Kenduri Cinta edisi September 2024
Indonesia ini sebelumnya tidak ada. Sejarah menuliskan bahwa bangsa ini dijajah oleh bangsa lain, dieksploitasi sumber daya manusia dan hasil buminya. Agaknya terminologi penjajahan itu perlu dikaji ulang, karena yang unik adalah bahwa saat itu, ketika bangsa penjajah datang ke bumi Nusantara ini yang dieksploitasi adalah hasil bumi saja; terutama rempah-rempah dan gula. Pun, andaikan benar mereka melakukan penjajahan, tapi mereka juga membangun infrastruktur yang memadai seperti jalur darat untuk distribusi hasil bumi, termasuk didalamnya juga mereka membangun jalur kereta api. Apakah benar mereka menjajah kita? Pertanyaan yang perlu dikaji kembali untuk menemukan jawaban yang tepat.
1945, setelah sebelumnya berproses Kebangkitan Nasional di tahun 1908, kemudian Sumpah Pemuda di 1928, akhirnya Bung Karno dan Bung Hatta memprolamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Sebuah bangsa yang pada 16 Agustus 1945 itu belum ada, akhirnya di tanggal 17 Agustus 1945 jam 10.00 pagi, Indonesia menjadi ada. Maka, Indonesia adalah sebuah artifisial yang dibuat oleh manusia Indonesia di 17 Agustus 1945. Selanjutnya, hingga hari ini, Indonesia yang artifisial ini telah melewati jalan yang panjang, meskipun bagi sebuah bangsa usia 79 tahun belum terlampau tua, namun dalam perjalanan kurang dari 1 abad ini, Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara telah melewati pergolakan zaman yang sangat dinamis. Bergantinya rezim kekuasaan mulai dari orde lama, orde baru, reformasi hingga hari ini bisa disebut sebagai orde pasca reformasi, Indonesia telah melewati berbagai tantangan zaman.
Bergantinya penguasa seharusnya menjadi pondasi keberlanjutan dari cita-cita mulia para pendiri bangsa. Namun, sepertinya dalam rentang waktu 79 tahun setelah Indonesia diproklamirkan tampak tidak ada singkronisasi perencanaan yang berkelanjutan. Setiap rezim penguasa berganti, maka kebijakan pun berganti. Tidak tampak kelegaan hati untuk meneruskan apa yang sudah dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya, yang tampak justru persaingan agar legacy yang ditinggalkan saat berkuasa tampak lebih mentereng dari pendahulunya.
Silang sengkarut persaingan politik antar partai politik serta sayap organisasinya menjadi dinamika yang tak kunjung usai. Kepentingan elit menjadi satu hal yang selau diutamakan dibandingkan kepentingan rakyat, yang pada akhirnya rakyat memang benar-benar hanya menjadi pelengkap penderita. Kehadiran rakyat hanya benar-benar dibutuhkan oleh penguasa pada saat hari pemungutan suara saja. Selebihnya, rakyat hanya menjadi manekin dalam serangkaian seremonial penguasa agar dianggap memikirkan rakyat.
Namun, apakah pemerintah benar-benar mengabaikan rakyat? Tidak juga. Sebenarnya tetap ada kebijakan yang berpihak kepada rakyat, hanya saja harus diakui bahwa prosentasenya masih terlalu kecil jika dibandingkan keberpihakan penguasa terhadap oligarki yang semakin menggerus sumber daya alam Indonesia ini. Berbicara mengenai sumber daya alam yang semakin dieksploitasi ini, sangat berbeda jika dibandingkan saat bangsa Portugis atau Belanda menjajah bangsa ini. Hanya hasil bumi seperti rempah-rempah, palawija, kopi, gula dan lain sebagainya yang mereka eksploitasi, berbeda dengan hari ini ketika oligarki mengeksploitasi sumber daya alam seperti batu bara, nikel, timah dan sumber daya mineral lainnya yang semakin serampangan. Hal ini yang kemudian terlihat gamblang bahwa sangat timpang kondisinya jika dibandingkan dengan kebijakan pemerintah yang berpihak kepada rakyat. Dan meskipun sebentar lagi penguasa akan berganti, kita tidak melihat ada tanda-tanda perbaikan kebijakan menuju ke arah yang lebih baik.
Kenduri Cinta edisi September 2024 mengangkat tema “Artifisial Indonesia”. Hampir pasti, ketika muncul judul ini yang terlintas pertama kali adalah Artificial Intelligence. AI memang sedang menjadi topik yang hangat dalam beberapa tahun ini, bahkan mungkin dalam beberapa tahun kedepan pun masih akan menjadi topik yang terus dibicarakan. Sebagai teknologi, AI ini memang menjadi salah satu tantangan seluruh bangsa di dunia. Sederhananya, dalam AI sebuah kecerdasan itu bisa dilatih, bisa dikembangkan, dan bisa diorganisir. Seberapa jauh manusia yang memanfaatkan AI itu berhasil melatih, mensuplai data, hingga membuat teknologi semakin pintar dari hari ke hari.
Begitulah seharusnya Artifisial Indonesia. Semakin hari, Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara juga sudah sewajarnya berkembang dan melangkah maju ke arah yang lebih baik. Bangsa ini tidak kurang talenta-talenta terbaik di berbagai bidang dan sangat mampu mengurusi semua hal yang dibutuhkan untuk mengantarkan bangsa Indonesia ini menuju bahkan sampai di peradaban yang lebih baik dari apa yang kita rasakan hari ini. Sebagai masyarakat kota, kita yang tinggal di Jakarta mungkin merasakan betapa mudahnya akses-akses di berbagai bidang. Akses informasi, akses pendidikan, akses kesehatan, akses hiburan dan lain sebagainya. Namun, jika kita melihat ke daerah-daerah yang jauh dari Jakarta, kita akan menemukan fakta bahwa mereka tidak memiliki kemudahan yang kita rasakan di Jakarta. Ada ketimpangan sosial yang sangat jelas. Hal ini semakin membuktikan fakta bahwa kebijakan pemerintah tidak benar-benar diimplementasikan secara merata, sehingga sila kelima Pancasila pun jauh dari harapan untuk terwujud.
Memahami Batas Manusia
Tri Mulyana malam itu mengawali sesi awal diskusi di Kenduri Cinta dengan pantikan bahwa manusia memang harus memahami batas dirinya. Seperti yang pernah disampaikan oleh Cak Nun bahwa puncak dari kemerdakaan manusia itu sendiri adalah pengetahuan tentang batas. Artinya, manusia harus mengenali dirinya sendiri, kapan ia harus melangkah, kapan ia harus berhenti. Ada istilah empan papan dalam filosofi jawa. Maksudnya, ada perilaku pada porsi yang tepat, di waktu yang tepat, dilakukan oleh orang yang tepat, sehingga hasilnya adalah manfaat bagi semua orang.
Ian L. Betts malam itu turut merespons bagaimana AI hari ini berkembang. Tentu akan ada sambungannya antara Artificial Intelligence dengan Artifisial Indonesia, sama-sama AI dalam pemaknaan yang berbeda. Ian L. Betts menyatakan bahwa hari ini kita bisa menemukan AI dalam genggaman gadget kita sehari-hari, sebut saja: Chat GPT, Google Gemini, Microsoft Copilot dan masih banyak lagi. Secara teknologi, adanya AI ini bisa sangat membantu kita dalam mencari informasi, namun juga yang perlu disadari bahwa AI itu perlu kita latih. Apakah AI akan mengancam kehidupan manusia? Tidak semengerikan itu sebenarnya. Karena kembali lagi, manusianya sendiri lah yang memegang kendali. AI hanya sebuah teknologi. Karena manusia yang harus memahami batasnya.
Ian L. Betts kemudian menarik ke sosok Cak Nun, bahwa Cak Nun menemukan batas dirinya saat pasca Reformasi 1998, setelah melengserkan Soeharto, Cak Nun memilih untuk menempuh ”Jalan Sunyi” yang kemudian diamplifikasi dalam gerakan Maiyah. Saat Reformasi 1998 bergulir, Cak Nun ada di lingkaran terdekat kekuasaan, Cak Nun menjadi tokoh sentral yang kemudian turut mengantarkan Soeharto lengser keprabon. Tapi, memang pada kenyataannya Reformasi itu tidak bercita-cita untuk memperbaiki kesalahan yang sudah dilakukan oleh Soeharto, dan akhirnya justru Reformasi melahirkan Soeharto-Seoharto yang baru dan bahkan lebih kejam dari Soeharto era Orde Baru itu.
Ada dua poin penting dalam peristiwa itu, bahwa Soeharto akhirnya menyadari batasnya sendiri, kemudian memutuskan untuk berhenti dari kekuasaan yang ia kendalikan selama 32 tahun. Kemudian, setelah itu, kita mengambil hikmah dari Cak Nun yang juga mengerti batas dirinya, bahwa batasnya adalah menghentikan langkah Soeharto, bukan menggantikan peran Soeharto. Sebuah peran yang tidak mudah, sementara saat pencapaian untuk melengserkan Soeharto sudah tercapai, Cak Nun tidak lantas memanfaatkan untuk mengambil kesempatan yang ada di depan mata untuk kemudian mengambil kendali kekuasaan.
Dan perjalanan selanjutnya, Cak Nun bersama KiaiKanjeng justru mampu menjangkau berbagai lapisan masyarakat, hingga level grasroot bahkan, dan justru memang lebih sering Cak Nun menemani mereka dalam keterasingan mereka dari peran Negara. Namun, Cak Nun dan KiaiKanjeng tidak berhenti disitu saja, Ian L. Betts yang juga turut serta dalam tour Eropa Cak Nun dan KiaiKanjeng di suatu waktu membuktikan bahwa Cak Nun dan KiaiKanjeng juga dapat diterima di panggung Internasional. Termasuk di Mesir, dan di Maroko. Termasuk bagaimana Cak Nun dan KiaiKanjeng terlibat aktif dalam proses penyelesaian beberapa konflik horisontal yang terjadi di Indonesia. Dan memang benar bahwa Cak Nun mengambil ”Jalan Sunyi”-nya sendiri. Bagi Negara, apa yang dilakukan oleh Cak Nun selama ini mungkin tidak dianggap penting, tapi jangan sampai kita sebagai anak-anak Maiyah juga menganggap hal yang sama, jangan sampai kita menjadi generasi yang ahistoris terhadap rumah kita sendiri.
Fufufafa dan misleading informasi hari ini
Ali Hasbullah menyoroti fenomena hari-hari ini yang cukup mendapat atensi publik yang cukup tinggi: Fufufafa. Entah dari mana awalnya, sehingga banyak postingan di sebuah forum internet yang sudah cukup lama kemudian di-blow up secara bersamaan dalam volume dan intensitas yang sangat sering. Ada indikasi bahwa akun Fufufafa di sebuah forum di internet itu adalah milik cawapres terpilih Republik Indonesia, dan sudah terlalu banyak bukti yang mengindikasikan bahwa memang akun itu adalah miliknya. Namun, sebegitu paniknya pemerintah hari ini bahkan sampai seorang Menkominfo pun turun tangan untuk membantahnya. Siapa yang benar? Bukan urusan kita.
Yang perlu kita soroti adalah bahwa sebuah informasi yang muncul, jika ditujukan untuk seorang musuh bersama, atau orang yang katakanlah tidak dikehendaki kehadirannya oleh banyak orang, akan sangat cepat tersebar luas. Tidak bisa dipungkiri, bahwa Presiden Jokowi di tahun-tahun akhirnya ini menjadi musuh dari banyak orang, bahkan bagi para pendukung dan buzzernya sendiri. Sampai-sampai, mereka yang dulu memuja habis-habisan Jokowi, hari ini justru berbalik arah, dengan mengkritik sangat keras langkah-langkah kebijakan yang diambil oleh Jokowi. Tapi sayangnya kritik tajam itu terasa hambar, ya karena mereka dulunya adalah yang sangat setia memuja-muja Jokowi, bahkan membenarkan semua langkah dan kebijakan yang diambil Jokowi.
“Sebenarnya Artifisial itu memiliki makna kata yang netral, namun kita seringkali memaknainya dalam makna yang negatif”, lanjut Ali Hasbullah. Satu hal yang paling dekat dengan kita tentang Artifisial adalah pencitraan. Awalnya dicitrakan sebagai orang yang lugu, namun ternyata adalah seorang penipu. Negara dicitrakan sebagai negara yang demokrasi, namun pada faktanya adalah oligarki. Dan masih banyak lagi pencitraan-pencitraan yang memang artifisial, dan kemudian memiliki makna yang negatif.
Belum lagi jika kita benar-benar akan menelaah kehidupan demokrasi kita hari ini. Apakah benar-benar Indonesia adalah negara yang demokratis? Mungkin apa yang disampaikan oleh Ian L. Betts sebelumnya benar, tetapi jangan lupa bahwa fakta yang terjadi adalah bahwa kita tidak benar-benar bisa memilih pemimpin dengan kebebasan dalam memilih, karena faktanya kita memilih calon yang sebelumnya sudah dipilihkan oleh partai politik. Kita tidak benar-benar bebas dalam menentukan pilihan.
Di Maiyah ini, Cak Nun selalu menekankan kepada kita pentingnya tentang kewaspadaan. Bukan untuk curiga, tetapi waspada itu penting. Hal itu pula yang mendasari Cak Nun selalu pada posisi yang kontra dengan penguasa. Bahwa peran oposisi itu sangat penting, sebagai kontrol terhadap berlangsungnya kepemimpinan nasional. Maka, forum-forum Maiyah hari ini sudah seharusnya memposisikan diri sebagai sebuah warning system, mundzirul qoum, sebagai sebuah entitas yang selalu memberi peringatan kepada publik, menggaungkan kewaspadaan itu. Ditengah banjir informasi yang terkadang kita sendiri pun kewalahan untuk memfilternya. Maka tidak heran jika misleading informasi masih akan terus terjadi di Indonesia, karena memang selain begitu deras informasi yang disebarluaskan, semakin tidak ada waktu bagi publik untuk melakukan filter informasi. Dan akhirnya muncullah istilah sumbu pendek, mudah terprovokasi, tanpa melakukan validasi.
Hal lain yang juga ditanamkan oleh Cak Nun kepada kita di Maiyah adalah bahwa kita menyadari bahwa ada sesuatu yang salah dan harus kita akui itu. Terkadang, kesalahan yang ada dalam diri kita, kita enggan untuk mengakui, kita denial untuk mengakui kesalah itu. Maka kemudian yang terjadi adalah kesalahan bertumpuk, sementara solusinya belum ditemukan. Juga, dengan kita mau dan mampu menyadari bahwa kita memiliki masalah, maka kita bisa menarasikan masalah yang sedang dihadapi untuk kemudian ada kemauan untuk mencari solusinya. Sehingga kemudian, kita memiliki semacam buku babon atas setiap masalah yang pernah dihadapi beserta solusinya, maka di kemudian hari kita tidak akan mengulang kembali kesalahan yang sama, atau setidaknya jika kita menemukan problem yang sama, maka kita sudah memiliki cara memitigasinya.
Membincangkan Artifisial Kempimpinan dan Aktivis di Indonesia
Dr. Hendri Satrio, pakar komunikasi politik yang sering muncul di televisi akhir-akhir ini, sekarang semakin betah dan kangen untuk hadir di Kenduri Cinta. Hampir setiap bulan ia datang ke Kenduri Cinta. Baginya, forum Kenduri Cinta ini memang sangat penting keberadaannya dan dibutuhkan untuk menjaga kewarasan dalam hidup berdemokrasi di Indonesia. “Artifisial, menurut Hensat, adalah usaha-usaha untuk menutupi kenyataan”, Hendri Satrio mengawali.
Dalam kacamata politik hari ini, Artifisial juga bisa disebut sebagai pencitraan. Hendri Satrio mengutip salah satu pendapat dari Frank Jefkins bahwa untuk melakukan pencitraan yang baik, seseorang harus memenuhi 5 syarat: ability to communicate, memiliki kemampuan untuk berkomunkasi. Kemudian ability to organize, kemampuan untuk mengorganisasi pesan yang akan disampaikan dalam pencitraannya. Ketiga, ability to get in touch with people, kemampuan untuk bisa ngobrol dengan banyak orang. Kemudian yang keempat, personal integrity, memiliki integritas personal. Dan yang kelima, ability to imagine, kemampuan untuk bermimpi dan berimajinasi, akan bagaimana ke depan ia melangkah.
Hendri Satrio menyimpan salah satu pesan Cak Nun bahwa apa yang kita lihat belum tentu sama dengan realitasnya. Begitu juga di Politik, menurut Hendri Satrio apa yang kita dengar di Politik pun tidak selalu sama dengan kenyataannya.
Dari tema Artifisial Indonesia ini, Hendri Satrio juga menekankan hal yang sama seperti narasumber sebelumnya di sesi awal, bahwa yang terpenting adalah kita menyadari bahwa ada sesuatu yang palsu, ada sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataannya. Maka kewaspadaan itu memang penting adanya agar kita mampu memiliki kesadaran untuk bisa mengetahui sesuatu yang palsu itu. Namun, Hendri Satrio juga menyampaikan bahwa artifisial adalah sebuah perilaku yang sah-sah saja kita lakukan, bukankah kita juga sering menutupi kekurangan kita agar tercitrakan baik di mata publik? Sesimple menahan nafas saat difoto agar perut terlihat tidak terlalu gendut, misalnya. Atau, menggunakan kaca mata hitam saat bepergian untuk menutupi mata yang masih menahan kantuk, atau menutupi mata sembab karena menangis saat patah hati.
Bagaiman dengan Artifisial yang relate dengan kehidupan nyata masyarakat hari ini? Hendri Satrio mencontohkan pinjaman online, atau pinjol. Pinjol adalah sesuatu yang Artifisial, kita tiba-tiba memiliki banyak uang, setelah mengajukan pinjaman online. Padahal, meskipun uang yang kita dapatkan dari pinjol itu kita simpan, kita harus tetap membayar cicilan beserta bunga di setiap bulannya. Seolah-olah kita punya banyak uang, kemudian bisa membeli beberapa barang, tetapi itu artifisial, karena setelahnya kita menjadi punya utang yang harus dilunasi.
Selain Hendri Satrio, malam itu hadir Sam Darma Putra Ginting, seorang komika Indonesia senior atau yang lebih sering dikenal dengan nama Sammy Notaslimboy. Sebagai seorang komika, tentu Sammy berangkatnya dari joke-joke ringan. Seperti tentang steretipe tentang Orang Batak yang sering dikenal sebagai tukang tambal ban di Jakarta, kemudian Sammy memberi punchline: ”Masalah tebar paku, kita suruh orang jawa, dan itu sebenarnya terjadi di Indonesia, yang tebar paku siapa? Jokowi. Yang terima keuntungan? Luhut”. Grrrr….
Menceritakan kisah saat turun ke jalan pada tahun 1998, saat demonstrasi melawan Orde Baru, Sammy berkelakar bahwa saat itu banyak mahasiswa tingkat akhir yang sedang sibuk menyelesaikan tugas akhir, namun kemudian merasa butuh refreshing karena penat dengan tugas akhir, lalu turun ke jalan untuk melakukan demonstrasi. Sammy bercerita, saat di Bandung dulu, ia berorasi untuk menurunkan Soeharto, yang secara sadar ia akui bahwa itu nggak mungkin terjadi saat itu, maka orasinya saat itu ia anggap sebagai sebuah materi stand up comedy, karena ditertawakan banyak orang. Ternyata Soeharto benar-benar lengser. Akhirnya, setelah Soeharto lengser, mahasiswa kembali ke kampus dan melanjutkan penyelesaian tugas akhirnya masing-masing.
Sebagai seorang aktivis 1998, Sammy melemparkan kritik kepada aktivis 1998 yang hari ini justru merapat ke penguasa. ”Kenyataan hari ini adalah aktivis bergabung dengan orang yang dulu dia kritik. Itu kenyataannya hari ini. Kenapa itu terjadi, karena aktivis-aktivis ini tidak punya skill lain, gua bisa coding, budiman enggak….”, kritik Sammy disambut tawa jamaah. Bagi Sammy, menjadi seorang aktivis politik sekalipun harus juga memiliki modal hard skill yang baik untuk menjaga idealismenya. Hari ini kita menyaksikan bagaimana seorang Budiman Sudjatmiko, Agus Jabo, Andi Arief dan banyak lagi aktivis lain justru merapat kepada penguasa. Idealismenya luntur begitu saja.
”Jadi, kalau lu mau jadi aktivis, perlengkapi diri lu, agar lu tidak kelaparan, sehingga lu tidak ngemis-ngemis kekuasaan, seperti yang dilakukan di bukit algoritma”, lanjut Sammy. Ia mencontohkan bagaimana di film-film Koboy, mereka yang berjuang untuk melawan penjahat di film itu, setelah berhasil menumpas kejahatan, mereka kembali ke kehidupannya masing-masing. ”Memang ada harga yang harus dibayar agar lu bisa lebih menapak dengan bumi, kerja lu harus lebih keras, lembur lu harus lebih banyak, belajar lu harus sampai mati. Gua sampai hari ini masih belajar coding, masih belajar tentang project management, ada harga yang harus dibayar”, lanjut Sammy.
”Yang menyenangkan dari menjadi Komika adalah melihat kenyataan. Walaupun 10 tahun ini adalah artifisial karya rezim tertentu, tetapi itu adalah kenyataan yang kita hadapi. Kita tidak bisa serta merta menyebut bahwa itu adalah Artifisial Indonesia, walaupun itu memang dibuat, tetapi kenyataannya kita hidup hari ini dengan harga tukar dollar yang dulu 11 ribu, kini akan berganti rezim dengan harga tukar dollar yang melebihi 15 ribu rupiah”, pungkas Sammy.
Akar Kata Artifisial
Sabrang kemudian menjelaskan bahwa secara kata Artifisial itu asal katanya adalah artifisialis, bahasa latin. Arti dari artifisial sebenarnya adalah bagian dari seni. Hal ini menunjukkan bahwa artifisial harus lahir dari dua proses: proses manusia yang melahirkan dan ada tujuan atau intensinya. “Biasanya kemudian ada counter balance-nya. Maka Artifisial ini counter balance-nya adalah Natural”, lanjut Sabrang.
Jika akarnya dari alam, disebut sebagai natural. Jika akarnya dibuat oleh manusia disebut sebagai artifisial. Sesederhana itu untuk membedakan mana yang natural dan mana yang artifisial. Begitu juga dengan sistem, apakah itu natural atau artifisial, harus diikuti dengan jenis sistemnya. Kalau sistem alam, tentu itu adalah natural, jika sistem negara maka itu adalah buatan manusia sehingga disebut artifisial. Nah, jika sebuah sistem negara dibuat oleh manusia, pertanyaan selanjutnya adalah tujuannya membuat sistem negara itu untuk apa? Intensinya terhadap sistem negara itu apa? Pada hakikatnya, kita tidak membutuhkan negara. Kita tidak harus punya negara. Tetapi, membuat negara itu bisa membantu untuk mempercepat cita-cita yang pernah dicanangkan dan diharapkan.
Adanya dasar negara menunjukkan bahwa sebuah masyarakat yang dibangun secara komunal, memiliki tujuan yang sama. Atau setidaknya, bersepakat untuk menuju satu tujuan yang sama. Lalu ada pertanyaan lagi setelah sekian lama Indonesia berproses dengan sistem negaranya; “Lho kok ada yang berani mengatakan bahwa Indonesia ini sedang tidak baik-baik saja?”. Atas dasar berbagai opini, kita mungkin bisa menyimpulkan bahwa ada pemahaman bahwa Indonesia sedang baik-baik saja atau sebaliknya. Jika kita berbicara tentang sebuah negara, Indonesia katakanlah, kita bisa dengan mudah untuk menilai apakah Indonesia sedang baik-baik saja atau tidak. Sabrang memberi contoh, dengan melihat dasar negara Indonesia kemudian kita bandingkan dengan kondisi terkini, lalu kita analisa apakah kondisi hari ini sudah sesuai pada track yang benar untuk menuju terwujudnya cita-cita yang tertuang dalam dasar negara atau tidak? Baru kemudian kita bisa menilai apakah Indonesia sedang baik-baik saja atau tidak? Jika hari ini kita melihat dan merasakan bahwa Indonesia pada track yang benar untuk menuju cita-cita mulia yang ada di Pancasila, maka bisa dikatakan Indonesia sedang baik-baik saja. Begitu juga sebaliknya. Jika belum sesuai pada track yang diharapkan, maka negaranya yang bermasalah.
Tapi yang menjadi masalahnya kemudian adalah: ”Gimana caranya kita mengetahui keadaan Indonesia sekarang?” Karena sebenarnya kita tidak benar-benar mengetahui intensi dari para pelaku yang mengelola negara ini, apakah intensinya sudah sesuai dengan cita-cita yang tertuang dalam dasar negara atau tidak? Jangan sampai tercampur aduk, intensi untuk kepentingan pribadi kemudian diatasnamakan sebagai intensi kepentingan negara. Menjadi rancu akhirnya, sehingga sangat wajar jika cita-cita luhur yang ada di dalam dasar negara tidak pernah terwujud.
Namun yang tak kalah penting dari itu semua adalah bahwa kesadaran kita sebagai bangsa Indonesia adalah kesadaran untuk tidak pernah lelah mencintai Indonesia. Kita mungkin banyak berpeda pendapat dengan Indonesia, dengan bagaimana pemerintah mengelola negara ini, bahkan mungkin kita sangat tidak setuju terhadap orang per orang yang menduduki jabatan penting di Negara ini. Tapi, satu hal yang tetap kita jaga keutuhannya adalah bahwa kita tetap mencintai Indonesia. Maka, salah satu pengejawantahan cinta kita itu adalah dengan terus berupaya sebisa mungkin menghadirkan kebaikan demi kebaikan, salah satunya dengan merawat forum Kenduri Cinta ini sebagai forum bersama. Sampai kapan? Entah sampai kapan, kita hanya berusaha untuk terus menjalaninya.