HARI-HARI kami tidak berkutat dari halaman-halaman buku pelajaran di ruang-ruang kelas atau dari pidato-pidato pejabat yang mengucapkan kata “perjuangan” layaknya slogan. Murahan! Hari-hari kami dihabiskan di jalan-jalan yang penuh sesak oleh kemacetan, dari suara klakson yang menjerit lebih lantang dari doa pagi.
Di kota yang tidak pernah benar-benar tidur namun selalu nampak kelelahan. “Jakarta itu kenyal Bung!” Kalimat itu senantiasa terngiang-ngiang ketika spirit itu dirasa sedikit agak ambruk. Ya, inilah Jakarta, Ibukota impian banyak orang yang membuat sering lupa caranya bermimpi. Di kota inilah kami habiskan hari demi hari di antara jalanan flyover dan underpass yang dingin dan di bawah bayangan gedung-gedung pencakar langit yang congkak, menengadah langit tapi tak pernah benar-benar peduli apa yang ada di bawahnya, juga kemacetan disepanjang jalan, suara-suara knalpot, dan kutukan pengemudi menjadi latar belakang rutinitas dari Senin hingga Jumat.
Namun hari Rabu adalah hari yang berbeda, dia spesial, karena kami melewati Rabu demi Rabu untuk melantai di atas ubin kayu bersama teman-teman melingkar di antara bangunan-bangunan bergaya modern industrialis khas Andra Matin. Disitulah kami menghabiskan waktu sampai tengah malam yang terkadang dirasa tak pernah cukup. Struggling, di tengah hiruk-pikuk masing-masing, melewati Senin hingga Senin berikutnya.
Pada hari Rabu itulah kami menemukan semacam kedekatan di antara teman-teman yang senantiasa hadir. Ya, kami yang rata-rata para pekerja shift ganda pagi-siang-malam, juga para buruh-buruh kehidupan, dan dengan kekasih yang hanya bisa bertukar pesan WhatsApp pada pukul dua dini hari di hari Jumat kedua setiap bulan, kami saling berkabar dan menemani dengan cara kami sendiri.
Di bawah tenda tanpa sekat dinding-dinding dan lampu sorot Teater Besar Taman Ismail Marzuki yang kedipnya kadang tidak stabil, kami duduk melantai di atas tikar terpal. Berteman sebotol kopi dengan gelas plastik, tawa getir, dan sebungkus Samsu Kretek terakhir dari gaji yang sudah habis sebelum akhir bulan. Juga dengan Api yang kami sulut bukan sekadar sebagai penghangat dada. Api adalah simbol. Api adalah cerita. Api ini adalah sisa kecil dari sesuatu yang lebih besar yaitu keberanian untuk senantiasa bertahan.
Api itu kami warisi, dari nilai-nilai yang tergenggam setiap saat demi untuk menyalakan ruang yang jauh tersembunyi. Api itu dari Si Mbah kami yang tak akan pernah selesai membacakan ceritanya, karena listrik yang terkadang sempat padam dan cucunya keburu tertidur di pangkuan kenyataan. Dan setiap malam-malam hingga larut, di gang-gang yang bahkan tak tercatat di peta Google Maps kami berkumpul. Tangan-tangan kasar saling meraba ketika gelap untuk mencari bara.
“Eh, Lu ada korek nggak?”
“Korek Gue abis nih”
“Owh, ini ada pakai aja”
Krekkk, dan dunia yang dingin kembali punya nyala. Tidak besar, tidak mewah, tapi cukup untuk membuat kami merasa hidup. Api itu berpindah dari tangan ke tangan, seperti rahasia kecil yang kami simpan dari dunia luar yang terlalu sibuk menghakimi. Mereka bilang kami usang. Mereka bilang kami kalah. Tapi mereka tidak pernah benar-benar duduk bersama kami di malam-malam itu. Mereka itu orang-orang yang tidak tahu rasanya berbagi rokok terakhir dengan teman-teman yang mereka cintai. Kami tidak punya banyak. Tapi kami punya satu sama lain.
Kami punya Api yang meskipun kecil, itu sangat amat cukup untuk menghangatkan luka yang tak pernah diberi waktu untuk sembuh. Dalam setiap percakapan tengah malam yang diiringi tawa setengah putus asa, kami temukan semacam kekuatan, bahwa hidup ini memang terkadang tidak adil, tapi kami bisa tetap waras jika saling menjaga bara itu.
Api itu bukan hanya tentang korek. Api itu adalah bentuk paling purba dari harapan. Api itu adalah ekspresi yang belum mendapat ruang. Api itu adalah cinta yang tak bisa diterjemahkan dengan kata. Api itu adalah pengakuan diam-diam bahwa meski dunia terus menghantam, Api itu tak pernah diizinkan untuk padam.
Ketika hari esok datang, meski acapkali tubuh pegal dan kantung mata yang makin dalam, kami kembali ke rutinitas. Juga dengan sedikit bara yang tersisa di saku celana yang hampir robek, dan langkah yang seringkali goyah, tapi langkah harus tetap ditempuh. Selama ada Api kecil itu, kami tahu satu hal yang pasti: Kami belum sepenuhnya menyerah!