Lapangan Gelora Bung Karno. Bertindak sebagai tuan rumah babak kualifikasi ketiga Zona Asia untuk Piala Dunia 2026. Pertandingan dimulai pukul 19.00 WIB sedang Kenduri Cinta seperti biasa akan dimulai pukul 19.30 WIB. Ramai di media sosial, bahwa Kenduri Cinta bulan ini sangat pas, karena sehabis nonton bola langsung dapat merapat Maiyahan. Ada juga yang sejak maghrib menunggu di lapangan TIM, sejak sore sudah menanti forum Kenduri Cinta. Benar saja, hujan lebat langsung mengguyur TIM sekitar pukul 18.30 WIB, Penggiat dan Jamaah yang sudah berada di tempat, bergotong-royong menggulung alas tikar terpal yang sudah digelar dan merapat ke arah tenda dan panggung agar tak basah. Pukul 19.15 WIB, hujan perlahan berhenti, rintiknya sudah tak lebat. Penggiat dan Jamaah yang sudah hadir, segera bersiap untuk bersholawat.
Mas Mizani, Mas Munawir, Mas Rizal, dan Mas Adi memimpin sholawat malam itu. Perlahan dari berbagai penjuru, Jamaah berduyun merapat, segera duduk bersila di lantai yang masih lembab, menyesuaikan untuk bergabung bersholawat. Suara sholawat meninggi, semilir angin kecil sehabis hujan mencubit bulu kuduk, dingin mulai sedikit terasa, setelah seharian terik kering udara Jakarta. Dihangatkan segera oleh Wirid Mawlan Siwallah dan sebagai upaya untuk selalu menebalkan kehadiran Allah dan menyapa Rasulullah SAW di malam 15 November itu. Pada momen itu, tak lupa, doa melangit untuk Mas Gandhie yang mendahului kita kembali pada Gusti Allah. Kembali ke haribaan yang abadi. Kembali dari sumber segala sumber permulaan, menyatu pada keabadian sejati.
Kenduri Cinta kali ini memang didedikasikan untuk Mas Gandhie. Kenduri Cinta yang secara konsep adalah Forum Reboan yang “diperbesar” terasa sekali kehilangan Mas Gandhie. Pada tiga kali Forum Reboan, nama itu tak absen sekalipun dari pembahasan. Dialektika di dalamnya-yang entah sengaja atau tidak- muncul karena Mas Gandhie. Ia meneguhkan nilai, menginspirasi lewat laku, menyampaikannya dalam bentuk hikmah-yang menggerakkan yang lain, tak henti dan istiqomah. Bahkan tema “Cakrawala Anallah”muncul setelah menenggelami nama belakang Gandhie Tanjung Wicaksono. “Wicaksono” dalam bahasa Indonesia artinya adalah “Bijaksana”. Kata bijaksana, tak luput dari kata dasar “bijak”, dan elaborasi atas “kebijakasanaan” dapat menjadi pelbagai topik bahasan. Hingga pada keputusan bahwa mengingat Mas Gadhie juga dapat dengan kembali melihat diri sendiri untuk selalu berproses jadi manusia yang semakin lebih baik setiap harinya, hingga mampu jadi manusia yang “Wicaksana”.
Forum dilanjutkan langsung dengan sesi pertama. Mas Amin dan Mas Rizal menjadi moderator sesi diskusi ini. Sesi awal dimulai sekitar pukul 20.15 WIB. Ada 3 keyword yang menjadi pemantik: “Man ‘arofa nafsahu faqod ‘arofa rabbahu”, Anallah, dan Kebijaksanaan. Tarikan dan elaborasi ketiga kata itu luas sekali. Kenduri Cinta kali ini cukup berbeda: biasanya sesi awal adalah sesi mukadimah, namun kali ini sesi dipadatkan menjadi satu sesi diskusi utuh. Ada tiga pembicara pada sesi ini, yakni: Mas Pram, Mas Karim, dan Mas Nanda. Kombinasi tiga pembicara yang ciamik. Perbedaan pisau analisa dan latar belakang ketiganya membuat Jamaah khidmat menyimak. Perbedaan itu mempertajam pemahaman dan meluaskan pandangan, memotret jelas nilai “universiltas” yang diajarkan Mbah Nun pada kita semua.
Cakrawala Anallah dan Kepercayaan Kapitayan Jawa: ‘Wadah’ dan ‘Isi’ yang saling berkelindan.
Mas Pram sebagai salah satu narasumber di sesi ini, menyampaikan tentang keterkaitan tema dengan filosofi Jawa. Secara harfiah, “Cakrawala” merujuk pada batas pandangan, sedangkan “Anallah” mengarah manusia pada Tuhan atau Sang Pencipta. Cakrawala Anallah dapat diartikan sebagai batas pandangan atau jangkauan pengetahuan manusia terhadap Tuhan dan dirinya sendiri. Dalam konteks kepercayaan Jawa, ini melambangkan dimensi spiritual yang tak terbatas dan misterius. Kapitayan adalah salah satu aliran kepercayaan asli Jawa yang menekankan pada hubungan manusia dengan alam semesta dan Tuhan. Kapitayan sering digambarkan sebagai bentuk monoteisme asli Jawa, di mana terdapat satu Tuhan Yang Maha Esa yang mengatur segala sesuatu.
Cakrawala Anallah dapat dianggap sebagai “wadah” yang tak terbatas bagi segala sesuatu, termasuk Tuhan dan alam semesta. Ini adalah ruang spiritual yang menjadi tempat bagi segala kemungkinan dan manifestasi kehidupan. Kepercayaan Kapitayan, dengan segala ritual, ajaran, dan praktik spiritualnya, mengisi “wadah” Cakrawala Anallah. Ajaran Kapitayan memberikan kerangka kerja bagi manusia Jawa untuk memahami keberadaan mereka dalam alam semesta yang luas ini.
Tema Kenduri Cita kali ini dan Filosofi Jawa ini saling melengkapi, dinamika yang tak berujung, dan pencarian makna yang tiada henti. Tema Cakrawala Anallah memberikan perspektif yang luas dan mendalam tentang dimensi spiritual, sementara kepercayaan Kapitayan memberikan panduan praktis untuk berinteraksi dengan dimensi tersebut. Keduanya saling melengkapi dalam memberikan pemahaman yang komprehensif tentang kehidupan dan alam semesta. Hubungan antara Cakrawala Anallah dan kepercayaan Kapitayan bersifat dinamis ia berkembang seiring pemahaman manusia. Interpretasi terhadapnya dan praktik-praktiknya juga dapat berubah. Ia juga mendorong manusia untuk terus mencari makna yang lebih dalam dalam kehidupan. Ini adalah proses serta perjalanan spiritual yang tak pernah berakhir.
Tiga Jenis Kelahiran dalam Budaya Jawa sebagai Manifestasi Mengenal Diri
Dalam perspektif budaya Jawa, konsep kelahiran melampaui sekadar peristiwa biologis. Kelahiran bagi orang Jawa adalah sebuah perjalanan spiritual yang mencakup tiga dimensi utama: kelahiran fisik (kauruh kelahiran jati), kelahiran batin (kauruh sawah budi), dan penyatuan diri dengan Sang Pencipta (kauruh budijati). Kelahiran fisik menjadi titik awal eksistensi manusia di dunia, namun bukan akhir dari perjalanan spiritual. Melalui proses penyucian batin atau sawah budi, manusia berupaya memahami tujuan hidup dan menjalin hubungan yang lebih dalam dengan Sang Pencipta. Puncak dari perjalanan spiritual ini adalah mencapai kauruh budijati, di mana manusia hidup selaras dengan kehendak Tuhan dan memancarkan cahaya kebaikan bagi sesama. Ketiga dimensi kelahiran ini saling terkait dan membentuk kesatuan yang utuh dalam pandangan kosmologi Jawa, di mana manusia sebagai mikrokosmos mencerminkan makrokosmos alam semesta. Mas Pram kemudian menutup pernyataannya seperti biasa dengan senyum dan menyerahkan forum ke Mas Amin untuk lanjut memoderasi dan memberikan ruang kepada Pembicara lain.
Mencari Kesatuan: Menggabungkan Ilmu Pengetahuan dan Spiritualitas dalam Cakrawala Anallah
Pada posisi duduk yang berbeda, Mas Karim menyambut diskusi dengan mengajak Jamaah Kenduri Cinta membaca Al-Fatihah untuk Mas Gandhie. Mas Karim kemudian menghadirkan refleksi mendalam tentang konsep Cakrawala Anallah. Dimulai dari penggunaan kata “Cakrawala” yang jarang terdengar dalam keseharian bahkan amat jarang kita gunakan. Mas Karim mengajak jamaah untuk merenungkan makna yang terkandung di dalamnya. Cakrawala, yang berasal dari bahasa Sanskerta cakravāla dan juga dapat diartikan sebagai horizon dalam bahasa Inggris. Dalam konteks, ini dapat dimaknai sebagai batas pandangan atau jangkauan pengetahuan manusia, khususnya dalam memahami Tuhan.
Keunikan pada sesi ini terletak pada upaya memadukan antara pengetahuan modern dan tradisi tradisional. Mas Karim menunjukkan bahwa meskipun kedua pendekatan ini berbeda dalam metodologi, keduanya memiliki kesamaan dalam hal disiplin dan pencarian kebenaran. Dalam tradisi tradisional, terdapat kedalaman rasa dan pengalaman personal yang melengkapi pengetahuan ilmiah. Maiyah khususnya Kenduri Cinta, sebagai wadah diskusi, berhasil menyatukan kedua perspektif ini, menciptakan ruang yang luas bagi semua untuk mengeksplorasi berbagai dimensi pengetahuan.
Konsep Anallah dihubungkan dengan upaya mengenal diri sendiri. Melalui contoh sosok Mas Gandhie, Mas Karim mengajak Jamaah yang hadir untuk merenungkan bagaimana seseorang dapat mendalami dirinya dan menemukan hubungannya dengan Tuhan. Maiyah tidak membatasi pemahaman tentang Anallah pada satu sudut pandang tertentu, melainkan membuka ruang bagi setiap individu untuk menemukan makna Anallah yang unik bagi dirinya masing-masing. Nilai “manunggaling kawula gusti” (kesatuan manusia dengan Tuhan) menjadi sorotan dalam diskusi. Nilai ini, secara nyata diyakini Mas Karim melekat pada sosok Mas Gandhie, menjadi inspirasi bagi Jamaah Kenduri Cinta untuk terus mencari kesatuan dengan Sang Pencipta.
Cakrawala sebagai Metafora Tak Terhingga
Diskusi kemudian berlanjut, Mas Nanda mengambil pelantang dan mulai berpendapat. Mas Nanda mengajak kita merenung pada makna cakrawala, bukan sekadar batas pandang mata, melainkan sebagai metafora tak berujung dari pencarian makna. Dalam kosmologi Jawa, cakrawala adalah pertemuan langit dan bumi, sebuah pertemuan yang tak pernah terjadi namun senantiasa menjadi imaji. Ia adalah simbol dari segala yang tak terhingga, seperti usaha manusia untuk memahami keagungan Tuhan.
Kata-kata, seindah dan sedalam apa pun, tak mampu menampung seluruh keagungan Tuhan. Ibarat samudra dijadikan tinta, tak akan cukup untuk menuliskan seluruh asma-Nya. Cakrawala menjadi pengingat akan keterbatasan bahasa manusia di hadapan misteri Ilahi.
Perjalanan spiritual manusia diibaratkan sebagai upaya mencapai cakrawala. Semakin dekat kita merasa dengan Tuhan, semakin luas cakrawala pemahaman kita. Namun, layaknya cakrawala yang selalu tampak di depan mata namun tak pernah tergapai, pencarian makna hidup ini tak pernah benar-benar selesai.
Dalam perjalanan hidup ini, kita dihadapkan pada berbagai nafsu. Mas Nanda menjelaskan konsep hierarki nafsu yang terdiri dari: Nafsu Amarah, Nafsu Penyesalan, Nafsu Ilham, dan Nafsu Ridho (Ridho kepada Allah dan Allah pun ridho). Pengelolaan nafsu menjadi kunci penting dalam spiritualitas di dalam hidup.
Lebih jauh lagi, Mas Nanda mengingatkan kita akan pentingnya adab dalam berinteraksi dengan Yang Maha Kuasa. Konsep dualitas antara manusia dan Tuhan pada kata “Anaallah” hanyalah konstruksi pikiran. Pada hakikatnya, segala sesuatu adalah satu-kesatuan. Mencapai kesatuan dengan Tuhan adalah tujuan akhir dari perjalanan spiritual, sebuah proses yang membutuhkan kesabaran dan ketekunan.
***
Diskusi Kenduri Cinta malam ini semakin menghangat dengan pertanyaan dan jawaban yang menarik dari Jamaah dan Pembicara. Mas Rizal menambahkan penjelasan makna cakrawala dengan analogi pendakian gunung, di mana semakin tinggi kita mendaki, semakin luas cakrawala yang kita lihat. Hal ini dikaitkan dengan perluasan pengetahuan dan perspektif. Mas Karim menambahkan bahwa dalam belajar, tidak ada batasan antara guru dan murid, seperti yang diajarkan Mbah Nun. Beliau juga menyoroti keunikan Kenduri Cinta yang mampu menciptakan ruang di mana perbedaan gender tidak menjadi penghalang untuk berdiskusi.
Mas Nanda dan Mas Amin juga membahas poster Kenduri Cinta kali ini yang menggambarkan generasi baru yang penuh harapan. Salah satu jamaah perempuan, Mbak Ade. Ia berbagi pengalaman pribadinya dan mengajukan pertanyaan tentang cara mempertahankan prinsip agama di lingkungan kerja yang beragam dan termasuk minoritas. Dalam konteks ini, Mbak Ade bercerita bahwa ia berkantor di kawasan SCBD Jakarta dimana ia mungkin tidak sampai 5% populasi orang berjilbab di kantor tempat ia bekerja, menanyakan “bagaimana untuk terus berteguh pada nilai yang Ia anggap baik? Sedang lingkungan kantor tidak sepenuhnya mendukung”. Mas Nanda dan Mas Karim memberikan jawaban yang menekankan pentingnya sikap yang seimbang dan menjadi teladan bagi orang lain. Bahwa sebagaimana pesan Mbah Nun, tugas kita adalah berbuat baik dan terus berbuat baik dalam keadaan apapun, serta kepada siapapun. Malam menunjukkan hampir pukul 22.00 WIB. Akhirnya, sesi ini ditutup dengan ucapan selamat ulang tahun ke-56 untuk Taman Ismail Marzuki yang telah membersamai lebih dari 20 tahun kenduri Cinta oleh Penggiat mewakili semua Jamaah.
***
Seperti biasa, sesi diskusi disisipkan penampilan musik. “Crewsakan” membawakan beberapa lagu yang berhasil membuat jarak dan sejenak memberi hiburan pada penat kepala Jamaah Kenduri Cinta-yang datang dari berbagai latar belakang dan aktivitas harian. Pada beberapa celetukan terdengar bahwa Kenduri Cinta adalah tempat mereka beristirahat. Tempat merebahkan rutinitas, memenuhi dan memberi makan diri agar tetap “terjaga” menjadi manusia utuh.
Sesi selanjutnya biasa adalah sesi Pamungkas. Pada sesi ini hadir Sabrang, Hendri Satrio, dan Ustadz Noorshofa. Mas Hadi, Mas Tri Mulyana dan Mas Fahmi menjadi moderator. Moderator menebalkan dan semakin memperjelas tema diskusi malam ini. Elaborasi tema dari sesi sebelumnya mengalir begitu alami, dari cakrawala hingga ke persoalan sehari-hari. Ini menunjukkan bahwa tema dalam Kenduri Cinta itu begitu dinamis, selalu berubah dan berkembang sesuai dengan konteks dan kebutuhan. Mas Tri dan Mas Hadi menyampaikan bahwa ada semacam ‘dialektika tema’ yang terjadi saat Forum Reboan, terdapat berbagai interpretasi dan pengembangan berdasarkan pengalaman dan perspektif masing-masing Penggiat. Mas Fahmi pun berujar jika Reboan terakhir sebelum Kenduri Cinta November adalah salah satu reboan yang menggembirakan dan menggairahkan. Dari proses diskusi, bahasan tema menjadi lebih kaya, lebih kompleks, dan bahkan menggugah untuk diskursus tambahan lebih lanjut.
Pijakan dan Ke ‘satu’ an
Mas Tri, meminta Mas Sabrang untuk memberikan perspektifnya mengenai tema Kenduri Cinta malam itu. Mas Sabrang mengawali diskusi dengan mengajak kita semua berefleksi. Beliau bertanya dengan pertanyaan mendasar, “Apakah sebetulnya kita siap menjadi pijakan pada banyak hal?”
Beliau kemudian mengajak kita untuk melihat hidup sebagai sebuah permainan atau game, di mana kita seringkali terjebak dalam peran sebagai pemain utama dan lupa akan tujuan game itu sendiri. Melalui analogi berbagai warna yang apabila menyatu hanya akan menjadi satu warna, yaitu: putih, Mas Sabrang menjelaskan konsep Anallah. Beliau melanjutkan bahwa “keberadaan” itu sendiri merupakan hasil dari pemisahan dari kesatuan yang sempurna. atau secara sederhana.
“Keber’ada’an adalah pengurangan dari kelengkapan.”
Dalam konteks fisik, untuk mencapai kesempurnaan, kita justru harus menambahkan segala kekurangan yang ada pada diri kita. Namun, dalam hal spiritual, kita harus menguranginya untuk kemudian menjadi lengkap. Beliau juga menekankan pentingnya introspeksi diri untuk mengenal diri sendiri lebih baik karena kita menghadapi tematik masalah hidup yang berulang. Dengan memahami pola-pola yang berulang dalam hidup kita, kita dapat mengambil langkah-langkah yang lebih bijaksana di masa depan. Sebelum ditambahkan pembicara lain, Mas Sabrang mengajak kita untuk selalu merenung, mengurangi ego, dan mencari kesatuan dengan alam semesta.
***
Riuh tepuk tangan mengawali pandangan Hendri Satrio malam itu setelah dipantik oleh Mas Hadi dan Mas Fahmi. Setelah Sabrang, Hendri Satrio yang pada edisi sebelumnya selalu dipanggil “Hensat” dengan gurau meminta untuk dipanggil Hensa saja. Karena jika ditambahkan kata “Bang Hensat” apabila disingkat jadi “kurang menyenangkan” tutur beliau. Jamaah pun ikut terbahak sembari menertawakan kata-kata yang mampir pada pikiran mereka masing-masing.
Bayang-bayang Kolonial dalam Negeri Merdeka
Hendri Satrio mengajak kita menyelami relung-relung sejarah bangsa, di mana bayang-bayang kolonialisme masih menghantui. Ia mengutip teori Daron Acemoglu, sang peraih Nobel Ekonomi tahun ini, yang menggarisbawahi bahwa nasib suatu bangsa seringkali ditentukan oleh jejak kaki penjajahnya. Negara-negara yang pernah dijajah dengan sistem inklusif, di mana penduduk lokal turut serta dalam pembangunan, cenderung lebih maju. Sebaliknya, negara-negara yang dieksploitasi secara ekstraktif, di mana kekayaan alamnya disedot habis oleh penjajah, cenderung menderita kemiskinan dan kesenjangan yang mendalam.
Indonesia, dengan sejarah kolonial yang panjang dan kompleks, tak luput dari pengaruh ini. Fenomena dan berita akhir-akhir ini soal penimbunan uang triliunan di rak kantor kementerian tak luput jadi poin penting yang perlu disampaikan oleh Bang Hensa. Ia berkata bahwa ini adalah cerminan dari sistem ekstraktif yang masih membekas hingga kini. Kekayaan alam yang melimpah justru dinikmati oleh segelintir kelompok, sementara mayoritas rakyat masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Bang Hensa menyelipkan pesan Mas Gandhie, dengan penuh hikmah, mengingatkannya akan pentingnya penyampaian teori dalam memahami realitas untuk Jamaah Maiyah. “Agar Jamaah, ketika pulang membawa konsep dan teori baru dalam hidupnya”. Teori bukan sekadar kumpulan kata-kata belaka, melainkan lensa yang membantu kita melihat dunia dengan lebih jernih. Dengan memahami teori-teori ekonomi dan politik, kita dapat mengurai benang kusut permasalahan bangsa dan mencari solusi yang tepat.
Pertandingan sepak bola Indonesia melawan Jepang menjadi metafora yang menarik. Beberapa lelucon dilempar, membuat Jamaah tak bisa untuk tak tersenyum. Sama seperti dalam pertandingan sepak bola, dalam perjalanan sejarah bangsa, kita seringkali dihadapkan pada berbagai tantangan dan rintangan. Untuk memenangkan pertandingan ini, kita perlu mengenal diri sendiri, memahami kekuatan dan kelemahan kita, serta mempelajari strategi lawan. Suasana kekalahan 0-4 Indonesia atas Jepang tak luput dari diskusi Kenduri Cinta malam itu.
***
Di tengah sesi Mas Sabrang dan Hensa, Ustadz Noorshofa Thohir pun hadir. Membalas rindu Jamaah yang dalam akan kehadirannya. Tanpa panjang -lebar, setelah pendapat Hensa, moderator menyerahkan pelantang kepada Ustadz Noorshofa untuk menyapa Jamaah.
Perjalanan Panjang Menuju Kebenaran
Ustadz Noorshofa mengajak kita merenung tentang misteri kehidupan. Beliau membawa kita dalam sebuah perjalanan spiritual, mulai dari titik awal keberadaan kita sebagai ruh, hingga akhir kehidupan di alam akhirat. Dengan bahasa yang sederhana namun sarat makna, beliau mengurai perjalanan hidup yang penuh liku-liku.
“Bukanlah telah datang kepada kalian: pada suatu masa, kita belum jadi apa-apa.” Kalimat ini menjadi pembuka yang menggugah. Kita, yang kini hidup dengan segala kompleksitasnya, ternyata berasal dari ketiadaan. Sebuah refleksi yang mengundang kita untuk merenungi asal-usul dan tujuan hidup.
Beliau kemudian menguraikan lima fase kehidupan manusia. Setiap fase adalah sebuah tahapan yang penuh makna, membawa kita semakin dekat kepada Sang Pencipta. “Kita pernah hidup di alam ruh, rahim, dunia, dari dunia ke alam barzah, dibangkitkan lagi ke alam mahsar.” Sebuah perjalanan yang panjang dan penuh misteri.
Kisah Nabi Ibrahim menjadi titik terang dalam perjalanan spiritual kita. Keraguan yang beliau lontarkan tentang kebangkitan manusia dari kematian justru menjadi bukti keimanan yang kuat. “Tolong tunjukkan bagaimana dari cara Allah menghidupkan manusia dari kematian ke hidup lagi?” Pertanyaan ini adalah cerminan dari kerinduan manusia untuk memahami rahasia kehidupan dan kematian.
Ustadz Noorshofa mengingatkan kita akan kepastian kematian. “Kita tidak pernah tahu soal kematian.” Namun, kematian bukanlah akhir dari segalanya. Kematian adalah peralihan menuju kehidupan yang abadi. “Pada saat 4 bulan dalam kandungan sudah ada catatan mengenai: perbuatan-perbuatan kita, rezeki, ajal serta skenario akan masuk surga atau neraka.” Ini berarti, setiap perbuatan kita akan dimintai pertanggungjawaban.
Amal saleh menjadi kunci utama untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat sebagaimana yang selalu diulang-ulang Mbah Nun. “Tugas kita terus berusaha: menanam walau belum tentu kita sendiri yang menikmati buahnya.” Seperti seorang petani yang menanam benih, kita terus berbuat baik tanpa mengharapkan balasan.
Nabi Muhammad SAW menjadi teladan bagi kita. “Nabi Muhammad tidak pernah didik oleh sosok “bapak” namun Allah langsung yang mendidiknya.” Beliau adalah manusia pilihan yang diutus untuk membawa rahmat bagi seluruh alam.
Kematian bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari kehidupan yang baru. “Kalimat pulang dalam kematian penuh muatan keindahan.” Beliau membandingkan kematian dengan momen pulang sekolah, di mana kita pulang dengan perasaan senang dan penuh harapan.
Pesan yang ingin disampaikan Ustadz Noorshofa sangat jelas: jadilah manusia yang bernilai, yang senantiasa berbuat baik dan mendekatkan diri kepada Allah. “Jadilah manusia yang bernilai dalam keberadaan.” Dengan demikian, kita akan hidup bahagia di dunia dan selamat di akhirat.
***
Sesi ini pun disela oleh penampilan musik oleh Bedur bersama “Pandan Nanas”. Mengajak semua Jamaah tanpa sengaja ikut bergoyang. Memecah suasana malam dengan paduan penampilan yang membahagiakan.
Di sesi akhir, Kenduri Cinta ditutup dengan sesi tanya-jawab. Ruang dialektis ini dimulai oleh moderator yang memberikan ruang Jamaah untuk bertanya. Diawali pertanyaan Vicki salah satu Jamaah yang bertanya mengenai “Siapa Saya, Dari Mana Saya, dan Bagaimana Mengatasinya? Pertanyaan-pertanyaan ini adalah pertanyaan universal yang telah menghantui manusia sejak zaman dahulu kala. “Siapa saya?” adalah pertanyaan tentang identitas, tentang makna keberadaan kita di dunia. “Dari mana saya?” adalah pertanyaan tentang asal-usul, tentang asal mula kehidupan. Dan “Bagaimana cara mengatasinya?” adalah pertanyaan tentang tujuan hidup, tentang bagaimana kita seharusnya menjalani hidup ini.
Kemudian, Pertanyaan jamah lainnya, yakni Hasbi tentang lupa perjanjian dengan Allah merupakan pertanyaan yang sangat mendasar. Kita seringkali terlena oleh hiruk pikuk dunia sehingga lupa akan tujuan utama penciptaan kita. Kita lupa bahwa kita adalah hamba Allah yang memiliki kewajiban untuk menyembah-Nya.
Mas Sabrang memberikan pandangan yang menarik tentang orang yang “tenggelam” dalam realitas. Mereka yang terjebak dalam rutinitas dan kesibukan sehari-hari, seringkali kehilangan arah dan tujuan hidup. Mereka sulit mengambil keputusan yang tepat karena terombang-ambing oleh keinginan dan nafsu duniawi.
Mas Sabrang juga menekankan pentingnya tanggung jawab atas perbuatan kita. Kita tidak bisa terus-menerus menyalahkan keadaan atau orang lain atas kesalahan kita. “Bertanggung jawab atas perbuatan kita di hari ini, jikalau saat ini salah tidak masalah karena masih ada esok untuk belajar kembali (Ihdinassirothol mustaqim).” Kalimat ini adalah pengingat yang sangat penting bagi kita untuk terus berusaha menjadi pribadi yang lebih baik.
Mas Sabrang juga menegaskan bahwa ketidaktahuan bukanlah alasan untuk tidak bertanggung jawab. “Jika Masih belum paham kita tidak harus bertanggung jawab atas ketidaktahuan.” Namun, kita memiliki kewajiban untuk terus belajar dan mencari ilmu agar kita dapat memahami agama dan menjalankan perintah-Nya.
***
Sebagaimana edisi-edisi Kenduri Cinta sebelumnya, forum berakhir sampai larut dan ditutup doa yang dipimpin oleh Mas Hadi. Keseruan dan kekhidmatan edisi ini, tak bisa digambarkan dengan kata-kata reportase-yang amat terbatas- ini. Ada ruang yang kadang luput dari catatan. Ada ruang yang mesti dialami langsung. Pada akhirnya, dalam labirin eksistensi, manusia tak henti bertanya tentang hakikat dirinya. Siapa kita sebenarnya dalam tarian semesta ini? Dari mana asal mula kita dan ke mana kita akan kembali? Pertanyaan-pertanyaan mendasar ini menggema dalam sanubari setiap insan, menjadi semacam mantra yang mengiringi perjalanan hidup. Dalam pencarian jawaban, kita menjelajahi kedalaman jiwa, merengkuh makna kehidupan, dan mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Setiap langkah dalam perjalanan hidup ini adalah sebuah penemuan, sebuah pemahaman yang membawa kita semakin dekat pada kebenaran sejati. Inilah catatan mengenai Cakrawala Anallah pada Kenduri Cinta edisi November 2024. (RedKC/Ansa)