Kenduri Cinta
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
Home Esensia

Bagaimana Hari-Hari Kami Berbagi Api

Shokeb Fathoni by Shokeb Fathoni
May 21, 2025
in Esensia
Reading Time: 3 mins read
Bagaimana Hari-Hari Kami Berbagi Api

HARI-HARI kami tidak berkutat dari halaman-halaman buku pelajaran di ruang-ruang kelas atau dari pidato-pidato pejabat yang mengucapkan kata “perjuangan” layaknya slogan. Murahan! Hari-hari kami dihabiskan di jalan-jalan yang penuh sesak oleh kemacetan, dari suara klakson yang menjerit lebih lantang dari doa pagi.

Di kota yang tidak pernah benar-benar tidur namun selalu nampak kelelahan. “Jakarta itu kenyal Bung!” Kalimat itu senantiasa terngiang-ngiang ketika spirit itu dirasa sedikit agak ambruk. Ya, inilah Jakarta, Ibukota impian banyak orang yang membuat sering lupa caranya bermimpi. Di kota inilah kami habiskan hari demi hari di antara jalanan flyover dan underpass yang dingin dan di bawah bayangan gedung-gedung pencakar langit yang congkak, menengadah langit tapi tak pernah benar-benar peduli apa yang ada di bawahnya, juga kemacetan disepanjang jalan, suara-suara knalpot, dan kutukan pengemudi menjadi latar belakang rutinitas dari Senin hingga Jumat.

Namun hari Rabu adalah hari yang berbeda, dia spesial, karena kami melewati Rabu demi Rabu untuk melantai di atas ubin kayu bersama teman-teman melingkar di antara bangunan-bangunan bergaya modern industrialis khas Andra Matin. Disitulah kami menghabiskan waktu sampai tengah malam yang terkadang dirasa tak pernah cukup. Struggling, di tengah hiruk-pikuk masing-masing, melewati Senin hingga Senin berikutnya.

Pada hari Rabu itulah kami menemukan semacam kedekatan di antara teman-teman yang senantiasa hadir. Ya, kami yang rata-rata para pekerja shift ganda pagi-siang-malam, juga para buruh-buruh kehidupan, dan dengan kekasih yang hanya bisa bertukar pesan WhatsApp pada pukul dua dini hari di hari Jumat kedua setiap bulan, kami saling berkabar dan menemani dengan cara kami sendiri.

Di bawah tenda tanpa sekat dinding-dinding dan lampu sorot Teater Besar Taman Ismail Marzuki yang kedipnya kadang tidak stabil, kami duduk melantai di atas tikar terpal. Berteman sebotol kopi dengan gelas plastik, tawa getir, dan sebungkus Samsu Kretek terakhir dari gaji yang sudah habis sebelum akhir bulan. Juga dengan Api yang kami sulut bukan sekadar sebagai penghangat dada. Api adalah simbol. Api adalah cerita. Api ini adalah sisa kecil dari sesuatu yang lebih besar yaitu keberanian untuk senantiasa bertahan.

Api itu kami warisi, dari nilai-nilai yang tergenggam setiap saat demi untuk menyalakan ruang yang jauh tersembunyi. Api itu dari Si Mbah kami yang tak akan pernah selesai membacakan ceritanya, karena listrik yang terkadang sempat padam dan cucunya keburu tertidur di pangkuan kenyataan. Dan setiap malam-malam hingga larut, di gang-gang yang bahkan tak tercatat di peta Google Maps kami berkumpul. Tangan-tangan kasar saling meraba ketika gelap untuk mencari bara.

“Eh, Lu ada korek nggak?”

“Korek Gue abis nih”

“Owh, ini ada pakai aja”

Krekkk, dan dunia yang dingin kembali punya nyala. Tidak besar, tidak mewah, tapi cukup untuk membuat kami merasa hidup. Api itu berpindah dari tangan ke tangan, seperti rahasia kecil yang kami simpan dari dunia luar yang terlalu sibuk menghakimi. Mereka bilang kami usang. Mereka bilang kami kalah. Tapi mereka tidak pernah benar-benar duduk bersama kami di malam-malam itu. Mereka itu orang-orang yang tidak tahu rasanya berbagi rokok terakhir dengan teman-teman yang mereka cintai. Kami tidak punya banyak. Tapi kami punya satu sama lain.

Kami punya Api yang meskipun kecil, itu sangat amat cukup untuk menghangatkan luka yang tak pernah diberi waktu untuk sembuh. Dalam setiap percakapan tengah malam yang diiringi tawa setengah putus asa, kami temukan semacam kekuatan, bahwa hidup ini memang terkadang tidak adil, tapi kami bisa tetap waras jika saling menjaga bara itu.

Api itu bukan hanya tentang korek. Api itu adalah bentuk paling purba dari harapan. Api itu adalah ekspresi yang belum mendapat ruang. Api itu adalah cinta yang tak bisa diterjemahkan dengan kata. Api itu adalah pengakuan diam-diam bahwa meski dunia terus menghantam, Api itu tak pernah diizinkan untuk padam.

Ketika hari esok datang, meski acapkali tubuh pegal dan kantung mata yang makin dalam, kami kembali ke rutinitas. Juga dengan sedikit bara yang tersisa di saku celana yang hampir robek, dan langkah yang seringkali goyah, tapi langkah harus tetap ditempuh. Selama ada Api kecil itu, kami tahu satu hal yang pasti: Kami belum sepenuhnya menyerah!

SendTweetShare
Previous Post

Angon Laa Roiba: Cinta Menemani, Keyakinan Melayani

Next Post

Antara Radikal, Moderat, dan Liberal: Maiyah Ada di Mana?

Shokeb Fathoni

Shokeb Fathoni

Related Posts

Seperempat Abad Menyalakan Cinta
Esensia

Seperempat Abad Menyalakan Cinta

June 19, 2025
Pertumbuhan tanpa Deru
Esensia

Pertumbuhan tanpa Deru

June 18, 2025
25 Tahun Kenduri Cinta Setia Menjadi Forum yang Egaliter
Esensia

25 Tahun Kenduri Cinta: Setia Menjadi Forum yang Egaliter

June 17, 2025
Menyeberangi Bara, Membawa Damar
Esensia

Menyeberangi Bara, Membawa Damar

June 15, 2025
Setelah Raja Kesembilan Belajar dari Sahabat Mbah Nun-Romo Mani, di Tikungan Zaman
Esensia

Setelah Raja Kesembilan: Belajar dari Sahabat Mbah Nun-Romo Manu, di Tikungan Zaman

June 12, 2025
Ekologi di Era Algoritma: Mengapa Kita Peduli Hanya Pada yang Indah?
Esensia

Ekologi di Era Algoritma: Mengapa Kita Peduli Hanya Pada yang Indah?

June 11, 2025

Copyright © 2025 Kenduri Cinta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak

Copyright © 2025 Kenduri Cinta